Bagaimana Sejarah Berdiri Kerajaan Balanipa?

Kerajaan Balanipa

Bagaimana Sejarah Berdiri Kerajaan Balanipa ?

Sejarah Berdiri Kerajaan Balanipa


Sebelum berbentuk Kerajaan dahulu Kerajaan Balanipa terdiri dari beberapa negeri yang dipimpin oleh tomakaka , yaitu Napo, Samasundu, Mosso, dan Todangtodang. Dari empat negeri inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya Kerajaan Balanipa. Pada awalnya empat negeri ini sepakat untuk mempersatukan wilayah kekuasaannya dalam satu ikatan pesekutuan yang kemudian dikenal dengan persekutuan Appeq Banua Kaiyyang (empat negeri besar). Dibentuknya persekutuan ini bertujuan untuk menghadapi ancaman dari tomakaka yang agresif ingin menguasai tomakaka lain, seperti tomakaka Passokkorang, tomakaka Lenggo, tomakaka Lempong dan tomakaka Tande .

Tetapi pada kenyataannya terbentuknya persekutuan Appeq Banua Kaiyang dibawa kepemimpinan tomakaka Napo, tidak mampu menyelesaikan konflik yang terjadi sehingga mereka mencari sosok yang dinilai bisa dan mampu menyelamatkan rakyat dan keutuhan wilayah dari ancaman tomakaka yang ingin berkuasa. Pencarian itu tertuju kepada I Manyumbungi yang pada saat itu berada di Kerajaan Gowa.

Mengenai kepergian I Manyumbungi ke Kerajaan Gowa terdapat beberapa versi, pertama; Dikatakan bahwa setelah I manyumbungi agak besar, datanglah orang Makassar di negerinya dengan garam untuk di perjual belikan. Kesanalah Inang pengasuhnya untuk membeli garam dan I Manyumbungi ikut serta bersamanya. I Manyumbungi bahkan turung kebawah perahu dan tidak mau lagi naik kembali kedaratan. Ia tidak di izinkan oleh ayahnya untuk pergi ke Gowa, tetapi anak itu tetap nekat untuk berangkat, sehingga jadilah Ia berangkat ke Gowa. Ia ditemani oleh 30 orang kesana, 20 orang diantaranya adalah merupakan inang pengasuhnya, terdiri dari 10 orang perempuan dan 10 orang laki-laki dan tujuh ibu susuannya, serta tiga orang kemanakannya. Ketiga orang itu satu adalah merupakan paman tidak sedarah dari ibunya dan dua orang dari pihak ayahnya sendiri. Ketika ia sudah tiba di Gowa maka Karaeng Ri Gowa mengetahuinya sehngga mereka dipanggil ke istana. Sampai di istana, paman dari ibunya di tanya: siapa yang melahirkan anak itu (I Manyumbungi), lalu dijawab bahwa dia adalah cucu dari Tauurra-urra, dan Tauurra-urra cucunya Tokombong di Bura. Mendengar jawaban itu Karaeng Gowa lalu menyuruh, tinggallah di rumah saja, karena kita berpamili, karna I Lando Guttu di Mandar dan I Lando belua disini.tinggalah disini sebagai orang kepercayaan Raja.

Kesimpulan dari tulisan dalam lontarak pattodioloang di atas yang mengatakan bahwa I Manyumbungi memiliki hubungan kekeluargaan dengan Raja Gowa. Menjadi orang kepercayaan di Kerajaan Gowa merupakan suatu tanggung jawab besar yang diembannya, mengingat apa yang terjadi kepada Gowa dia harus terlibat.

Sumber lain yang juga ikut memperkuat terkait kepergian I Manyumbungi ke Gowa setelah mendapat restu dari ayahnya dapat ditemukan dalam meori W.J. Leids.

Todilalinggin als klein kind naar het strand van Balanipa om te kijken naar de praw van een Makassarchen handelar die zout kwam verkoopen. Hij hone en en ander zoo interssant, dat hj mee wilde op de praw, hetgeen zijn ouders tenslotte goedvonden; mengaf hem een ge volg, en zoo kwan Todlaling als Mandarsch votenzoon aan het hof van Goa.

Artinya:

Todilaling waktu masih kanak-kanak pergi ke pinggir pantai Kerajaan Balanipa, melihat-lihat perahu pedagang garam dari Makassar, sehingga mempunyai keinginan untuk pergi berlayar, yang kemudian direstui oleh orang tuanya. Demikianlah sampai Todilaling sebagai putra Raja Mandar tinggal di istana Kerajaan Gowa.

Di Kerajaan Gowa I Manyumbungi ikut membantu menaklukkan Kerajaankerajaan yang menjadi musuh Gowa seperti Kerajaan Lohe, Pariaman dan Kerajaan Tambora.

Adapun versi yang ketiga menyebutkan bahwa I Manyumbungi berangkat ke Gowa, ia terlebih dahulu dibekali berbagai pembekalan. Mulai dari materi berupa kepingan emas, dan benda pusaka milik leluhurnya. Setelah niat baik I Manyumbungi untuk merantau ke Gowa disetujui keluarganya, maka segeralah ibunya, ayahnya, dan neneknya mempersiapkan pembekalan kepadanya untuk dibawa nanti. Ia dibekali beberapa keeping emas dan cincin, juga sebilah keris pusaka dari leluhurnya, serta beberapa orang tua laki-laki untuk menemaninya ke negeri orang. Juga kepada juragang dan nahkoda perahu dipesan bahwa: setibanya di Gowa nanti, antarkan anak itu kepada Karaeng ri Gowa, nanti Karaeng yang mengurusi bagaimana baiknya, terserahlah kepada dia.

Sesuai dengan apa yang dipesankan kepada juragan dan nahkoda itu, maka setibanya di Gowa I Manyumbungi langsung di bawa ke Raja Gowa (Raja Gowa VII). Ketika Raja Gowa melihat cincin dan keris pusaka yang dibawa oleh I Manyumbungi serta mendengar penjelasan dari juragan mengenai niat kedatangan I Manyumbungi di Gowa, berkatalah Raja Gowa bahwa tidak salah engkau datang kemari, karena anak ini merupakan kemanakan dari istri saya (I Rerasi). Raja Gowa kemudian meminta mereka untuk tinggal di istana agar I Manyumbungi dapat memperoleh pendidikan di dalam istana sekaligus mendampingi I Daeng Matanre yaitu anak I Rerasi.

Di utuslah pappuangan Mosso atau Tomakaka Ponding beserta rombongannya ke Kerajaan Gowa untuk membawa kembali I Manyumbungi ke tanah kelahirannya (Napo). Sesampainya di Kerajaaan Gowa, Pappuangan Mosso menemui I Manyumbungi dan memohon agar berkenan untuk kembali ke Napo dalam rangka memperkuat pasukan Kerajaan yang berada dalam ambang kehancuran karna di serang oleh Kerajan-kerajaan tetangga. Ketika mendengar berita tentang kekacauan yang terjadi ditanah kelahirannya (Napo), I Manyumbungi langsung menghadap kepada Sombayya ri Gowa Tumapa’risi’ Kallonna (Raja Gowa IX) didampingi Pappuangan Mosso dan menceritakan apa yang terjadi di Napo sekaligus meminta izin kepada Sombayya ri Gowa untuk kembali ke Napo. Sombayya ri Gowa pun merestui dan memberikan izin kepada I Manyumbungi, bahkan diberikan cendra mata. Terdapat dua versi mengenai pemberian cinder mata dan pesan atau ikrar Kerajaan Gowa.

  1. Imanyumbungi diberi cindra mata berupa Gong yang disebut Ta’bi lobe atau Tobe Lawe, serta sebatang anak pohon Nipa untuk ditanam di negeri Napo. Dikisahkan bahwa dalam waktu itu pula Sombayya ri Gowa berpesan:

    Punna bokomo lampaku, teako rampea kodi rampea golla nakurampeko kaluku”, dalam bahasa Mandar: “ Mua lessemo’o malai senga’a, apa iyau tu’u ta’lalo usenga’mu ”.

    Jika kamu berangkat kembali (ke Mandar) kenanglah daku ibaratnya saya gulanya dan engkau santan kelapanya.

  2. Kerajaan Gowa (Raja Gowa) memberikan benda-benda pusaka sebagai tanda keakraban antara kedua belah pihak, diantarnya, Gong Tabilobe, Tombak Inaga, Bendera isorai, Tombak Trisula Dowe Pakka, Senapan Itata, Mahkota Saloko Kati, Seruling Ikeke, Gong Idato, Gendang (Gandrang), Perisai Utte dan semacam alat musik yang dinamakan Jalappa, dan sekaligus mengucapkan ikrar yang diucapkan oleh Raja Gowa di depan para delegasi persekutuan appe banua kaiyang dan para pemangku adat Kerajaa Gowa yang berbunyi sebagai berikut:

    Madondong duambongi anna kadae Gowa pessaileo nasangadinna Rukka dilalang banua tanna leleiyo bila’bilang nasangdinna elo dialabemu iddao tia nauwangnga, tettotia Mandar kadaeo di malimang Mandar pessaileo mai diarawiang, kadaeo diarawian pessaileo mai Mandar dimalimang… madondong duambongi anna diang mauwang sisalai Gowa-Mandar pamengi anna mupatei, Gowa mauwang, Mandar mappate, Mandar mauwang Gowa mappatei tanna iddana nasisala Mandar-Gowa…

    Artinya:

    Besok lusa, manakala Gowa dalam keadaan bahaya, hendaklah engkau datang membantu, kecuali jika bahaya tersebut hanya dalam negri saja, anda tidak saya harapkan, kecuali kehendakmu sendiri. Deikian juga, jika Mandar dalam bahaya di pagi hari hendaklah segera mungkin memberitahu di sore hari, demikianjuga halnya jka kena bahaya di sore hari, hendak lah menberitahu di pagi hari. Besok lusa jika ada orang yang menyatakan Gowa dan Mandar berselsih, cari dan bunuhlah. Jika orang Gowa yang menyatakan demikian, maka Mandarlah yang harus membunuhnya.Jika orang Mandar yang menyatakan demikian, maka orang Gowalah yang harus membunuhnya. Demikianlah pembuktian bahwa Mandar dan Gowa tidak akan berselisih.

Ketika kembali ke tanah kelahirannya, I Manyumbungi langsung mengatur strategi untuk memerangi para tomakaka yang sering kali menyerang Appe Banua Kaiyyang.Ia berhasil menaklukkan tomakaka - tomakaka yang sering membuat keonaran di Mandar. Keberhasilannya dalam menentramkan masyarakat dari ancaman musuh, membuat I Manyumbungi dipilih dan dinobatkan menjadi pemimpin dari persekutuan Appeq Banua Kaiyyang beserta negeri-negeri taklukannya.

Dibawa pimpinan I Manyumbungi, persekutuan Apeq Banua Kaiyyang berubah menjadi Kerajaan Balanipa, dan berubah pula nama gelar pimpinan yang sebelumnya dikenal dengan Tomakaka menjadi Pappuangan ( seseorang yang dipertuankan) yaitu pappuanagan Napo, pappuangan Samasundu, pappuangan Mosso dan pappuangan Todang-todang . Masing-masing mereka mempunyai kekuasaan mengatur dan mengurus daerahnya sesuai dengan kepercayaan yang diberikan rakyat kepada mereka. Selain sebagai pemimpin daerah papuangan juga menjadi anggota dari lembaga adat yang dikenal dengan dewan ada’ kaiyyang (adat besar). Dewan ada’kaiyyang yang kemudian berhak memilih dan mengangkat serta memberhentikan seorang raja atau mara’dia pada Kerajaan Balanipa.

Berdirinya Kerajaan Balanipa tidak bisa dipisahkan dari nama I Manyumbungi (Todilaling). Ia adalah seorang pahlawan bagi masyarakat appe’ banua kaiyang yang menyelamatkan nergerinya dari kehancuran dan merubah negeri itu menjadi Kerajaan yang besar dan kuat di wilayah Mandar.

Sebelum I Manyumbungi resmi menjadi mara’dia atau raja terlebih dahulu harus dilantik dan diambil sumpahnya oleh Puang Diposoyang yang merupakan ketua dari dewan adat besar, mewakili appe banua kaiyang atas nama rakyat. Pada upacara pelantikan I Manyubungi di parakkai atau dimahkotai dirangkaikan dengan pengucapan ikrar oleh Puang Diposoyang yang berbunyi,

upakaiyangngo’o, mupakaraja’ madondong duang bongi anna marrattaso’o wake’, marruppu-ruppu’o batu uwalai membali akaiyangan ”.

Artinya, kami angkat engkau menjadi pemegang tampuk pemerintahan, tetapi engkau harus hormati kami, besok lusa manakala engkau memutuskan sendi-sendi adat dan menghancurkan aturan dan kebiasaan adat negeri, maka kami akan mengambil kembali kebesaran yang telah kuberikan. Setelah masing-asing berpegang kepada tiang payung kebesaran dengan mengucapkan sumpah setia yang juga biasa disebut perjanjian assitalliang. Isi dari perjanjian tersebut sebagai berikut:

  1. I Manyumbungi berkata: malewo parri’di mo’o ? (apa kalian semua bersepakat?)

    Puang Diposoyang menjawab: malewu parri’di’ mang ! (kami telah sepakat)

  2. I Manyumbungi berkata: jari lappar lapparru mo’o ? (apakah seluru daratan aku yang punya?)

    Puang Diposoyang menjawab: O diada’ o dibiasa ! (benar asalkan hal tersebut sesuai dengan adat dan kebiasaan)

  3. I Manyumbungi berkata: buttu-butt’u mo’o ? (apakah semua gunung akulah yang punya?)

    Puang Diposoyang menjawab: o diada o dibiasa ! (benar, asalkan hal tersebut sesuai dengan adat dan kebiasaan)

  4. I Manyumbungi berkata: sasi- sasi’u mo’o ? (apakah semua lautan lautanku?)

    Puang Diposoyang menjawab: o diada o dibiasa ! (benar, asalkan hal tersebut sesuai dengan adat dan kebiasaan)

  5. I Manyumbungi berkata: tau tau u mo’o ? (apakah seluruh rakyat rakyatku?)

    Puang Diposoyang menjawab: o diada o dibiasa ! (benar, asalkan hal tersebut sesuai dengan adat dan kebiasaan)

  6. I Manyumbungi berkata : iri’ma nadaun aju mo’o ? (anginlah saya dan kalian adalah daun kayu?)

    Puang Diposoyang menjawab: o diada o dibiasa ! (benar, asalkan hal tersebut sesuai dengan adat dan kebiasaan)

  7. I Manyumbungi berkata : rarumma’na buttang mo’o ? (jarumlah saya dan kalian adalah benang?)

    Puang Diposoyang menjawab : o diada o dibiasa ! (benar, asalkan hal tersebut sesuai dengan adat dan kebiasaan).

Jika dilihat dari perjanjian itu, terlihat bahwa antara mara’dia dengan rakyatnya terikat oleh sebuah kontrak politik dalam menjalankan pemerintahan. Perjanjian ini dilaksanakan bersama atas dasar mufakat antara rakyat dengan mara’dia yang akan menjabat. Perjanjian inilah yang kelak terus dilakukan ketika akan mengangkat seorang mara’dia Balanipa secara turun temurun. Kandungan dari perjanjian tersebut sangat dalam maknanya berisi sifat-sifat dasar dari seorang yang akan menjadi panutan di Kerajaan Balanipa. Seorang mara’dia tdak boleh melanggar isi perjanjian tersebut karna itu akan berakibat buruk bagi seorang mara’dia karna dapat dimaksulkan dari jabatannya atas nama rakyat.

Dalam budaya pengangkatan mara’dia atau raja Balanipa telah diatur kebijakannya oleh I Manyumbungi. Mungkin hal ini dikarnakan, bila Ia meninggal akan terjadi kekacauan dalam perebutan jabatan antara seorang Mara’dia dengan dewan hadat. Ada ungkapan pengaturan itu, yaitu: “yang besar tidak ingin kepala yang kecil, yang kecil tidak ingin kepala yang besar”. Makna dari ungkapan ini adalah keturunan Mara’dia tidak akan mengambil hak jabatan keturunan adat, dan keturunan dewan adat tidak akan merampas jabatan mara’dia. Itu berarti jabatan mara’dia dan jabatan dewan adat merupakan jabatan kewarisan kepada keturunannya. Meski demikian pengangkatan mara’dia dan dewan adat tidak mutlak, mereka harus diseleksi dan dipilih berdasarkan tingkah laku calon yang akan menjabat seperti pesan I Manyumbungi manakala Ia menjelang ajal:

“Manakala besok lusa saya meninggal, walaupun anak dan cucu saya, jangan hendaknya dinobatkan menjadi mara’dia kalau dia bukan orang yang cinta kepada tanah air dan rakyat kecil. Jangan pula diangkat seorang calon mara’ dia bila dia mempunyai tutur kata yang kasar, berbuat dan bertindak kaku dan kasar pula, karena orang yang seperti itulah yang akan menghancurkan negeri”.

Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa Kerajaan Balanipa berdiri pada awal abad XVI, ketika I Manyumbungi naik tahta menjadi mara’dia. Di bawah pimpinan I Manyumbungi, persekutuan appe banua kaiyyang yang dipimpin oleh tomakaka berubah struktur pemerintahannya menjadi sebuah Kerajaan yang dipipin oleh Raja.

Dahulu kala pada awal abad IX Masehi di tanah Mandar muncul kerajaan yang dikenal sampai di seluruh nusantara yaitu kerajaan Balanipa yang didirikan oleh persekutuan empat wilayah atau daerah besar yaitu, Napo, Samasundu, Mosso dan Todang-todang. berawal dari empat (appe) persekutuan daerah besar inilah kerajaan Balanipa berdiri.

Empat daerah konfederasi ini masing-masing di prakarsai oleh para tomakaka (ketua adat) yang dimaksud adalah masing-masing mempunyai proporsi atau kedudukan dalam kelembagaan pemerintahan kerajaan Balanipa yaitu, Nenek Kasabang menjadi Tomawuweng, (yang paling dituakan), puang Dipoyosang menjadi pappuangang Limboro, puang Digadang menjadi Maraq’dia Tomaraja, puang Dirano menjadi pappuangang di Napo, dan puang di Pangale menjadi pappuangang di Samasundu.

Sepanjang perkembangan kerajaan Balanipa mengalami beberapa periode pemerintahan yaitu dari zaman Tomakaka (ketua adat), zaman Pappuangang (pemimpin wilayah), dan zaman Arajang (raja) Adapun istilah arajang (kerajaan) dikenal pada saat kepemimpinan I Manyambungi yang berlangsung pada abad XVI. Berdiri sampai abad XIX. Kerajaan Balanipa sekarang ini terletak di wilayah Kabupaten Polewali Mandar.

Permulaan terbentuknya kerajaan Balanipa para tomakaka tersebut masing- masing mempunyai proporsi atau kedudukan dalam kelembagaan pemerintah kerajaan Balanipa, masing-masing, nenek Kasabang menjadi orang tua (tomawuweng), Puang Dipoyosang menjadi Pappuangang Limboro, Puang Digadang menjadi Maraq’dia Tomaraja, Puang Dirano menjadi Pappuangang Napo dan Puang di Pangale menjadi Pappuangang Samasundu. Adapun istilah Arajang atau kerajaan di kenal pada masa pemerintahan I Manyambungi, anak dari puang Digadang dari hasil pernikahanya dengan Tobittoeng yang menjadi Maraq’dia. Pada masanya puncak tertinggi dalam pemerintahan kerajaan Balanipa disebut Arajang Balanipa sekaligus tercatat sebagai raja pertama kerajaan Balanipa.

Prosedur pengangkatan pemangku adat yang terjadi di kerajaan Balanipa ketika itu masih sangat sederhana sehingga dari hasil kesepakatan para pemangku adat atau disebut dalam Lontaraq Allewuanna Ada, memiliki kekuatan hukum adat. Kesepakatan para pemangku adat tersebut menghasilkan, nenek Kasabang disepakati menjadi Tomawuweng dan melantik (mappesokko’i) Puang Dipoyosang menjadi Pappuangang Limboro, kemudian Puang Dipoyosang menjadi Pappuangang Limboro melantik Pappuangang Digadang menjadi Maraq’dia Tomaraja, tetapi prosedur ini jalan sebelum menjadi arajang (kerajaan).

Kerajaan Balanipa, setelah berdiri tidak bertahan lama setelah terbentuk persatuan diantara empat daerah besar terdengar di seluruh wilayah daerah sekitar maka muncul pro dan kontra dikalangan kerajaan yang sudah mempunyai pemerintahan tersendiri, yang kontra datang memerangi siang dan malam sehingga daerah yang telah di bentuk tidak tentram, munculnya kondisi dan situasi seperti demikian menjadikan para kalangan pemerintahan dan rakyat tidak tenang dan kacau, pemerintah sangat cemas sehingga dikalangan pemerintah melakukan pertemuan besar (sirumurumung karaya) untuk membahas permasalahan tersebut.

Setelah melakukan permusyawaratan yang dilakukan adat (ammalewuanna ada) ketika itu menghasilkan kesepakatan menugaskan pappuangang Mosso yaitu Tomakaka Ponding berangkat kekerajaan Gowa untuk menjemput I Manyambungi kembali ke Napo, I Manyambungi ketika itu telah menduduki salah satu jabatan penting di kerajaan Gowa yakni sebagai panglima perang, sejak lama Napo dan kerajaan Gowa sudah lama menjalin hubungan secara politis, setelah Pappuangang Mosso bertemu langsung dengan I Manyambugngi menyampaikan mengapa ia menghadap dan diutus oleh Puang Digadang ayahanda I Manyambungi untuk memanggil I Manyambungi kembali ke Napo karena negeri di Napo dalam ambang kehancuran pada siang maupun malam hari disebabkan serangan dari luar.

Mendengar hal demikian I Manyambungi di dampingi Pappuangan Mosso segera menghadap Sombae Rigowa (raja Gowa) untuk menyampaikan keadaan di Napo sekaligus bermohon agar diijinkan kembali ke Negeri Napo, raja kerajaan Gowa ketika itu adalah Tumappa’risi Kallonna, raja Gowa ke IX. Permohonan I Manyambungi mendapatkan restu dari raja Gowa bahkan raja Gowa memberikan cenderamata sebatang anak pohon nipa untuk di tanam di Napo. Raja Gowa memberikan pesan kepada I Manyambungi.

Punna bokomo lampoku, taeko rampae kodi, rampae golla nakurampeko kaluku”. Artinya; Bila engkau telah menjauh, kenanglah daku dengan indah, ibarat kanda gula manisnya, kuibaratkan dinda gurihnya santan kelapa.

Setibanya dari kerajaan Gowa I Manyambungi bersama Pappuangang Mosso berlabuh di Pambusuang (sekarang Desa Pambusuang Kecamatan Balanipa Kabupaten Polewali Mandar Sulawesi Barat) kedatangannya tidak disia-siakan oleh I Manyambungi dia langsung menyusun strategi perang untuk membasmi para negeri yang memerangi Napo, kemudian dia dan pasukannya berhasil mengalahkan dan membunuh, I Kaeyang Pauisang di Biring Lembang, Tomakaka Lompong di Renggeang dan I Kadake Lette di Salarri, karena ketiga Tomakaka inilah yang sering menyerang Napo. Setelah membunuh musuh-musuhnya I Manyambungi kemudian menemui kedua orang tuanya di Napo dan menyampaikan bahwa semua musuh yang selama ini memerangi Napo telah tiada tapi masih ada musuh yang masih tersisa yakni kerajaan Passokkorang.

Kedatangan I Manyambungi memberi peluang bagi dirinya untuk menata lembaga pemerintahan yang selama ini dipimpin oleh ayahnya, di tandai dengan diadakannya berbagai pertemuan di atas bukit Tammajarra dihadiri oleh tokoh-tokoh pendiri terdiri dari, Puang Digadang, Puang Dipoyosang, Puang Dirano, Puang Dipangale, Tomakaka Ponding, Tomatindo Diparabayana dan juga I Manyambungi sebagai anak Raja dan panglima perang bagi Napo.

Maksud dan tujuan serangkaian pertemuan tersebut adalah untuk mencapai kesepakatan bagaimana strategi menghadapi kerajaan Passokkorang yang selalu mengganggu ketentraman negeri Napo yang sedang melakukan pembenahan kelembagaan internal pemerintahan negerinya. Setelah selesainya pertemuan di Buttu (Gunung) Tammajarra salah satu kesepakatannya adalah memilih I Manyambungi sebagai raja Proses pelantikan (Papparakkang) dibagi dalam dua tahapan, yaitu, tahap pertama pemahkotaan (pappesokoang) yang dilakukan oleh puang Dirano (Pappuangang Napo) bersama puang Dipangale (Pappuangang Samasundu) tahapan kedua adalah puncak pelantikan (assitalliang) yang dilakukan oleh Puang Dipoyosang.

Prosesi pelantikan I Manyambungi sebagai calon raja dan Pappuangang Dipoyosang sebagai wakil adat masing-masing berpegang kepada payung kebesaran (la’lang buwur) dan menginjakkan kakinya di atas kepala kerbau yang diletakkan di atas dulang, kemudian masing-masing mengucapkan sumpah, sebagaimana disebutkan dalam Lontaraq assitalliang kemudian terjadi dialog segai berikut; yang diartikan.

Pappuangang Limboro : Bersiap wahai tuanku untuk dilantik

I Manyambungi : Apakah tuan sudah bulat seperti alu

Pappuangang Limboro : Kami sudah bulat seperti alu

I Manyambungi : Jadi daratan adalah daratanku?

Pappuangang Limboro : Sepanjang sesuai dengan adat istiadat dan kebiasaan

I Manyambungi : pegunungan adalah pegununganku?

Pappuangang Limboro : Sepanjang sesuai dengan adat istiadat dan kebiasaan

I Manyambungi : Lautan adalah lautanku?

Pappuangang Limboro : Sepanjang sesuai dengan adat istiadat dan Kebiasaan

I Manyambungi : Rakyat adalah rakyatku?

Pappuangang Limboro : Sepanjang sesuai dengan adat istiadat dan kebiasaan

I Manyambungi : Saya adalah angin dan tuan adalah daun kayu?

Pappuangang Limboro : Sepanjang sesuai dengan adat istiadat dan kebiasaan

I Manyambungi : Saya adalah Jarum dan tuan adalah benang?

Pappuangang Limboro : Sepanjang sesuai dengan adat istiadat dan kebiasaan

I Manyambungi : Cukuplah, tekad kami semua sudah bulat seperti alu di Balanipa

Dialog tersebut senantiasa menjadi dialog antara seorang calon raja yang hendak akan dilantik dengan Pappuangang Limboro, dimulai dari sejak zaman I Manyambungi hingga pelanjut dan seterusnya di kerajaan Balanipa. Sepanjang sejarah keberadaan kerajaan Balanipa tercatat banyak orang raja lima orang diantaranya sebagai raja kerajaan Swantanra atau masa pemerintahan kependudukan Hindia Belanda, namun kependudukan atau masa pemerintahan peralihan tahta kerajaan dari raja yang satu ke yang lainnya dapat disebut tercatat sebanyak 53 Maraq’dia Arajang (Raja) Balanipa dari masa ke masa.

Pemerintahan kerajaan Balanipa telah berakhir setelah pemerintahan di Indonesia bersatu dalam negara kesatuan republik Indonesia. Setelah hal demikian para petinggi kerajaan diangkat menjadi pegawai negeri sipil.

Referensi

http://repositori.uin-alauddin.ac.id/11079/1/MULIADI.%20H..pdf