Bagaimana Sejarah awal mula Sistem Bretton Woods?

Sejarah awal mula Sistem Bretton Woods

Bagaimana Sejarah awal mula Sistem Bretton Woods?

Jika kita membandingkan antara sistem ekonomi internasional pada abad 19 dan pasca Perang Dunia II maka sangat berbeda keadaanya karena terlihat adanya dimensi baru pada sistem ekonomi internasional di era dewasa ini dengan berkembangnya interdependensi ekonomi global yang didukung dengan teknologi-teknologi yang semakin pesat dan mutakhir, komersial dan finansial.

Kemajuan yang lain juga dipengaruhi oleh adanya aktor-aktor yang yang besar dari pihak non-negara yang berkecimpung dalam sektor ekonomi. Hal ini tentu memberikan dampak ketika terjadinya interaksi yang timbul dengan adanya kemajuan yang pesat yaitu adanya kerjasama namun tidak dapat dipungkiri ketika terdapat konflik yang muncul. Frankel menyatakan bahwa perkembangan yang maju ini mengarah pada internasionalisasi alat ekonomi yang menyerahkan peran kepada institusi-institusi ekonomi internasional (Frankel, 1980).

Dunia telah sampai pada saat dimana tahap tinggal landas atau dapat disebut “take-off point”, yaitu tercapainya suatu tingkat pertumbuhan yang semakin terus-menerus dalam indeks dalam indeks populasi, produksi, dan pertukaran barang serta jasa. Selanjutnya dikatakan bahwa semenjak tahun 1950 dengan yakin menunjukkan karakteristik bahwa era sekarang ini adalah era pertumbuhan, juga ketidakseimbangan, dan semakin meningkatnya interdependensi (Coulombis & Wolfe, 1990).

Adanya fenomena industrialisasi yang terjadi pada abad ke-19 telah sukses mempercepat pertumbuhan ekonomi di negara-negara bagian Eropa Barat hampir 3 persen. Hal ini terus terjadi hingga berlanjut sampai resesi besar-besaran pada tahun 1930-an Pasca Perang Dunia kita saksikan yang tinggal lepas landas yang pada saat itu pertumbuhan ekonomi global mencapai 5 persen, hal ini tentu begitu luar biasa. Namun sangat ironis ketika pertumbuhan yang pesat ini hanya terjadi pada negara-negara Eropa Barat dan Amerika Utara sehingga terjadi ketimpangan dengan negara-negara di kawasan belahan bumi bagian Selatan 40 dengan kawasan belahan bumi bagian Utara yang lebih maju dahulu. (Soeprapto, 1997)

Tahun 1980 negara yang sudah lebih maju dan kaya mencapai yang penduduknya mencapai 23 persen dari seluruh jumlah penduduk dunia telah mencapai kekayaan senilai 77 persen kekayaan dunia, maka penduduk yang berjumlah lebih banyak yaitu sisanya telah mencapai kekayaan yang hanya 23 persen saja. Hal ini tentu menunjukkan ketimpangan dan ketidakadilan pada tata ekonomi internasional. Pada tahun ini juga telah terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi dunia yang diteruskan dengan terjadinya peningkatan jumlah penduduk dunia yang jika dapat diperkirakan mencapai dua kali lipatnya dalam kurun waktu 41 tahun.

Hal ini tentu membuat semua pihak untuk mengantisipasi adanya lonjakan supply dan demand secara global. Dan akan diperkirakan bahwa akan adanya peningkatan yang besar dalam volume serta nilai perdagangan internasional. Diadakan perjanjian perdagangan antara Amerika, Jepang, dan Jerman Barat (yang pada saat itu) telah memberi tanda bahwa terdeteksi-nya interdependensi antara negara-negara yang berteknologi maju meskipun penggolonganya masih berdasarkan regional bukan berdasar jaringan perdagangan internasional.(Soeprapto, 1997).

Perubahan orientasi ekonomi internasional yang tadinya berdasar pada subsistem regional dan berubah menjadi jaringan perdagangan global dipengaruhi oleh reorientasi persepsi dari para elit politik luar negeri Mereka berasumsi bahwa interdependensi berarti penggunaan sumber-sumber secara maksimal. Yang artinya mengurangi hambatan-hambatan perdagangan (Coulombis & Wolfe, 1990).

Pengurangan hambatan-hambatan perdagangan sama halnya dengan pengurangan proteksi. Perdagangan telah diserahkan kepada mekanisme pasar dengan melewati jalur pengurangan proteksi yang diperlukan dengan persiapan yang dilakukan dengan cara modernisasi di sektor-sektor vital untuk tujuan restrukturalisasi sehingga akan meningkatkan daya saing (Soeprapto, 1997).

Seperti yang kita tahu bahwa modernisasi sangat penting diterapkan, sebagai contoh adalah pada waktu itu Amerika Serikat telah gagal menerapkan metode-metode produksi baru sehingga dengan hal ini mereka telah kalah bersaing dengan produsen baja dari negara-negara lain, oleh karena itu Amerika Serikat menumpukan banyak penjagaan terhadap intervensi oleh pemerintah dalam memberikan kebijakan untuk pengendalian impor dengan tujuan melindungan pasar domestik (Coulombis & Wolfe, 1990).

Dengan adanya ketimpangan dan ketidakadilan yang terjadi maka ada semacam bentuk rasa penuntutan oleh negara-negara yang belum mengalami kemajuan ekonomi untuk mengubah struktur sistem internasional. Mereka menuntut adanya strategi dengan bentuk Tata Ekonomi Internasional Baru (New International Economic Order) dengan berdasarkan pemikiran keadilan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi dunia yang seimbang. Mereka melakukan desakan dengan menuntut para pemerintah untuk tidak mengejar keuntungan semata-mata bagi negaranya saja, namun juga memikirkan negara-negara ketiga sehingga dapat mendistribusi kemakmuran perekonomian secara merata.

Mereka berharap dalam jangka waktu dekat mereka dapat turut memperjuangkan ekonomi dari negara-negara Dunia Ketiga. Tuntutan ini berulang-ulang disampaikan dalam pertemuan dan konferensi di organisasi-organisasi Dunia Ketiga. Seperti konferensi PPB untuk Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) dan pertemuan Kelompok 77. Dengan keadaan ketimpangan ekonomi secara global dan adanya fenomena interdependensi maka kita harus dapat melakukan pendekatan dengan secara global di lingkungan ekonomi dunia (Soeprapto, 1997) .

Perencanaan rezim moneter internasional telah dimulai pasca Perang Dunia II dengan mulai adanya kerjasama moneter dan pengaturan kontrol devisa yang semakin memuncak pada konferensi Bretton Woods 1944. Untuk tujuan menghindari adanya kasus volatilitas nilai mata uang free float yang terjadi pada tahun 1920, dalam konferensi Bretton Woods pada saat itu berencana untuk menetapkan standar emas dimana nilai masing-masing mata uang negara dipatok senilai dengan harga emas dan dolar Amerika Serikat sebagai mata uang utama. Sebuah mata uang utama adalah mata uang yang aktor swasta dan publik bukan penduduk yang paling sering menggunakan mata uang tersebut dalam negeri saja, namun juga digunakan dalam transaksi antar perbatasan serta digunakan dalam pembelian dalam bentuk instrumen keuangan seperti obligasi (Cohn, 2012).

Pada abad ke-19 hingga sampai berakhirnya Perang Dunia II mata uang Inggris yaitu Poundsterling telah menjadi mata uang sentral dunia, namun setelah Perang Dunia II mata uang dollar Amerika Serikat berhasil merebut mata uang sentral dunia tersebut. Sehingga mata uang negara-negara yang lain kemudian ditentukan menurut nilai mata uang dollar. Setelah ditetapkan nilai tukar tersebut maka jika terjadi fluktuasi nilai tukar lebih dari 1 (satu) persen maka harus dikonsultasikan secara bersama (Soeprapto, 1997).

Konferensi di Bretton Woods yang menghasilkan sistem moneter internasional saat itu dapat berjalan dengan baik hingga pada akhir tahun 1960-an. Sistem ini berjalan dengan menggunakan standar emas dan dollar Amerika Serikat sebagai mata uang utamanya. Dengan keadaan ini berarti dapat disimpulkan bahwa Departemen Keuangan Amerika Serikat yang sewaktu-waktu bisa menjual emasnya yang berlimpah pada para pemegang mata uang dollar Amerika Serikat di seluruh dunia. Amerika dapat memanfaatkan keadaan ini dengan cara membeli emas tersebut berarti pembeli ini yang mereka adalah perusahaan-perusahaan, bank-bank dan bahkan individu-individu dari luar negeri telah menyimpan dollar. Dengan begitu mereka tentu dapat mengimpor barang ataupun jasa darimana saja (Soeprapto, 1997).

Dengan dijadikannya dollar Amerika Serikat sebagai mata uang utama berarti bahwa terdapat kepercayaan yang diberikan terhadap Amerika Serikat untuk menyokong kelancaran pada sistem moneter internasional dan tentu pernah dipengaruhi oleh faktor-faktor ekstern maupun intern dari ekonomi Amerika Serikat. Begitupun sebaliknya, akan ada pengaruh dari sistem moneter internasional terhadap perekonomian dalam negeri Amerika Serikat. Akibat adanya krisis besar dari dampak pasca perang yang mengancam kondisi sistem moneter internasional.Amerika Serikat mengalami defisit pada neraca 44 perdaganganya karena adanya persaingan dengan negara Eropa Barat dan Jepang.Neraca pembayaranya juga mengalami defisit dikarenakan akibat dari Perang Indocina (Coulombis & Wolfe, 1990).

Pada awal tahun 1970-an telah terjadi krisis besar yang melanda sistem moneter internasional yang hal ini tentu mambuat Amerika Serikat merasa sangat berat, dan dibayang-bayangi oleh berakhirnya dollar sebagai mata uang cadangan internasional. Krisis ini disebabkan oleh merosotnya nilai jual produk-produk dari Amerika Serikat yang dikalahkan oleh negara-negara yang menyainginya yaitu Eropa Barat dan Jepang. Sehingga pada tahun 1971 Amerika Serikat benar-benar mengalami penerjunan bebas dalam neraca perdaganganya hingga total nilai impornya lebih tinggi dibanding nilai ekspor-nya yang jika dihitung dari tahun 1895.

Kerugian militer Amerika di luar Amerika Serikat saat Perang Indocina yang terjadi dengan memakan waktu yang lama dari tahun (1965-1972) telah menjadi penyebab Amerika mengalami defisit dalam neraca pembayaranya. Selain itu, perusahaan-perusahaan Amerika Serikat memindahkan orientasi bisnis mereka ke negara Asia dan Eropa.Hal ini dikarenakan pertimbangan dari pembayaran upah buruh yang jauh lebih rendah. Meskipun hal ini sudah dilakukan sebagai solusi karena keuntungan dari perusahaan-perusahaan multinational ini mengalami peningkatan, namun antisipasi ini masih belum cukup untuk mengatasi defisit yang terlalu besar dan pengeluaran militer di luar negeri yang begitu besar (Soeprapto, 1997).

Hal diatas tentu memicu adanya kekhawatiran yang sangat besar oleh warga dunia dengan kondisi Amerika Serikat yang diamati semakin menurun tajam, oleh karena itu ada semacam spekulasi bahwa Amerika Serikat akan mendevaluasikan mata uangnya untuk mengatasi defisit neraca pembayaranya. Dengan kekhawatiran ini maka semua pemilik dollar berniat untuk menukarkan dollar dengan mata uang yang lebih kuat yaitu Mark Jerman, Franc Swiss, Yen Jepang atau emas Amerika Serikat. Pembelian emas terjadi dengan sangat besar di Amerika sehingga cadangan emas di Amerika menurun dari 24 miliar pada tahun 1960 menjadi 12 miliar pada tahun 1972 di Fort Knox. Kondisi cadangan emas diluar Amerika yaitu di Eropa mencapai 100 miliar dollar sedangkan di Amerika sendiri 13 miliar dollar. Hal ini juga menunjukkan cadangan emas Amerika seluruhnya dijual ke luar negeri, namun uang dollar tidak dapat ditarik seluruhnya.(Soeprapto, 1997.)

Pada tahun 1960 Amerika mencoba untuk memperkuat kontrol pada perdagangan dan transaksi modal untuk mengurangi defisit neraca pembayaran. Saat itu terjadi peralihan dari dollar menjadi emas dan meruntuhkan gold-pool agreement pada Maret 1968. Perjanjian ini disepakati pada tahun 1961 oleh delapan negara utama yaitu Belgia, Perancis, Jerman, Italia, Belanda, Swiss, Inggris dan Amerika Serikat untuk menstabilkan harga dollar Amerika Serikat dari emas ($35 per ons) di pasar London (pusat perdagangan utama untuk emas).

Gold-pool menjadi pilar utama rezim Bretton Woods.Lalu gold-pool telah ditinggalkan dan harga emas untuk transaksi resmi tetap $35 per ons namun para anggota gold-pool tidak berusaha untuk mengendalikan harga emas di transaksi pribadi, dan untuk mencegah adanya kasus arbitrase maka bank sentral sepakat untuk tidak menjual di pasar emas. Pada tahun 1968 Federal Reserve menghapus persayaratan dukungan emas 25 persen terhadap penerbitan catatan Federeal Reserve. As Bordo berpendapat bahwa efek kunci dua pengaturan ini adalah emas dimonetisasi margin akibatnya dunia beralih ke standar de facto dollar.

Sistem Bretton Woods melanjutkan operasinya hingga awal 1973, namun pada tahun 1969 ditandai oleh ekspansi besar dan tidak berkelanjutan pada dominasi dollar Amerika Serikat dalam likuiditas global, beberapa krisis valuta asing dan pengaturan ad hoc yang bertujuan untuk mempertahankan sistem. Demikian pula, Yeager berpendapat bahwa dengan konvertibilitas berakhir maka dunia berada pada de facto standar dollar daripada standar pertukaran exchange asli. Pada tahun 1971 telah terjadi krisis yang melibatkan mata uang utama dollar Amerika Serikat dan termasuk serangan terhadap mata uang Perancis yaitu franc pada tahun 1969. Lalu hal ini melatarbelakangi Nixon untuk mengeluarkan kebijakan (Hall, Hondroyiannis, Swamy, & Tavlas, 2010).

Krisis moneter yang memberikan dampak pada Amerika Serikat sehingga memunculkan kesulitan dalam defisit neraca perdaganganya, pemerintah Nixon telah mengambil kebijakan untuk mengatasi krisis ini dengan:

  1. Sebagai tindakan pertama, Pemerintah menghentikan penjualan emas kepada pihak swasta luar negeri sebagai pemegang dollar.

  2. Penghentian penjualan emas ini lalu dilanjutkan dengan menghentikan penjualan emas kepada pihak bank-bank sentral luar negeri

  3. Pemerintah Nixon membiarkan fluktuasi harga emas bergerak secara bebas di pasaran.

Kebijakan yang diputuskan oleh pemerintah Nixon dinilai tepat sehingga mampu mengembalikan kondisi ekonomi Amerika Serikat yang sudah sangat kacau. Dengan solusi tersebut maka harga emas mulai naik sehingga sempat mencapai nilai 300 hingga 800 dollar per ons sedangkan pada awal mula 35 dollar per ons. Lalu dengan keputusan untuk membiarkan fluktuasi mengikuti harga pasar secara bebas hal ini membuktikan bahwa sudah benar-benar meninggalkan sistem nilai tukar tetap yang menggunakan standar emas dan dollar yang ditentukan pasca perang (Soeprapto, 1997).

Dengan berdasarkan solusi atas krisis, maka ditentukan secara resmi penggunaan nilai tukar tidak tetap, dan membiarkan dollar mengambang secara bebas yang hal ini memicu dollar Amerika Serikat harus didevaluasi sebesar 20 persen.Karena hal ini maka defisit neraca perdagangan dapat dipulihkan. Faktor pulihnya keadaan Amerika selain dengan kembalinya neraca perdagangan, adalah berakhirnya Perang Indocina serta terkenanya dampak inflasi negara-negara pesaing Amerika Serikat yaitu Jepang dan Eropa Barat yang disebabkan oleh embargo minyak tahun 1973 dan diikuti dengan melonjaknya harga minyak OPEC (Soeprapto, 1997).