Bagaimana Revolusi Mesir (2011) dan Penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi?

Revolusi Mesir (2011) dan Penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi

Pergolakan sosial di dunia Arab dimulai pada akhir Desember 2010 yang ditandai dengan gerakan Jasmine Revolution di Tunisia, yang berhasil menjatuhkan rezim diktatorial Presiden Zine El Abidine Ben Ali.

Bagaimana Revolusi Mesir (2011) dan Penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi?

Revolusi Mesir (2011) dan Penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi


Pergolakan sosial di dunia Arab dimulai pada akhir Desember 2010 yang ditandai dengan gerakan Jasmine Revolution di Tunisia, yang berhasil menjatuhkan rezim diktatorial Presiden Zine El Abidine Ben Ali. Semangat revolusi ini kemudian mulai ditiru oleh masyarakat Mesir yang berusaha untuk menjatuhkan rezim pemerintahan Presiden Hosni Mubarak yang telah memimpin selama hampir 30 tahun sejak pembunuhan Presiden Anwar Sadat pada 16 Oktober 1981. Kemarahan masyarakat Mesir terhadap rezim ini terutama disebabkan oleh sifatnya yang semakin otoriter. Ketika baru naik menjadi Presiden, Mubarak memberlakukan Emergency Law yang pada awalnya ditujukan untuk melawan terorisme setelah pembunuhan Sadat. Namun, dalam pelaksanaannya, hukum ini sering disalahgunakan, di mana polisi dapat menangkap orang tanpa adanya tuduhan, mempenjarakan tahanan tanpa melewati proses pengadilan, pembatasan kebebasan berekspresi dan berkumpul, serta mendirikan pengadilan keamanan khusus. Tidak hanya itu, tingginya tingkat kemiskinan, pengangguran, dan korupsi di pemerintahan juga membuat masyarakat mulai resah. Kemudian Mohamed ElBaradei, mantan ketua International Atomic Energy Agency (IAEA) secara terang-terangan menantang kepemimpinan otoriter Mubarak. ElBaradei pun mulai mendapat simpati dari masyarakat yang mulai menyusun gerakan-gerakan demi menjatuhkan Mubarak dari kursi kepemimpinannya.

Dari sinilah berbagai protes akan kepemimpinan Mubarak muncul melalui penggunaan social media, seperti Facebook dan Twitter. Salah satu inisiatif yang terkenal adalah sebuah Facebook group berjudul “ We Are Khaled Said ” yang dibuat oleh seorang eksekutif Google bernama Wael Ghonim. Khaled Said adalah seorang pebisnis Mesir yang pada pertengahan tahun 2010 mendapat meninggal akibat serangan dari polisi setelah Said mencoba merekam aksi polisi ini ketika sedang membagi marijuana hasil sitaan di antara mereka. Group ini dibuat untuk mengenang Said yang menjadi korban dari kekerasan negara, yang kemudian dikembangkan menjadi tempat bagi warga Mesir untuk melaporkan tindakan polisi yang sewenang-wenang dan korupsi yang dilakukan oleh negara. Inisiatif Ghonim inipula yang menjadi medium untuk merencanakan dan mengorganisasikan protes bagi para warga Mesir. Dirinya mengatakan bahwa, “ Without the Internet, this revolution would not have happened .”

Berbekal pendukung yang ada di laman Facebook tersebut, Ghonim dan aktivisaktivis mulai menginisiasi diadakannya protes besar-besaran oleh masyarakat untuk menuntut mundurnya Presiden Mubarak. Social media kemudian digunakan untuk merencanakan dan mengorganisasi demonstrasi yang akan dilaksanakan di kota-kota besar di Mesir. Di Twitter, aktivis seperti Gigi Ibrahim (yang memiliki nama akun @Gsquare86), mulai menggunakan hashtag #25jan untuk menandakan bahwa gerakan masyarakat ini akan mulai dijalankan pada tanggal 25 Februari 2011. Pada hari itu, ribuan rakyat Mesir berbondong-bondong menjalankan protes di jalan. Meskipun pada dasarnya mereka tidak terorganisasi secara resmi, namun mereka memiliki motivasi dan semangat yang sama, yaitu untuk menghentikan rezim otoriter Mubarak.

Setelah demonstrasi dilakukan selama hampir tiga minggu sejak tanggal 25 Januari 2011, akhirnya Hosni Mubarak turun sebagai presiden Mesir dan memberikan tampuk kepemimpinannya kepada militer pada tanggal 11 Februari 2011. Dapat dikatakan bahwa usaha yang dilakukan oleh para aktivis di Mesir untuk melaksakanan transisi politik di negaranya tidak sia-sia, dan harapan bagi Mesir yang lebih demokratis di masa depan pun kembali dimiliki oleh setiap warganya.

Peran penggunaan social media dalam gerakan revolusi Mesir ini dapat dikategorikan ke dalam tiga cakupan besar:

1. Mengorganisasi Demonstrasi

Facebook dan Twitter digunakan oleh para masyarakat untuk mengorganisasi demonstrasi besar-besaran pada tanggal 25 Januari 2011 di Kairo, Alexandria, dan beberapa kota Mesir lainnya. Melalui outlet social media ini, jumlah orang yang sadar akan adanya gerakan ini mulai berkumpul dan membentuk gerakannya masing-masing. Para pengguna Twitter, contohnya, menggunakan hashtag #jan25 untuk menandai dimulainya protes terhadap rezim Mubarak. Bahkan revolusi ini sering dijuluki sebagai Facebook Revolution, akibat media yang digunakan untuk mengorganisasinya.

2. Menyebarkan Informasi

Facebook, Twitter, YouTube, dan perangkat social media lainnya digunakan untuk menyebarkan informasi—baik mengenai apa yang terjadi di lapangan ketika para demonstran melakukan protes-protes maupun penyebab kemarahan mereka terhadap rezim Mubarak. Social media juga menjadi pengganti bagi media tradisional yang dikontrol ketat oleh negara. Sebagai hasilnya, muncul para citizen journalists, yang melaporkan pandangan mata mereka.

3. Menarik Perhatian Internasional

Dalam poin ini, terdapat dua bagian. Pertama, penyebaran informasi melalui social media menarik perhatian dari media berita internasional, mulai dari Associated Press dan New York Times hingga CNN dan Al-Jazeera. Dengan social media pula, para demonstran mencoba untuk membentuk narasi bahwa protes yang mereka lakukan tidak bersifat anarkis seperti yang dicoba digambarkan oleh rezim Mubarak itu sendiri Seorang blogger Mesir, misalnya, mendorong media internasional untuk menggunakan kata-kata seperti “ revolt ” dan “ uprising ” alih-alih “ chaos ” dan “ unrest .”

Kedua, melalui social media , para aktivis mulai mencoba untuk menekan pemerintah negara-negara lain untuk mendukung aksi yang mereka lakukan, terutama pemerintahan Amerika Serikat yang salama ini menganggap Mesir sebagai sekutu terdekatnya di Timur Tengah. Pada awalnya, Washington tidak mengemukakan pernyataan apa-apa mengenai protes yang terjadi di Mesir, namun dengan semakin banyaknya informasi yang keluar dari negara ini melalui Twitter, YouTube, dan sebagainya, Washington tidak dapat lagi menutup matanya dan perlahan-lahan mulai mengubah pendirian mereka, di mana para pejabat pemerintahan AS, termasuk Presiden Barack Obama sendiri, mulai mengeluarkan pernyataan-pernyataan untuk dilaksanakannya transisi politik di negara ini.