Bagaimana reseistensi bakteri terhadap antibiotik di rumah sakit?

resistensi

Bakteri yang resisten terhadap antibiotik menjadi masalah kesehatan yang penting, terutama di rumah sakit dan sarana kesehatan. Bakteri yang resisten terhadap antibiotik dapat menyebabkan penyakit yang serius, mengancam jiwa dan sulit untuk diatasi karena terbatasnya pilihan sebagai terapi.

Resistensi Antibiotik di Rumah Sakit

Hilangnya efektifitas antibiotik sudah dilaporkan semenjak telah ditemukannya penicillin. Sejak penicillin ditemukan pada tahun 1940, banyak laporan mengenai resistensi terhadap antibiotik ini, dimulai oleh bakteri Staphylococcus aureus . Sekarang, masalah ini kembali menjadi perhatian karena mulai meningkatknya resistensi bakteri terhadap berbagai macam antibiotik ( multi drug resistance ). Organisme yang sering ditemukan yaitu Enterococcus , Psudomonas aeruginosa , S. aureus , dan Streptococcus pneumonia . Resistensi antibiotik pada strain bakteri ini akan sulit diterapi karena terbatasnya antibiotik yang dapat diberikan.

Hampir 25-40% pasien di rumah sakit mendapatkan antibiotik selama perawatan. Penelitian yang dilakukan sistem NNIS ( The National Nosocomial Infection Surveillance ) dan beberapa penelitian lain di bangsal Non-ICU dan ICU mendapatkan hubungan langsung antara penggunaan antibiotik yang tinggi terhadap insiden terjadinya resistensi obat. Studi ini menemukan tingginya bakteri yang resisten terhadap antibiotik di ICU; salah satunya bakteri Pseudomonas aeruginosa yang resisten terhadap ciprofloxacin. Selain itu, penelitian ini juga menemukan adanya pemberian terapi yang tidak sesuai atau tidak seharusnya, dosis yang tidak adekuat, serta durasi pemberian antibiotik yang tidak benar di rumah sakit. Hal ini akan dapat berakibat pada perubahan pola bakteri penyebab infeksi dan pola resistensinya terhadap berbagai antibiotik.

Resistensi antibiotik sebagai akibat dari penggunaan antibiotik pada pasien rawat jalan sulit untuk diperkirakan, karena pencatatan tidak selengkap pada perawatan selama di rumah sakit. Selain itu media diagnostik pada kebanyakan infeksi pada pasien rawat jalan masih dirasakan kurang memadai. Tetapi yang diketahui jelas bahwa tetap terdapat hubungan yang jelas antara tingginya penggunaan obat antibiotik akan disertai dengan peningkatan terjadinya resistensi bakteri terhadap antibiotik.

Peningkatan resistensi terhadap antibiotik di rumah sakit mempengaruhi perawatan pasien selama dirumah sakit. Hal-hal yang mempengaruhinya antra lain, terjadi peningkatan mortalitas dan morbiditas, misalnya pasien harus dirawat lebih lama, sehingga kemungkinan terjadinya komplikasi selama perawatan. Hal lain adalah meningkatnya biaya yang digunakan untuk mencapai kesembuhan. Misalnya pada pasien dengan infeksi methicillin-resistant S. aureus (MRSA) membutuhkan perawatan 2 hari lebih lama daripada pasien methicillin-sensitive S. aureus (MSSA). Sama halnya dengan pasien yang terinfeksi K. pneumonia yang resisten terhadap antibiotik β-lactam dan P. aeruginosa yang resisten terhadap carbapenem yang diketahui disebabkan karena pemberian terapi yang tidak adekuat. Perpanjangan masa perawatan tentunya juga meningkatkan biaya, dibutuhkan ruangan isolasi untuk pasien pada kasus-kasus tersebut di atas, biaya antibiotik yang lebih mahal, uji laboratorium sebagai diagnostik; dan upaya untuk mengontrol penyebaran lebih lanjut, seperti pembelian sabun antiseptik, sarung tangan dan jas pelindung.

Resistensi Antibiotik di Bangsal Bedah

Angka kejadian infeksi semakin meningkat terutama pada pasien usia tua, imunokompramais, pasien pasca operasi, serta pasien dengan penyakit kronik yang sulit diatasi. Pasien pasca tindakan invasif memerlukan kondisi bebas bakteri untuk mencegah terjadinya infeksi. Dalam kondisi ini pasien memiliki kerentanan terhadap infeksi sekunder. Pemberian antibiotik profilaksis sebagai pencegahan terjadinya komplikasi karena infeksi berperan terhadap kejadian timbulnya resistensi antibiotik. Hal ini menjadikan bangsal bedah sebagai salah satu tempat di rumah sakit yang berkontribusi atas timbulnya resistensi antibiotik dan penyebaran infeksi oleh bakteri yang telah resistan.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan Rumah Sakit Wan Fang, Taipei, Taiwan yang meneliti tentang kolonisasi pada pasien di ICU bedah dan bangsal, didapatkan hasil 146/180 (81.1%) bakteri pathogen, terdiri dari 81/90 (90%) isolat dari ICU bedah dan 65/90 (72.2%) dari bangsal bedah. Didapatkan Pola resistensi …, Yulika H., FK UI., 200924 jenis bakteri terbanyak adalah Coagulase-negative staphylococci (CoNS) dengan persentase tiap bangsal sebesar 44.44% (n = 40) pada ICU bedah dan 53.33% (n =48) pada bangsal bedah.Pada ICU bedah, bakteri terbanyak selanjutnya adalah Enterococcus faecalis (n = 11); Staphylococcus epidermidis (n = 10), Acinetobacter baumannii (n = 9); dan Staphylococcus aureus (n = 9) dan 5 di antaranya resisten terhadap methicillin. Pada bangsal bedah, bakteri terbanyak setelah CoNS adalah glucose non-fermenters (n = 5); Enterococcus faecalis (n = 4); Staphylococcus epidermidis (n = 4) dan Streptococcus viridans (n = 5).

Hasil penelitian di atas berbeda dari penelitian yang dilakukan oleh Bjorn Blomberg di Rumah Sakit Nasional Muhimbili, Dar es Salam, Tanzania. Didapatkan hasil dengan 5 spesies bakteri terbanyak adalah Escherichia coli (25.4%), Klebsiella pneumoniae (23.3%), Staphylococcus aureus (20.6%), Pseudomonas aeruginosa (7.9%) dan CoNS (6.5%). Dijelaskan bahwa dari 7617 isolat, 52.2% berasal dari pasien rawat inap, dimana 36.5% dari bangsal pediatrik, 22.4% dari bangsal bedah, 16.6% dari bangsal penyakit dalam, 9.8% dari bangsal obstetrik dan ginekologi, 4.9% dari ICU dan 9.8% dari lokasi lain.

1 Like