Bagaimana relasi Indonesia dan AS setelah Donald Trump terpilih sebagai presiden?

relasi Indonesia dengan AS

Amerika Serikat baru-baru ini telah mengumumkan bahwa Donald Trump terpilih menjadi presiden menggantikan Barack Obama.

Bagaimana relasi Indonesia dan AS setelah Donald Trump terpilih sebagai presiden?

Sekilas Hubungan Indonesia-AS


Terlebih dahulu perlu dijelaskan secara sekilas mengenai hubungan Indonesia-AS selama ini, terutama di bawah pemerintahan Barack Obama yang dinilai banyak orang telah membawa kemajuan cukup berarti bagi kedua negara. Dari sini nanti akan dianalisis bagaimana kira-kira hubungan Indonesia-AS ke depan setelah Trump resmi dilantik sebagai Presiden AS, pada Januari 2017, menggantikan Obama.

Tidak dapat disangkal bahwa hubungan Indonesia-AS di bawah pemerintahan Obama diwarnai oleh sejumlah pencapaian positif bagi pengembangan hubungan kerja sama kedua negara. Pada bulan November 2010, misalnya, pada saat kunjungan kenegaraan Presiden Obama ke Jakarta telah diluncurkan “US Indonesia Comprehensive Partnership” atau “Kemitraan Komprehensif Indonesia-Amerika”, yang ditandatangani langsung oleh menteri luar negeri kedua negara kala itu, Hillary Clinton dan Marty Natalegawa. Kesepakatan itu meliputi kerja sama politik dan keamanan, ekonomi dan pembangunan, sosial budaya, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan teknologi.

Kesepakatan kerja sama bilateral, yang di-review setiap tahunnya itu, kembali diperkuat dalam kunjungan kenegaraan Presiden Joko Widodo ke AS, Oktober 2015, di antaranya dengan menambahkan aspek kerja sama pertahanan, maritim, dan lingkungan hidup, selain hubungan dagang yang perlu terus diperkuat. AS merupakan mitra dagang terbesar ke-4 bagi Indonesia setelah China, Jepang, dan Singapura. Sebaliknya, Indonesia merupakan mitra dagang terbesar ke-28 bagi AS. Lima negara yang merupakan mitra dagang terbesar AS adalah Kanada, China, Meksiko, Jepang, dan Jerman.

Ekspor Indonesia ke AS meningkat 2,6% dari 18,9 miliar dollar AS tahun 2013 ke 19,4 miliar dollar AS tahun 2015. Dalam konteks yang lebih luas, hubungan Indonesia-AS yang berjalan dengan baik itu juga tercermin dalam kerangka ASEAN. Melalui KTT ASEAN-AS misalnya, AS bersama Indonesia dan negara ASEAN lainnya kerap membicarakan isu-isu global dan kawasan serta upaya peningkatan kerja sama di antara mereka. Sementara melalui ASEAN Regional Forum (ARF), AS bersama Indonesia dan negara ASEAN lainnya, sejauh ini, kerap membahas isu-isu keamanan kawasan yang menjadi perhatian bersama, di antaranya isu Laut China Selatan dan keamanan maritim di kawasan Asia Timur. Hal ini menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan politik luar negerinya, Presiden Obama mengedepankan pendekatan multilateralisme dan lebih bersedia mendengar pandangan negara lain dalam merespons isu-isu global dan kawasan.

Keterlibatan AS yang cukup intens di forum ASEAN tersebut, di mana Indonesia menjadi bagian di dalamnya, tidak dapat dilepaskan dari prioritas politik luar negeri pemerintahan Obama yang melihat bahwa kawasan Asia Timur dan Pasifik sebagai key drivers dalam kancah politik dan ekonomi dunia, sehingga AS mencanangkan abad 21 sebagai Abad Amerika di Pasifik. Pilihan ini merupakan langkah fundamental dan strategis dalam menjawab tren global yang diwarnai dengan transformasi pusat kekuatan dunia dari negara-negara Barat ke kawasan Asia. Selain tentunya juga dalam kerangka menjaga keseimbangan kekuatan (balance of power) di kawasan, terutama terhadap kekuatan China yang sedang bangkit.

Hubungan Indonesia-AS Setelah Kemenangan Trump


Setelah kemenangan Trump dalam pemilihan presiden AS, timbul pertanyaan, apakah pemerintahan baru AS di bawah Presiden Trump akan membuat kebijakan yang berbeda terhadap Indonesia, dan juga Asia? Terlalu dini untuk mengetahui secara pasti arah politik luar negeri Presiden Trump, meskipun dalam kampanye pemilihan presiden AS yang lalu, Trump memberi sinyal untuk isu-isu tertentu. Sebagai misal, jika benar Trump yang memenangi pemilihan, diplomasi AS akan lebih konfrontatif dan ofensif ketika berhadapan dengan China, sesuatu hal yang perlu dipertimbangkan dengan seksama jika ingin diterapkan pemerintahan Trump.

Trump tampaknya tidak menyadari bahwa China kini telah muncul sebagai kekuatan ekonomi baru di Asia, dan AS akan merugi jika gagal memanfaatkan pertumbuhan ekonomi China. Kemunculan kekuatan ekonomi baru di Asia Timur, termasuk ASEAN (dan Indonesia di dalamnya) juga tidak dapat diabaikan begitu saja oleh Trump, terlebih di kawasan ini AS juga memiliki kepentingan ekonomi. Pada abad ke-20 mungkin AS masih mendominasi ekonomi dan keamanan dunia, tetapi pada abad ke-21 ini telah terjadi perubahan yang mendasar dengan munculnya pusat-pusat perekonomian baru yang pasarnya masih bertumbuh (the emerging markets), seperti di Asia Timur, yang bisa menjadi mitra strategis bagi AS. Hal ini yang dilakukan pemerintahan Obama dalam politik luar negerinya, seperti terlihat dalam hubungan Indonesia-AS melalui kemitraan komprehensifnya.

Ekonomi politik dunia memang semakin dicirikan dengan saling ketergantungan yang semakin mendalam, baik melalui globalisasi keuangan maupun produksi. Kejayaan dan kebangkitan ekonomi AS setelah Perang Dunia II justru disebabkan oleh sikap terbuka dan menjangkau dunia luar melalui kerja sama, baik di tingkat regional maupun global. Jika tradisi yang sukses itu ditinggalkan, timbul pertanyaan, alternatif apa yang akan ditawarkan Trump.

Jika digunakan kerangka analisis subyektif, politik luar negeri AS kemungkinan akan mengikuti karakter dari presiden barunya, dan Trump bisa saja mengubah semua itu, termasuk capaian-capaian hubungan bilateral antara AS dan Indonesia. Namun demikian, pemerintahan Trump, dalam kerangka analisis strukturalobyektif, bisa saja akan mempertahankan (bahkan mungkin meningkatkan) capaian-capaian kerja sama bilateral AS dengan mitra strategisnya di kawasan Asia Timur, termasuk Indonesia, terlebih hal itu membawa kemanfaatan bagi AS. Dalam kerangka analisis struktural obyektif, kebijakan luar negeri AS tidak ditentukan semata oleh presiden, tetapi melibatkan mekanisme checks and balances antara eksekutif dan legislatif sehingga membatasi otoritas presiden dalam meluncurkan kebijakan-kebijakan baru. Belum lagi, secara tradisional dan kelembagaan, selain Kementerian Luar Negeri, sejumlah national agencies, seperti Kementerian Pertahanan (Pentagon), Kementerian Perdagangan, dan badan intelijen (CIA) juga dilibatkan dalam perumusan kebijakan luar negeri. Lembaga-lembaga ini tentu memiliki aturan prosedur dan kepentingan kelembagaan yang berbeda satu dengan lainnya dalam memberikan input analisis kebijakan kepada pemimpin baru, termasuk dalam soal hubungan luar negeri.

Dalam konteks hubungan Indonesia-AS, dengan berbagai pertimbangan mendalam dari kementerian dan badan terkait, bisa saja pemerintahan Trump akan mempertahankan Kemitraan Komprehensif yang sudah disepakati bersama oleh Indonesia dan AS, atau memodifikasinya menjadi lebih kuat sejalan dengan kepentingan pemerintahan AS yang baru. Hal tersebut dilakukan pemerintahan George W. Bush (dari Partai Republik) yang terus memelihara hubungan baik Indonesia-AS yang telah dirintis oleh pemerintahan AS sebelumnya di bawah kepemimpinan Presiden Bill Clinton (dari Partai Demokrat). Karena bagi AS, setiap presiden harus memanfaatkan kesempatan (opportunity) yang ada untuk menjalin hubungan luar negeri yang kuat, terutama dengan negara yang dianggap strategis dan akan memberi kemanfaatan yang besar bagi AS.

Dikaitkan dengan latar belakang Trump, sebagai pengusaha sukses yang terbiasa mengejar opportunity, hubungan bilateral Indonesia-AS dapat ditingkatkan dalam kerangka itu. Sebaliknya, bagi Indonesia, kemenangan Trump juga harus dilihat sebagai opportunity untuk membangun hubungan bilateral yang lebih kuat lagi dengan AS. Dari aspek geoekonomi misalnya, AS masih sangat strategis bagi Indonesia. AS merupakan salah satu mitra dagang utama Indonesia. AS merupakan salah satu tujuan utama pasar ekspor Indonesia, terutama untuk ekspor komoditi utama seperti karet, gas, dan minyak bumi.

Demikian juga dari sisi investasi, AS merupakan salah satu investor utama untuk Indonesia. Kerja sama yang sudah dibina selama ini telah meningkatkan arus investasi AS ke Indonesia dan perdagangan bilateral yang memberi keuntungan kepada kedua pihak. Hubungan Indonesia-AS di bawah pemerintahan Trump juga tidak bisa mengabaikan aspek keamanan kawasan. AS, yang sebagian wilayahnya (di sisi barat) mencakup perairan Pasifik, tidak bisa mengabaikan begitu saja perkembangan dan dinamika keamanan di kawasan ini. Stabilitas keamanan di kawasan ini begitu penting bagi AS yang secara tradisional memiliki kepentingan ekonomi, politik, dan keamanan, dan kehadiran Armada ke-7, sebagai salah satu penjaga kepentingan nasional AS di kawasan ini, menjadi petunjuk akan hal itu. Oleh karena itu, menjalin hubungan konstruktif dengan negara-negara di kawasan ini, yang bisa memberi “rasa aman” bagi AS, menjadi sangat penting, dan Indonesia adalah salah satunya.

Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan sejumlah selat strategis dan Alur Laut Kepulauan yang dimilikinya, tidak bisa diabaikan begitu saja oleh AS. Dari sudut kepentingan Indonesia dan keamanan kawasan, kehadiran AS di Asia juga dibutuhkan untuk mengimbangi dominasi militer China, terutama dalam kaitannya dengan isu Laut China Selatan. Masyarakat di kawasan sudah melihat bagaimana China mengabaikan putusan Mahkamah Arbitrase Internasional (PCA) yang menolak klaim kedaulatan sepihak China di Laut China Selatan. Dominasi salah satu kekuatan besar di Asia Tenggara akan mengecilkan arti ASEAN yang selama ini penuh inisiatif menyusun code of conduct dalam kerangka tata kelola konflik di Laut China Selatan demi menjaga perdamaian dan stabilitas di Asia Tenggara.

Bagaimanapun ASEAN adalah platform regional kebijakan luar negeri Indonesia yang bisa meningkatkan posisi tawar Indonesia di dunia internasional. Hubungan Indonesia-AS di bawah pemerintahan Trump, sudah tentu juga perlu dilihat dalam kerangka ASEAN. Forum KTT ASEAN-AS dan ARF, sebagaimana telah disinggung di atas, harus dimanfaatkan oleh pemerintahan Trump untuk memperkuat hubungannya dengan negara-negara kawasan, termasuk Indonesia.

Pola hubungan yang sudah terjalin lama ini tidak akan dapat segera diubah. Karena itu, yang terpenting adalah mengidentifikasi kepentingan nasional masingmasing yang ingin diperjuangkan. Satu hal penting lainnya, yang juga harus menjadi perhatian kedua negara, keberhasilan Indonesia sebagai bangsa dengan penduduk Muslim terbesar di dunia dalam menciptakan demokrasi yang relatif stabil, hendaknya bisa dipahami oleh pemerintahan Trump sebagai soft power yang menginspiriasi dunia. Dalam konteks ini, Indonesia bisa menjadi mitra yang penting bagi AS. AS dan Indonesia, sebagai negara demokrasi terbesar kedua dan ketiga, dapat berkolaborasi mempromosikan nilai-nilai perdamaian yang membawa kesejukan bagi dunia.