Bagaimana reaksi negara anggota-anggota OKI terhadap kebijakan Amerika Serikat terkait pemindahan Ibu Kota Israel ke Yerusalem?

Pernyataan Amerika Serikat mengenai pengakuan Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel mendapat banyak kecaman dari beberapa negara di seluruh dunia. Namun, bagaimana reaksi negara - negara anggota OKI terhadap kebijakan Amerika Serikat tersebut?

Respon lantang disuarakan oleh seluruh negara anggota OKI terkait sikap Amerika Serikat yang mengakui Yerusalem sebagai Ibukota Israel. Berikut merupakan beberapa pendapat dari beberapa pemimpin negara anggota OKI (Ruth Vania, 2018).

Pemimpin Iran Ayatollah Ali Khamenei menyatakan

AS mengklaim bahwa mereka sebenarnya ingin mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Palestina karena mereka payah dan gagal. Palestina akan bebas dan rakyatnya akan jadi pemenang.

Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz Al-Saud

Langkah berbahaya seperti itu akan menyulut reaksi dari muslim di seluruh dunia, karena status spesial Yerusalem dan Masjid Al-Aqsa.

Raja Yordania Abdullah II juga berpendapat bahwa

Komunitas internasonal harus bahu-membahu memegang tanggung jawab dengan mengambil keputusan tegas dan suportif untuk mencapai perdamaian dan menyelesaikan masalah Palestina."

Presiden Mesir Abdel Fattah Al-Sisi

(Pemerintah AS) jangan mempersulit situasi dengan mengambil langkah yang merusak kesempatan menuju perdamaian di Timur Tengah.

dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menyatakan bahwa

Bapak Presiden Trump, Yerusalem adalah sebuah ‘garis batas’ bagi muslim! (Pengakuan) ini bisa membuat kami memutus hubungan diplomasi dengan Israel.

Menteri Luar Negeri Qatar, Sheik Mohammed bin Abdulrahman mengatakan keputusan Trump merupakan hukuman mati bagi semua orang yang mencari kedamaian. Warga Palestina menginginkan Yerusalem Timur sebagai ibu kota negara masa depan mereka. Sementara, Israel bersikeras kota ini adalah ibu kota yang bersatu, dan tak dapat dibagi.

Respon juga datang dari Malaysia. Melalui Kementrian luar negri, Malaysia menyatakan bahwa isu Yerusalem merupakan inti dari konflik dan mendesak seluruh negara anggota PBB untuk tidak mengakui adanya perubahan di garis-garis tapal batas 1967, termasuk sehubungan dengan Yerusalem. Menteri Pertahanan Malaysia, Hishammuddin Hussein menyatakan bahwa Malaysia bersiap mengirim pasukan militernya ke Yerusalem jika diperlukan (Arie Mega Prastiwi, 2018).

Pemerintah Indonesia juga memberikan respon. Presiden Joko Widodo meminta Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dan PBB segera mengadakan sidang darurat guna membahas permasalahan ini dan meminta Presiden Trump untuk mempertimbangkan ulang akan keputusannya terhadap status kota Yerusalem (jakartaglobe.id).

Walaupun klaim sepihak AS terkait pemindahan ibukota Israel ke Yerusalem menuai penolakan dari dunia internasional namun Trump tetap bersikukuh atas sikapnya tersebut. Akhirnya masalah ini dibawa ke PBB dengan langkah Mesir mengajukan draf resolusi yang menegaskan bahwa Setiap keputusan dan tindakan yang bertujuan untuk mengubah karakter, status atau komposisi demografis Kota Suci Yerusalem tidak memiliki efek hukum, tidak berlaku, dan harus dibatalkan sesuai dengan resolusi DK-PBB. Draf ini didukung oleh 14 negara, dari 15 negara anggota DK-PBB, dan diveto oleh AS (www.aljazeera.com).

Setelah veto AS terhadap draf resolusi yang diajukan Mesir, negara-negara Arab dan anggota OKI mengajukan dilaksanakannya sidang umum di PBB. Majelis Umum PBB kemudian menggelar sidang darurat pada tanggal 21 Desember 2017. Sidang yang dilaksanakan di markas PBB, New York, berhasil menghimpun mosi penolakan dari mayoritas peserta sidang terkait kebijakan Trump atas Yerusalem. Dari total 193 negara anggota PBB 128 negara menolak kebijakan Trum, 35 negara memilih untuk abstain dan hanya 9 negara yang setuju sementara 21 lainnya memilih untuk tidak hadir saat voting berlangsung. Dengan ini PBB mengingatkan kembali bahwa status Kota Suci Yerusalem adalah final, adapun masalah yang terjadi di kota ini harus diselesaikan melalui negosiasi yang sejalan dan relevan sesuai dengan resolusi PBB (www.un.org).

Akibat dari ketetapan AS ini, kepercayaan negara-negara di dunia terhadap AS semakin menurun dan AS tidak di percaya lagi untuk menjadi mediator bagi kedua negara karena sudah jelas menyalahi resolusi PBB dan berpotensi menyulut perang antar kedua negara. Selain merespon dengan kecaman, OKI juga melakukan berbagai upaya penolakan terhadap klaim ini. Upaya yang dilakukan OKI adalah dengan melakukan Konsolidasi Internal dan Diplomasi Eksternal.