Bagaimana reaksi imigran terhadap kampanye anti-imigran Donald Trump?

Presiden Amerika Serikat ke-45 secara jelas menyatakan bahwa akan mengusir imigran dari Amerika Serikat terutama imigran yang tidak memiliki dokumen resmi. Trump mempertegas akan mewujudkan janji-janjinya saat kampanye dalam pemilihan presiden. Hal ini tentu memberikan dampak yang besar kepada Amerika Serikat dan dunia.

Trump sangat yakin dengan mengadakan pengusiran ini memberikan dampak positif terhadap Amerika Serikat. Dari keputusan itu berbagai tanggapan dari para imigran yang sudah lama menetap di AS muncul. Beberapa imigran tersebut bahkan sudah menjadi orang penting di perusahaannya. Seperti yang dikutip dari liputan6.com:

1. Sergey Brin

Pria bernama lengkap Sergey Mikhaylovich Brin ini lahir di Moskow pada 21 Agustus 1973. Bersama dengan Larry Page, ia mendirikan Google. Brin kini menjabat sebagai Presiden dari induk usaha Google, Alphabet.

Brin lahir dari pasangan keturunan Yahudi Rusia, Yevgenia and Mikhail Brin. Ia berimigrasi ke AS bersama dengan keluarganya dari Soviet Union, saat berumur 16 tahun.

Di Negeri Paman Sam itu Brin bertemu Page atau tepatnya saat kuliah di Stanford University, tempat ia meraih gelar PhD di bidang ilmu komputer.

Sebagai seorang imigran, Brin merasa harus ikut andil dalam demonstrasi kebijakan anti-imigran yang akan diterapkan oleh Trump. Namun dalam aksi protes bersama demonstran lain beberapa hari lalu, ia menegaskan bahwa tindakannya itu merupakan urusan personal dan tidak ada hubungannya dengan Google atau Alphabet.

2. Sundar Pichai

Sundar Pichai saat ini menjabat sebagai Chief Executive Officer (CEO) Google. Ia mengecam keras kebijakan anti-imigran Trump, karena dinilai dapat menghambat talenta-talenta hebat datang ke AS.

Pichai lahir di Madurai, Tamil Nadu, India, dari pasangan Lakshmi dan Ragunatha Pichai. Ia menghabiskan masa kecilnya di Madras, sekarang Chennai.

Wakil Presiden Senior Google Android, Chrome dan Apps, Sundar Pichai, tampil sebagai pembicara pada konferensi pengembang aplikasi Google I/O 2014 di San Francisco, (25/6/2014). (REUTERS/Elia Nouvelage)

Setelah lulus dari Indian Institute of Technology Kharagpur, Pichai melanjutkan pendidikan di Stanford University, hingga akhirnya bekerja dan menjadi warga negara AS.

Google sendiri memiliki banyak karyawan yang diprediksi terkena dampak kebijakan baru Trump. The Wall Street Journal mencatat, setidaknya ada 187 karyawan Google yang bekerja dan tinggal di Amerika Serikat, akan terkena dampak kebijakan imigrasi tersebut.

Perusahaan yang bermarkas di Mountain View itu telah memanggil karyawan yang ada di luar negeri untuk segera kembali ke AS.

3. Satya Nadella

Satya Naraya Nadella (Satya Nadella) menyedot perhatian besar ketika ditunjuk memimpin Microsoft, terutama di tanah kelahirannya, India. Chief Executive Officer (CEO) Micorosft ini lahir di Hyderabad, Andhra Pradesh, India, 49 tahun silam.

CEO Microsoft, Satya Nadella, saat berkunjung ke SMP Muhammadiyah 9 Jakarta. (Doc: Microsoft Indonesia)

Setelah lulus dari Manipal Institute of Technology pada 1988, Nadella hijrah ke AS untuk melanjutkan pendidikannya. Ia adalah almamater ilmu komputer di University of Wisconsin–Milwaukee dan meraih gelas MBA dari University of Chicago Booth School of Business.

Sama seperti sejumlah petinggi perusahaan teknologi lain, Nadella turut buka suara menanggapi kebijakan Trump. Melalui akun LinkedIn miliknya, Nadella menuliskan, “Sebagai seorang imigran dan CEO, saya sudah mengalami sendiri dan melihat dampak positif yang diberikan imigran kepada perusahaan kami, negara dan dunia. Kami akan selalu mendukung topik penting ini”.

(Din/Isk)

Ini adalah salah satu keputusan Persiden Amerika Serikat Donald Trump yang kontroversial, menurut saya Negara sekelas Amerika tidak seharusnya memberlakukan kebijakan seperti ini, karena negara ini adalah negara maju yang sangat banyak dikunjungi oleh warga dunia tanpa terkecuali.

Di Negara ini pun banyak penduduk yang berasala dari Negara lain, dan sebagian dari mereka adalah pekerja yang memang dibutuhkan oleh perusahaan yang bermarkas di Amerika sendiri.

Menurut saya keputusan seperti ini malah akan merugikan mereka sendiri karena dengan diberlakukan peraturan seperti itu akan banyak dari para pekerja yang di deportasi ke negara asalnya hal ini jelas merugikan perusahaan yang mempekerjakan mereka. Jika perusahaan sampai merugi, maka imbasnya tidak hanya kepada perusahaan yang bersangkutan saja, tetapi bisa berimbas ke negara yang membuat keputusan tersebut. Pada akhirnya jika hal semacam ini terlalu lama dibiarkan maka lambat laun perekonomian Negara ini akan menurun dan berimbas luas kepada masyarakat nya.

1 Like