Bagaimana proses pengesahan suatu perjanjian internasional?

Perjanjian internasional adalah suatu persetujuan yang dibuat antara negara dalam bentuk tertulis dan diatur oleh hukum internasional, apakah dalam instrumen tunggal atau dua atau lebih instrumen yang berkaitan dan apapun nama yang diberikan padanya

Bagaimana proses pengesahan suatu perjanjian internasional ?

Pengesahan suatu Perjanjian Internasional dapat dilihat berdasarkan dua kondisi, yaitu Berdasarkan Hukum Internasional dan Berdasarkan Hukum Nasional

Berdasarkan Hukum Internasional


Pengaturan hukum internasional mengenai perjanjian internasional terdapat dalam Konvensi Wina 1969. Konvensi ini mengatur perjanjian internasional antar negara secara komprehensif, mulai dari persiapan, pembuatan, pelaksanaan, sampai pada kapan dan bagaimana suatu perjanjian internasional berakhir.

Konvensi yang terdiri dari delapan bagian dan 85 Pasal ini dihasilkan oleh International Law Commision (ILC) atau Komisi Hukum Internasional PBB yang dibentuk berdasarkan Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa No. 174/II tahun 1947.

Pihak-pihak yang bermaksud untuk membuat atau merumuskan suatu perjanjian internasional biasanya terlebih dahulu melakukan pendekatan- pendekatan baik yang bersifat informal maupun formal.

Setelah langkah- langkah informal seperti pertemuan antar menteri dan kepala negara dirasa cukup, langkah selanjutnya adalah pendekatan formal seperti penunjukan wakil-wakil masing-masing pihak yang diberikan tugas dan kewenangan untuk mengadakan perundingan, penyerahan surat kuasa atau pertukaran kuasa penuh (full powers) oleh wakil-wakil masing-masing pihak, perundingan untuk membahas materi yang akan dimasukkan dan dirumuskan sebagai klausul perjanjian dan penerimaan naskah perjanjian (adoption of the text).

Penerimaan naskah bermakna sebagai konstatering formal dari negara-negara peserta konferensi, bahwa konferensi internasional telah berhasil merumuskan suatu naskah perjanjian internasional yang tidak dapat diubah lagi.

Naskah yang telah diterima kemudian melalui langkah otentifikasi naskah perjanjian (authentication of the text), yang merupakan tindakan resmi dari negara peserta dan bermakna bahwa naskah perjanjian telah diterima negara peserta dengan pencantuman tanda tangan atau paraf pada lembar- lembar naskah perjanjian. Pencantuman tanda tangan/paraf, belum menjadikan negara peserta konferensi terikat pada perjanjian internasional.

Agar perjanjian yang telah terotentifikasi tersebut dapat mengikat sebagai hukum positif, maka para pihak perlu menyatakan persetujuannya untuk terikat secara tegas pada perjanjian sebagai pernyataan persetujuan untuk terikat pada perjanjian (consent to be bound by a treaty).

Persetujuan ataupun penolakan untuk terikat pada suatu perjanjian adalah manifestasi dari kedaulatan setiap negara. Sebagai negara berdaulat tentunya tidak bisa dipaksa oleh kekuatan apa pun untuk menerima sesuatu yang tidak dikehendakinya, seperti menyatakan terikat pada suatu perjanjian internasional.

Beberapa cara untuk menyatakan persetujuan untuk mengikatkan diri pada perjanjian internasional ditentukan di dalam perjanjian itu sendiri sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam konvensi.

Pasal 11 Konvensi Wina 1969 menentukan beberapa cara untuk menyatakan persetujuan untuk terikat pada suatu perjanjian, yaitu dengan penandatanganan (signature), pertukaran instrumen yang membentuk perjanjian (exchange of instruments constituting a treaty), ratifikasi (ratification), akseptasi (acceptance), persetujuan atau aksesi (approval), atau cara lain yang disetujui dalam perjanjian.

  1. Persetujuan untuk Terikat pada Perjanjian melalui Penandatanganan Kesepakatan yang dituangkan melalui penandatanganan dalam perjanjian internasional diatur dalam Pasal 12 konvensi yang menjelaskan sebagai berikut:

    1. The consent of a State to be bound by a treaty is expressed by the signature of its representative when:
    (a) the treaty provides that signature shall have that effect;
    (b) it is otherwise established that the negotiating States were agreed that signature should have that effect; or
    ( c) the intention of the State to give that effect to the signature appears from the full powers of its representative or was expressed during the negotiation.

    2. For the purposes of paragraph 1:
    (a) the initialling of a text constitutes a signature of the treaty when it is established that the negotiating States so agreed;
    (b) the signature ad referendum of a treaty by a representative, if confirmed by his State, constitutes a full signature of the treaty.

    Dari kutipan di atas, terlihat bahwa yang melakukan penandatanganan adalah wakil dari negara yang melakukan perundingan sebagai bentuk persetujuan dari negaranya itu masing- masing untuk terikat pada perjanjian. Disebutkan dalam ayat 2 pasal yang sama bahwa pemarafan atas naskah perjanjian adalah merupakan penandatanganan atas perjanjian yang disetujui oleh negara yang melakukan perundingan, termasuk penandatanganan ad referendum (signature ad referendum) atas suatu perjanjian oleh wakil.

    Negara yang menandatangani perjanjian mempunyai kewajiban untuk tidak melakukan tindakan yang akan menggagalkan maksud dan tujuan perjanjian itu sampai negara tersebut menyatakan secara jelas apakah akan mengikatkan diri atau tidak kepada perjanjian tersebut. Peringatan tersebut tercantum di dalam Pasal 18 konvensi yang secara tegas menyatakan bahwa setiap pihak yang telah menyatakan persetujuannya melalui cara apa pun wajib menjalankan kewajibannya berdasarkan perjanjian tersebut.

  2. Persetujuan untuk Terikat pada Perjanjian melalui Pertukaran Instrumen yang Membentuk perjanjian
    Pasal 13 konvensi menegaskan bahwa persetujuan suatu negara untuk terikat pada suatu perjanjian dengan melalui cara-cara pertukaran instrumen tentang pembentukan perjanjian merupakan persetujuan terikat, apabila:

    1. Instrumen tersebut menetapkan bahwa pertukaran itu memiliki efek sebagai pernyataan persetujuan untuk terikat pada perjanjian itu; atau
    2. Sebaliknya ditentukan jika negara-negara itu menyepakati bahwa pertukaran instrumen akan menimbulkan akibat bahwa mereka terikat pada perjanjian itu.
  3. Persetujuan untuk Terikat pada Perjanjian melalui Ratifikasi, Akseptasi atau Persetujuan
    Persetujuan untuk mengikatkan diri pada perjanjian yang dinyatakan dengan ratifikasi, akseptasi, atau persetujuan diatur dalam Pasal 14 konvensi, sebagai berikut:

    1. Persetujuan suatu negara untuk terikat pada suatu perjanjian dinyatakan dengan cara ratifikasi, apabila:
      (a) perjanjian itu sendiri menentukan bahwa persetujuan untuk terikat pada perjanjian itu dinyatakan dengan cara ratifikasi;
      (b) ditentukan sebaliknya bahwa negara-negara yang melakukan perundingan menyepakati bahwa dibutuhkan adanya ratifikasi;
      (c ) utusan dari negara yang telah menandatangani perjanjian tunduk pada tindakan ratifikasi; atau
      (d) adanya kehendak dari negara yang menandatangani perjanjian untuk meratifikasi kemudian sebagaimana yang dinyatakan di dalam kuasa penuh (full powers) utusan negara tersebut atau dinyatakannya selama perundingan berlangsung.

    2. Persetujuan suatu negara untuk mengikatkan diri pada perjanjian dengan cara penerimaan (acceptance) atau persetujuan (approval) juga didasarkan pada kondisi/persyaratan yang sama dengan persetujuan untuk terikat pada perjanjian dengan cara ratifikasi.

    Ketentuan ini pada dasarnya mengatur mengenai persetujuan negara untuk mengikatkan diri pada perjanjian dengan cara ratifikasi, sedangkan cara pengikatan diri dengan penerimaan atau persetujuan sebagaimana dinyatakan pada ayat (2), didasarkan pada kondisi/persyaratan yang sama dengan persetujuan untuk terikat pada perjanjian dengan cara ratifikasi.

    Perjanjian internasional yang persetujuan terikatnya dilakukan dengan cara-cara tersebut dari segi substansinya tergolong sebagai perjanjian yang penting baik bagi para pihak yang bersangkutan maupun masyarakat internasional pada umumnya.

    Ratifikasi adalah tindakan pengesahan/penguatan dari badan yang berwenang (treaty making powers) suatu negara atas persetujuan yang bersifat sementara (ad referendum) oleh para utusan/wakilnya melalui penandatanganan atau pemarafan.

    Persoalan bagaimana suatu ratifikasi dilakukan, hukum internasional menyerahkan sepenuhnya kepada negara peserta perjanjian berdasarkan hukum nasional yang berlaku di negaranya. Hukum internasional hanya mengatur dalam hal apa saja persetujuan suatu negara untuk terikat pada suatu perjanjian memerlukan ratifikasi.101

  4. Persetujuan untuk Terikat pada Perjanjian melalui Aksesi
    Kesepakatan untuk mengikatkan diri pada perjanjian yang dinyatakan dengan aksesi diatur dalam Pasal 14 konvensi, sebagai berikut:

    Persetujuan dari suatu negara untuk terikat pada suatu perjanjian internasional dinyatakan dengan cara aksesi, apabila:

    1. Perjanjian itu sendiri menentukan bahwa persetujuan tersebut dapat dinyatakan dengan cara aksesi;

    2. Ditentukan sebaliknya, bahwa Negara-negara yang akan melakukan perundingan menyepakati bahwa persetujuan demikian itu dapat dinyatakan dengan cara aksesi;

    3. Semua pihak kemudian telah menyetujui bahwa persetujuan yang demikian itu dapat dinyatakan dengan cara aksesi.

    Aksesi merupakan persetujuan terikat pada suatu perjanjian internasional oleh negara yang tidak ikut serta dalam perundingan perjanjian terkait atau negara tersebut karena hal-hal tertentu tidak dapat memenuhi syarat untuk menjadi pihak dalam suatu perjanjian dengan penandatanganan atau ratifikasi.

    Dalam hal aksesi tanpa syarat, setiap negara yang tidak ikut serta dalam pembuatan perjanjian apabila di kemudian hari ingin mengikatkan diri maka negara tersebut dapat melakukannya kapan saja. Namun adakalanya negara yang ingin melakukan aksesi harus memenuhi persyaratan dan kategori tertentu, misalnya the Antartic Treaty Enviromental Protocol 1991, dalam Pasal 21 dinyatakan bahwa protokol tersebut terbuka untuk diaksesi bagi negara mana pun sepanjang negara tersebut menjadi pihak dalam the Antartic Treaty.

    Kesepakatan dengan cara aksesi merupakan cara yang biasa di mana negara dapat menjadi pihak perjanjian yang sebelumnya tidak ditandatangani. Kesepakatan yang dilakukan dengan cara aksesi dimungkinkan dalam hal perjanjian itu sendiri memperbolehkannya, atau negara-negara perunding telah menyetujui atau sesudahnya telah menyetujui bahwa kesepakatan melalui cara aksesi tersebut akan terjadi pada negara yang dimaksud. Aksesi juga terkait dengan persoalan perjanjian internasional dengan bentuk yang khusus atau tertutup dan terbuka.

    Penentuan saat mulai berlakunya suatu perjanjian internasional (entry into force of a treaty) pada hakikatnya sangat bergantung pada para pihak yang mengadakan perundingan. Konvensi Wina 1969 hanya mengatur mengenai mulai berlakunya suatu perjanjian internasional dalam satu pasal saja, yakni Pasal 24 ayat 1, 2, 3 dan 4 yang pada dasarnya mengembalikan waktu kepada kesepakatan para pihak dan/atau waktu ketika kesepakatan itu terjadi.

    Setelah terikatnya setiap pihak yang terlibat dalam perundingan, langkah selanjutnya adalah penyimpanan naskah perjanjian (depository of a treaty) kepada negara yang ditunjuk atau kepada organisasi internasional. Maksud dan tujuan dari penunjukan ini adalah penyimpanan administratif yang baik dan tertib, arsip dan dokumentasi yang bernilai dan otentik untuk masa yang akan datang serta bahan informatif bagi khalayak umum.

    Langkah terakhir dalam proses pengesahan perjanjian internasional dalam hukum internasional adalah dengan melakukan pendaftaran dan pengumuman perjanjian (registration and publication) kepada Sekretariat PBB dan dipublikasikan secara luas melalui the United Nations Treaty Series (UNTS).

Berdasarkan Hukum Nasional


Pengesahan suatu perjanjian internasional oleh pemerintah Indonesia didasarkan pada Pasal 9 ayat (2) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (selanjutnya disebut sebagai UUPI) yaitu perjanjian internasional disahkan dengan Undang-undang atau Keputusan Presiden atau Peraturan Presiden (sesuai Pasal 7 UU No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan).

Pasal 10 UUPI menetapkan bahwa perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang apabila berkenaan dengan:

  • Masalah politik, pertahanan dan keamanan negara;
  • Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara;
  • Kedaulatan atau hak berdaulat negara;
  • Hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
  • Pembentukan kaidah hukum baru;
  • Pinjaman dan/atau hibah luar negeri.

Sedangkan pengesahan perjanjian internasional yang materinya tidak termasuk materi sebagaimana dimaksud Pasal 10, dilakukan dengan Keputusan Presiden (Pasal 11).