Bagaimana proses jalannya diplomasi dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia?

Bagaimana proses jalannya diplomasi dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia?

Dalam upaya untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Para pejuang kemerdekaan tidak hanya menggunakan kekerasan fisik, tapi juga melalui kegiatan diplomasi. Bagaimana proses jalannya diplomasi dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia?

Berbagai pertempuran lokal yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia merupakan sebuah wujud perlawanan rakyat terhadap aksi Kolonialisme Belanda. Belanda sangat membahayakan masa depan keberadaan Republik Indonesia. Keinginan Belanda bercokol di Indonesia setelah Perang Dunia II memiliki tujuan menjadikan Indonesia bagian dari negaranya. Belanda tidak ingin begitu saja kehilangan Sumber Daya Manusia (SDM) dan Sumber Daya Alam (SDA) berlimpah-limpah untuk membangun kembali negaranya setelah Perang Dunia II yang ada di Indonesia.

Penjajahan Belanda yang telah terjadi selama berabad-abad menyebabkan rasa trauma bagi masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Rakyat Indonesia yang mendukung Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 mulai melakukan pergolakam sebagai bentuk perlawanan terhadap Belanda. Perlawanan terhadap pihak kolonial Belanda merupakan keinginan murni rakyat Indonesia, yang muncul dari atas kesadaran sebagai bangsa yang telah merdeka.

Munculnya perjuangan fisik, perjuangan para pejuang, laskar dan tentara yang diawali oleh rasa kecemasan rakyat Indonesia terhadap pendudukan Belanda di masa awal kemerdekaan. Sehingga menimbulkan keresahan juga pada pihak pemerintah Kolonial Belanda di Indonesia, oleh karena itu Letnan Gubernur Jendral Dr. H. J. van Mook sebagai wakil Belanda di Indonesia menyadari situasi tersebut. Pergolakan rakyat harus segera diredam hingga Van Mook bersama direktur kabinetnya Dr. P. J. A Idenburg berinisiatif menawarkan suatu perundingan untuk menyelesaikan konflik kepada pihak Republik Indonesia.

Van Mook menawarkan sebuah kerjasama, rencana tersebut ditolak oleh Soekarno Hatta dengan alasan mau bekerja sama apabila pemerintah Belanda setelah terlebih dahulu mengakui keberadaan Republik Indonesia sebagai pengakuan de facto. Penolakan tersebut menimbulkan reaksi negatif pemerintah Belanda di negeri Belanda. Kecemasan dan keresahan di kalangan politisi dan petinggi Pemerintah Belanda keras kepala, tetap pada pendiriannya tidak akan mengakui kemerdekaan Indonesia karena hal tersebut berarti menyatakan diri telah mengintervensi sebuah negara merdeka. Namun selalu mendesak Indonesia untuk segera melaksanakan perundingan, dengan harapan dapat segera dibentuk sebuah Uni antara Belanda dan Indonesia demi masa depan yang lebih baik.

Berbagai Macam Perundingan

1. Perundingan di Hoge Veluwe

Perundingan ini resmi dibentuk pada tanggal 13 Maret 1946 kemudian diteruskan pada tanggal 16 dan 17 Maret 1946. Delegasi Belanda adalah Perdana Menteri Prof. Dr. Ir. W. Schermerhorn dan delegasi Republik Indonesia dipimpin oleh Sutan Syahrir. Pihak Inggris bertindak sebagai penengah yang diwakili oleh Sir Archibald Clark Kerr (kemudiaan menjadi Lord inverchapel). Perundingan-perundingan itu dilanjutkan di Hoge Veluwe Negeri Belanda. Perundingan membicarakan masalah pengakuan kedaulatan Indonesia dan penyelesaian masalah politik di Indonesia dan didasarkan atas persetujuan antara Syahrir dan Van Mook terlebih dahulu. Menurut Van Mook, penyelesaian masalah politik harus dibicarakan terlebih dahulu, menurutnya kemelut dalam politik dapat menghalangi jalannya perundingan ke arah penyelesaian. Sir Archibald Clark Kerr sebagai penengah berhasil meyakinkan kedua belah pihak.

Akhirnya, kerjasama antara pihak Indonesia dan pihak Belanda terbentuk dalam panitia kecil rapat pleno. Keselapahaman antara Indonesia-Belanda baru berhasil pada tanggal 27 Maret 1946 yang dikenal dengan Naskah Persetujuan Pendahuluan. Naskah ini dijadikan titik tolak dalam perundingan selanjutnya antara pihak Belanda dan Indonesia. Naskah persetujuan pendahuluan tersebut ditandatangani oleh Soetan Syahrir dan Van Mook pada tanggal 30 Maret 1946 yang dikenal dalam sejarah sebagai “Batavia Concep” atau Rumusan Jakarta.

Perundingan Hoge Veluwe yang telah mencapai kesepakatan ternyata menimbulkan pertentangan di negeri Belanda. Pemerintah Belanda dan kabinetnya tidak menyetujui isi persetujuan tersebut. Belanda menentang disejajarkan kedudukannya dengan Indonesia.

Akhirnya dilakukan lagi pertemuan antara delegasi Indonesia dan Belanda pada tanggal 4 November 1946. Pembahasan masalah pembentukan Uni Belanda-Indonesia ternyata tidak mendapat persetujuan dari pihak delegasi Indonesia. Indonesia lebih menghendaki hubungan antara Indonesia-Belanda didasari pada persamaan derajat sesuai apa yang diinginkan oleh Ratu Wihellmina. Usul pemerintah Belanda mengenai pembentukan Uni Belanda-Indonesia tidak dapat diterima oleh Syahrir karena usul tersebut sulit diterima oleh rakyat Indonesia. Akhirnya, masalah tersebut akan dibicarkan lebih lanjut pada tanggal 4 November 1946 dalam suatu perundingan yang disebut dengan perundingan Liggarjati.

2. Perundingan Linggarjati

Perundingan Linggarjati yang diadakan di Kuningan, Jawa Barat melahirkan kesepakatan berbentuk naskah persetujuan pada tanggal 15 November 1946. Bagi delegasi Indonesia, kesepakatan itu merupakan titik awal pengharapan rakyat Indonesia yang benar-benar berharap perdamaian telah tercapai. Belakangan diketahui bahwa ternyata Soekarno-Hatta tidak memahami pasal-pasal kesepakatan tersebut karena dalam perundingan Hoge Veluwe mereka tidak dihadirkan.

Dapat disimpulkan bahwa perundingan Linggarjati sudah berhasil mewujudkan suatu naskah persetujuan antara pihak Indonesia dengan Belanda. Sekalipun masih ada masalah-masalah yang akan dirundingkan di Jakarta nanti, perundingan Linggarjati selesai. Komisi Jenderal menuju Cirebon untuk bertolak ke Jakarta dengan menumpang pesawat amphibie Catalina, kemudiaan rombongan Syahrir kembali ke Jakarta dengan mobil. Sekembalinya Komisi Jendral dari Linggarjati, persetujuan itu ditanda tangani oleh kedua orang ketua delegasi di rumah kediaman Syahrir di Jakarta pada tanggal 15 November 1946. Akhirnya naskah persetujuan Linggarjati dapat di tanda tangani kedua pihak pada rapat penututupan, pada pukul 13.30.

3. Perundingan Renville

Akibat gagalnya dua perundingan sebelumnya, memaksa Belanda untuk melakukan serangan Agresi Militer I terhadap Indonesia sebagai bentuk protes macetnya diplomasi. Serangan Belanda tersebut mengakibatkan situasi politik semakin mempersulit kedua belah pihak untuk mencapai kompromi dengan penyelesaian dalam meja perundingan.

Komisi Tiga Negara juga ditugaskan untuk menentukan tempat perundingan. Sesuai dengan keinginan Republik sebab Republik tidak bersedia mengadakan pertemuan dengan Belanda di Yogyakarta atau di Jakarta, hanya bersedia mengadakan di suatu tempat netral. Komisi Tiga Negara berusaha menentukan tempat tersebut dan ditemukanlah sebuah kapal milik Amerika. Dalam hal ini Amerika merupakan pendukung dalam penyelesaian persoalan Indonesia. Kapal milik Amerika “US Renville” digunakan sebagai tempat perundingan antara Belanda-Indonesia. Perundingan tersebut mengenai arti gencatan senjata agar dapat dipahami oleh kedua belah pihak. Pertemuan yang diadakan di atas kapal “US Renville” disebut dengan perundingan Renville dan dibuka secara resmi pada tanggal 8 Desember 1947 di bawah pimpinan Herremans wakil Belgia dalam Komisi Tiga Negara.

4. Perundingan KMB

Kemenangan politik telah dicapai oleh pihak Indonesia melalui naskah pernyataan Roem-Roijen tanggal 7 Mei 1949. Hasil perjuangan diplomasi yang tidak sia-sia bagi bangsa Indonesia. Kemenangan yang diperoleh karena dari adanya campur tangan PBB, telah memberikan bantuannya untuk Indonesia dalam menyelesaikan masalah secara damai. Naskah pernyataan Roem-Roijen memberikan jalan menuju ke perundingan selanjutnya yang dilaksanakan dalam suatu Konferensi Meja Bundar di Den Haag. Indonesia berharap perundingan yang dilanjutkan KMB diharapkan dapat memberi kemenangan politik, kemenangan yang telah lama dicita-citakan.

KMB di Den Haag dikenal dengan Konferensi Den Haag merupakan perundingan akhir untuk mewujudkan perdamaian antara kedua belah pihak. Persiapan dilakukan oleh komisi PBB berdasarkan resolusi Dewan Keamanan. Inti Resolusi Dewan Keamanan PBB berbunyi bahwa komisi bermaksud mengundang wakil-wakil dari daerah-daerah lain diluar kekuasaan Republik Indonesia untuk turut serta dalam perundingan yang akan diadakan kemudian.