Bagaimana prinsip-prinsip dasar Kekuasaan menurut Islam ?

prinsip-prinsip dasar Kekuasaan menurut Islam

Setiap pimpinan pasti mempunyai kekuasaan. Kekuasaan mempunyai konsekuensi yang berat, oleh karena itu, perlu adanya panduan bagaimana kita mengelola kekuasaan yang kita miliki agar dapat selamat di dunia maupun di akhirat.

Bagaimana prinsip-prinsip dasar Kekuasaan menurut Islam ?

Yang dimaksud dengan prinsip-prinsip dasar adalah dasar-dasar atau asas-asas kebenaran fundamental, petunjuk peraturan moral yang terkandung dalam suatau ajaran yang dijadikan sebagai landasan berpikir, bertindak, dan bertingkah laku manusia dalam mengelola suatu negara. Terdapat beberapa prinsip dan dasar dalam mengelola kekuasaan didalam politik Islam antara lain:

Prinsip Amanah


Kekuasaan itu merupakan amanah. Kedaulatan yang mutlak dan legal adalah milik Allah. Kepercayaan itulah yang merupakan satu-satunya titik awal dari filsafat politik dalam Islam. Kedaulatan mutlak dalam pandangan Jamal al-Banna dikenal dengan termninologi keimanan, menurutnya, iman adalah prinsip dasar Islam yang pertama dan utama bagi pengelolaan hidup bermasyarakat dan bernegara. Pendapat senada juga disampaikan oleh Husain Haikal, dengan istilah yang berbeda, yaitu tauhid. Tauhid (Ketuhanan Yang Maha Esa) adalah suatu prinsip yang menghimpun seluruh menusia kepada Tuhan. Inilah prinsip umum (universal) sebagai landasan prinsip-prinsip Islam lainnya. Prinsip ini terdapat dala firman Allah dalam Q.S Ali Imaran 3: 64.

Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah”. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”.

Prinsip Persaudaraan (Ukhuwah)


Islam menghapuskan dinding pemisah yang membedakan antara manusia yang satu dengan yang lain. Persaudaraan yang dimaksud dalam Islam adalah persaudaraan yang bersih dari segala macam pamrih karena semata- mata didasarkan pada rasa keadilan yang terjalin dalam kasih sayang dan kemauan sendiri tanpa paksaan. Persaudaraan seagama inilah yang kemudian dikenal dengan istilah ukhuwwah Islamiyah. Jadi, manusia dalam Islam adalah bersaudara. Diantara mereka tidak ada yang lebih utama, kecuali karena amal-amalnya yang baik. Sebagian dari mereka tidak boleh diistimewakan melebihi sebagian yang lain.

Jalinan persaudaraan tidak hanya berlaku dalam intern umat Islam saja, namun persaudaraan juga harus dijalin diantara umat Islam dengan umat-umat non Islam. Al-Qur’an tidak pernah mempermasalahkan persoalan ini. Bahkan Nabi Muhammad telah memberi contoh tentang bagaimana perlunya menjalin persaudaraan dengan umat diluar Islam tatkala melakukan hijrah ke Madinah. Tindakan Nabi menurut Haikal secara tidak langsung bisa dijadikan landasan dasar bagi umat Islam dalam menjalin persaudaraan demi keutuhan negara Islam. Nabi telah membuktikan bahwa persaudaraan akan menjamin kesejahteraan, keamanan, dan kemajuan bagi suatu bangsa, khususnya Islam.

Persaudaraan sebagai landasan dasar bagi negara Islam memang sangat diperlukan, sebagaimana Nabipun tidak menganggap enteng akan perlunya persaudaraan. Keseriusan Nabi dapat terliha dengan memasukkannya masalah persaudaraan dalam beberapa pasal pada Piagam Madinah.

Prinsip Persamaan antar Manusia (al-Musāwah)


Semua manusia sama dan sederajat dalam hak, kewajiban dan tanggung jawab mereka. Tidak ada keistimewaan yang diberikan atas satu orang dengan yang lainnya tanpa pengecualiaan. Artinya, setiap individu dalam negara memiliki semua hak, kebebasan dan kewajiban yang juga dimiliki yang lain tanpa dikriminasi apapun, baik ras, golongan, etnik maupun agama. Kepala negara dan rakyat pada umumnya memiliki kesederajatan didepan hukum. Kepala negara dalam Islam tidak memiliki kekebalan atau legitimasi kesucian teologis seperti halnya doktrin Kristiani. Jika seorang kepala negara melakukan tindak pidana, maka kepala negara dapat dihukum sebagaimana pelaku pidana lainnya didalam peradilan biasa.

Islam tidak membeda-bedakan manusia berdasarkan warna kulit, suku bangsa, bahasa dan ras, tetapi berdasarkan ketakwaannya kepada Allah (QS. Al-Hujarat, 49:13). Karena itu, tidak ada seorang pun yang berhak memperoleh perlakuan khusus didepan hukum. Nabi Muhammad Saw, mengajarkan bahwa kehancuran suatu bangsa diawali oleh sikap diskriminasif penegak hukum. Mereka menghukum rakyat jelata yang bersalah, tetapi membiarkan para bangsawan atau elit masyarakat yang melakukan tindakan melawan hukum.

Islam mengakui prinsip perbedaan dalam potensi dan kemampuan. Oleh karena itu, semua potensi dan kemampuan diberi hak yang sama. Konsekuensi dari pemberian hak-hak sosial yang sama, negara harus menjamin kesejahteraan kepada setiap keluarga baik dalam kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup dan kesempatan mendapatkan pendidikan yang sama sesuai dengan bakat dan kemampuan. Adapun dalam konteks kesetaraan hak-hak ahlu al-Dhimmi (non Muslim), tidak ada perbedaan antara ahlul dhimmi dengan kaum Muslimin dalam hak-hak sosial mereka kecuali perbedaan dalam hal Aqidah. Kesetaraan dalam perspektif ini adalah memperlakukan kaum Muslimin sesuai dengan aqidah mereka dan memperlakukan ahlu al-Dhimmi tidak sesuai dengan aqidah mereka. Namun diluar itu, ahlu al-Dhimmi memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan kaum Muslimin dalam segala hal.

Prinsip kebebasan (al-Hurriyah)


Negara harus melindungi dan menjamin kebebasan terhadap warganya, selama hal itu tidak bertentangan dengan hukum shara‟. Karena dengan kebebasan, manusia dapat mencapai kebahagiaan dan kemajuan dalam hidupnya. Islam memberi kebebasan beragama, berpikir, kebebasan berpolitik, kebebasan menyampaikan pendapat, kebebasan mendapatkan ilmu, kebebasan kepemilikan, kebebasan dari kemiskinan, rasa takut dan kebebasan untuk memerangi kezaliman. Penerapan ajaran kebebasan, khususnya kebebasan berfikir, dalam suatu negara mendorong rakyat dari negara bersangkutan untuk maju dan berkembang. Termasuk bebas dari rasa takut dan rasa lapar, sebagai syarat mutlak agar dapat hidup sejahtera dan tenteram. Prinsip ini terdapat dala firman Allah Swt, dalam Q.S Al-Baqarah, 2 : 256,

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.

Q.S Al-Ma’idah, 5:42,

Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.

Prinsip Keadilan (al-„Adalah)


Salah satu ciri khas kehidupan Islami dan masyarakat muslim adalah ditegakkannya keadilan sebagaimana firman Allah Swt, diantaranya dalam Q.S Al-Ma’idah, 5:42. Keadilan merupakan nilai-nilai kemanusiaan yang asasi dan menjadi pilar bagi berbagai aspek kehidupan, baik kehidupan individu, keluarga, dan masyarakat. Keadilan adalah memberikan sesuatu kepada setiap anggota masyarakat sesuai dengan haknya yang harus diperoleh tanpa diminta; tidak bersifat berat sebelah, atau tidak memihak kepada salah satu pihak, mengetahui hak dan kewajiban serta megerti mana yang benar dan mana yang salah, bertindak jujur dan tepat menurut peraturan yang diterapkan. Keadilan tersebut tidak mungkin terealisasi jika tidak ada suatu sistem atau lembaga yang menegakkannya. Keadilan yang dimaksud adalah keadilan ekonomi dan keadilan dalam hukum, Keadilan dalam menentukan kebijakan, dan keadilan dalam perlindungan anak. Ketika sebuah negara mampu menciptakan keadilan akan dapat menciptakan suatu negara ideal tanpa adanya penindasan dan eksploitasi, sehingga rakyat merasa mulia dan terhormat.

Prinsip Musyawarah (al-Shura)

Dalam Alquran ada dua ayat yang menggariskan prinsip musyawarah sebagai salah satu prinsip dasar dalam Islam. Ayat pertama terdapat dalam surah al-Syura, 42: 38 (…sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah…), sedang ayat kedua terdapat dalam surah Ali Imran, 3:159 (…dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu…).

Ayat pertama menggambarkan bahwa dalam setiap persoalan yang menyangkut masyarakat atau kepentingan umum Nabi Muhammad Saw, selalu mengambil keputusan setelah melakukan musyawarah dengan para sahabatnya. Ayat kedua menekankan perlunya diadakan musyawarah, atau lebih tegasnya umat Islam wajib bermusyawarah dalam memecahkan setiap masalah kenegaraan. Kewajiban ini terutama dibebankan kepada setiap penyelenggara kekuasaan negara dalam melaksanakan kekuasaannya.

Nabi Muhammad Saw, dalam praktiknya juga sering bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya dalam banyak hal. Al-Qurthubi dalam tafsirnya sebagaimana dikutip oleh Dedi Supriyadi menyatakan bahwa, “tidak seorang pun yang lebih banyak bermusyawarah dengan para sahabatnya, kecuali Rasulullah sendiri”. Karena itulah, dalam paktik politik umat Islam, musyawarah yang telah menjadi prinsip dalam bernegara diejawentahkan oleh para sahabatnya.

Pengangkatan Abu Bakar sebagai kepala negara Madinah adalah hasil kesepakatan antara Kaum Anshar dan Kaum Muhajirin dalam suatu musyawarah di Tsaqifah Bani Saidah. Penunjukan Umar bin Khattab sebagai khalifah oleh Abu Bakar, setelah sebelumnya Abu Bakar melakukan tinjauan pendapat secara diam-diam terhadap tokoh-tokoh terkemuka dari kalangan sahabat. Meskipun peristiwa diangkatnya Umar tersebut merupakan fenomena baru, tetapi proses peralihan kekuasaan tetap dalam bentuk musyawarah. Pengangkatan Usman bin Affan juga dilakukan dengan musyawarah, melalui persaingan ketat dengan Ali bin Abi T}ālib, tim formatur yang dibentuk oleh Umar akhirnya memberi mandat kekhalifaan kepada Usman.

Pengangkatan Ali sebagai khalifah terjadi pada situasi politik yang kurang mendukung karena terjadi banyak pemberontakan yang belum dapat dipadamkan sepenuhnya. Dalam suasana genting tersebut, Ali bin Abi Thālib adalah satu-satunya orang yang bisa diterima semua pihak. Hal ini menjadikan Ali satu-satunya khalifah yang dibaiat secara massal, karena khalifah sebelumnya dipilih melalui cara yang berbeda-beda.

Tsaqifah Bani Saidah adalah balai pertemuan yang biasanya digunakan untuk membahas persoalan-persoalan yang ada pada saat itu. Tsaqifah Bani Saidah untuk masa ini bisa dianalogikan sebagai gedung permusyawaratan rakyat.

Musyawarah dapat diartikan sebagai suatu forum tukar menukar pikiran, gagasan ataupun ide, termasuk saran-saran yang diajukan dalam memecahkan suatu masalah sebelum tiba pada suatu peng-ambilan keputusan. Jika dilihat dari sudut kenegaraan, maka musyawarah adalah suatu prinsip konstitusional dalam Islam yang wajib dilaksanakan dalam suatu pemerintahan dengan tujuan untuk mencegah lahirnya keputusan yang merugikan kepentingan umum atau rakyat. Dengan demikian musyawarah berfungsi sebagai “rem” atau pencegah kekuasaan yang absolut dari seorang penguasa atau kepala negara.

Prinsip Mengontrol (amar ma’ruf nahi munkar)


Dalam hal ini Islam mengajarkan agar umatnya selalu saling menasihati dan melakukan kontrol atas kekuasaan agar kebaikan selalu terpelihara dalam kehidupan masyarakat (QS Ali „Imaran, 3:104 dan 114).

Ayat 104Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar . merekalah orang-orang yang beruntung”.

Ayat 114Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan, mereka menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan. mereka itu termasuk orang-orang yang saleh”.

Hal ini mengisyaratakan bahwa oposisi sebenarnay bukanlah seatu yang tabu dalam nomokrasi Islam. Adanya oposisi ini dapat menjadi bellance bagi kekuasaan pemerintah, sehingga mereka selalu merasa diawasi dan dikontrol. Oposis ini tidak hanya dilakukan oleh lembaga, tetapi dapat juga dilakukan oleh pribadi-pribadi dalam masyarakat Islam.

Karenanya dalam sebuah praktek ketatanegaraan tidak jarang terjadi pemusatan kekuasaan pada satu tangan, sehingga terjadi pengelolaan sistem pemerintahan yang dilakukan secara absolut atau otoriter, sebut saja misalnya seperti dalam bentuk monarki dimana kekuasaan berada ditangan seorang raja. Apalagi jika kekuasaan itu di warnai dengan paham teokrasi yang menggunakan prinsip kedaulatan Tuhan, maka kekuasaan Raja semakin absolute dan tak terbantahkan sebagaimana yang telah tergoreskan dalam sejarah peradaban Mesir, Yunani dan Romawi kuno, peradaban China, India, hingga peradaban Eropa. Maka untuk menghindari hal tersebut perlu adanya pembagian atau pemisahan kekuasaan, sehingga terjadi kontrol dan keseimbangan diantara lembaga pemegang kekuasaan.

Prinsip pemisahan atau pembagian kekuasaan merupakan asas perlawanan yang bersandar dari sistem pemerintahan demokrasi. Prinsip ini memandang perlunya memberikan jaminan kebebasan (al-hurriyah) serta menghapus kediktatoran dan kesewenang-wenangan (al-istibdad) . Maksudnya, prinsip ini memberikan kekuasaan negara kepada beberapa lembaga yang berbeda dan independent tanpa memusatkan kekuasaan pada satu tangan atau lembaga.

Prinsip-prinsip politik tersebut mengejawantah pada periode Negara Madinah era kepemimpinan Rasulullah Saw. Dalam Piagam Madinah, digalang suatu perjanjian untuk menetapkan persamaan hak dan kewajiban semua komunitas dalam kehidupan sosial politik. Muatan piagam ini menggambarkan hubungan antara Islam dan ketatanegaraan dan undang-undang yang diletakkan oleh Nabi Muhammad Saw, untuk menata kehidupan sosial politik masyarakat Madinah. Dengan mengetahui dan mempelajari tentang politik Islam, dimana semua prinsip-prinsip yang terkandung telah dilaksanakan oleh Rasulullah Saw, maka sepatutnya kita juga mengikuti alur dari prinsip-prinsip politik Islam sehingga segala persoalan politik negara di era globalisasi tidak menjadi kacau dan dapat terlaksana dengan baik.

Referensi
  • Jamal Al-Banna, Al-Ushul al-Fikriyyah lid- Daulah, al-Islamiya. (Kairo: Dār Thabā‟ah al- Hadītsah, 1979).
  • Musdah Mulia, Negara Islam; Pemikiran Politik Husain Haikal. (Jakarta: Paramadina, 2001).
  • M. Hasbi Amiruddin, Konsep Negara Islam Menurut Fazlurrahman , (Jogjakarta: UII Press, 2006).
  • al-Maududi, Khalifah dan Kerajaan, diterjemahkan oleh Muhammad al-Baqir (Bandung: Mizan, 1984).
  • Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: Rajawali Press, 1999).
  • Mohammad S. el-Awa, Sistem Politik dalam Pemerintahan Islam, (Surabaya: Bina Ilmu, 1983).
  • Dedi Supriyadi, Perbandingan Fiqh Siyasah, Kensep, Aliran dan Tokoh-tokaoh Politik Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2007).
  • Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam , (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002).
  • Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007).
  • Musdah Mulia, Negara Islam, Pemikiran Politik Husein Haikal (Jakarta: Paramadina, 2001).