Jerman merupakan negara yang sebagian besar masyarakatnya penganut sistem patriarki. Berdasarkan hal tersebut, bagaimana posisi perempuan dalam masyarakat sosial politik Jerman?
Posisi perempuan di tengah struktur masyarakat Jerman yang patriarki telah berkembang dari masa ke masa. Sebelum tahun 1870, satu-satunya ruang publik bagi kaum perempuan adalah di dapur dan kegiatan amal. Paska 1914, muncul masa kekaisaran (Kaiserreich) yang merumuskan formula baru akan posisi perempuan dalam masyarakat secara lebih kritis. Di dalam Kaiserreich perempuan menjadi, untuk pertama kalinya, faktor vital dalam industri produksi dan jasa, sebagai pekerja. Dan untuk para “perempuan muda” dari kelas menengah, jalan mereka pun terbuka untuk sistem pendidikan, profesi-profesi, dan, akhirnya, untuk arena partai politik (Richard J Evans, 1987).
Namun pada tahun-tahun setelah perang, perempuan kembali dijadikan sebagai satu-satunya orang yang bertanggung jawab atas keluarga. Dan dalam pekerjaan, terdapat kesenjangan pendapatan antara perempuan dan laki-laki. Posisi perempuan tidak menguntungkan berkenaan dengan hal kualifikasi, status, posisi kepemimpinan atau, memang, untuk sekedar mengemukakan aspirasi mereka dalam dunia yang didominasi oleh laki-laki. Bagi rata-rata perempuan Jerman Barat pada era 1940-1950an, kehidupan normal bagi mereka adalah seputar kehidupan privat; keluarga, suami dan mereka tidak bisa bekerja. Untuk bekerja pada masa itu, tidak dianggap sebagai sebuah tujuan pribadi serta langkah menuju kesetaraan bagi perempuan pada umumnya (Gordon Smith, 1989).
Pada masa sekarang, konstitusi dasar negara Jerman memang menyebutkan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama. Juga tertulis bahwa Negara harus mengobservasi kesetaraan ini. Dengan kata lain, persoalan untuk mengakhiri diskriminasi gender adalah bagian dari permasalahan negara (Crola Reimann, 2000).
Karena masih ada ketimpangan pendapatan maupun pelanggaran terhadap hak perempuan di Jerman sekarang ini. Dalam politik, kendala ideologis dan psikologis bagi perempuan dalam memasuki parlemen mencakup, salah satunya, ideologi gender, pola-pola kultural, maupun peran sosial. Di banyak Negara, tradisi tetap berlaku untuk menekan, dan sering mendikte, peran utama perempuan sebagai ibu dan istri. Sistem nilai patriarki, kaku, dan tradisional menampilkan peran-peran yang tersegregasi secara seksual, dan ini disebut sebagai “nilai-nilai kultural tradisional” yang menghalangi terhadap kemajuan, perkembangan dan partisipasi perempuan dalam berbagai proses politik. Masyarakat di seluruh dunia didominasi oleh suatu ideologi tentang “kedudukan perempuan”. Menurut persepsi ini, perempuan tidak harus memainkan peran “ibu yang bekerja”, yang secara umum diupah rendah dan apolitis. Di samping itu, di beberapa negara berkembang, laki-laki bahkan mengajarkan kepada perempuan bagaimana cara memilih (Nadezdha Shvedova, 1999).
Pada saat sekarang ini, budaya yang berlaku umum dalam politik adalah budaya yang berorientasi pada laki-laki dan berasal dari filsafat politik yang mengatakan bahwa batasan-batasan bagi perempuan dan urusan atau persoalan mengenai perempuan hanya terletak pada ruang privat dan kehidupan rumah tangga. Pembagian yang berkembang antara kehidupan privat dan publik, yang menjadi semakin tersektorisasi dan hirarkis, bahkan menjadi bertentangan terhadap perempuan. Sejarah ketidak-terwakilkannya perempuan erat kaitannya dengan status mereka yang rendah dan inferior di dalam masyarakat (Ranjana Kumari, 1994).
Ini adalah kondisi lingkungan yang banyak dihadapi oleh perempuan, yakni suatu imajinasi kolektif yang pasti tentang perempuan dalam peran-peran tradisional, dan apolitis yang terus berlangsung. Imajinasi tentang seseorang pemimpin perempuan pun harus bersifat aseksual dalam berbagai sikap dan pernyataannya, karena seseorang bahkan dapat diidentifikasi sebagai perempuan hanya melalui ciri-ciri non-seksual nya. Seringkali tidak dapat diterima, atau bahkan memalukan dalam kesadaran masyarakat, bahwa perempuan menjadi terbuka mengenai hakikat kefeminimannya.
Dalam arena politik, seorang perempuan dituntut untuk dapat bersikap lebih otoritatif dan “jantan” ( manly ). Perempuan harus cocok terhadap aturan permainan laki-laki yang tidak tertulis. Inilah mengapa, politisi perempuan pada umumnya, dan perempuan anggota parlemen khususnya, harus mengatasi kesulitan yang tidak menyenangkan ini dalam arena politik, seakan-akan mereka berada di suatu tempat yang bukan tempat mereka, dan berperilaku dengan cara-cara yang tidak alamiah bagi mereka.
Di Jerman barat, kaum perempuan memasuki era paska-perang dengan legalitas khusus akan praktek-praktek demokrasi. Sistem politik Weimar didominasi oleh laki-laki. Meskipun perempuan telah memenangkan hak pilih aktif dan pasif pada tahun 1918 dan telah berhasil meraih 10% kursi dalam Majelis Nasional pada tahun 1919, tetap saja mereka tidak dapat terus meningkatkan kehadiran politik mereka dalam Reichstag (satu bentuk sistem parlementer pada satu masa pemerintahan) atau untuk mengembangkan posisi mereka di dalam pemerintahan, di dalam kepemimpinan partai, atau di tingkat lain elit politik.
Keberadaan sebagian besar perempuan terbatas pada bagian-bagian perempuan dalam partai politik atau pada gerakan perempuan yang terbagi-bagi, seperti dalam masyarakat secara keseluruhan, di sepanjang garis sektarian dan partisan (Gordon Smith, 1989).
Namun, jika ditilik pada waktu yang cukup jauh ke belakang, 48% dari tenaga kerja di GDR adalah perempuan. Dan pada masa itu, perempuan mendapat bayaran yang sama dengan laki-laki untuk melakukan pekerjaan yang sama. Hal ini dikaitkan dengan kondisi mereka di Jerman Timur yang berbeda dengan Jerman Barat yang mengalami keajaiban ekonomi. Di Jerman Timur, para perempuan harus bekerja keras. Para perempuan memiliki waktu yang sangat sedikit sekali untuk bergunjing dan para laki-laki tidak mengejar perempuan seperti yang bisa mereka lakukan di Jerman Barat. Dan jika di Jerman Barat seorang perempuan merasa dihargai ketika mereka menikah, maka di Jerman Timur ia akan merasa dihargai karena ia bekerja (Joseph Wechsberg, 1964).
Di Jerman paska re-unifikasi, faktanya, hanya sedikit perempuan yang bergabung dalam politik dibandingkan dengan laki-laki. Padahal perempuan meliputi setengah dari populasi masyarakat Jerman, namun telah menjadi minoritas dalam parlemen untuk waktu yang lama (Carola Reimann, 2000). Hanya dua partai Jerman, SPD dan Partai Hijau ( Green Party ) yang mengembangkan sistem kuota terhadap perempuan (Anne Seyfferth, 1994). Dalam CDU dan Christian Social Party (CSP), juga di Free Democratic Party (FDP), persentase dari representasi perempuan berada di bawah rata-rata (Carola Reimann, 2000).
Partai Hijau lah yang telah mengambil peran utama dalam perdebatan kuota ketika mereka mengubah undang-undang partai mereka pada tahun 1985, untuk membuat kesetaraan antara laki-laki dan perempuan menjadi suatu kewajiban. Dan Partai Hijau telah berhasil memobilisasi suara perempuan. Untuk lebih spesifik nya: generasi perempuan dari masa perang dan pra-perang hampir tidak tertarik pada Partai Hijau dan banyak yang tetap setia kepada CDU.
Generasi yang sangat termuda, yang lahir sekitar tahun 1970 dan mencapai usia pemilih pada akhir tahun 1980-an, tampaknya lebih obyektif bagi semua partai politik, termasuk Partai Hijau. Dalam pemilu Federal tahun 1987, sekitar 40% dari kelompok ini tidak memilih. Generasi ini adalah generasi tengah, yaitu para perempuan yang mengalami tahun 1960an dan 1970an sebagai remaja dan atau menjadi dewasa (muda). Pada awalnya, mereka melihat Sosial Demokrat sebagai partai demokratisasi dan kesetaraan, kini mereka melihat Partai Hijau sebagai pihak yang bisa hidup dengan janji-janjinya. Hal ini bukan bermaksud mengatakan bahwa seluruh kelompok usia telah berayun ke Partai Hijau, melainkan di antara kelompok usia ini, Partai Hijau telah berhasil memenangkan beberapa sumber dukungan, sebagai pimpinan bagi hak perempuan untuk mencapai kesetaraan. Beberapa wanita telah mengubah preferensi partainya menjadi mendukung Partai Hijau atau memilih Partai Hijau begitu mereka cukup umur untuk memilih. Satu dekade sebelumnya wanita ini akan tampak condong ke arah SPD untuk alasan yang sangat mirip. Dengan ini, Partai Hijau pun telah membuat kontribusi besar untuk mengurangi ketidakseimbangan perwakilan gender di parlemen (Gordon Smith, 1989). Sejak itu, isu kesempatan politik yang sama bagi perempuan telah menjadi lebih mendesak dan lebih khusus lagi terkait dengan pengenalan kuota numerik.