Bagaimana Posisi Masyarakat Jerman Timur Setelah Jerman Bersatu?

masyarakat

Setelah penyatuan Jerman Barat dan Jerman Timur, posisi Jerman Barat lebih mendominasi dalam aspek pemerintahan meskipun Jerman Barat dan Jerman Timur telah bersatu. Bagaimana posisi Masyarakat (bekas) Jerman Timur dalam Masyarakat Jerman Bersatu?

Re-unifikasi sebagai satu proses yang damai cukup jarang terjadi untuk sejenis pergeseran keseimbangan kekuasaan yang terbilang besar, seperti yang dialami Jerman. Struktur Federal tradisional Jerman dipertahankan secara internal, dan secara eksternal bertemu dengan integrasi kawasan-kawasan intra-Eropa yang semakin terpadu (seperti European Community (EC), Conference on Security and Co-operation in Europe (CSCE), The North Atlantic Treaty Organization (NATO), dan Dewan Eropa). Oleh karena itu kesatuan internal dalam negara masih harus dicapai. Ada kebutuhan untuk mencari tempat di tengah masyarakat Eropa, untuk memperbesar dan mewujudkan Jerman yang lebih kuat, tanpa sekali lagi memisahkan bagian yang ada (Imanuel Geiss, 1997).

Sejauh ini, kota terbesar di Jerman bersatu, negara-kota Berlin meliputi wilayah 883 km persegi; memiliki 3,4 juta penduduk dan kemungkinan akan berkembang menjadi 5 juta dalam waktu yang tidak terlalu lama. Di Berlin inilah sejarah Jerman yang signifikan, telah berakhir dan bermula. Berlin telah sekali lagi menjadi ibukota Jerman sejak 3 Oktober 1990, hari dimana re-unifikasi Jerman terjadi. Pertempuran antara Bonn dan Berlin yang berlangsung hingga Juni 1991, bukan hanya untuk memutuskan kota mana seharusnya menjadi ibukota Jerman, tetapi juga untuk memutuskan apakah pusat pemerintahan harus turut kembali ke Berlin. Situasi yang agak kacau ini adalah akibat dari kebingungan atas status Berlin selama empat puluh tahun masa pra-reunifikasi. Sebuah kota di tengah wilayah Jerman Timur, dibagi oleh Sekutu setelah perang. Setengah Berlin menjadi milik Barat. Sementara setengah lainnya menjadi bagian dari Timur. Saat Tembok Berlin telah runtuh, dan Berlin pun kembali menjadi kesatuan yang utuh. Namun pembagian dan pembedaan yang kontras selama empat puluh tahun tidak dapat dihilangkan dalam semalam di antara masyarakat kedua Berlin (Susan Stern, 1997).

Seperti yang ditulis Gerd Knischewski dalam artikelnya yang berjudul Post-War National Identity in Germany , setelah re-unifikasi terjadi, salah satu pertanyaan dominan yang muncul akan perdebatan tentang identitas nasional Jerman adalah: apakah Jerman baru benar-benar bersatu, atau malah sekarang terdapat dua identitas Jerman, yaitu sebagai Jerman Timur dan sebagai Jerman Barat? (Gerd Knischewski, 1996).

Kondisi yang tidak teratur setelah runtuhnya sistem yang telah berlangsung selama puluhan tahun adalah sesuatu yang normal, salah satu bentuknya adalah kebingungan di tengah masyarakat Jerman paska re-unifikasi. Permasalahan internal dan eksternal, tanpa dapat ditawar lagi, berujung pada terbelahnya masyarakat oleh ketegangan dan konflik, bertentangan dengan rasa kemenangan bersama itu sendiri. Jerman baru, yang harusnya telah bersatu, menemukan masyarakatnya tetap terpecah menjadi Barat dan Timur. Bagaimana kedua kelompok masyarakat ini akan beradaptasi satu sama lain dan menghadapi konsekuensi dari re-unifikasi. Selama empat puluh tahun, masyarakat Jerman Timur maupun Jerman Barat telah terbiasa dengan divisinya masing-masing. Sejak penyatuan, kedua kelompok ini harus menghadapi kenyataan dan keharusan untuk berbagi. Di satu sisi, tidak ada masyarakat yang dapat bertahan selama empat puluh lima tahun dari sayap Kiri kediktatoran totaliter, di bawah pemerintahan Uni Soviet, tanpa membawa rasa yang mendalam. Kedua bagian Jerman lebih terasing dari satu sama lain daripada yang diduga ((Imanuel Geiss, 1997).

Dalam Democracy and Its Discontents in Post-Wall Germany , Richard I. Hofferbert dan Hans-Dieter Klingemann menunjukkan bahwa runtuhnya Tembok Berlin, pada November 1989, telah menyatukan masyarakat Jerman Barat dan Timur dalam satu cita-cita yang sama, yaitu demokrasi. Parlemen baru dipilih oleh para pemilih dari negara yang sudah bersatu. Pertama kalinya bagi FRG, sejak berdirinya pada tahun 1949, menggunakan proses pemilihan untuk menghasilkan sebuah pemerintahan koalisi. Tidak sedikit pula pemilih di Timur malah mendukung CDU (Christian Democratic Union) dan FDP (The Free Democratic Party or Freie Demokratische Partei), yang notabene sama halnya dengan mendukung keseimbangan politik yang didirikan selama 40 tahun di Jerman Barat. Memang ada perbedaan antara Barat - Timur dalam tingkat persetujuan demokrasi secara abstrak (91 vs 84 persen) dan dalam fungsi umum rezim (71 vs 56 persen). Tetapi pada tahun 1997, tak ada perbedaan dalam tingkat penerimaan untuk pemerintah yang berkuasa, dengan 21 persen di setiap daerah menunjukkan evaluasi yang positif. Dengan adanya persetujuan tertinggi di kedua daerah, yaitu komitmen untuk demokrasi dan kepuasan atas implementasinya, tidak ada perbedaan antara Barat-Timur.

Pada akhir 1990, pemisahan formal antara bagian barat, Republik Federal Jerman (FRG), dan bagian timur, Republik Demokratik Jerman (GDR), secara konstitusional dihilangkan. Dalam setengah dekade berikutnya sudah mulai dilakukan transfer dana dari Barat ke Timur secara besar-besaran, untuk pembentukan ulang organisasi usaha ekonomi dan membangun infrastruktur modern di wilayah bekas GDR. Keputusan telah diambil dan pelaksanaan pemindahan ibukota dari Bonn ke wilayah bersejarah Berlin pun dilakukan. Meskipun menimbulkan keluhan yang luas dan keruntuhan ekonomi yang serius, secara fisik, tembok dan sisa-sisanya telah diruntuhkan. Perbedaan yang ada seakan surut karena dukungan dari kedua Jerman Barat dan Jerman Timur bagi demokrasi, sebagai bentuk pemerintahan yang lebih disukai, menempati posisi teratas dari yang ditemukan di negara-negara lain di seluruh dunia. Demikian pula, tingkat kepuasan dengan rezim yang ada berada di atas normal dibandingkan dengan negaranegara lain yang juga telah diuji (Richard I. Hofferbert, 2001).

Tetapi seringkali masih ada “dinding pemisah” dalam pikiran dan mental masyarakat Jerman sendiri. Muncul ketidakpuasan untuk meninggalkan Jerman Barat dan seringkali dipertanyakan akan kondisi re-unifikasi yang menjadikan orang-orang Timur memiliki perasaan sebagai warga negara kelas dua, ditambah dengan nostalgia-nostalgia beberapa aspek yang lebih nyaman dari rezim yang lama. Terlebih lagi, persamaan penerimaan terhadap demokrasi ternyata tidak pula menghasilkan persamaan kekuatan politik antara partai-partai politik dari Timur dan Barat (Richard I. Hofferbert, 2001).