Bagaimana posisi Amerika Serikat dalam konflik Palestina – Israel?

Amerika sebagai negara adikuasa di dunia yang merupakan salah satu negara yang berpengaruh besar dalam pengambilan keputusan terkait konflik pada negara-negara yang sedang mengalami konflik seperti konflik Palestina-Israel. Namun bagaimana posisi Amerika Serikat dalam konflik Palestina – Israel ini?

Israel sejak pertama kali mendeklarasikan kemerdekaannya selalu mendapat dukungan penuh dari Amerika Serikat. Bahkan AS adalah negara pertama yang mengakui kemerdekaan Israel pada tahun 1948 dengan Presiden pertamanya Dr. Chaim Weizmann, kemudian diikuti oleh Rusia dan beberapa negara lainnya (Yusliani Noor, 2014).

Semenjak itu AS selalu menjadikan Israel sebagai sebagai tujuan utamanya di timur tengah. Bagi AS, Israel adalah sebuah aset strategis yang secara dasar-dasar moral harus didukung penuh karena Israel adalah penganut demokrasi sekuler dengan gaya hidup Barat. Kaum Yahudi bahkan menduduki posisi-posisi penting dalam sistem pemerintahan di Amerika Serikat seperti Dewan Keamanan Nasional (NSC), Departemen Luar Negeri, Intelijen bahkan Kongres konsisten mendukungnya. Oleh karena itu, tidak seorangpun kandidat presiden Amerika Serikat dalam politik Israel sangat berpengaruh, dalam banyak hal kebijakan Amerika Serikat di Timur Tengah sangat menggambarkan bagaimana komitmen Amerika Serikat dalam mempertahankan hubungan dengan Israel dan menempatkannya sebagai mitra khusus. Dengan status istimewa tersebut, Israel mendapat dukungan politik, ekonomi, dan militer yang luar biasa dari Amerika Serikat, saat menghadapi bahaya dan sudah bisa di pastikan dimana posisi Amerika Serikat dalam konflik Palestina-Israel adalah Amerika Serikat lebih cenderung memihak pada sekutunya Israel (Vera Ellen, 2014).

AS dalam penyelesaian konflik Palestina-Israel adalah berperan sebagai mediator dalam berbagai perundingan. Diantaranya perundingan Oslo I, Oslo II, Perundingan Hebron (Januari 1997), Perundingan Wye River I (Desember 1997), Wye River II (1999), Perundingan Camp David (2000), Konferensi Annapolis (2007), dan berbagai upaya negosiasi langsung pada era Presiden Barrack Obama. AS memang melakukan berbagai upaya perundingan dalam penyelesaian konflik Palestina-Israel. Akan tetapi posisi AS adalah memihak pada Israel. Hal ini dikarenakan sebagian besar penduduk Amerika Serikat adalah keturunan Yahudi dan mempunyai organisasi-organisasi yang terstruktur yang menduduki posisi-posisi tertentu di dalam pemerintahan. Perekonomian Amerika Serikat juga kuasai oleh sebagian besar orang Yahudi.

AS pada masa presiden Donald Trump kembali menegaskan posisinya sebagai pendukung Israel. Pada Rabu, 6 Desember 2017 bertempat di Gedung Putih, Presiden Donald Trump menyatakan sikap bahwa AS mengakui Yerusalem sebagai ibukota negara Israel. Realisasi dari kebijakan tersebut yakni Presiden Trump memerintahkan jajarannya untuk segera memindahkan kedutaan besar AS yang berada di Tel Aviv ke kota Yerusalem (statement by President Trump on Jerusalem, 2017, https://www.whitehouse.gov/briefingsstatements/statement-president-trump-jerusalem/?utm_source=link)