Bagaimana politik Indonesia pada periode demokrasi terpimpin ?

demokrasi terpimpin

Periode demorasi terpimpin berlangsung pada tahun 1959-1966. pada masa ini sistem politik indonesia berada pada masa sebelum amandemen UUD 1945. Bagaimana politik Indonesia pada periode demokrasi terpimpin ?

Masa ini ditandai dengan adanya persaingan (rivalitas) tiga kutub, yaitu antara Soekarno (Presiden RI) yang didukung oleh partai-partai berhaluan nasionalis, PKI yang didukung oleh partai-partai berhaluan sosialis, dan pihak militer yang dimotori oleh TNI AD. Saat itu, partai politik memiliki posisi tawar (bargaining position) yang lemah sehingga kurang menunjukkan aset yang berarti dalam pencaturan politik di Indonesia. Puncak periode ini adalah terjadinya Pemberontakan G-30-S/PKI tanggal 30 September 1965.

Indikator Demokrasi Terpimpin saat itu adalah

  1. Partai-partai politik sangat lemah, kekuatan politik ditandai dengan adanya tarik tambang antara Presiden, Angkatan Darat, dan PKI;

  2. Kedudukan (posisi) badan eksekutif yang dipimpin oleh presiden sangat kuat, Presiden merangkap sebagai Ketua DPA yang dalam praktiknya menjadi pembuat dan selektor produk legislatif;

  3. Kebebasan pers sangat terkekang, bahkan terjadi suatu tindakan antipers yang jumlahnya sangat spektakuler.

Masa perkembangan Demokrasi Terpimpin terjadi pada tahun 1959-1965. Yang menjadi ciri khas dari periode ini ialah dominasi yang kuat dari Presiden, terbatasnya peranan partai politik, berkembangnya pengaruh Komunis dan meluasnya peranan ABRI sebagai unsur sosial-politik. Dalam mengemban tugasnya sebagai kepala pemerintahan, Presiden mempunyai kuasa penuh dalam membentuk/menyusun kabinet, kemudian melantik menteri-menteri yang ia susun untuk membantunya dalam mengurus urusan kenegaraan. Dan pada periode ini, Soekarno memberi nama kabinetnya dengan istilah Kabinet Gotong Royong.

Dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menjadi langkah awal mulai diterapkannya demokrasi terpimpin dengan sistem presidensill. Dalam pandangan Soekarno, ada beberapa ketetapan yang beliau jadikan sebagai pegangan dalam menjalankan demokrasi terpimpin yaitu:

  • Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, yang mana Dekrit tersebut berisikan agar diberlakukannya kembali UUD 1945 dan dicabutnya UUDS 1950. Dan tanggal tersebut dianggap sebagai awal diberlakukannya Demokrasi Terpimpin dengan Sistem Presidensill. ( Dalam Hal Ini Penulis Lampirkan Naskah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dibawah ini) .

  • TAP MPRS No. III/MPRS/1963 tentang pengangkatan Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia dengan masa jabatan seumur hidup.

  • TAP MPRS No. VIII/MPRS/1965 tentang Prinsip-Prinsip Musyawarah untuk mufakat dalam Demokrasi Terpimpin sebagai pedoman bagi Lembaga-Lembaga Permusyawaratan/Perwakilan. Hal ini juga dapat dipandang sebagai suatu usaha untuk mencari jalan keluar dari kemacetan politik melalui pembentukan kepemimpinan yang kuat.

Diterapkannya demokrasi terpimpin, membuka ruang bagi Soekarno untuk mewujudkan cita-cita luhurnya terhadap kemajuan bangsa Indonesia. Adapun cita-cita yang ingin dicapainya yaitu:

  • Pertama : Pembentukan satu Negara Republik Indonesia yang berbentuk Negara kesatuan dan Negara kebangsaan yang demokratis, dengan wilayah kekuasaan dari Sabang sampai Merauke.

  • Kedua : Pembentukan satu masyarakat yang adil dan makmur materil dan sprituil dalam wadah Negara Kesatuan RepubliK Indonesia.

  • Ketiga : Pembentukan satu persahabatan yang baik antara Republik Indonesia dengan semua negara di dunia, terutama sekali dengan Negara- Negara Asia Afrika, atas dasar hormat-menghormati satu sama lain, dan atas dasar bekerja bersama membentuk satu dunia baru yang bersih dari imprealisme dan kolonialisme, menuju kepada perdamaian dunia yang sempurna.

Pedoman Dalam Penerapan Demokrasi Terpimpin.


Dalam menjalankan demokrasi terpimpin, Soekarno menjadikan sistem presidensill sebagai alat dalam menjalankan roda pemerintahan. Secara teoritis maupun praktis, demokrasi terpimpin menjadikan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila sebagai landasan serta pedoman dalam menjalankan roda pemerintahan. Karena hampir seluruh cita-cita yang ingin dicapai dalam Demokrasi Terpimpin sudah tertuang dalam batang tubuh (Pembukaan) UUD 1945 dan Pancasila.

Menurut Soekarno: Undang-Undang Dasar 1945 adalah asli cerminan kepribadian Bangsa Indonesia, yang sejak zaman purbakala mula mendasarkan sistem pemerintahannya kepada musyawarah dan mufakat dengan pimpinan satu kekuasaan sentral ditangan seseorang sesepuh, seorang tetua yang tidak mendiktator tetapi memimpin, mengayomi. Demokrasi sejak zaman purbakala adalah Demokrasi Terpimpin dan ini adalah karakteristik bagi semua demokrasi-demokrasi asli di benua Asia.

Maka dalam hal ini, Soekarno menjadikan Demokrasi Terpimpin dengan sistem presidensill sebagai alat dalam mencapai tujuan dan cita-cita rakyat Indonesia. Tidak boleh lagi terjadi bahwa rakyat ditunggangi oleh pemimpin. Tidak boleh lagi terjadi bahwa rakyat menjadi alat demokrasi. Tetapi sebaliknya demokrasi harus menjadi alat rakyat. Demokrasi Terpimpin tidak menitik beratkan kepada satu orang sama dengan satu suara, sehingga partai menjadi semacam agen penjual suara. Tetapi dalam Demokrasi Terpimpin menitik beratkan kepada:

  • Tiap-tiap orang diwajibkan untuk berbakti kepada kepentingan umum, berbakti kepada masyarakat, berbakti kepada nusa, bangsa dan Negara.

  • Tiap-tiap orang berhak mendapatkan penghidupan yang layak dalam masyarakat, Bangsa dan Negara.

Pro-kontra Demokrasi Terpimpin


Pada masa awal diterapkannya Demokrasi Terpimpin, Soekarno banyak menuai pro-kontra dari kalangan aparatur Negara ketika itu. Mereka mengganggap Undang-Undang Dasar 1945 membuka kesempatan bagi seorang Presiden untuk bertahan sekurang-kurangnya selama 5 tahun. Akan tetapi ketetapan MPRS No. III/1963 yang mengangkat Soekarno sebagai Presiden seumur hidup telah membatalkan pembatasan lima tahun tersebut (Undang-Undang Dasar memungkin seorang Presiden untuk dipilih kembali). Selain itu banyak lagi tindakan yang menyimpang dari ketetapan Undang-Undang Dasar. Misalnya dalam tahun 1960 Soekarno sebagai Presiden membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat hasil dari pemilihan umum tahun 1955, padahal dalam Undang-Undang Dasar 1945 secara eksplisit dijelaskan bahwa Presiden tidak mempunyai wewenang untuk berbuat demikian. Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong sebagai pengganti DPR yang lalu, ditonjolkan peranannya sebagai pembantu pemerintah sedangkan fungsi kontrolnya ditiadakan.

Lagi pula pimpinan DPR dijadikan menteri dan dengan demikian, ditekankan fungsi mereka sebagai pembantu Presiden disamping fungsi sebagai wakil rakyat. Hal ini mencerminkan telah ditinggalkannya doktrin Trias Politica. Dalam rangka ini harus pula dilihat beberapa ketentuan lain yang memberi wewenang kepada Presiden sebagai badan Eksekutif untuk campur tangan di bidang lain dari pada bidang Eksekutif. Misalnya Presiden diberi wewenang untuk campur tangan di bidang Yudikatif berdasarkan Undang-Undang No. 19/1964 dan di bidang Legislatif berdasarkan Peraturan Tata Tertib Peraturan Presiden No. 14/1960 dalam hal anggota DPR tidak mencapai mufakat.

Selain itu terjadi penyelewengan di bidang perundang-undangan dimana berbagai tindakan pemerintah dilaksanakan melalui Penetapan Presiden (PenPres) yang memakai Dekrit 5 Juli sebagai sumber hukum. Lagi pula didirikan badan-badan Ekstra Konstitusional seperti Front Nasional yang ternyata dipakai oleh pihak Komunis sebagai arena kegiatan, sesuai dengan taktik Komunisme Internasional yang menggariskan pembentukan Front Nasional sebagai persiapan kearah terbentuknya Demokrasi Rakyat. Partai politik dan Pers yang dianggap menyimpang dari rel revolusi tidak dibenarkan dan dibreidel, sedangkan politik menjadi kacau dibidang hubungan luar negeri dan ekonomi dalam negeri telah menyebabkan keadaan ekonomi dalam negeri menjadi tambah suram.

Perkembangan Hukum Dalam Demokrasi Terpimpin


Perkembangan tatanan hukum yang ada pada periode Demokrasi Terpimpin belum banyak berkembang seperti saat sekarang ini. Walaupun demikian, bagi Seokarno hendaknya aturan/hukum yang berlaku saat itu bukan hukum “Made In Belanda Atau Jepang ” akan tetapi hukum yang bisa memberikan keadilan dan kemakmuran kepada rakyat atau hukum pro rakyat.

Bagi Soekarno, hukum atau aturan-aturan yang mengatur kehidupan segenap rakyat Indonesia betul-betul hukum yang bisa mengayaumi seluruh tumpah darah Indonesia. Hukum yang berlaku di Indonesia bukanlah “ seperti mata pisau yang tumpul ke atas dan tajam ke bawah ” yang pernah berlaku di masa penjajahan Belanda.

Penerapan hukum ketika itu lebih diarahkan terhadap nilai-nilai yang bersifat mutlak, artinya UUD 1945 menjadi tolak ukur dalam menjalankan hukum tersebut. Maka pemerintah cendrung untuk lebih berperan dalam mengelola Tiang ekstraktif dan distributive . Sejalan dengan aturan tersebut, timbullah keterlibatan pemerintah dalam bidang perekonomian yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak.

Keterlibatan pemerintah dalam mengendalikan sekaligus mengontrol keberlansungan hidup rakyat Indonesia dalam segala bidang, merupakan salah satu cara Soekarno dalam upaya menciptakan demokrasi social dan demokrasi ekonomi. Sebab, salah satu cara yang bisa dilakukan pemerintah dalam menumpas paham Neo kapitalis dan Imprialis hanyalah dengan keikut sertaan pemerintah dalam mengendalikan dan mengontrol segala bidang tersebut.

Perkembangan Politik Dimasa Demokrasi Terpimpin


Penyaluran Tuntutan (Aspirasi Rakyat)

Pembubaran partai Masyumi dan PSI menjadi sejarah pahit bagi perkembangan partai politik di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa kwantitas partai politik yang berperan sebagai tempat penyaluran tuntutan maupun aspirasi rakyat sudah berkurang. Pembubaran kedua partai tersebut berdasarkan Keputusan Presiden tanggal 17 Agustus 1960 No. 200 dan 201 Tahun 1960 dengan alasan bahwa: organisasi/partai tersebut melakukan pemberontakan, karena pemimpin-pemimpinnya turut serta dengan pemberontakan apa yang disebut dengan “Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)” atau “Republik Persatuan Indonesia” telah jelas memberikan bantuan terhadap pemberontakan, sedangkan partai itu tidak resmi menyalahkan perbuatan anggota-anggota pimpinan tersebut.

Dalam sistem pemerintahan Demokrasi Terpimpin, yang menjadi penentu adalah Presiden Soekarno sebagai pimpinan eksekutif. Maka Anggota DPR dan MPR diangkat oleh Presiden Soekarno sendiri. Hal ini sesuai dengan Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945. Akan tetapi perkembangan ideologi masih tetap mewarnai periode ini, walaupun sudah dibatasi secara formal. Dalam periode ini pun masih berlanjut besarnya tuntutan/aspirasi yang melebihi kapasitas sistem. Setelah penyederhanaan kepartaian melalui PENPRES No. VII/1959 tentang syarat-syarat dan penyederhanaan kepartaian dan dibentuknya Front Nasional (FN), barulah diperolehlah suatu stabilitas. Kadar stabilitas ini dapat dinilai sebagai berwatak semu belaka, karena ternyata kemudian tidak meletakkan dasar yang kuat dalam proses pergantian pimpinan nasional. Titik berat stabilitas itu lebih mengandalkan adanya tokoh politik yang dapat mengelola FN tersebut.

Dengan adanya FN ketika itu seolah-olah berlaku sistem satu partai yang tidak kentara. Melalui sistem satu partai yang tidak kentara inilah suatu gaya yang berdasarkan orientasi terhadap nilai secara mutlak. Interpretasi pemerintahanlah yang selalu benar, tidak ada tawaran lain dan tidak dikenalnya alternative lain. Kekuasaan individu terhadap tokoh politik yang timbul setelah kurang lebih tahun 1963 menyebabkan penyaluran tuntutan menjadi terhambat, kecuali penyaluran tuntutan dari kelompok-kelompok yang dapat memberikan dukungan kepada elit politik yang berada dipemerintahan. Walaupun penyaluran aspirasi dibatasi, namu dalam pratek tuntutan tetap lebih besar dari pada kemampuan sistem.

Dalam mekanisme sistem politik demokrasi terpimpin ini belum ditata suatu antisipasi seandainya tokoh politik tersebut tidak efektif dalam menjalankan roda pemerintahan akibat suatu hal. Tekanan saluran tuntutan yang tidak tertampung dalam kelembagaan, akhirnya Soekarno mencari keseimbangan melalui dukungan massa. Yang pada akhirnya menyebabkan berakhirnya stabilitas politik yang telah terwujud dan terbina selama periode tersebut.

Munculnya Gagasan Nasakom

Nasakom bukan ajaran Bung Karno, tapi adalah ide Soekarno untuk menyatukan seluruh kekuatan bangsa agar tak terpecah belah. Ide nasakom sebetulnya sudah lama ada di dalam benak Soekarno, yaitu ketika beliau masih di Partai Sarekat Islam (PSI). Pada saat itu PSI terpecah menjadi dua kekuatan, yaitu: PSI Merah menginginkan agar PSI juga ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, sedangkan PSI putih hanya ingin berdakwah saja. Pada saat itulah Soekarno dengan pidatonya yang memukau mulai meneriakkan ide Nasionalis-Islam-Marxis yang kemudian hari menjadi Nasionalis-Agama-Komunis. Ketika itu di Indonesia terdapat banyak partai yang platform nya terbagi dalam tiga kelompok, yaitu nasionalis, agamis, dan komunis. Misalnya, di Nasionalis ada PNI, Agamis ada Masyumi/NU dan Komunis ada PKI. Dan pada dasarnya ketiga faham ini tidak dapat disatukan, khususnya antara Agamis dan Komunis.

Bagi Soekarno, perubahan akan terjadi di dalam masyarakat apabila ketiga kekuatan politik tersebut dapat bersatu dalam satu konsep yaitu “Nasakom”. Tetapi, bangsa yang sedang membangun jati dirinya sangat memerlukan adanya persatuan dan kesatuan agar menjadi kuat dalam segala hal. Oleh karena itulah, Soekarno dengan kekuatan kharisma dan wibawanya menciptakan landasan Nasakom. Tapi dalam kenyataanya, upaya luhur Soekarno akhirnya membawa bencana dengan terjadinya peristiwa G-30-S PKI.

Masa Akhir Demokrasi Terpimpin (1966-1967)


Gerakan 30-September Partai Komunis Indonesia (G 30 S-PKI)

Pertentangan antara Presiden Soekarno, Tentara Angkatan Darat (TNI-AD) dan Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam konteks politik Demokrasi Terpimpin menjadi penting dalam kajian kekuatan-kekuatan politik dalam sistem politik demokrasi terpimpin. Hal ini merupakan suatu elaborasi masalah kekuatan-kekuatan politik dalam sebuah sistem pemerintahan. Persolan ini dibingkai ke dalam suatu konsep dasar, yaitu piramida kekuatan politik dalam sistem politik demokrasi terpimpin. Piramida kekuatan-kekuatan politik dalam sistem politik demokrasi terpimpin tersebut diwarnai oleh pertentangan politik antara Presiden Soekarno, tentara dan partai politik. Pertentangan ketiga kekuatan politik tersebut disebabkan karena perbedaan orientasi ideologis. Perbedaan-perbedaan itu juga akan mencerminkan kedudukan ideologis kelompok itu masing-masing.

Perdebatan yang berkepanjangan antara ketiga kekuatan politik ini, akhirnya berdampak pada keamanan dan kestabilan roda pemerintahan. Dan puncak dari perseteruan tersebut terjadi tanggal 30 Septermber 1965. Dengan adanya G30S-PKI membawa kekacauan disegala aspek kehidupan, baik bidang ekonomi, social apalagi dibidang politik.

Janji yang berulang kali diucapkan Presiden Soekarno untuk memberikan penyelesaian politik yang adil terhadap pemberontakan G30S-PKI belum juga diwujudkan. Sementara itu gelombang demonstrasi yang menuntut pembubaran PKI kian keras dan bertambah luas. Situasi yang menjurus kearah konflik politik tersebut bertambah lagi dengan munculnya rasa tidak puas terhadap keadaan ekonomi Negara.

Dalam keadaan serba tidak puas dan tidak sabar itu, akhirnya tercetuslah tiga tuntutan hati nurani rakyat. Dengan dipelopori oleh KAMI dan KAPPI96, maka pada tanggal 12 Januari 1966 kesatuan-kesatuan aksi yang tergabung dalam Front Pancasila memenuhi halaman DPR-GR dan mengajukan tiga tuntutan yang kemudian dikenal dengan sebutan “Tritura” yang isinya adalah:

  • Pembubaran PKI
  • Pembersihan Kabinet dari unsur G30S-PKI
  • Penurunan Harga/Perbaikan Ekonomi.

Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar)

Tragedi Supersemar adalah salah satu rentetan sejarah yang sampai saat ini menjadi sebuah misteri yang belum tersingkap. Karena sampai sekarang naskah asli supersemar pun belum bisa diketemukan. Banyak diantara sejarawan yang meragukan supersemar, namun banyak pula yang meyakini keberadaan supersemar. Perlu kita ketahui bahwa, Supersemar merupakan Surat Perintah pengamanan yang dikeluarkan Presiden Soekarno untuk ditujukan kepada Letnan Jendral Soeharto. Adapun maksud dari Surat Perintah Sebelas Maret tersebut yaitu:

Memutuskan, memerintahkan kepada Letjen Soeharto untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi. Atas nama Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi.

Menurut Soekarno: maksud dari Supersemar adalah menjamin keamanan dan ketengan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi. Yang ditekankan adalah terjaminnya keamanan, ketenangan, kestabilan jalannya pemerintahan.

Untuk menjelaskan kesalah pahaman SP 11 Maret, maka dalam sebuah surat yang dikeluarkan Soekarno tanggal 13 Maret 1966, Soekarno menegaskan bahwa Supersemar adalah surat perintah, bukan penyerahan kekuasaan.

Berdasarkan wewenang yang bersumber pada SP 11 Maret, Letnan Jendral Soeharto atas nama Presiden menetapkan pembubaran dan pelarangan Partai Komunis Indonesia (PKI) termasuk semua bagian-bagian organisasinya yang seasas/berlindung/bernaung dibawah keputusan tersebut dituangkan dalam Keputusan Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Mandataris MPRS/Pimpinan Besar Revolusi No. 1/3/1966. Maka pada tanggal 12 maret 1966 tindakan pertama Letnan Jendral Soeharto sebagai pengemban SP 11 maret 1966.

Keputusan pembubaran dan pelarangan PKI itu diambil oleh pengemban supersemar berdasarkan pertimbangan bahwa pki telah nyata-nyata melakukan perbuatan kejahatan dan kekejaman. Bukan itu saja, tetapi telah dua kali melakukan penghianatan terhadap Negara dan rakyat Indonesia yang sedang berjuang. Seluruh rakyat Indonesia yang menjunjung tinggi landasan falsafah dan ideology pancasila waktu itu serentak menuntut dibubarkannya PKI. Karenanya, keputusan pembubaran PKI itu telah disambut dengan gegap gempita dan perasaan lega oleh seluruh rakyat Indonesia. Bersilang enam hari diterimanya supesemar, maka Letnan Jendral Soeharto berhasil membubarkan PKI dan menangkap 15 orang Pengurus Tertinggi PKI.

Pada tanggal 25 Juli 1966 MPRS menyelenggarakan sidang umum, yang mana agenda terpenting yang dibicarakan adalah pengukuhan Surat Perintah 11 Maret 1966 oleh MPRS, dengan demikian Presiden Soekarno dengan alasan apapun tidak dapat menarik kembali surat perintah tersebut. Puncak dari pemeretelan kekuasaan Presiden Soekarno terjadi ketika Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) menggelar Sidang Istimewa pada tanggal 1-12 maret 1967. Hasil utama SI MPRS 1967 adalah TAP MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang pencabutan kekuasaan pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno. Pasal 3 TAP MPRS dengan tegas menetapkan “Menarik kembali Mandat MPRS dari Presiden Soekarno serta segala kekuasaan pemerintahan Negara yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Selanjutnya dalam pasal 4 TAP MPRS yang sama, “ mengangkat Letnan Jendral Soeharto pengemban ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1967 sebagai pejabat Presiden berdasarkan pasal 8 Undang-Undang Dasar 1945 hingga dipilihnya Presiden oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil pemilihan umum.

Maka dengan keluarnya ketetapan MPRS tahun 1967 tersebut diatas, kita bisa mengambil sebuah kesimpulan awal bahwa kedudukan kepala pemerintahan (Presiden) pada saat itu sudah berpindah tangan dari Soekarno ke tangan Soeharto. Dan ini menjadi perjalanan akhir dari demokrasi terpimpin ala Soekarno.

Sumber : Hamdan Hamid, Demokrasi ala Soekarno : Demokrasi Terpimpin, UIN Sultan Syarif Kasim.

Masa Demokrasi terpimpin adalah suatu masa yang menunjukan bentuk tindak lanjut dari Dekrit Presiden. Yaitu penataan kehidupan politik yang disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan dalam Demokrasi Terpimpin. Dekrit Presiden yang dikeluarkan pada tanggal 5 Juli 1959 merupakan dasar dalam pembentukan demokrasi terpimpin yang memiliki harapan akan dapat dilaksanakan pemerintahan yang sesuai dengan UUD 1945 atau pelaksanaannya dapat dilakukan secara murni dan konsekuen.

Pembaharuan bagi politik dalam negeri Indonesia


Pembaharuan yang terjadi dalam kehidupan politik dalam negeri Indonesia nampak dari tindakan seperti dari tindakan sebagai berikut :

  1. Kedudukan Presiden
    Berdasarkan UUD 1945, kedudukan presiden di bawah MPRS akan tetapi dalam kenyataannya MPRS tidak memiliki kekuasaan dalam mengeluarkan dan memutuskan berbagai kebijakan. Kedudukan presiden sebagai kepala negara merangkap menjadi kepala pemerintahan sehingga memiliki kekuasaan yang bersifat absolut atau mutlak.

  2. Presiden Diangkat Seumur Hidup
    Berdasarkan UUD 1945, seorang presiden dapat ditunjuk sebanyak dua kali periode. Tetapi pada masa demokrasi terpimpin, Dari diangkat seumur hidup tanpa adanya pergantian pemegang kekuasaan.

  3. Presiden membentuk MPRS
    Tindakan presiden membentuk MPRS bertentangan dengan ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945. Sebab berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945, pembentukan MPRS dilakukan melalui pemilihan umum.

  4. Manifesto politik republik Indonesia
    Pidato presiden yang berjudul “penemuan kembali revolusi kita” dijadikan sebagai GBHN (Garis Besar Haluan Negara). Hal itu bertentangan dengan ketentuan UUD 1945.

  5. Pembubaran DPR hasil pemilu dan pembentukan DPR-GR
    Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945, seorang presiden tidak diperkenankan membubarkan DPR. Hal tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Presiden membubarkan DPR hasil pemilu 1945 karena menolak RAPBN yang diajukan presiden.

  6. Pemasyarakatan ajaran nasakom (nasionalis, agama dan komunis)
    Tujuan presiden memasyarakatkan ajaran nasakom adalah untuk menghindari kubu-kubu dalam masyarakat Indonesia. Akan tetapi, ajaran nasakom ini dimanfaatkan oleh PKI untuk memperluas pengaruhnya dalam masyarakat Indonesia dan berusaha menggeser ideologi Pancasila menjadi ideologi komunis.

  7. Perjuangan pembebasan Irian Barat
    Kebijakan politik luar negeri lainnya adalah melakukan perebutan terhadap Irian Barat ke pangkuan Indonesia. Hal ini dilakukan sesuai keputusan KMB di Den Haag yang menyatakan bahwa Belanda akan mengembalikan Irian Barat ke Indonesia setelah keadaan Indonesia stabil. Untuk melaksanakan kebijakan politik ini, Indonesia menggunakan jalam damai dalam perjuangan membebaskan Irian Barat. Kebijakan ini sesuai dengan program kabinet kerja dan kabinet lainnya yakni pembebasan Irian Barat. Setelah satu tahun Irian Barat masih tetap dikuasai oleh Belanda, pemerintah Indonesia menempuh usaha-usaha secara bilateral, namun mengalami kegagalan.

Pada situasi yang demikian itu, Presiden Soekarno selaku presiden/panglima tertinggi APRI/Pemimpin Besar Revolusi/Panglima Besar Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat mengeluarkan tri komando rakyat (trikora) di Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 1961 yang berisi tentang berikut ini:

  1. Gagalkan pembentukan negara Boneka Papua bikinan belanda kolonial
  2. Kibarkan sang merah putih di Irian Barat, tanah air Indonesia.
  3. Bersiaplah untuk mobilisasi umum mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa.

Kesungguhan pihak RI membuahkan hasil. Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969, rakyat Irian Barat memilih tetap bersatu dengan RI. Hasil pepera itu kemudian diterima oleh Majelis Umum PBB dalam persidangan tahun 1969. Setelah Irian Barat kembali bersatu dengan RI, namanya diganti menjadi Irian Jaya.

Pembaharuan Bagi Politik Luar Negeri Indonesia


Pada msa demokrasi terpimpin, telah terjadi penyimpangan terhadap politik luar negeri Indonesia yang bersifat bebas aktif. Hal itu nampak dari tindakan-tindakan yang dilakukan presiden dalam melaksanakan politik luar negeri yaitu :

  1. Indonesia lebih condong ke NEFO (New Emerging Forces)
    NEFO merupakan kelompok Negara-Negara baru yang sedang muncul, yang bersifat revolusioner yaitu Negara-Negara yang berhaluan komunis. Latar belakang Indonesia lebih condong pada kelompok NEFO disebabkan Indonesia menentang terhadap segala bentuk imperialisme dan kolonialisme barat.

  2. Munculnya politik mercusuar
    Politik mercusuar adalah politik yang menganggap bahwa negaranya yang paling baik dan hebat dibandingkan dengan negara-negara lainnya.

  3. Munculnya politik poros antara Jakarta-peking
    Hal ini menyebabkan ruang gerak diplomasi Indonesia di forum internasional menjadi sempit sebab Indonesia berkiblat pada negara-negara komunis.

  4. Indonesia keluar dari PBB
    Penyebab Indonesia keluar dari PBB adalah adanya konflik dengan Malaysia. Pembentukan PAN Melayu yang merupakan bentukan dari imperialisme dan kolonialisme inggris menyebabkan Indonesia menentang segala bentuk imperialisme dan kolonialisme barat. Sementara itu, Malaysia dicalonkan sebagai Anggota Dewan Keamanan Tidak Tetap di PBB, sehingga Indonesia mengajukan pilihan yaitu jika Malaysia tetap dicalonkan menjadi anggota dewan keamanan PBB maka Indonesia memilih untuk keluar dari keanggotaan PBB.

Peran Media Massa pada Demokrasi Terpimpin


Perkembangan politik Indonesia sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 terjadi perubahan dalam kehidupan berpolitik dengan sistem Demokrasi Terpimpin. Situasi ini membuat politik menjadi panglima, Soekarno membentuk aliansi politik yang bertujuan untuk menggalang persatuan yaitu dengan menggalang kekuatan dari Nasionalis, Agama, dan Komunis yeng kemudian dikenal dengan Nasakom. Kemunculan Manifesto Politik (Manipol) yang kemudian dikenal dengan Manipol USDEK yang diperkenalkan oleh Soekarno sebagai dasar adanya Demokrasi Terpimpin dan kemudian ditetapkan sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara membuat semakin rumitnya persoalan bagi media massa. Dalam Manipol disebutkan adanya retooling lembaga-lembaga dan organisasi bangsa demi jalannya revolusi. Tugas retooling yang dibebankan kepada Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran) yang dipimpin oleh Nasution ini juga mengontrol bidang kebudayaan dan bidang pers.

Pada tahun 1960 merupakan awal mulai penerapan Manipolisasi media massa sebagai usaha untuk menyeragamkan pemberitaan yang mendukung kebijaksanaan pemerintah. Tindakan yang dilakukan pertama kali oleh pemerintah adalah mengeluarkan peringatan yang dilakukan oleh Menteri Muda Penerangan R. Maladi yang menyatakan bahwa “langkah-langkah tegas akan dilakukan terhadap surat-surat kabar, majalah-majalah, dan kantor berita yang tidak mentaati peraturan-peraturan yang diperlukan dalam usaha penerbiatan pers nasional. Apabila surat-surat kabar tidak ingin kehilangan subsidi dan izin pembelian kertas, mereka harus memberikan sumbangan pada usaha-usaha pelaksanaan Manifesto Politik dari Presiden serta prinsip-prinsip kepada Undang-Undang Dasar 1945”.

Menurut Edward C Smith bahwa dari sisi eksistensi media adanya perlakuan tersebut sebagai bentuk tindakan yang anti pers. Adanya kompleksitas masalah sistem kenegaraan antara Demokrasi Terpimpin dengan ideologi Manipol USDEK, jargon-jargon politik sebagai sumber berita yang wajib disajikan dalam halaman depan oleh tiap media massa tentunya mengancam kebebasan pers. Ditambah dengan adanya keberpihakan banyak media massa terhadap ideologi tertentu, membuat kualitas pemberitaan menjadi turun. Adanya ancaman pencabutan subsidi kertas koran, pencabutan Surat Ijin Terbit mengakibatkan sebuah media massa tidak dapat melaksanakan fungsi jurnalismenya sebagai kontrol sosial dengan baik dan konsisten.

Penekanan terhadap kebebasan pers tersebut berdasarkan peraturan Peperti No 10/1960. Peraturan Peperti No 10/1960 yang dikeluarkan pada tanggal 12 Oktober 1960 mewajibkan bagi para penerbit media massa untuk mendaftarkan kembali medianya kepada pemerintah melalui Peperti. Pada dasarnya peraturan tersebut membuat seluruh media massa harus memberitakan tentang semangat revolusi pada masa Demokrasi Terpimpin yang didasarkan pada Manipol USDEK. Apabila pers melakukan kritik terhadap kebijakan pemerintah harus selalu sejalan dengan Manipol. Situasi Masa Demokrasi Terpimpin merupakan masa sulit bagi media di Indonesia, hal ini dikarenakan adanya penerapan kebijakan yang ketat. Akibatnya perkembangan media menjadi terhambat dan rendahnya kualitas jurnalistik di Indonesia. Pers kemudian menjadi terkotak-kotak dan terpolarisasi pada partai politik, sehingga terjadi penekanan pada pembenaran ideologi. Tentu saja hal tersebut membuat media massa yang beraliran independen dan kritis berada dalam posisi sulit. Seperti nasib yang dialami Koran Indonesia Raya yang dilarang terbit dan pmpinan redaksinya Mochtar Lubis ditahan.

Sikap represif pemerintah tidak hanya menimpa penerbit pers, perusahaan percetakan juga mengalami nasib yang sama. Pada tanggal 1 Maret 1961 dikeluarkannya peraturan yang menetapkan semua percetakan yang dimiliki perseorangan atau swasta harus dibawah pengawasan pemerintah dengan membentuk Badan Pengawas dan Pembinaan yang bertujuan untuk mengelola serta mengawasi semua percetakan. Unsur-unsur dari badan pengawas tersebut terdiri dari Angkatan Darat, Kepolisian, Penerangan dan Kejaksaan.

Pada tanggal 7 Januari 1961 akibat dari pembubaran PSI dan Masyumi maka dilakukan pembredelan terhadap Harian Pedoman yang pemimpinnya adalah Rosihan Anwar yang pro kepada PSI. Sementara Harian Abadi yang merupakan alat perjuangan Masyumi juga mengundurkan diri. Harian Abadi secara sukarela mengundurkan diri sebelum dibredel oleh pemerintah.Mundurnya harian Abadi selain dikarenakan dibubarkannya Masyumi sebagai partai induknya juga karena masalah penandatanganan 19 butir kesepakatan media massa yang dikeluarkan oleh Penguasa Perang Tertinggi (Peperti).

Saat Presiden Soekarno melancarkan kampanye Manipol, pers sendiri tidak berdaya karena tidak dilengkapi dengan undang-undang pers yang melindungi fungsi, tugas, kewajiban dan hak pers. Pers pada tahun tersebut hanya diatur dengan Ketetapan Presiden nomor 6/1963 dimana peraturan tersebut hanya mengatur prinsip-prinsip yang berhubungan dengan bentuk, tujuan dan pelaksanaan pembinaan pers agar sejalan dengan Manipol dalam usahanya mewujudkan Demokrasi Terpimpin. Dapat disimpulkan bahwa ketetapan Presiden nomor 6/1963 selain berguna untuk mengekang kebebasan pers juga diharapkan agar pers pada masa itu membantu menciptakan suasana yang tetap kondusif dalam pelaksanaan Demokrasi Terpimpin.

Pada periode demokrasi terpimpin, pemikiran ala demokrasi Barat banyak ditinggalkan. Soekarno pemegang pimpinan nasional menyatakan bahwa demokrasi-liberal (demokrasi-parlementer) tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Prosedur pemungutan suara dalam lembaga perwakilan rakyat dinyatakannya pula sebagai tidak efektif. Kemudian, ia memperkenalkan musyawarah untuk mufakat.

Sistem multipartai oleh tokoh politik tersebut dinyatakan sebagai salah satu penyebab inefektivitas pengambilan keputusan karena masyarakat lebih didorong ke arah bentuk yang fragmentaris.

Untuk merealisasikan Demokrasi-Terpimpin ini, dibentuk badan yang disebut Front Nasional. Periode ini disebut pula periode pelaksanaan UUD 1945 dalam keadaan ekstra-ordiner karena terjadi penyimpangan terhadap UUD 1945.

1. Penyaluran Tuntutan

Pada periode ini, besarnya tuntutan yang melebihi kapasitas sistem masih berlanjut. Setelah penyederhanaan kepartaian dan pembentukan FN tersebut, diperoleh suatu stabilitas, yang kadarnya dapat dinilai sebagai berwatak semu karena tidak meletakkan dasar yang kuat dalam proses pergantian pimpinan nasional. Titik berat stabilitas itu lebih mengandalkan tokoh politik yang dapat mengelola FN tersebut.

Dengan adanya FN seolah-olah berlaku sistem satu-partai yang samar. Melalui sistem satu-partai yang samar ini dibinalah suatu gaya yang berdasarkan orientasi terhadap nilai secara mutlak (absolute-value oriented style). Interpretasi pemerintahlah yang selalu “benar”, tidak ada tawaran lain, dan tidak ada alternatif lain.

Kultus individu terhadap tokoh politik yang timbul setelah lebih kurang tahun 1963 menyumbat penyaluran tuntutan, kecuali penyaluran tuntutan dari kelompok yang dapat memberikan dukungan pada elite politik yang berada di pemerintahan. Kendatipun penyaluran dibatasi, dalam praktiknya, tuntutan tetap lebih besar daripada kemampuan sistem. Hal ini karena mekanisme sistem politik Demokrasi-Terpimpin ini belum dilakukan upaya antisipasi seandainya tokoh politik tersebut terpaksa tidak efektif lagi dalam pemerintahan.

Tekanan saluran tuntutan yang tidak tertampung dalam kelembagaan mencari keseimbangan melalui ledakan massa sehingga sekaligus mengakhiri stabilitas politik yang telah diwujudkan dan dibina selama lebih kurang enam tahun. Dalam hal ini sukar rasanya menyangkal postulat keseimbangan (evenredige postulaat) yang dikemukakan oleh Kranenburg.

2. Pemeliharaan dan Kontinuitas Nilai

Sesuai dengan orientasi menuju satu nilai mutlak, hak asasi manusia sering dikesampingkan. Sebaliknya, mibilisasi kekuatan ke arah tujuan yang bernilai mutlak lebih digiatkan melalui antara lain Front Nasional (Amati dukungan untuk mengangkat Ir. Soekarno sebagai Presiden seumur hidup yang sebenarnya inkonstitusional).

Pada periode ini, orientasi yang ideologis, yang di antaranya melalui indoktrinasi lebih mendapat angin daripada orientasi yang bersifat pragmatis. Karena konfigurasi yang sebenarnya dalam FN tersebut masih mengembangkan berbagai ideologi masing-masing anggotanya, yaitu partai politik, terjadilah konflik kecil dan konflik yang terselubung.

Adapun konflik ideologi yang lebih terbuka dapat dicegah karena pengaruh tokoh politik dalam menjaga keseimbangan antarideologi tersebut masih cukup efektif. Yang lebih berkecamuk adalah konflik kejiwaan yang akhirnya meledak dan mengakibatkan hancurnya nilai sistemnya sendiri.

3. Kapabilitas

Dengan lebih diarahkannya aktivitas terhadap nilai-nilai yang bersifat mutlak, pemerintah cenderung untuk lebih berperan dalam mengelola bidang ekstraktif dan distributif. Sejalan dengan nilai tersebut di atas, timbullah keterlibatan pemerintah dalam bidang perekonomian yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak (sesuai dengan pasal 33 UUD 1945 yang bersifat normatif), ditandai dengan reaksi yang menentang kebebasan ekonomi yang diperoleh dalam periode demokrasi-liberal.

Perusahaan-perusahaan negara, yang dibentuk dalam rangka pelaksanaan nasionalisasi beberapa waktu sebelum Dekrit Presiden, dirasakan sesuai dengan konsepsi Demokrasi-Terpimpin. Ekonomi Terpimpin sebagai konsepsi bidang ekonomi Demokrasi-Terpimpin itu lebih menekankan keterlibatan pemerintah, bahkan menjurus ke arah etatisme. Segi regulatif di bidang ekonomi ini pun ternyata masih menyebabkan kurangnya barang-barang yang tersedia dan dapat didistribusi untuk mencukupi kebutuhan masyarakat. Beras, sebagai salah satu kebutuhan utama, diimpor oleh pemerintah secara besar-besaran.

Fokus utama usaha pemerintah pada saat itu adalah peningkatan kapabilitas simbolik yang menekankan proses pembangunan bangsa dan pembangunan karakter, bahkan cende rung memaksakan pembentukan citra kepemimpinan di dunia internasional melalui konsepsi “New Emerging Forces (Nefos)” da lam pelaksanaan politik luar negeri, daripada sekadar memecahkan masalah dalam negeri yang mendesak. Selain itu, sifat kemampuan responsif semakin lemah karena “bahasa” yang dipakai oleh FN seolah-olah sudah diatur oleh tokoh politik yang menjadi ketua pengurus besarnya. Kalaupun ada, saluran di luar FN, tidak mendapat perhatian yang wajar.

4. Integrasi Vertikal

Dengan adanya intensifikasi pembangunan bangsa, sifat primordial (daerah, kesukuan) dan pola aliran yang ada sebelumnya, secara formal dibatasi. Oleh karena itu, hubungan antara elite dengan massa secara formal menjadi lebih tertib pula. Namun, hubungan antara elite dengan massa tetap lebih bersifat arus dari atas ke bawah, atas dasar pola saluran konvensional. Nyatalah dalam hal ini paternalisme dapat hidup lebih subur.

5. Integrasi Horizontal

Pertentangan antarelite menyebabkan elite tertentu diasingkan secara politis. Hanya elite yang bisa menghimpun solidaritaslah yang muncul di arena politik. Akibatnya, elite administrator tersisihkan. Adapun partai sosialis Indonesia dan Masyumi sebagai wadah kaum sosial-demokrat dan Islam modernis yang juga berintikan tenaga administrator dipotong garis hidupnya.

6. Gaya Politik

Ideologi masih tetap mewarnai periode ini, walaupun sudah dibatasi secara formal melalui Penpres tentang Syarat-syarat dan Penyederhanaan Kepartaian (Penpres. No. 7-1959). Tokoh politik memperkenalkan gagasan Nasionalisme, Agama, dan Komunisme (Nasakom).

Kompetisi Nasakomis masih dibenarkan karena dalam kondisi tersebut tokoh politik dapat memelihara keseimbangan. “Jor-joran”: masih berada dalam penguasaan dan didominasi tokoh politik, menurut beberapa pengamat, menjalankan cara yang memecah belah dan kemudian menguasainya. Ketika kepercayaan terhadap tokoh politik itu meluntur, yaitu pada saat dan sesudah G-30-S/PKI meletus, jor-joran tersebut berubah menjadi pertarungan terbuka.

Sementara tokoh politik itu berkuasa, pengaturan masalah kemasyarakatan dan politik lebih cenderung dilakukan secara paksaan. Hal ini dibuktikan oleh merajalelanya teror mental dan munculnya predikat kontrarevolusi pada aliran-aliran yang tidak setuju dengan nilai-nilai yang mutlak tersebut.

7. Kepemimpinan

Para pemimpin pada periode ini berasal dari Angkatan 1928 dan Angkatan 1945, dengan Soekarno sebagai titik pusatnya. Kepemimpinan berdasar pada politik mencari kambing hitam.

Karena sifat kharismatik dan paternalistiknya, para tokoh politik ini dapat menengahi dan memperoleh dukungan dari pihak-pihak yang bertikai, baik dengan sukarela maupun karena terpaksa. Dengan dialektika, pihak yang kurang kemampuannya akan tersingkir dari gelanggang politik dan yang kuat akan merajainya. Gimnastik politik ini lebih menguntungkan PKI.

8. Perimbangan Partisipasi Politik dan Kelembagaan

  1. Massa
    Saluran input partisipasi dibatasi, yaitu hanya melalui FN. Untuk menunjukkan kesiapan kelembagaannya, ditumbuhkanlah output simbolik, misalnya dalam bentuk rapat-rapat raksasa yang menguntungkan rezim yang berkuasa pada saat itu. Akibatnya, partisipasi pada hakikatnya lebih besar daripada kesiapan kelembagaan pemerintahan. Hal ini berarti daya responsif pemerintah dimanipulasi melalui pembentukan dukungan sebagai kamuflase sehingga bersifat maya (imaginer) belaka. Rakyat dalam rapat-rapat raksasa tidak dapat dianggap telah memiliki budaya politik sebagai partisipan, tetapi menunjukkan tingkat budaya politik kaula karena diciptakan atas usaha dari rezim.

  2. Veteran dan Militer
    Sejak Denas dan FN terbentuk, penyaluran kepentingan mantan pejuang lebih meningkat. Organisasi mantan pejuang ini dikenal dengan nama Angkatan 1945, yang termasuk golongan fungsional. Pada pihak lain, partisipasi militer mulai menampakkan diri dengan jelas, sejak pembentukan Denas dan FN. Indikator meningkatnya partisipasi ini adalah bertambah banyaknya jabatan penting dalam pemerintahan, yang semula dipegang oleh kaum sipil, kini dipegang oleh eksponen ABRI. Tentu saja, yang lebih dahulu “jatuh” ke tangan pihak mili ter adalah jabatan menteri pertahanan dan menteri panglima angkatan bersenjata.

9. Pola Pembangunan Aparatur Negara

Loyalitas kembar pegawai negeri telah diganti dengan monoloyalitas, walaupun terbatas pada tingkat kepangkatan tertentu saja (golongan 6, 1 ke atas). Artinya, pegawai negeri golongan 6, 1 ke atas harus menanggalkan keanggotaannya dari partai politik.

10. Tingkat Stabilitas

Stabilitas, ditinjau dari segi tersedianya jangka waktu yang cukup lama untuk melaksanakan program pemerintahan dan kontinuitas pemerintahan, dapat menelurkan prestasi pembangunan. Namun, stabilitas ini (sebagai hasil berinteraksinya seluruh variabel) tidak diarahkan untuk melancarkan pembangunan bagi kesejahteraan dalam arti luas. Itulah sebabnya tidak terjadi pelimpahan hasil pembangunan ekonomi terhadap bidang politik karena pembangunan ekonomi tidak menjadi titik berat kebijaksanaan pemerintah.