Bagaimana Pertanggungjawaban Pengurus dalam Tindak Pidana Korporasi?

image
Bagaimana model penerapan kesalahan dalam pertanggungjawaban pada Tindak Pidana Korporasi? Apabila penerapan kesalahan pertanggungjawaban ditujukan terhadap pengurus korporasi tersebut, lalu apa perbedaan pertanggungjawaban korporasi ini apabila pada akhirnya yang bertanggung jawab adalah pengurus korporasi (dalam arti manusia perorangan)?

Kesalahan dalam Konsep Hukum Pidana

Mengenai pembuktian dari kesalahan (schuld) dalam Hukum Pidana, telah dikenal adagium populer yang diadopsi dari Pasal 44 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), yaitu asas “Tiada Pidana (Pemidanaan) Tanpa Kesalahan” atau yang dikenal dengan istilah “Geen Straf Zonder Schuld” dalam konsep Eropa Kontinental dan “Actus Non Facit Reum Nisi Mens Sit Rea” dalam konsep Anglo Saxon (“An act does not constitute itself guilt unless the mind is guilty”).

Selanjutnya menurut pendapat Roeslan Saleh yang dikatakan bersesuaian pendapatnya dengan Moeljatno, sebagaimana dikutip oleh E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi dalam bukunya Asas Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya (hal. 165), kesalahan dalam konsep Hukum Pidana, terdiri dari 3 unsur yaitu:

  1. Kemampuan bertanggungjawab;
  2. Kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa) sebagai bentuk kesalahan, dan pula sebagai penilaian dari hubungan batin dengan perbuatannya si pelaku;
  3. Tidak adanya alasan pemaaf.

Tindak Pidana oleh Korporasi di Indonesia

Di Indonesia sendiri pengaturan mengenai tindak pidana yang dilakukan oleh Korporasi tersebar di beberapa peraturan perundang-undangan, misalnya dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (“UU Tipikor”) dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (“UU Lingkungan Hidup”).

Adapun pengertian Korporasi yang dapat kita ketahui dari UU Tipikor adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.[1]

Untuk mengisi kekosongan hukum yang ada mengenai pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh Korporasi, maka sambil menunggu pengesahan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) dan Rancangan Kitab Hukum Acara Pidana Indonesia (RUU KUHAP), Mahkamah Agung RI telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi (“Perma 13/2016”) sebagai pedoman bagi aparat penegak hukum dalam penanganan perkara pidana yang dilakukan oleh Korporasi.

Sesuai Pasal 4 ayat (2) Perma 13/2016, dalam menjatuhkan pidana terhadap Korporasi, Hakim dapat menilai kesalahan Korporasi antara lain dengan parameter sebagai berikut:

  1. Korporasi dapat memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak pidana tersebut atau tindak pidana tersebut dilakukan untuk kepentingan Korporasi;

  2. Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana; atau

  3. Korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana.

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

Badan hukum pada pokoknya adalah suatu badan atau perkumpulan yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan seperti seorang manusia, serta memiliki kekayaan sendiri, dapat digugat dan menggugat di depan hakim.
Dari pengertian tersebut, Korporasi adalah subjek hukum (recht persoon) yang merupakan bentuk artificial person dari seorang manusia yang dapat memiliki hak dan kewajiban hukum. Yang membedakannya dengan manusia adalah korporasi sebagai subjek hukum tentunya tidak dapat dikenakan pemidanaan berupa pidana yang merampas kemerdekaan badan (penjara).

Mengingat hakikat Korporasi sebagai subjek hukum dalam bentuk artificial person, maka Pasal 5 Perma 13/2016 telah mengatur bahwa dalam hal seorang atau lebih Pengurus Korporasi berhenti, atau meninggal dunia tidak mengakibatkan hilangnya suatu pertanggungjawaban Korporasi. Oleh karena itu, dalam Pasal 23 Perma 13/2016 juga diatur bahwa Hakim dapat menjatuhkan pidana terhadap Korporasi ATAU Pengurus, atau Korporasi DAN Pengurus, baik secara alternatif maupun kumulatif.

Adapun sanksi atau hukum yang dapat dijatuhkan terhadap Korporasi menurut pedoman yang digariskan dalam Pasal 25 ayat (1) Perma 13/2016 adalah pidana pokok dan/atau pidana tambahan. Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap Korporasi adalah pidana denda. Sedangkan pidana tambahan yang dijatuhkan terhadap Korporasi sesuai yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain[3], yaitu Pasal 10 KUHP dan ketentuan jenis pidana lain yang tersebar dalam undang-undang lain sebagai lex specialis dari KUHP yang merupakan legi generali.