Bagaimana perlindungan terhadap saksi, penyidik, penuntut umum, hakim serta keluarganya dalam pengadilan terorisme?

“Terrorism means the use of violence for political ends and includes any use of violence for the purpose putting the public or any section of the public in fear.” Pasal 14 ayat 1 The Prevention of Terrorism (Temporary Provisions) act, 1984

Kegiatan Terorisme mempunyai tujuan untuk membuat orang lain merasa ketakutan sehingga dengan demikian dapat menarik perhatian orang, kelompok atau suatu bangsa.

Bagaimana perlindungan terhadap saksi, penyidik, penuntut umum, hakim serta keluarganya dalam pengadilan terorisme ?

Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban serta merupakan salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan setiap negara. Terorisme sudah merupakan kejahatan yang bersifat internasional yang menimbulkan bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan masyarakat.

Saksi adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang dan dapat mengakibatkan terangnya suatu perkaramengenai hak-hak yang dirinya alami, dengar ataupun ia lihat secara langsung. Pada keterangan saksi dibagi menjadi 2 yaitu keterangan saksi biasa dan keterangan saksi ahli.

Dalam kasu terorisme, dan kasus kejahatan khusus lainnya, perlindungan saksi dan seluruh penegak hukum beserta keluarganya sangat perlu untuk diperhatikan oleh pemerintah, mengingat ancaman yang begitu besar bagi mereka dalam menghadapi permasalahan tersebut.

Dalam Peraturan KAPOLRI No. 17 Tahun 2005 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus terhadap Pelapor dan Saksi khusus terhadap pelapor, saksi dan keluarganya meliputi beberapa hal, yaitu :

  • Pertama, perlindungan atas keamanan pribadi dari ancaman fisik dan mental.
  • Kedua, perlindungan terhadap harta.
  • Ketiga, perlindungan berupa kerahasiaan dan penyamaran identitas.
  • Keempat, pemberian keterangan tanpa bertatap muka (konfrontasi) dengan tersangka atau terdakwa pada setiap tingkat pemeriksanaan perkara.

Perlindungan hukum dan segala aspeknya merupakan salah satu hak korban dan saksi (Vide pasal 3 dan pasal 5 UU No. 31 Tahun 2014). Penjelasan Umum UU No. 31 Tahun 2014, antara lain menyatakan alasan bagi perlindungan korban dan saksi, adalah sebagai berikut:

  1. Saksi dan Korban berhak:

    a. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, Keluarga, dan harta bendanya,serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;
    b. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;
    c. memberikan keterangan tanpa tekanan;
    d. mendapat penerjemah;
    e. bebas dari pertanyaan yang menjerat;
    f. mendapat informasi mengenai perkembangan kasus;
    g. mendapat informasi mengenai putusan pengadilan;
    h. mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan;
    i. dirahasiakan identitasnya;
    j. mendapat identitas baru;
    k. mendapat tempat kediaman sementara;
    l. mendapat tempat kediaman baru;
    m. memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
    n. mendapat nasihat hukum;
    o. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu Perlindungan berakhir; dan/atau
    p. mendapat pendampingan.

  2. Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Saksi dan/atau Korban tindak pidana dalam kasus tertentu sesuai dengan Keputusan LPSK.

  3. Selain kepada Saksi dan/atau Korban, hak yang diberikan dalam kasus tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat diberikan kepada Saksi Pelaku, Pelapor, dan ahli, termasuk pula orang yang dapat memberikan keterangan yang berhubungan dengan suatu perkara pidana meskipun tidak ia dengar sendiri, tidak ia lihat sendiri, dan tidak ia alami sendiri, sepanjang keterangan orang itu berhubungan dengan tindak pidana.”

Legalitas perlindungan ini tersurat setidaknya dalam UU No. 31 Tahun 2014 tentang perlindungan saksi dan korban, yang di tindaklanjuti dengan peraturan pemerintah nomor 44 tahun 2008 tentang pemberian kompensasi, restitusi, dan bantuan kepada saksi dan korban.

Selain mendapatkan perlundungan, khusus untuk tindak pidana terorisme dan kejahatan hak asasi manus yang berat, korban juga mendapatkan kompensasi atas kerugian yang mereka derita. Hal ini diatur dalam pasal 7 UU No. 31 Tahun 2014.

Pasal 7

  1. Setiap Korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan Korban tindak pidana terorisme selain mendapatkan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 6, juga berhak atas Kompensasi.

  2. Kompensasi bagi Korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat diajukan oleh Korban, Keluarga, atau kuasanya kepada Pengadilan Hak Asasi Manusia melalui LPSK.

  3. Pelaksanaan pembayaran Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan oleh LPSK berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

  4. Pemberian Kompensasi bagi Korban tindak pidana terorisme dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang yang mengatur mengenai pemberantasan tindak pidana terorisme

UU No. 31 Tahun 2014 dapat dilihat pada attachment dibawah ini,

UU Nomor 31 Tahun 2014.pdf (353.7 KB)

Berikut adalah Tata cara memperoleh perlindungan:

  1. mengajukan permohonan secara tertulis kepada LPSK;

  2. LPSK memeriksa permohonan dan paling lambat 7 (tujuh) hari harus ada keputusan tertulis;

  3. Apabila LPSK menerima permohonan, maka saksi dan/ atau korban menandatangani pernyataan kesediaan untuk mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan saksi dan/atau korban yang memuat:

    • kesediaan saksi dan/atau korban untuk memberikan kesaksian dalam proses peradilan;
    • kesediaan saksi dan/atau korban untuk menaati aturan yang berkenaan dengan keselamatannya;
    • kesediaan saksi dan/atau korban untuk tidak berhubungan dengan cara apapun dengan orang lain selain atas persetujuan LPSK, selama ia berada dalam perlindungan LPSK.
    • kewajiban saksi dan/atau korban untuk tidak memberitahukan kepada siapapun mengenai keberadaanya di bawah perlindungan LPSK.
  4. LPSK wajib memberikan perlindungan sepenuhnya kepada saksi dan/atau korban termasuk keluarga, sejak di tandatangani pernyataan kesediaan tersebut.

Proses Penghentian Perlindungan adalah sebagai berikut :

  1. Atas permohonan saksi dan/ atau korban jika permohonan diajukan atas inisiatif sendiri.
  2. Atas permintaan pejabat yang berwenang, bila permohonan perlindungan diajukan pejabat yang bersangkutan.
  3. Saksi dan/atau korban melanggar ketentuan tertulis dalam perjanjian.
  4. LPSK berpendapat bahwa saksi dan/atau korban tidak lagi memerlukan perlindungan berdasarkan bukti-bukti yang meyakinkan.
  5. Penghentian perlindungan harus dilakukan secara tertulis.

Tata cara pemberian bantuan

  1. bantuan di berikan atas permintaan tertulis dari yang bersangkutan ataupun orang yang mewakili kepada LPSK.
  2. LPSK menentukan kelayakan di berikannya bantuan kepada saksi dan/korban serta jangka waktu dan besaran biaya yang di perlukan.
  3. Keputusan LPSK mengenai pemberian bantuan harus di beritahukan secara tertulis kepada yang bersangkutan paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak di terimanya permintaan.

Pasal 33 Perpu No.1 Tahun 2002 :

Saksi, Penyidik, PU, Hakim yang memeriksa beserta keluarganya wajib diberi perlindungan dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa dan/atau hartanya : sebelum, selama, sesudah proses pemeriksaan perkara.

Bentuk-bentuk Perlindungan :

  1. Perlindungan atas keamanan pribadi dari ancaman fisik dan mental
  2. Kerahasiaan identitas saksi
  3. Pemberian keterangan pada saat pemeriksaan di sidang Pengadilan tanpa bertatap muka dengan tersangka. (Pasal 34 ayat (1) Perpu No.1 Tahun 2002)

Penjelasan Pasal : cukup jelas

Diatur lebih lanjut dalam PP No.24 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Saksi, Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim dalam Perkara Tindak Pidana Terorisme.

Batasan :

  1. Perlindungan : jaminan rasa aman yang diberikan oleh negara kepada Saksi, Penyidik, PU dan Hakim dari kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam perkara tindak pidana terorisme (Pasal 1 angka ke-1 PP No. 24 Tahun 2003)

  2. Saksi : orang yang memberi keterangan guna penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan/atau pemeriksaan di sidang pengadilan tentang perkara tindak pidana terorisme yang ia dengar sendiri, lihat sendiri dan alami sendiri (Pasal 1 angka ke-2 PP No.24 Tahun 2003).

  3. Keluarga : Keluarga inti yang terdiri dari suami/isteri dan anak dari Saksi, Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim (Pasal 1 angka ke-3 PP No.24 Tahun 2003.

Permohonan dan Pelaksanaan Perlindungan

Perlindungan wajib dilakukan oleh pejabat Kepolisian Negara RI yang wilayah kerjanya meliputi tempat terjadinya TPTerorisme (Pasal 4 ayat (1) PP No.24 Tahun 2003) atau oleh pejabat Kepolisian Negara RI yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal Saksi, Penyidik, PU atau Hakim yang bersangkutan (ayat (2) PP No.24 Tahun 20003) atau oleh pejabat Kepolisian Negara RI yang wilayah kerjanya meliputi tempat sidang Pengadilan dilaksanakan (ayat (3) PP No. 24 Tahun 2003).

Perlindungan terhadap saksi wajib diberikan oleh Penyidik, PU atau Hakim dalam semua tingkat pem. Perkara (Pasal 5 PP No.24 Tahun 2003). Perlindungan tersebut wajib diberitahukan kepada Saksi, Penyidik, PU atau Hakim dalam waktu 1 hari sebelum perlindungan diberikan (Pasal 6 PP No.24 Tahun 2003).

Bila belum diberikan maka yang bersangkutan dapat mengajukan permohonan kepada pejabat Kepolisian Negara RI yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal Saksi, Penyidik, PU atau Hakim (Pasal 7 ayat (2) jo ayat (1) PP No.24 Tahun 2003). Dalam hal diajukan Saksi, tembusan surat permohonan disampaikan kepada Penyidik, PU dan Hakim dalam semua tk. Pem. perkara (ayat (3) PP No.24 Tahun 2003). Perlindungan yang diajukan pada tahap penyidikan berlaku sampai berakhirnya pem. di sidang Peng (Penjelasan Pasal 7 ayat (1) PP No. 24 Tahun 03).

Ketentuan tersebut juga berlaku bagi keluarga (lihat penjelasan Pasal 7 ayat (1) PP No.24 Tahun 2003).

Dalam waktu paling lama 1 x 24 jam sejak permohonan diterima, Kepolisian Negara RI akan melakukan klarifikasi atas kebenaran laporan dan identifikasi bentuk perlindungan yang diperlukan. Teknis pelaksanaan perlindungan diatur lebih lanjut oleh Kapolri (Pasal 8 PP No. 24 Tahun 2003). Biaya dibebankan pada Anggaran Kepolisian Negara RI (Pasal 11 ayat (2) PP No. 24 Tahun 2003).

Saksi yang didatangkan dari luar negeri, perlindungan dilakukan dengan kerjasama dengan pejabat Kepolisian negara yang bersangkutan (Pasal 10 PP No. 24 Tahun 2003).

Pemberian Perlindungan dihentikan dalam hal :

  1. berdasarkan penilaian Kepolisian, tidak diperlukan lagi atau
  2. atas permohonan yang bersangkutan (Pasal 9 ayat (1) PP No.24 Tahun 2003)

Penghentian pemberian perlindungan atas dasar Pasal 9 ayat (1) huruf a PP No.24 Tahun 2003 harus diberitahukan secara tertulis kepada Saksi, Penyidik, PU dan atau Hakim dalam waktu paling lambat 3 hari sebelum perlilndungan dihentikan (Pasal 9 ayat (2) PP No.24 Tahun 2003).

KOMPENSASI, RESTITUSI DAN REHABILITASI

Kompensasi

Korban atau ahli waris berhak mendapatkan kompensasi atau restitusi (Pasal 36 ayat (1) UU Pemberantasan TP Terorisme).

Penjelasan : Kompensasi adalah penggantian yang bersifat materiil dan immateriil.
Kompensasi pembiayaannya dibebankan kepada Negara yang dilaksanakan oleh Pemerintah (Pasal 36 ayat (2) UU PTP Terorisme).

Restitusi

Restitusi merupakan ganti kerugian yang diberikan oleh pelaku kepada korban atau ahli warisnya (Pasal 36 ayat (3) UU PTP Terorisme)

Kompensasi dan/atau restitusi diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar putusan Pengadilan (Pasal 36 ayat (4) UU PTP Terorisme)

Kompensasi diajukan oleh korban atau kuasanya kepada Menteri Keuangan berdasarkan amar putusan (Pasal 38 ayat (1) UU PTP Terorisme).

Restitusi diajukan oleh korban atau kuasanya kepada pelaku atau pihak ketiga (Pasal 38 ayat (2) UU PTP Terorisme).

Menteri Keuangan dan Pelaku memberikan kompensasi dan/atau restitusi paling lambat 60 hari kerja terhitung sejak penerimaan permohonan (Pasal 39 UU PTP Terorisme).
MenKeu, Pelaku atau Pihak Ketiga melaporkan pelaksanaan pemberian kompensasi dan/atau restitusi kepada Ketua Pengadilan yang memutus perkara disertai tanda bukti pelaksanaan pemberian kompensasi, restitusi dan/atau rehabilitasi (Pasal 40 ayat (1) UU PTP Terorisme).

Salinan tanda bukti pelaksanaan pemberian kompensasi dan/atau restitusi disampaikan kepada korban atau ahli warisnya (Pasal 40 ayat (2)).

Ketua Pengadilan setelah menerima tanda bukti akan mengumumkan pelaksanaan tersebut pada Papan Pengumuman Pengadilan yang bersangkutan (Pasal 40 ayat (3)).
Pemberian kompensasi dan/atau restitusi dapat dilakukan secara bertahap, setiap tahapan pelaksanaan atau keterlambatan pelaksanaannya dilaporkan kepada Pengadilan (Pasal 42 UU Pemberantasan TP Terorisme).

Dalam hal pelaksanaan pemberian kompensasi dan/atau restitusi kepada pihak korban melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, korban atau ahli warisnya dapat melaporkan hal tersebut kepada Pengadilan (Pasal 41 ayat (1) UU PTP Terorisme). Pengadilan segera memerintahkan Menteri Keuangan, Pelaku atau Pihak Ketiga untuk melaksanakan putusan tersebut paling lambat 30 hari kerja terhitung sejak tanggal perintah tersebut diterima (Pasal 41 ayat (2) UU PTP Terorisme).

Rehabilitasi

Tiap orang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh Pengadilan diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah BHT (Pasal 37 ayat (1) UU PTP Terorisme).

Penjelasan Pasal 37 UU PTP Terorisme :

Rehabilitasi adalah pemulihan pada kedudukan semula, misalnya : kehormatan, nama baik, jabatan atau hak-hak lain termasuk penyembuhan dan pemulihan fisik atau psikis serta perbaikan harta benda.

Rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus didalam putusan Pengadilan sebagian dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) di atas (Pasal 37 ayat (2) UU PTP Terorisme).
Pengajuan rehabilitasi dilakukan oleh Korban Kepada Menteri Kehakiman & HAM (Pasal 38 ayat (3) UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme).

Sumber : Bambang Dwi Baskoro, Hukum Acara Pidana Lanjut, Universitas Diponegoro