Bagaimana perlindungan terhadap saksi dan korban kejahatan Hak Asasi Manusia?

Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:

  • pembunuhan
  • pemusnahan
  • perbudakan
  • pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa
  • perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang - wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional
  • penyiksaan
  • perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara
  • penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional
  • penghilangan orang secara paksa
  • kejahatan apartheid.

Bagaimana perlindungan terhadap saksi dan korban kejahatan Hak Asasi Manusia serta kompensasi, restitusi dan rehabilitasi ?

Menurut pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat menyebutkan bahwa :

Perlindungan adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman, baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi, dari ancaman, gangguan, terror, dan kekerasan dari pihak manapun yang diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atas pemeriksaan di sidang pengadilan

Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat menyebutkan bahwa :

Korban adalah orang perorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak mana pun.

Pasal 1 angka 3 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban Dan Saksi Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat menyebutkan bahwa :

Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang ia dengar sendiri, lihat sendiri, dan alami sendiri, yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun.

Dari pengertian perlindungan, korban dan saksi diatas, terdapat bermacam kendala untuk memberikan keterangan baik adanya ancaman, terror dan kekerasan, maka perlu untuk memberikan perlindungan kepada korban dan saksi baik pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan.

Perlindungan korban memiliki dua makna yaitu :

  • Dapat diartikan sebagai perlindungan hukum untuk tidak menjadi korban tindak pidana (berarti perlindungan HAM atau kepentingan seseorang)

  • Dapat diartikan sebagai perlindungan untuk memperoleh jaminan/santunan hukum atas penderitaan/orang yang telah menjadi korban tindak pidana.

Perlindungan hukum yang diberikan kepada korban dan saksi dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat menurut peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia yang berat adalah sebagai berikut :

Perlindungan korban dan saksi pelanggaran hak asasi manusia tersirat dalam beberapa penafsiran pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia seperti berikut :

  1. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlakukan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum (pasal 3ayat (2)).

  2. Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaan di depan hukum (pasal 5 ayat (1)).

  3. Setiap orang berhak mendapatkan bantuan dan perlindungan yang adil dari pengadilan yang objektif dan tidak berpihak (pasal 5 ayat(2)).

  4. Setiap orang tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan dan gugatan, baik dalam perkara pidana,perdaata, maupun administrasi, serta diadili melalui proses pengadilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar (pasal 17).

  5. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi,keluarga, kehormatan, martabat dan hak miliknya (pasal 29 ayat (2))

  6. Setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum sebagai manusia pribadi di mana saja ia berada (pasal 29 ayat (2)).

  7. Setiap orang berhak atas rasa aman tentram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu (pasal 30).

Perlindungan korban dan saksi menurut Pasal 34 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia adalah

  1. Setiap korban dan saksi dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat berhak atas perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, terror, dan kekerasan dari pihak manapun.

  2. Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum dan aparat keamanan secara cuma-cuma.

  3. Ketentuan mengenai tata cara perlindungan terhadap korban dan saksi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban Dan Saksi Dalam Pelanggaran HAM Yang Berat menentukan perlindungan yang diperoleh korban dan saksi adalah

  1. Setiap korban atau saksi dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat berhak memperoleh perlindungan dari aparat penegak hukum dan aparat kemanan

  2. Perlindungan oleh aparat penegak hukum dan aparat kemanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan sejak tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.

Sedangkan pada Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perlindungan Terhadap Korban Dan Saksi Dalam Pelanggaran HAM Yang Berat, perlindungan yang diberikan meliputi :

  1. Perlindungan atas keamanan pribadi korban atau saksi dari ancaman fisik dan mental;

  2. Perahasiaan identitas korban dan saksi;

  3. Pemberian keterangan pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan tanpa bertatap muka dengan tersangka.

Terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara perlindungan Korban Dan Saksi Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat belum dilengkapi prosedur teknis pemberian perlindungan dan pengamanan saksi secara detail. Terhadap kekurangan yang terdapat dalam peraturan pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tersebut maka dikeluarkanlah Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban.

Dikeluarkannya undang-undang perlindungan saksi dan korban adalah untuk melengkapi kelemahan yang terdapat dalam peraturan pemerintah Nomor 2 tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban Dan Saksi Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat.

Selain perlindungan korban kejahatan, korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat juga dilindungi. Itu dapat dilihat dari pasal 5, 6, 8 dan 9 undang-undang perlindungan saksi dan korban.Dalam undang-undang ini dibentuk Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).LPSK siap memfasilitasi Korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat untuk mendapatkan bantuan baik psikis maupun psikologis.

Prosedur pemberian perlindungan terhadap korban dan saksi diatur dalam pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 yaitu

1. Perlindungan terhadap korban dan saksi dilakukan berdasarkan :

  • Inisiatif aparat penegak hukum dan aparat kemanan; dan atau
  • Permohonan yang disampaikan oleh korban dan saksi.

2. Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b disampaikan kepada :

  • Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, pada tahap penyelidikan;
  • Kejaksaan, pada tahap penyidikan dan penuntutan;
  • Pengadilan, pada tahap pemeriksaan.

3. Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) disampaikan lebih lanjut kepada aparat keamanan untuk ditindaklanjuti.

4. Permohonan perlindungan dapat disampaikan secara langsung kepada aparat keamanan.

Dalam pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat disebutkan setelah menerima laporan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, aparat penegak hukum atau aparat keamanan melakukan :

  • Klarifikasi atas kebenaran permohonan; dan
  • Identifikasi bentuk perlindungan yang diperlukan.

Baik dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM maupun Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat, memang tidak diatur secara detail dan secara rinci bagaimana teknisnya pemberian perlindungan hukum korban dan saksi pelanggaran HAM yang berat, tetapi hanya menjelaskan tentang bentuk perlindungan, syarat adanya perlindungan, persetujuan adanya perlindungan, oleh karenanya teknis perlindungan ini juga kemudian mengacu pada ketentuan dalam KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana-UU Nomor 8 Tahun 1981), karena berdasarkan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000, hukum acara pengadilan HAM yang tidak diatur dalam UU tersebut akan mengacu pada KUHAP.

Dalam hal prosedur penghentian pemberian perlindungan tidak diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Perlindungan Korban Dan Saksi Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat sehingga sehingga mengacu pala undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban bahwa LPSK sudah menyusun Standar Operasional Prosedur (SOP) untuk mengatur kekurangan yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban Dan Saksi Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat tersebut.

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN


Dalam Pasal 34 UU No.26 Tahun 2000 dikatakan:

Ayat (1) : setiap korban dan saksi dalam pelanggaran HAM yang berat berhak atas perlindungan fisik & mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun.
Ayat (2) : perlindungan tersebut wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum dan aparat keamanan secara Cuma- cuma.
Ayat (3) : diatur lebih lanjut di dalam PP

Di dalam PP No. 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Korban dan Saksi dalam pelanggaran Hak-Hak Asasi Manusia yang Berat diberikan.

Batasan-batasan (Pasal 1 PP No. 2 Tahun 2000) :

  1. Perlindungan adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman, baik fisik maupun mental, kekerasan dari pihak manapun yang diberikan pada tahap Penyelidikan, Penyidikan, Penuntutan dan atau Pemeriksaan di sidang pengadilan.

  2. Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror dan kekerasan dari pihak manapun.

  3. Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan Penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan tentang perkara pelanggaran ham yang berat yang ia dengar sendiri, lihat sendiri dan alami sendiri yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror dan kekerasan dari pihak manapun.

  4. Ancaman, gangguan, teror dan kekerasan adalah segala bentuk perbuatan memaksa yang bertujuan menghalang-halangi atau mencegah seseorang sehingga baik langsung atau tidak langsung mengakibatkan orang tersebut tidak dapat memberikan keterangan yang benar untuk kepentingan Penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.

Selanjutnya di dalam Pasal 2 ayat (2) PP No.2 Tahun 2002 dikatakan:

Perlindungan oleh aparat penegak hukum dan aparat keamanan diberikan sejak tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.

Penjelasan :

Yang dimaksud “pemeriksaan di sidang pengadilan” adalah proses pemeriksaan pada sidang Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi atau MA.

Bentuk Perlindungan

Bentuk-bentuk perlindungan meliputi (Pasal 4 PP No.2 Tahun 2002):

  1. Perlindungan atas keamanan pribadi korban atau saksi dari ancaman fisik dan mental;
  2. Perahasiaan identitas korban atau saksi;
  3. Pemberian keterangan pada saat pemeriksaan di sidang pengakuan tanpa bertatap muka dengan tersangka.

Tata Cara Permohonan dan Pemberian Perlindungan

Dalam Pasal 5 PP No.2 Tahun 2002 dikatakan::

Ayat (1) : perlindungan terhadap korban dan saksi dilakukan berdasarkan :
a. inisiatif aparat penegak hukum dan aparat keamanan, dan atau
b. permohonan yang disampaikan oleh korban atau saksi. Penjelasan :

Yang dimaksud dengan inisiatif aparat penegak hukum atau aparat keamanan adalah tindakan perlindungan yang langsung diberikan berdasarkan pertimbangan aparat bahwa korban dan saksi perlu segera dilindungi.

Inisiatif tersebut dapat berasal dari laporan masyarakat.

Ayat (2) : permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b, disampaikan kepada :
a. Komnas HAM, pada tahap Penyelidikan;
b. Kejaksaan, pada tahap Penyidikan dan Penuntutan;
c. Pengadilan, pada tahap Pemeriksaan.

Penjelasan : perlindungan yang diajukan pada tahap tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat tersebut sekaligus merupakan permohonan untuk tahap berikutnya.

Ayat (3) : permohonan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (2) disampaikan lebih lanjut kepada aparat keamanan untuk ditindaklanjuti.

Ayat (4) : permohonan perlindungan dapat disampaikan secara langsung kepada aparat keamanan.

Selanjutnya di dalam Pasal 6 PP No. 2 Tahun 2002 :

Setelah menerima permohonan, aparat penegak hukum atau aparat keamanan melakukan :

a. klarifikasi atas kebenaran permohonan dan
b. identifikasi bentuk perlindungan yang diperlukan

Pemberian perlindungan terhadap korban dan saksi dihentikan (Pasal 7 PP No. 2 Tahun 2002) apabila :

Ayat (1)

a. atas permohonan yang bersangkutan;
b. korban dan atau saksi meninggal dunia, atau
c. berdasarkan pertimbangan aparat penegak hukum atau aparat keamanan, perlindungan tidak diperlukan lagi.

Ayat (2) : penghentian perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c, harus diberitahukan secara tertulis kepada yang bersangkutan dalam waktu paling lambat 3 hari sebelum perlindungan dihentikan.

Pasal 8 ayat (2) PP No. Tahun 2002 : segala biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan terhadap korban dan saksi dibebankan pada anggaran masing-masing instansi aparat penegak hukum atau aparat keamanan.

KOMPENSASI, RESTITUSI DAN REHABILITASI


Dalam Pasal 35 UU No.26 Tahun 2000 dikatakan :

Ayat (1) : setiap korban pelanggaran HAM yang berat dan atau ahli warisnya dapat memperoleh kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.

Ayat (2) : kompensasi, restitusi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicantumkan dalam amar putusan Pengadilan HAM.

Penjelasan Pasal 35 UU No. 26 Tahun 2000 :

  • Yang dimaksud dengan “kompensasi” adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara, karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggungjawabnya.
  • Yang dimaksud dengan “restitusi” adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga.

Restitusi dapat berupa :

a. pengembalian harta milik;
b. pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau
c. penggantian biaya untuk tindakan tertentu.

Yang dimaksud dengan “rehabilitasi” adalah pemulihan pada kedudukan semula, misalnya kehormatan, nama baik, jabatan atau hak-hak lain.

Ayat (3) : diatur lebih lanjut di dalam PP

PP No. 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran Hak-Hak Asasi Manusia yang berat.

Sumber : Bambang Dwi Baskoro, Hukum Acara Pidana Lanjut, Universitas Diponegoro