Bagaimana Perkembangan Politik Kolonial 1800-1900?

image

Bagaimana Perkembangan Poliitk Kolonial 1800-1900?

1. Politik Kolonial Konservatif (1800-1870)

Setelah VOC gulung tikar pada tahun 1799 semua kegiatannya, terutama perdagangan, diambil alih oleh pemerintah Hindia Belanda dan sejak itu usahanya ditekankan pada eksploitasi ekonomi yang dibarengi penetrasi politik. Sampai dengan tahun 1830 pemerintah masih mencoba-coba jenis eksploitasi mana yang sesuai dan banyak menghasilkan keuntungan. Diperkenalkan sistem administrasi yang birokrasi guna menunjang pemasukan uang melalui sistem sewa tanah. Akan tetapi usaha ini mengalami kegagalan dan keuangan pemerintah habis untuk membiayai Perang Diponegoro (1925-1830).

Tahun 1830 pemerintah melaksanakan Tanam Paksa (cultuurstelsel) dengan mengitensifkan sistem tradisional yang terdapat dalam ikatan feodal. Pada tahun 1848 Tanam Paksa mendapat serangan hebat melalui perdebatan parlemen Belanda dan tulisan-tulisan yang mengutuk praktek yang tidak manusiawi. Pada tahun 1870, empat puluh tahun pelaksanaan Tanam Paksa, Belanda menerima keuntungan sebesar 823 juta gulden. Keuntungan ini digunakan untuk membangun perdagangan dan pelayarannya lumpuh, membangun industri yang macet, dan memperkaya pemilik pabrik.

2. Politik Kolonial Liberal (1870-1900)

Kemajuan perdagangan Belanda diperoleh dari penjualan hasil perkebunan di

Indonesia menyebabkan perkembangan di sektor lain, seperti lahirnya industri, pelayaran dan perbankan. Kemajuan ini diperoleh dari keuntungan Tanam Paksa, padahal penduduk menderita karena beratnya pelaksanaan Tanam Paksa. Sementara itu, golongan liberal berupaya mengadakan perubahan, antara lain dengan peraturan anggaran dalam Undang-Undang. Dengan keluarnya Peraturan Pemerintah tahun 1854 maka koloni diatur secara liberal demi kemajuan koloni. Penyelewengan dan penekanan dari sedikit mulai berkurang dan Tanam Paksa bagi tanaman yang kurang komersial mulai dihapuskan. Ide liberal mendorong usaha perseorangan dan pemerintah tidak turut campur tangan. Tanam Paksa akhirnya diganti dengan kerja bebas. Kepentingan politik golongan liberal membawa dampak ekonomi di koloni dengan didirikannya infrastruktur dan keuntungan pun diperoleh dengan mudah. Akan tetapi, semua usaha golongan liberal mendapat jalan setelah Hindia Belanda mengeluarkan Undang-Undang Agraria tahun 1870. Undang-undang ini pada dasarnya melarang penjualan tanah kepada orang asing, tetapi mereka hanya diperkenankan menyewanya dalam waktu 75 tahun.

3. Politik Kolonial Etis (1900-1942)

Perdebatan antara golongan-golongan politik di Belanda mengenai bagaimana

cara dan dengan cara apa mengeksploitasi koloni tidak kunjung selesai. Politik kolonial konservatif yang dianggap kuno itu diserang oleh golongan liberal yang akan menguntungkan kedua belah pihak, penjajah dan terjajah, tetapi kenyataannya pihak terjajah tinggal terbelakang. Selanjutnya politik kolonial liberal itu tidak lepas dari kritikan golongan etis yang tengah muncul di panggung politik. Sebagai golongan baru yang mewakili zamannya maka idenya disesuaikan dengan kepentingan zaman. Eksploitasi dan kesejahteraan koloni harus dilakukan bersama tanpa berat sebelah. Kemudian muncullah Van Deventer yang mengatakan bahwa Indonesia telah berjasa membantu pemerintah Belanda memulihkan keuangannya meskipun dengan penuh pengertian, oleh sebab itu sudah sewajarnya kalau kebaikan orang Indonesia itu dibayar kembali. Oleh karena itu menurut Van Deventer ―hutang budi‖ itu harus di bayar dengan peningkatan kesejahteraan melalui triasnya yang terdiri dari ―Irigasi, Edukasi dan emigrasi‖.

Keuntungan yang dipoeroleh oleh pemerintah colonial Belanda dari dari hasil eksploitasi kekayaan Nusantara begitu besar. Keuntungan yang terutama diperoleh darai tanam paksa ini dipergunkan untuk kepentingan pemerintah di negeri belanda, seperti untuk melunasi utang –utang, menurunkan pajak, membangun rel kereta apai, dan untuk kepentingan pertahanan. Van deventer dalam majalah De Gids menyebutkan jutaan gulden yang dihasilkan dari Hindia –Belanda itu sebagai Een Ereschuld, atau ― utang kehormatan ―. Menurut tokoh liberal ini, negeri Belanda berhutang kepada bangsa Indonesia atas semua kekayaan yang telah diperas dari hindia Belada dan ― utanag kehormatan ― itu sebaiknya dibayarkan kembali dengan jalan memberi prioritas utama kepada kepentingan rakyat Hindia Belanda di dalam kebikana kolonoal

Tulisan Van deventer dan para pengecam dari kelompok politisi liberal lainnya seperti Van dedem, Van kol, De Waal, dan Van den Berg, ternyata berpengaruh besar. Proses politik pun terus bergulir, hingga tahun 1901 ratu Wilhemina mengumumkan perlunya suatu penyelidikan tentang kesejahtraan rakyat Jawa. Inilah yang disebut politik etis. Van Deventer yang kemudian dikenal sebagai ‖Bapak Pergerkan Politik Etis‖ telah menempatkan kesejahtraan penduduk pribumi diatas segala-galanya dan ia menjadi penentang kemiskinan di jawa sebagai akibat tanam paksa. Politik etis memberikan edukasi ( pendidikan ), emigrasi ( Pemindahan penduduk ), dan Irigasi ( pengairan) bagi penduduk pribumi

Pendidikan yang diberikan kepada rakyat pribumi ternyata telah melahirkan kelompok elite intelekltual. Mereka yang mendapat yang mendapat pendidikan abrat ini bukan saja menyerap ilmu pengetahuan barat, tetapai sekaligus juga dinagkitkan kesadrannya sebagai bangsa. Jadi, pendidikan Barat yang dilaksanakan oleh pemerintah kolonial ternyata bagai senjata makan tuan. Dari kalangan intelektual inilah muncul tokoh –tokoh pergerakan kebangsaan yang melahirkan berbagai organisasi pergerakan Hindia – Belanda