Bagaimana perkembangan politik di masa pemerintahan orde baru?

gambar
Bagaimana perkembangan politik di masa pemerintahan orde baru?

Orde Baru dikukuhkan dalam sebuah sidang MPRS yang berlangsung pada Juni-Juli 1966. diantara ketetapan yang dihasilkan sidang tersebut ialah melarang PKI berikut ideologinya untuk tubuh dan berkembang di Indonesia dan mengukuhkan Supersemar. Dari ketetapan tersebut, berakibat pada setiap orang yang pernah terlibat dalam aktivitas PKI ditahan, diadili, diasingkan atau dieksekusi. Pada masa Orde Baru pula pemerintahan menekankan stabilitas nasional dalam program politiknya dan untuk mencapai stabilitas nasional terlebih dahulu diawali dengan apa yang disebut dengan konsensus nasional. Ada dua macam konsensus nasional, yaitu :

  • Pertama berwujud kebulatan tekad pemerintah dan masyarakat untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Konsensus pertama ini disebut juga dengan konsensus utama.
  • Sedangkan konsensus kedua adalah konsensus mengenai cara-cara melaksanakan konsensus utama. Artinya, konsensus kedua lahir sebagai lanjutan dari konsensus utama dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Konsensus kedua lahir antara pemerintah dan partai-partai politik dan masyarakat.

Mengawali masa orde baru, setelah Kabinet Ampera terbentuk (25 Juli 1966). Selanjutnya dicanangkan UU Penanaman Modal Asing (10 Januari 1967), kemudian Penyerahan Kekuasaan Pemerintah RI dari Soekarno kepada Mandataris MPRS (12 Februari 1967), lalu disusul pelantikan Soeharto (12 Maret 1967) sebagai Pejabat Presiden.

Visi utama dari pemerintahan Orde Baru ini adalah untuk dapat menjalankan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan dapat konsekuen didalam seluruh aspek kehidupan bermasyarakat di Indonesia.

Dengan kehadiran visi tersebut, Orde Baru dapat memberikan sebuah harapan bagi seluruh rakyat Indonesia, terutama yang telah berkaitan dengan suatu perubahan politik, dari yang mempunyai sifat otoriter yang terjadi pada masa demokrasi terpimpin di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno agar menjadi lebih demokratis.

Harapan dari rakyat tersebut tentu saja memiliki dasar. Presiden Soeharto yang dianggap sebagai tokoh utama masa Orde Baru ini dipandang rakyat sebagai sesosok pahlawan yang mampu mengeluarkan sebuah bangsa ini agar dapat keluar dari keterpurukan. Hal ini dapat dianggap demikian karena beliau berhasil membubarkan kelompok komunis yaitu PKI, yang pada waktu itu telah dijadikan musuh utama di negeri ini. Selain itu, beliau juga telah berhasil menciptakan keadaan stabilitas keamanan di negeri ini pasca pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan waktu yang relatif singkat. Itulah yang menyebabkan beberapa anggapan yang mendasari kepercayaan rakyat Indonesia terhadap pemerintahan Orde Baru ini di bawah kepimpinan Presiden Soeharto.

Tetapi kemudian harapan rakyat tersebut tidak sepenuhnya dapat terwujud. Karena apabila dilihat dan dirasakan sejatinya di dalam negeri ini tidak ada perubahan yang substantif dari suatu kehidupan politik di Indonesia. Antara masa Orde Baru maupun masa Orde Lama sejatinya sama-sama otoriter. Di dalam perjalanan politik dari pemerintahan Orde Baru, kekuasaan dari Presiden merupakan semua pusat dari seluruh proses perpolitikan di Indonesia.

Lembaga Kepresidenan juga merupakan pengontrol yang utama dari lembaga negara lainnya baik itu yang bersifat suprastruktur (DPR, MPR, MA, BPK dan DPA) maupun yang bersifat infrastruktur (LSM, Partai Politik, dan sebagainya). Selain itu, Presiden Soeharto juga memiliki sejumlah legalitas yang tidak dapat dimiliki oleh siapapun seperti Pengemban Supersemar, Mandataris MPR, Bapak Pembangunan, maupun Panglima Tertinggi dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).

Ketika rezim Orde Baru memulai pemerintahannya berbagai kebijakan politik strategis diambil untuk menstabilkan keadaan. Salah satu kebijakan politik strategis diambil adalah reorganisasi dan refungsionalisasi organisasi politik baik pada tingkat supra-struktur politik maupun pada level infra-struktur politik. Kebijakan itu dimaksudkan untuk menciptakan stabilitas politik, karena stabilitas politik dilihatnya sebagai prasyarat bagi terlaksanannya pembangunan ekonomi. Dalam pandangan Orde Baru, pembangunan hanya dapat terlaksana dengan baik bila didukung oleh stabilitas politik yang memadai.

Salah satu infrastruktur politik dilihat oleh rezim Orde Baru sebagai sumber instabilitas politik adalah partai-partai politik. Rezim Orde Baru mendasarkan pada pengalamananya di mana pemerintahan di bawah sistem Demokrasi Parlementer tidak dapat bekerja dengan baik akibat seringnya terjadi pergantian kabinet yang disebabkan oleh ketidakpuasan partai politik. Soeharto tidak ingin mengulang pengalaman yang buruk itu dengan cara melakukan penyederhanaan partai politik (fusi).

Kesembilan partai politik yang ada (Parmusi, NU, PSII, Perti, PNI, Partai Katolik, Parkindo, IPKI, dan Murba) dikelompokkan atas dua kelompok, yaitu: pertama, kelompok materiil-sprituil yang terdiri dari PNI, IPKI, Partai Katolik, Parkindo dan Murba; dan kedua kelompok sprituil-materiil yang terdiri dari Parmusi, NU, PSII, dan Perti. Setelah Pemilu 1971, tepatnya tahun 1973, kedua kelompok tersebut diharuskan melakukan fusi. Kelompok pertama, yang terdiri dari partai-partai Islam, tergabung dalam wadah Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Kelompok kedua, yang terdiri dari partai-partai nasionalis dan Kristen, membentuk Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Dengan adanya fusi ini partai- partai politik yang ada menjadi tiga, yaitu PPP, PDI, dan Golkar.

Adanya kebijakan fusi tersebut tentu saja menguntungkan Golkar, sebagai partai pemerintah. Sebab Golkar tidak diikutsertakan untuk bergabung dengan partai-partai lainnya, tetapi berdiri sendiri. Di samping itu juga dengan adanya fusi tersebut maka saingan Golkar menjadi sederhana, tidak banyak, hanya PPP dan PDI. Dengan demikian keinginan pemerintah menjadikan Golkar sebagai satu-satunya partai yang akan selalu menang akan menjadi lebih mudah

Selain menyederhanakan partai politik, Pemerintah Orde Baru juga menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal. Berdasarkan pengalaman politik masa pemilu-pemilu sebelumnya, pemerintah merasa perlu melakukan penataan ke arah kesatuan orientasi dengan menerapkan asas tunggal. Dengan asas tunggal juga diharapkan identitas yang bersifat primordial akan pudar pada partai politik dan ormas.

Deliar Noer melihat lima aspek yang menjadi kelemahan dari azas tunggal, yaitu:

  1. asas tunggal partai menafikan kebhinekaan masyarakat yang memang berkembang menurut keyakinan masing-masing. Keyakinan ini bisa bersumber pada ajaran agama atau pemahaman lain

  2. asas tunggal partai menghalangi orang-orang yang sama keyakinan untuk mengelompok sesamanya serta bertukar pikiran sesamanya berdasarkan keyakinan, termasuk agama, yang dianut masing- masing;

  3. asas tunggal partai menafikan hubungan antara agama dan politik;

  4. asas tunggal partai mengandung kecenderungan ke arah sistem partai tunggal;

  5. asas tunggal partai menghalangi kemungkinan pengembangan faham-faham, seperti yang bersumber dari agama, yang mungkin memperkuat Pancasila.

Konsep asas tunggal Pancasila menimbulkan pro-kontra di kalangan umat Islam. Dari kalangan Islam yang menolak penerapan asas tunggal mengatakan bahwa hal itu sebagai usaha untuk menggantikan agama dengan Pancasila. Dalam kaitan itu Pemerintah kemudian membantah bahwa penerapan Pancasila akan menggantikan agama. Selain itu pemerintah menegaskan bahwa tidak ada usaha akan mempancasilakan agama maupun menggantikan agama dengan Pancasila.

Selama Orde Baru berkuasa, telah terselenggara enam kali Pemilihan Umum (Pemilu), yaitu Pemilu 1971, Pemilu 1977, Pemilu 1982, Pemilu 1987, Pemilu 1992, dan Pemilu 1997. Dari enam kali Pemilu tersebut tampak Orde Baru berhasil melaksanakan Pemilu secara berskala setiap lima tahun sekali, kecuali pada Pemilu 1977. Kerberkalaan pelaksanaan Pemilu itu secara formal merupakan suatu prestasi yang luar biasa. Hal itu bertambah dengan adanya tingkat partisipasi yang tinggi dalam setiap pelaksanaan Pemilu, di mana hampir mendekati 90% orang yang memberikan suara dalam Pemilu. Akan tetapi keberkalaan pelaksanaan Pemilu dan tingginya tingkat partisipasi tersebut mengandung kelemahan.

Keberkalaan penyelenggaraan Pemilu ternyata tidak dibarengi dengan tingkat kualitas pelaksanaan Pemilu. Pemilu-Pemilu Orde Baru tercatat mengandung banyak kelemahan dan tingkat demokrasinya sangat rendah. Pemilu-Pemilu Orde Baru diselenggarakan hanya sebagai alat legitimasi pemerintah, bukan sebagai alat demokrasi. Intimidasi, rekayasa, mobilisasi, dan kecurangan-kecurangan menghiasi setiap penyelenggaraan Pemilu-Pemilu Orde Baru. Dalam konteks itu, William Liddle, Indonesianis asal Amerika, berkesimpulan bahwa Pemilu-Pemilu Orde Baru bukanlah alat yang memadai untuk mengukur suara rakyat. Hal itu karena Pemilu-pemilu Orde Baru dilakukan melalui sebuah proses yang tersentralisasi pada tangan-tangan birokrasi. Tangan- tangan itu tidak hanya mengatur hampir seluruh proses pemilu, tetapi juga berkepentingan untuk merekayasa kemenangan bagi partai politik milik pemerintah, yaitu Golkar. Dalam setiap pemilu, kompetisi ditekan seminimal mungkin dan kebebasan dan keragaman pandangan tidak diperbolehkan atau dilarang.

Hampir sama dengan Liddle tersebut di atas adalah apa yang dikemukakan oleh Irwan dan Endriana. Kedua peneliti dari Universitas Atma Jaya ini, berdasarkan hasil penelitian Pemilu 1992, memberikan kesimpulan yang senada dengan yang dikatakan oleh Liddle. Irwan dan Edriana menemukan 900 kasus pelanggaran terhadap asas Luber (Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia) pelaksanaan pemilu yang terdiri atas 52 kasus (5,78%) pelanggaran hak kampanye, 38 kasus (4,22%) intimidasi dan kekerasan terhadap partai politik (PPP dan PDI), 101 kasus (11,22%) intimidasi untuk memilih Golkar, 472 kasus (52,44%) pelanggaran terhadap saksi partai politik (PPP dan PDI), 223 kasus (24,78%) pelanggaran dalam pemungutan dan perhitungan suara, dan 14 kasus (1,56%) pelanggaran lain-lain. Dari sejumlah kasus pelanggaran tersebut, 71 (6,97%) pelaku pelanggaran dilakukan oleh aparat keamanan, 296 (29,05%) dilakukan oleh birokrasi pemerintahan, 23 (2,26%) dilakukan oleh Golkar, 618 (60,65%) dilakukan badan penyelenggara pemilu, dan 11 (1,08%) pelaku-pelaku lain.

Tingkat partisipasi yang tinggi dalam Pemilu-Pemilu Orde Baru juga menumbuhkan pertanyaan. Meskipun tingkat voter’s run out (pemakaian hak suara) dalam pemilu-pemilu Orde Baru paling tinggi, rata-rata 90%, dibanding dengan berbagai negara di kawasan Asia maupun Eropa dan Amerika. Akan tetapi tingkat voter’s run out itu tidak mempunyai arti apa-apa apabila dikaitkan dengan partisipasi politik masyarakat Indonesia. Hal ini karena tingkat kehadiran untuk memberikan suara bukanlah semata-mata tindakan yang bersifat pilihan atas kemauan sendiri atau otonom, melainkan karena dipaksakan oleh faktor yang ada diluar mereka sendiri (mobilisasi). Sehubungan dengan itu maka pemilu-pemilu Orde Baru tidak dapat dijadikan indikator bagi partisipasi politik, karena dalam kenyataan pemilu-pemilu Orde Baru lebih memperlihatkan karakter mobilisasi politik. Di samping itu pemilu-pemilu Orde Baru juga merupakan suatu bentuk seremonial demokrasi, di mana Pemilu digunakan sebagai alat legitimisai penguasa dalam upaya mempertahankan kekuasaannya.

Pemilu-pemilu Orde Baru, karena selalu dimenangkan oleh Golkar, sebagai partai pemerintah, akibatnya melahirkan sistem kepartaian yang hegemonik. Sistem partai hegemonik berada di antara sistem partai dominan dan sistem satu partai. Dalam sistem ini eksistensi partai-partai politik diakui tetapi peranannya dibuat seminimal mungkin, terutama dalam pembentukan pendapat umum. Geovani Sartori lebih jauh mengatakan bahwa partai hegemonik tidak akan membiarkan untuk terjadinya kompetisi yang bersifat formal maupun yang aktual. Partai-partai yang lain diperbolehkan hanyalah sebagai partai kelas dua dan sekedar diberi lisensi. Dengan keberadaan partai seperti itu maka partai hegemonik akan tetap menang dan berkuasa.

Terciptanya sistem kepartaian hegemonik selama Orde Baru ini, menurut Afan Gaffar94 karena didukung oleh empat faktor, yaitu:

  1. dibentuknya aparatur keamanan yang represif dengan tugas menjaga ketertiban dan mempertahankan aturan politik dan stabilitas negara. Dalam rangka itu dibentuklah badan seperti, BAKIN, Kopkamtib, dan Opsus
  2. proses depolitisasi massa, di mana massa diasingkan dari arena politik
  3. rektrukturisasi partai-partai politik
  4. dikeluarkannya hukum-hukum pemilu dan aturan pemerintahan sedemikian rupa untuk memungkinkan Golkar selalu menang.

Sementara itu Eep Saefulloh Fatah dalam studinya mengatakan bahwa Orde Baru dalam rangka untuk mengokohkan kekuasaannya melakukan institusionalisasi politik, yaitu “Pembakuan proses kehidupan politik melalui organisasi atau lembaga politik”. Beberapa upaya untuk melakukan institusionalisasi tersebut, yaitu:

  1. penguasaan dan penguatan birokrasi negara;
  2. sentralisasi kekuasaan di tangan Presiden dan Eksekutif; dan
  3. pelaksanaan strategi kooptasi negara dalam tataran suprastruktur dan infrastruktur.95

Ikrar Nusa Bhakti dalam tulisan yang berjudul “Berbagai Faktor Penyebab Jatuhnya Presiden Soeharto”, mengatakan bahwa rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto merupakan rezim otoriter birokratik, yang dicirikan oleh:

  • pemerintah didominasi oleh militer yang berkolaborasi dengan teknokrat sipil;
  • rezim Orde Baru didukukung oleh wiraswastawan oligopolitik yang bersama negara berkolaborasi dengan masyarakat internasional
  • pengambilan keputusan dalam rezim Orde Baru bersifat birokratik-teknokratik
  • untuk mendapat dukungan rezim Orde Baru melakukan mobilisasi
  • rezim Orde Baru melakukan tindakan-tindakan represif.

Ternyata gambaran tentang rezim Orde Baru yang otoriter tersebut, tidak hanya disitu saja. Beberapa ahli tentang Indonesia menisbatkannya dengan “konsep-konsep” politik lain, yang meskipun berbeda-beda tetapi pada muara yang sama, yakni rezim otoriter. Dalam konteks ini, seperti yang ditulis oleh Abdul Azis Thaba dengan merujuk studi-studi yang dilakukan oleh ahli politik Indonesia, di mana rezim Orde Baru adalah: (1) menganut faham integralistik;(2) model negara pasca kolonial; (3) patrimonialisme Jawa; (4) bureucratic polity ;(5) negara otoritarian birokratik renteng; (6) bureucratic authoritarian regime ;
(7) rent capitalis state ; (8) negara birokratik otoriter korporatis; dan (9) negara birokratik.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah berkaitan dengan sebab-sebab keruntuhan rezim Orde Baru yang diperintah oleh kekuasaan yang otoriter. Banyak faktor yang menyebabkannya. Para pakar menilai, pengunduran diri presiden Soeharto tersebut bukan hanya disebabkan oleh gerakan mahasiswa tetapi juga ada faktor-faktor lain yang ikut mendorong Presiden Soeharto lengser, diantaranya, yaitu:

  • pernyataan 14 Menteri dalam Kabinet Pembangunan VII yang tidak bersedia bergabung ke dalam Kabinet Reformasi yang rencananya merupakan hasil reshuffle Kabinet Pembangunan VII. Penarikan dukungan ini merupakan pukulan berat bagi Soeharto
  • sikap ABRI yang tidak tegas dalam mendukung Soeharto yang berada dalam keadaan terpojok. Di kalangan ABRI sudah lama terjadi perpecahan antara Presiden dengan ABRI dan juga perpecahan internal di dalam tubuh Angkatan Darat. Oleh karena itu ketika ada tuntutan reformasi dari kalangan mahasiswa, kalangan ABRI yang tidak setuju terhadap Presiden Soeharto memberikan dukungan terhadap gerakan mahasiswa
  1. desakan internasional. Hal ini karena kekuatan-kekuatan internasional berkepentingan pada perluasan demokrasi dan dalam rangka itu mendesak setiap negara yang belum demokratis untuk melakukan penyesuaian diri. Indonesia, ketika terjadi tuntutan reformasi, negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat, mendukung gerakan reformasi yang dilakukan mahasiswa.

Memang demokrasi atau demokratisasi, pasca perang dingin, telah menjadi isu global. Negara-negara yang sebelumnya otoriter berubah menjadi negara demokrasi. Amerika Serikat yang mengklaim sebagai kampiun demokrasi menekan dan mendesak negara-negara otoriter agar menjadi negara demokrasi melalui berbagai cara, dari yang lunak hingga dengan kekerasan.

Terlepas dari tekanan dunia internasional, terutama Amerika Serikat, demokrasi memang telah menjadi trend pemerintahan abad ini. Banyak faktor yang mendorong negara dari otoriter ke demokrasi. Menurut Sammuel P. Huntington, tidak ada faktor tunggal yang menyebabkan suatu negara menjadi demokrasi, melainkan banyak faktor. Menurut Sammuel P. Huntington mengatakan:

“Tingkat kemakmuran ekonomi secara menyeluruh tinggi; Distribusi pendapatan dan/atau kekayaan yang relatif merata; Ekonomi pasar: Perkembangan ekonomi dan modernisasi masyarakat; Aristokrasi feodal pada suatu ketika dalam sejarah masyarakat; Tiadanya feodalisme dalam masyarakat; Borjuasi yang kuat; Kelas menengah yang kuat; Tingkat melek huruf dan pendidikan yang tinggi; budaya yang bersifat instrumental ketimbang idealis; Protestanisme; Pluralisme sosial dan kelompok-kelompok menengah yang kuat; Berkembangnya kompetisi politik sebelum perluasan partisipasi politik; Struktur Kewenangan demokratis di dalam kelompok-kelompok sosial; Tingkat tindak kekerasan oleh sipil yang rendah; Tingkat polarisasi dan ekstremisme politik yang rendah; Pemimpin-pemimpin politik yang mendukung demokrasi dengan sepenuh hati; Pendudukan oleh suatu kekuatan asing yang pro demokrasi; Pengaruh dari suatu kekuatan asing yang pro demokrasi; Tradisi menghormati hukum dan hak-hak individu; Hasrat kelompok elit meniru bangsa-bangsa yang demokratis; Homogenitas komunal (etnis, rasial, keagamaan); dan Heteregonitas komunal (etnis, rasial, keagamaan)"

Selanjutnya menurut Huntington, demokrasi bisa berjalan dalam empat hal, yaitu (1) dengan cara transformasi di mana elit yang berkuasa mempelopori proses perwujudan demokrasi; (2) dengan cara pergantian ( replacement ) di mana kelompok oposisi mempelopori proses perwujudan demokrasi, dan rezim otoriter tumbang atau digulingkan; (3) dengan cara transplacement di mana proses demokratisasi merupakan hasil tindakan bersama kelompok pemerintah dan kelompok oposisi; dan (4) dengan cara intervensi yaitu proses demokratisasi akibat intervensi pihak luar atau asing dengan menjatuhkan rezim otoriter.

Sementara itu Hall Hill mengatakan bahwa faktor utama kejatuhan Soeharto adalah semakin memburuknya situasi ekonomi saat itu. Hall Hill menilai krisis ekonomi sejak bulan Juli 1997 menyebabkan jatuhnya Soeharto. Krisis ekonomi yang disusul krisis politik mengakibatkan pelarian modal ke luar Indonesia secara masif, hingga menyebabkan anjloknya nilai rupiah sampai mencapai Rp 17.000 per dollar. AS Rupiah yang lemah membuat pebisnis kolaps karena tidak dapat lagi mengelola hutang luar negerinya. Situasi diperburuk dengan besarnya hutang luar negeri dan buruknya sistem manajemen keuangan dalam negeri. Harga barang kebutuhan pokok melonjak, sehingga menimbulkan keresahan sosial yang luar biasa.

Menurut Arief Budiman, krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia pada saat itu, di samping faktor-faktor eksternal seperti krisis kapitalisme global, juga disebabkan karena faktor-faktor internal, yakni adanya sebuah rezim yang otoriter dan korup di bawah kepemimpinan Soeharto. Situasi krisis ekonomi yang mengkhawatirkan itu kemudian melahirkan krisis politik yaitu krisis kepercayaan kepada pemerintah yang berkuasa. Dilatar belakangi krisis ekonomi yang berkepanjangan dan berlanjut menjadi krisis multi-dimensi, lantas muncul sebuah usaha perubahan sosial yang dimotori oleh gerakan mahasiswa yang didukung oleh kesadaran bersama dari para mahasiswa. Momen ini kemudian berkembang menjadi suatu gerakan bersama yang menuntut perubahan di beberapa bidang.

Namun, menurut Satrio Arismunandar, penyebab yang lebih mendasar tampaknya adalah meruncingnya pertentangan antara pihak penguasa yang selalu hanya menuntut penegakan stabilitas dan efektivitas pemerintahan berhadapan dengan akumulasi kekecewaan dan tuntutan pembaruan di pihak masyarakat.105 Berbagai tuntutan perubahan itu terangkum dalam jargon “reformasi.” Pada saat yang sama, krisis legitimasi yang dihadapi rezim Orde Baru telah mencapai ambang batas, apalagi dengan terjadinya krisis moneter yang melanda semua sektor kehidupan. Dalam kaitan ini, seruan mahasiswa bagi “reformasi” memperoleh momen yang tepat dan mendapat dukungan meluas dari masyarakat.

Memang, seperti dijelaskan di atas, ada banyak faktor yang menyebabkan Soeharto jatuh dari kekuasaan. Namun demikian, faktor-faktor yang mempercepat turunnya Soeharto adalah gerakan mahasiswa yang massif baik di Jakarta maupun di daerah-daerah yang menuntut agar Soeharto turun dari kekuasaan. Slogan yang muncul pada waktu itu adalah turunkan harga dan “Harga” (Soeharto dan keluarga).