Bagaimana Perkembangan Pemerintahan Pada Abad Pertengahan?

Bagaimana Perkembangan Pemerintahan Pada Abad Pertengahan?

Selain perkembangan masyarakat setara, masyarakat bertingkat dan masyarakat berlapis, masih ada faktor-faktor lain yang melandasi perkembangan dari pemerintahan. Pertambahan dan atau tekanan penduduk, perang atau ancaman perang dan penjarahan oleh kelompok lain telah menjadi faktor-faktor yang memacu perkembangan pemerintahan yaitu: penguasaan oleh suatu pemerintah atau negara. Kelebihan produksi dan penciptaan, kewajiban atas dasar timbal balik merupakan cara-cara untuk mendapatkan kekuasaan atas sesama manusia atau kelompok masyarakat. Pihak yang memerintahkan menawarkan perlindungan hukum, kesejahteraan dan menyajikan kesentosaan bagi pihak yang diperintah.

Berikut ini Perkembangan Pemerintahan pada Abad Pertengahan:

Sistem Feodal


Selama Abad Pertengahan tidak jelas siapa yang sebenarnya

memerintah. Di satu pihak, sistem Feodal telah menciutkan kekuasaan Raja. Fungsi umum pemerintah adalah menyewakan hak milik kepada satu orang atau keluarga. Para penyewa secara berangsur menjadikan diri mereka berdiri sendiri dan meletakkan dasar-dasar bagi lahirnya penguasa kecil yang mandiri. Kekuasaan Raja berangsur melemah.

Konflik antara Paus dan Raja


Di lain pihak tumbuhlah suatu konflik kekuasaan antara penguasa Gerejani dan penguasa Duniawi, antara Paus dan Raja. Paus berpendapat bahwa dengan sendirinya dia mewarisi hak kontrol Illahi yang abadi, berkenaan dengan masalah-masalah duniawi. Para raja duniawi menentang hal itu. Para pelaku utama dalam konflik tadi adalah Paus dari Roma, Kaisar Jerman, Raja Inggris dan Prancis. Dengan demikian pada abad pertengahan tidak jelas siapa yang sebenarnya memerintahkan; Paus atau Raja dari para penyewa tanah.

Penafsiran Al-Kitab


Ambrosius, Uskup Milan (340397) merupakan pemikir Kristen pertama, yang membela otonomi Gereja di bidang rohaniah. Dalam urusan rohaniah, Gereja memiliki yuridiksi terhadap semua umat Kristen, termasuk Kaisar. Dalam urusan rohaniah Raja mesti meminta tuntunan Gereja. Gereja tidak harus melawan pemerintah. Agustinus (354-430) murid dari Ambrosius dan Uskup di Hippo, Afrika Utara, meracik mata rantai yang terpenting antara masa lalu dan Abad Pertengahan. Dia menyatakan bahwa hakikat manusia adalah ganda: raga dan jiwa. Raganya adalah bagian dari keadaan duniawi namun jiwanya milik akhirat. Konflik antara kedua keberadaan tadi menentukan jalannya sejarah. Apabila menurut Cicero negara itu sendiri adalah bagaimana negara mengait pada hukum dan prinsip-prinsip Hukum Alam, maka menurut Agustinus, negara dikatakan baik apabila mengabdi pada kepentingan Kekristenan. Dengan demikian nilai rohaniah ditempatkan di atas nilai duniawi.

Teori Dua Belah Pedang


Pada akhir abad ke lima Paus Gelasius I memformulasikan ajaran tentang dua sisi, yang kemudian dikenal sebagai gambaran dari dua belah pedang. Masyarakat berada di bawah penguasaan ganda, Rohaniah dan Duniawi: masing-masing dengan satu pedang yang memiliki fungsi sendiri serta yuridiksi dan jenjang yang tidak boleh tertukar. Masing-masing pedang memiliki bidang pengabdian yang telah ditentukan oleh Tuhan. Pengabdian pada kedua belah pedang tadi atau pengabdian pada kerohanian dan duniawi harus saling dipenuhi.

Makna Aktual


Penafsiran Al-Kitab dan ajaran tentang dua belah pedang yang

disebutkan di atas hingga kini masih memiliki pengaruh pada prinsip-prinsip, nilai-nilai dan norma-norma kebijakan pemerintah. Pada masyarakat multirasial dan multietnis seperti halnya di negeri Belanda dan Indonesia, pengaruh Kekristenan tidak lagi mutlak, ada juga pengaruh duniawi dan kemasyarakatan yang lain. Dalam hubungan ini secara khusus penulis merujuk pada prinsip-prinsip, nilai-nilai dan norma-norma dari semua pengelompokan fundamentalis yang tidak memiliki akar Gerejani, yang mendadak menjadi terkenal lewat berbagai kejadian.

Pemerintahan Romawi dan Abad Pertengahan di Negeri Belanda Penduduk Romawi telah menjadikan negeri Belanda sebuah propinsi


Romawi, sementara Nijmegen misalnya masih memiliki hak-hak tertentu sebagai kota. Sesudah 250 tahun kemudian menyusul suatu periode pemerintahan oleh Jerman. Di bawah Raja ada Adipati dan Bupati. Adipati mewakili Raja dan adalah ketua peradilan. Kemudian menyebarlah sistem sewa menyewa tanah. Para Adipati berangsur memandirikan diri. Mereka meletakkan dasar-dasar kekuasaan yang mandiri.

Setelah abad kedua belas, Raja Belanda hanya berstatus sebagai yang menyewakan tanah kepada para bangsawan. Para bangsawan tadi memiliki hanya sedikit personalia untuk urusan peradilan dan pemerintahan. Vlaanderen termasuk yang paling maju dalam hal ini. Untuk pemerintah daerah disediakan sejumlah Kastil atau Istana (Istana Raja yang dikelilingi parit yang dalam sebagai perlindungannya) dari para bangsawan. Agar dapat melepaskan diri dari pengawasan Raja, mereka mengaryakan pegawai gajian untuk mengganti para pegawai lama (pegawai kerajaan). Para Bupati Brabant, Holland, Utrech dan Vlaanderen telah menjadi tuan tanah. Itu berarti mereka tidak ingin lagi diperintah oleh penguasa yang lebih tinggi. Secara teratur raja tidak lagi dinasihati para bangsawan penyewa, untuk mana Raja berhak berdasarkan hukum sewa menyewa, namun juga karena bahaya dari luar dan karena urusan rohaniah. Terutama pada saat kritis diadakanlah musyawarah negeri-negeri dan kota-kota. Raja, pada kesempatan itu, meminta pajak tambahan.

Pemulihan Kekuasaan Raja


Kekuasaan Raja telah berangsur-angsur runtuh semenjak abad ke delapan, dipulihkan dalam abad ke sepuluh hingga abad ke tiga belas dan setelah itu meminta perlindungan dari kota-kota untuk menghadapi kekuasaan para bangsawan yang memberontak.
Kekuasaan Raja dalam Abad Pertengahan merupakan bauran tiga tradisi sebagai berikut:

a. Raja merupakan organ masyarakat dan terikat pada hukum-hukum kemasyarakatan.

b. Raja merupakan jelmaan Tuhan dan terikat pada hukum-hukumNya.

c. Raja berkewajiban mengusahakan kesejahteraan rakyatnya.

Penyanggahan terhadap nilai-nilai tadi kemudian menciptakan landasan bagi perlawanan terhadap pemikiran absolut, yang pada akhir abad Pertengahan membuka suatu tahap baru di dalam pemikiran tentang pemerintahan. Masalahnya adalah keterikatan kepada hak dan hukum para penguasa yang pada hakikatnya bukanlah terbawa sejak lahir, hal mana sesuai dengan angket di seluruh negeri pada dasawarsa itu, serta juga laporan tahunan Dewan Pengawas Keuangan Kerajaan dan Dewa Verifikasi Kerajaan.

Merangkum penjelasan di atas, tergambar sebagai berikut: polis Yunani runtuh, digantikan dengan imperium Romawi. Peralihan dari polis ke imperium, bahkan oleh nalar bangsa Romawi pun, sulit diikuti. Politika kehidupan objek studinya begitu saja. Objek tadi menjadi lebih samar lagi setelah melenyapnya imperium. Pertama, menyusul konflik selama beberapa abad antara Paus dan para Raja. Yang kedua, kekuasaan terpilah antara para Raja dan para penyewa tanah Raja di dalam sistem Feodal. Politika mendapatkan kembali objeknya yang baru setelah tahun 1500, yaitu pada saat munculnya kata negara dan istilah politika mendapatkan isi visi yang baru.