Bagaimana Perkembangan Pemerintahan di Zaman Purba?

image

Seperti yang kita tahu bahwa pemerintahan dikenal sejak dulu, dan Sejarah menunjukkan bahwa manusia telah diperintah oleh tak terbilang sistem pemerintahan. Apa saja dan Bagaimana bentuk pemerintahannya?

Sejarah menunjukkan bahwa manusia telah diperintah oleh tak terbilang sistem pemerintahan. Ada sistem pemerintahan bangsa-bangsa Inka dan Aztek, sistem kerajaan Mesir dan Babilonia purba, kerajaan-kerajaan Persia beragam, negara kota bangsa Romawi dan Yunani, kerajaan Bizantium, negara-negara Hindu Kuno dan kerajaan Moghul, kalifah Arabia dan negara muslim. Ada sistem pemerintahan Eropa sejak keruntuhan sistem feodal sampai kepada abad absolutisme dan kemudian sistem-sistem pemerintahan kolonial.

Pemerintahan Inka



Kerajaan Inka, berdiri antara tahun 1200-1500 Masehi dan memiliki

sistem pemerintahan despotisme . Despotisme adalah suatu bentuk pemerintahan yang ditandai oleh kekuasaan sewenang-wenang dan tak terbatas dari pihak penguasa. Kerajaan tadi terletak sepanjang pegunungan Andes dan pantai sebelah Barat Amerika Selatan (dari Ekuador dan Peru hingga Chili Tengah) dan berpenduduk lebih dari dua belas juta orang. Raja Inka digambarkan sebagai titisan dari matahari. Dia adalah penguasa absolut, dibantu oleh aristokrasi turun-temurun, yang merupakan pribadi-pribadi terkemuka dengan pengaruh yang besar. Di bawah kekuasaan raja, ada empat Perfektur, yaitu empat bagian besar kerajaan. Setelah itu ada gubernur-gubernur Propinsi yang menyandang kekuasaan yang besar, bertugas memberikan pengarahan kepada Kuraka, yaitu kesatuan pembayar pajak yang beranggotakan mulai dari kelompok 100, 500, 1.000, 5.000 dan 10.000 orang.

Penguasa sering berpesta pora, para Inspektur pemerintahan gencar melakukan inspeksi supaya rakyat mematuhi ketentuan sosial dan moral. Salah satu dari sekian banyak tugas mereka adalah melakukan kunjungan dari rumah ke rumah untuk menyaksikan agar para wanita menjadi istri dan ibu rumah tangga yang baik. Semua warga diatur dengan peraturan-peraturan yang ketat. Mereka yang sudah uzur atau lanjut usia menerima pensiun dalam bentuk bahan makanan dan kebutuhan hidup lainnya.

Pemikiran tentang bentuk-bentuk pemerintahan dikemukakan oleh Plato dan Aristoteles. Uraian berikut menjelaskan tentang pemikiran Plato dan Aristoteles.

I. Plato


Sebelum kerajaan Inka, filsof Plato dan muridnya Aristoteles

mengembangkan pemikiran mereka tentang pemerintahan negara dan beragam bentuk negara. Plato dari Athena (428-347 sebelum Masehi) menyatakan bahwa pemerintahan mesti dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip akal sehat dan budi pekerti yang baik. Penguasa mesti memiliki pengetahuan ilmiah mengenai problematik yang akan dimintai keputusannya. Plato juga berpendapat bahwa yang menjadi raja atau kepala pemerintahan adalah seorang filosof karena filosof itu memiliki akal budi yang baik serta bijaksana.

Plato merancang negara ideal, di mana keadilan harus diwujudkan. Plato memandang kehidupan bermasyarakat sebagai suatu sistem pembagian yang saling mengisi. Manusia memiliki lebih banyak kebutuhan dibanding dengan yang dapat dipenuhi sendiri. Dengan hidup bermasyarakat, manusia dapat meniadakan kekurangan, spesialisasi dan pembagian kerja memudahkan pemenuhan kebutuhan umum (the right man on the right place). Pemerintah perlu mengorganisasikan suatu sistem yang saling menjadi dan mengusahakan agar pemberian pelayanan tadi sedapat mungkin berlangsung luwes dan efisien. Plato menyelidiki dan merenungkan tentang bentuk-bentuk pemerintahan yang ada dan tiba pada kesimpulan berikut.
Bentuk-bentuk Pemerintahan Menurut Plato

Dari tabel di atas, siapa yang berhak mengambil keputusan yang mengikat bagi orang lain, dan pada siapa penguasa bertanggung jawab. Plato menemukan bahwa dari bentuk pemerintahan yang terkait pada hukum dan yang tidak terikat pada hukum, Monarki, Aristokrasi dan Demokrasi adalah yang terbaik. Dari kategori yang tidak terkait pada hukum Plato ditemukan bahwa Tirani, Oligarki dan Demokrasi Massa atau Demokrasi Ekstrem adalah yang paling tidak patut atau terburuk.

II. Aristoteles


Aristoteles (384–322 sebelum Masehi) menganut atau mengacu pada

prinsip etika pemerintahan dan politik sebagaimana yang telah ditulis oleh Plato. Namun mengenai pembagian bentuk-bentuk pemerintahan oleh Plato, Aristoteles mengatakan bahwa pembagian tadi tidak mengacu pada perbandingan.

Dalam Monarki tidak terlalu penting pemerintahan oleh satu orang, karena tentunya seorang dari yang kaya; Juga dalam demokrasi tidak mesti pemerintahan dari banyak orang, melainkan pemerintahan dari orang-orang yang miskin.

Bagi Aristoteles pemerintahan demokrasi itu buruk karena kenyataannya bahwa kebanyakan rakyat tidak berpendidikan dan berpengetahuan baik atau pemerintahan dari orang-orang yang miskin sehingga bentuk pemerintahan itu adalah pemerintahan yang dapat disebut sebagai mobokrasi atau pemerintahan dari suatu gerombolan pengacau.

Konsep Aristoteles tentang Bentuk-bentuk Pemerintahan dapat dilihat dalam tabel berikut ini.

Bentuk-bentuk Pemerintahan menurut Aristoteles

Aristoteles menemukan bahwa di dalam pemerintahan dari semua zaman berkutat pada dua hasrat kekuasaan, yang satu didasarkan kekuasaan, dan yang lainnya atas dasar kesejahteraan orang banyak. Karena itu ditemukan suatu imbangan yang adil antara dua kepentingan tadi.

Dalam hal ini perlu diadakan pemisahan antara bentuk pemerintahan itu sendiri dan kinerjanya yang nyata. Aristoteles menganjurkan suatu demokrasi madya, yang secara sosial didasarkan pada lapisan menengah yang luas, termasuk mereka yang masih miskin dan mereka sudah kaya. Suatu kelas menengah seperti itu akan memberi watak kerakyatan kepada negara. Dan suatu keseimbangan antara kekuatan kualitas dan kuantitas. Kuantitas diperlukan agar pemerintahan dapat berakar di kalangan rakyat. Kualitas memainkan peran di dalam penataan pemerintahan. Selain kedua faktor tadi, harus pula dikombinasikan dengan masalah kesetiaan dan penggantian pemerintahan yang sesuai aturan.

Aristoteles dalam bukunya Undang-undang Dasar Athena, mengemuka-kan bahwa dalam setiap tahun di antara enam orang warga kota ada seorang mengambil bagian dalam pemerintahan sipil, meskipun ia hanya menduduki jabatan sebagai anggota dewan juri saja, dan jikalau ia tidak menduduki suatu jabatan maka ia masih dapat juga sepuluh kali setahun mengambil bagian dalam perbincangan-perbincangan mengenai masalah-masalah pemerintahan dan negara di dalam Sidang Umum ( Sidang Eklesia) para warga kota. Perbincangan dalam sidang umum demikian itu merupakan sesuatu yang paling menarik dan paling penting di dalam hidup seorang warga negara.

Pada masa itu Pericles mengatakan bahwa Athena lebih baik dari negara manapun juga karena telah menemukan rahasia untuk memberikan kesempatan kepada warga negaranya menggabungkan pembinaan urusan pribadi dengan urusan kemasyarakatan. Pericles mengatakan bahwa jikalau seorang warga negara mendapat kedudukan penting, hal ini tidak disebabkan karena hak istimewa, tetapi semata-mata karena dimaksud-kan sebagai penghargaan terhadap jasa-jasanya. Kemiskinan tidak akan menjadi penghalang karena setiap orang dapat berjasa terhadap negaranya, bagaimanapun buruk keadaannya. Hal ini berarti tidak ada orang yang dilahirkan untuk suatu jabatan, dan tidak ada orang yang membeli suatu jabatan, tetapi setiap orang dengan mendapat kesempatan yang sama akan mengalami penyaringan untuk menduduki jabatan yang sesuai dengan bakatnya.

Apa yang telah dikembangkan Plato dan Aristoteles beserta orang-orang Yunani lainnya adalah ilmu tentang polis atau negara kota bangsa Yunani. Plato telah menulis buku berjudul Politikus dan Politeia dan Aristoteles dengan judul Politika. Karya-karya mereka menyajikan suatu racikan dasar-dasar ilmu tentang filsafat, ekonomi, etika, sejarah, hukum, paedagogik, politik, psikologi dan sosiologi. Mereka mengembangkan suatu politica, sebuah ilmu tentang polis. Pemikiran ilmiah mereka jelas berfase banyak dan tidak dipilah.

Karena Aristoteles terbebas dari prinsip-prinsip, nilai-nilai, norma-norma dan tujuan-tujuan, terlebih lagi dari kepentingan Plato dalam menyajikan kenyataan tentang kehidupan negara dan mekanisme politik, maka sesungguhnya Aristoteles adalah peletak dasar dari ilmu pemerintahan dan ilmu politik, terutama secara empiris, deskriptif dan positif. Menurut kacamata masa kini Plato telah banyak berkutat dengan arah perspektif dan normatif dari ilmu pemerintahan dan ilmu politik. Perbedaan-perbedaan di dalam pendekatan dan penggarapan ilmu masih berlaku hingga kini, dalam era ilmu pemerintahan dan ilmu politik.

Polis Yunani



Polis Yunani berasal dari perkiraan Barat tentang pemerintahan dan

politik; polis adalah negara kota ( polis ) bangsa Yunani. Polis, yaitu sebuah negara yang terbentuk hanya dari satu kota dengan kawasan yang terletak di sekitarnya ( polis Athena diperkirakan seluas kota Yogyakarta). Dalam abad ke lima dan ke empat sebelum Masehi, secara umum negara-negara kota tadi warganya terdiri dari tiga kelas: para budak tanpa hak hukum, kelas menegah dengan sedikit atau tanpa hak hukum dan kelas tinggi, yaitu warga negara (warga kota) yang bebas dan yang melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan. Warga kota ini bebas dari pekerjaan yang berpenghasilan ( leisure class).

Yang dimaksud dengan polis adalah sebuah negara yang terdiri dari hanya sebuah kota dengan daerah yang terletak di sekitarnya (misalnya seperti Yogyakarta). Di negara Yunani Kuno ada ratusan negara kota atau polis. Organisasi pemerintahannya hampir sama, yaitu sebuah permusyawaratan rakyat atau sebuah eklesia , yang pada hakikatnya memangku kekuasaan tertinggi, berdaulat dan di mana semua warga yang dewasa ikut duduk sebagai anggotanya. Permusyawaratan rakyat memilih sebuah dewan, disebut boule , yang mewakili rakyat. Sejumlah anggota dewan kota memangku pelaksanaan kekuasaan. Di Athena misalnya permusyawaratan rakyat tadi mengawali semua keputusan peradilan dan walikota, yang tidak memiliki wewenang apa-apa, selain dari mematuhi keputusan-keputusan permusyawaratan rakyat. Dalam banyak kasus terjadi bahwa setiap warga paling tidak di dalam hidupnya menyandang fungsi pemerintahan. Bangsa Belanda maupun bangsa Indonesia termasuk bangsa-bangsa lain di dunia dewasa ini tidak lepas dari acuan terhadap negara polis pada masa Yunani kuno.

Imperium Romawi



Polis Yunani merosot, imperium mengemuka. Kerajaan Romawi mengukir sejarah selama kurang lebih 1200 tahun, yaitu sejak tahun 700 sebelum Masehi sampai Roma ditaklukkan oleh bangsa Estrukan pada
sekitar tahun 500 setelah Masehi. Kebudayaan Romawi menyerap banyak dari bangsa Yunani, namun bangsa Romawi menunjukkan diri sebagai penguasa dan pembangun. Bangsa Macedonia (di bawah pimpinan Alexander Yang Agung) memimpin bangsa Yunani dan menyerbu ke Timur, namun bangsa Romawi menyebar ke arah berlawanan, yaitu ke Eropa Barat dan kawasan Laut Tengah.

Negara Romawi adalah suatu contoh dari bentuk pemerintahan yang diperlukan dengan mengombinasikan bentuk-bentuk pemerintahan yang baik sesuai konsep Plato dan Aristoteles ke dalam tiga lembaga dalam pemerintahan sebagai berikut:

  • Konsul mewakili Monarki.

  • Senat mewakili unsur Aristoteles.

  • Permusyawaratan Rakyat mewakili unsur Demokrasi.

Pemerintahan Romawi



Pada awalnya, Romawi adalah sebuah republik Oligarki; kepemimpinan

berada di tangan sejumlah kecil manusia (Romawi terkenal dalam hal ini pada masa Brutus dan Antonius berkuasa dan perebutan Putri Cleopatra dari Alexanderia). Penduduk terbagi ke dalam dua kelas; kaum Patrisian dan kaum Plebeyer (kaum miskin). Hanya kaum Patrisian yang menyandang hak penuh sebagai warga negara. Mereka menguasai konsulat dan senat. Dua orang konsul memangku wewenang politik yang tertinggi dalam pelaksanaan kekuasaan. Masing-masing konsul memiliki hak veto terhadap keputusan rekannya. Senat terdiri dari sekitar 300 orang anggota. Senat memberikan nasihat, melakukan pengawasan serta menyandang prestise dan pengaruh yang besar. Hampir 90% penduduk tergolong ke dalam kaum Plebeyer. Bangsa Romawi menyatakan pendapat mereka dalam sebuah badan di luar Senat dan Konsul yaitu Badan Permusyawaratan Rakyat. Meskipun hak hukum Badan Permusyawaratan Rakyat lebih berbobot dibanding Senat, namun pengaruh Senat jauh lebih besar. Senat kemudian dikuasai oleh sekelompok kecil keluarga bangsawan.

Dua tokoh yang mempengaruhi pemerintahan Romawi adalah Polybios dan Cicero. Berikut diuraikan pemikiran kedua tokoh tersebut.

I. Polybios


Polybios telah mengubah teori kuno tentang pemerintahan campuran dalam dua hal.

  1. Ia membuat pemerintahan-pemerintahan yang bukan campuran dan mempunyai kecenderungan untuk memerosotkan suatu hukum yang historis tetapi siklusnya didasarkan atas pengalaman Yunani dan sama sekali tidak sesuai dengan perkembangan konstitusi Roma.

  2. Pemerintahan campuran menurut Polybios bukanlah sebagai halnya dengan konsepsi Aristoteles, yaitu bukan suatu keseimbangan dari kelas-kelas kemasyarakatan melainkan dari kekuatan-kekuatan politik.

Di sini Polybios melukiskan tentang prinsip-prinsip hukum Roma, tentang Kolegliatet (kebersamaan) yang memungkinkan tiap badan pemerintahan untuk memveto tindakan badan lain yang mempunyai imperium yang sama atau kurang. Dengan demikian maka Polybios memandang pemerintahan campuran sebagai suatu sistem saling mengawasi yaitu bentuk yang kemudian dimuat oleh Montesquieu dan pencipta konstitusi Amerika Serikat.

Polybios membuat suatu siklus tentang penggantian berturut-turut pemerintahan yang dari berkonstitusi baik ke berkonstitusi buruk sebagai berikut: Monarki – Tirani – Aristokrasi – Oligarki – Demokrasi – Demokrasi Ekstrem; dan seterusnya. Konsep Polybios yang merupakan siklus penggantian pemerintahan tersebut merupakan suatu analisis terhadap pengalaman dalam negara-negara kota di Yunani. Kemudian lebih lanjut pandangan Polybios dikembangkan oleh Cicero.

II. Cicero


Cicero (106–43 sebelum Masehi) mengajarkan bahwa ada satu Hukum

Alam yang universal. Di dalamnya cahaya Hukum Alam tadi semua manusia adalah sama. Mereka tidak sama dalam kekayaan, keahlian dan bakat, namun setiap orang memiliki kemampuannya sendiri untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk. Karena semua manusia sama, mereka harus memiliki hak yang sama pula, yang menjamin harkat dan martabat mereka sebagai manusia. Tidak boleh ada satu pun undang-undang yang bertentangan dengan Hukum Alam.

Aristokrasi membatasi kewarganegaraan pada golongan Elite. Hukum Alam mengesampingkan ketidaksamaan tadi (konsep Aristoteles) dan menggugat persamaan hukum secara umum, suatu tema politik yang masih aktual dari masa ke masa. Para hakim Romawi mahir menyajikan gambaran konkret tentang Hukum Alam tadi. Mereka mengintrodusir sejumlah peraturan yang mengesankan tentang hukum dan keadilan dalam pemerintahan kekaisaran (kaisar yang terkenal adalah Julius Caesar; ia membuat kalender yang kita kenal sekarang ini). Peraturan-peraturan tadi masih mendapatkan gaungnya sampai kini.

Menyusul kemudian terjadilah perselisihan di dalam negara dan pemerintah, bersama dengan runtuhnya kekaisaran Romawi karena korupsi dan kolusi di Roma. Hal demikian ini menyebabkan chaos oleh kekuatan politik untuk berdiri sendiri dengan dukungan dari para panglima pasukan propinsi serta ketidakmampuan aparat pemerintah untuk mempertahankan diri dalam kekuasaannya.

Kekristenan memisahkan diri dari tradisi lama. Bagi Bangsa Yunani dan Romawi, negara adalah ikatan tertinggi. Di dalam negara semua ideal tertinggi diproyeksikan. Suatu masyarakat duniawi yang terorganisir secara adil dipandang sebagai muasal dari semua dambaan manusia. namun kemudian negara bukan lagi yang tertinggi, dan bukan lagi satu-satunya organisasi di mana hasrat kejiwaan manusia dinyatakan. Gereja telah menjadi suatu negara kedua, sebuah negara rohani sebuah lembaga yang akan menempa masalah kebudayaan tentu saja sesuai dengan prinsip-prinsip, nilai-nilai dan norma-norma yang telah tertulis di dalam kitab suci: Al-kitab Kekristenan terutama menganjurkan suatu revolusi individual, bukannya suatu revolusi sosial. Semua pemikiran harus diarahkan kepada pencapaian tujuan tadi. Pemerintah harus dipatuhi (Al-Kitab: Roma 13, 1–3). Tuhan telah menciptakan bagi umat manusia suatu pemerintah karena mereka telah berdosa. Pemerintah tadi memiliki kewajiban untuk mengekang kesewenang-wenangan dan egoisme manusia. Berikan kepada Kaisar apa yang menjadi milik Kaisar dan kepada Tuhan apa yang menjadi milik Tuhan. Bila kedua kewajiban tadi bertentangan dengan satu sama lain, berlakulah apa yang telah difirmankan Tuhan, yaitu pandangan Kekristenan.

Dari sinilah berawal masalah hubungan antara gereja dan negara. Masalah tadi masih aktual hingga kini, seperti misalnya mengenai pandangan etika tentang hidup dan mati, sensus (pencacahan) penduduk dan pembinaan mental Angkatan Perang, serta pengambilan Sumpah Jabatan.