Bagaimana Perkembangan Nasionalisme di Indonesia?

image

Bagaimana Arti dan Perkembangan Nasionalisme?

Perkembangan Nasionalisme


Nasionalisme Indonesia yang dalam perkembangannya mencapai titik puncak setelah Perang Dunia II yaitu dengan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia berarti bahwa pembentukan nasion Indonesia berlangsung melalui proses sejarah yang panjang. Timbulnya nasionalisme Indonesia khususnya nasionalisme Asia umumnya berbeda dengan timbulnya nasionalisme di Eropa. Jelas bahwa nasionalisme Indonesia mempunyai kaitan erat dengan kolonialisme Belanda yang sudah beberapa abad lamanya berkuasa di Indonesia. Usaha untuk menolak kolonialisme inilah yang merupakan manifestasi dari penderitaan dan tekanan-tekanan yang disebut Nasionalisme. Di Eropa sendiri nasionalisme terjadi pada masa transisi dari masyarakat feodal ke masyarakat industri.

Ada dua macam teori tentang pembentukan nation . Pertama, yaitu teori kebudayaan ( cultuur ) yang menyebut suatu bangsa itu adalah sekelompok manusia dengan persamaan kebudayaan. Kedua, teori negara ( staat ) yang menentukan terbentuknya suatu negara lebih dahulu adalah penduduk yang ada di dalamnya disebut bangsa, dan ketiga, teori kemauan ( wils ), yang mengatakan bahwa syarat mutlak yaitu adanya kemauan bersama dari sekelompok manusia untuk hidup bersama dalam ikatan suatu bangsa, tanpa memandang perbedaan kebudayaan, suku dan agama.

Nasionalisme Indonesia yang dalam perkembangannya mencapai titik puncak setelah Perang Dunia II yaitu dengan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia berarti bahwa pembentukan nasion Indonesia berlangsung melalui proses sejarah yang panjang. Timbulnya nasionalisme Indonesia khususnya nasionalisme Asia umumnya berbeda dengan timbulnya nasionalisme di Eropa. Jelas bahwa nasionalisme Indonesia mempunyai kaitan erat dengan kolonialisme Belanda yang sudah beberapa abad lamanya berkuasa di Indonesia. Usaha untuk menolak kolonialisme inilah yang merupakan manifestasi dari penderitaan dan tekanan-tekanan yang disebut Nasionalisme. Di Eropa sendiri nasionalisme terjadi pada masa transisi dari masyarakat feodal ke masyarakat industri.

Mengenai timbul atau munculnya dan perkembangan nasionalisme Indonesia Prof. Wertheim dalam Taufik Abdullah (2001: hal 84) menjelaskan sebagai suatu bagian integral dari sejarah politik, terutama apabila ditekankan pada konteks gerakan-gerakan nasionalisme pada masa pergerakan nasional. Wertheim juga menambahkan bahwa faktor-faktor perubahan ekonomi, perubahan system status, urbanisasi, reformasi agama Islam, dinamika kebudayaan, yang semuanya terjadi dalam masa kolonial telah memberikan kontribusi perubahan reaksi pasif dari pengaruh Barat kepada rekasi aktif daripada nasionalisme Indonesia. Nasionalisme bukan semata-mata proses integrasi pada tahap awal, akan tetapi integrasi itu mencapai puncak tertinggi yaitu terbentuknya nasion Indonesia. Bukan sesuatu yang berlebihan kalau integrasi politik dipakai pegangan dalam melihat proses terbentuknya bangsa Indonesia. Akan tetapi perlu dilihat bahwa periode post proklamasi masih ada di dalam jalinan nasionalisme. Bukankah nasionalisme merupakan jiwanya nasion Indonesia yang merupaka geestelijke kracht , selama bangsa Indonesia masih ada, jadi jiwa nasionalisme ini masih melekat pada nasion Indonesia dan harus dipertahankan. Dengan demikian apa yang dimaksud dengan nasionalisme adalah expectation of basic drive . Apa yang menjadi basic drive ternyata berubah-rubah sesuai dengan jiwa jamannya. Dorongan dasar untuk memperoleh sesuatu itu sangat tergantung sosial politik yang ada, basic drive pra dan post proklamasi tentu akan sangat berbeda, periode pra proklamasi basic drivenya menekankan political integration sedangkan post proklamasi yang sesuai dengan tantangan baru menekankan national welfare state.

Ada dua faktor yang mendorong segi-segi integrasi dari nasionalisme Indonesia. Pertama faktor internal yang menunjukkan persamaan perasaan karena tekanan-tekanan kolonial sehingga menciptakan perasaan senang-tidak senang, setia-melawan, setuju-tidak setuju, dan lain sebagainya. Adapun yang kedua adalah factor eksternal berupa faham-faham nasionalisme yang membuahkan nasionalisme itu sendri. Faktor-faktor eksternal maupun internal itu tidak akan banyak berpengaruh jika sekiranya kaum intlektualis tidak muncul dalam panggung organisasi politik dan organisasi pergerakan nasional. Sebagai elit baru kaum intelektualis ini tentu saja menghendaki amsyarakat yang bebas dari pengawasan kolonial, yang dengan sadar ingin mengubah kedudukan bangsanya. Jadi yang ada pada para pemimpin itu adalah national souls yang mendasari tindakan-tindakan mereka selanjutnya. Walaupun ternyata terlepas dua factor yang disebutkan di atas, pertumbuhan nasionalisme Indonesia ternyata tidak sesederhana yang kita juga, nasionalisme juga pada derajat tertentu pasca integrasi politik. Pada sumpah pemuda dinyatakan bahwa bangsa Indonesia mempunyai wadah yang mencakup pengertian nation wide . Ternyata pasca proklamasi simbol yang diperlukan untuk memperkuat nasionalisme semakin kompleks. Lagu kebangsaan Indoensia Raya tidak lain adalah symbol pencerminan ikatan seluruh bangsa Indonesia. Dengan mengaku sebagai bangsa Indonesia maka baik identitas maupun symbol ini harus dipertahankan oleh bangsa Indonesia. Sebagai konsekuensinya maka tekanan dan halangan dari pemerintah kolonial harus dihapuskan. Mengingat hal di atas bahwa tantangan nasionalisme pasca proklamasi mencari bentuknya yang baru sesuai dengan situasi dan tantangannya maka nasionalisme sangat fleksibel dalam arti bahwa nasionalisme selalu akurat dan menjawab tantangan jaman. Namun fleksibilitas inipun tidak mengurangi jiwa nasionalismenya itu sendiri bahwa jiwa nasionalisme itu itu tetap menjadi bingkainya persatuan. Perubahan jaman menggeser tata nilai nasionalisme pada tata nilai baru.

Bagi generasi baru yang muncul pasca proklamasi maka nasionalisme memiliki persepsi yang lain dan baru juga. Nailai lama dari nasionalisme adalah perjuangan kemerdekaan sedangkan generasi baru akan sepenuhnya mengisi nasionalisme dengan pembangunan sebagai upayamengisi hasil perjuangan generasi terdahulu. Nasionalisme yang tidak modern akan hancur, hal ini sesuai dengan konsepsi dari Benedict Anderson (1983) dalam bukunya ― Imagined Community , ia mengatakan bahwa nasionalisme merupakan bentuk ragam dari capitalisme yang menghasilkan teknologi dalam masyarakat yang heterogen ddan juga bahasa yang beragam, yang menghasilkan kedudukan dan bentuk masyarakat yang dibayangkan, yang mana dasar bentuknya disusun berdasarkan suatu set bangunan untuk Negara yang modern. Dan komunitas yang terbayangkan ini karena setiap anggota dari komunitas yang lebih kecil tidak pernah tahu siapa saja yang menjadi anggotanya, bertemua dengannya, atau pernah mendengar mereka, dan tidak pernah ada dalam pikiran dan kehidupan mereka tentang kemonitas mereka yang di bangun tersebut. Jadi Nasionalisme menurut Benedict Anderson tidak dapat membangunkan kesadaran bernegara itu sendiri, karena kesadaran bangsa itu hanya dapat ditemukan apabila ketika bangsa itu tidak dalam keadaan yang ada atau berada.

Hal tersebut sejalan dengan pendapat Hans Kohn (1965); ia menjelaskan bahwa nasionalisme adalah arti daripada sejarah itu sendiri, ― Nationalism, Its Meaning and History , dan nasionalisme merupakan hasil dari kehidupan sejarah suatu bangsa dan ia selalu naik-turun dan tidak pernah baku dan stagnan, lebih dari itu nasionalisme juga termasuk di dalamnya terdapat factor-faktor objektif yang mendukungnya antara lain, keinginan bersama, bahasa, wilayah, agama, identitas politik, ada dan kebiasaan. Sebagai ilustrasi saja apa yang bisa kita saksikan di Afrika bagaimana orang berontak atau gerakan rakyat yang dipimpin oleh dukun, karena mereka merasa kebal, lantas maju, tetapi kaibatnya amat tragis mereka hancur dan habis dibabat. Jadi segala emosi yang tidak disinari, ditinggalkan dan dipersenjatai oleh pengertian dan pengetahuan modern akan hancur.

Sekarang mari kita tengok kemampuan bangsa kita dalam eksistensi budaya di era modern sekarang ini. Kebudayaan kita sekarang ini sedang ―diuji‖, oleh dunia luar dan oleh kekuatan besar yang menggerakannya. Padahal dahulu kita memiliki kebuadayaan yang besar dan kuat. Tetapi mengapa kita bias dijajah selama 300 tahun kalau memang kebudayaan kita itu memang hebat? Jadi ada kelemahan yang kita miliki yang harus kita sadari bersama, dan kita harus pelajari mengapa hal itu bias menimpa bangsa kita. Dengan segala kesadaran tentang sejarah dan kebudayaan kita sendiri kita memahami posisi diri kita, ujian yang sedang melanda kita terutama bagaimana menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, supaya kita tidak menjadi budak atau korban dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut.

Faktor Obyektif dan Subyektif yang Mendorong Munculnya Nasionalisme


Tinjauan para sarjana ilmu-ilmu sosial itu dapatlah dikelompokan ke dalam kedua kategori yakni :

  1. Tinjauan secara obyektif tentang nation dan nationalisme berkaitan dengan suatu kenyataan obyektif sebagai ciri-ciri khas. Faktor-faktor obyektif yang paling lazim dikemukakan umpamanya ialah persamaan bahasa, etnik, agama, peradaban, atau kebudayaan, wilayah negara dan kewarganegaraan (Kohn, 1960: 18-19). Akan tetapi para sarjana ilmu-ilmu sosial umumnya berpendapat bahwa nation dan nationalisme tidak hanya ditentukan oleh faktor–faktor obyektif tersebut sebagai contoh, bangsa Swiss, Kanada, Amerika Serikat, India, Indonesia, Malaysia yang terdiri dari bermacam-macam ras, suku bangsa, bahasa dan agama. Meskipun demikian tidaklah berarti factor-faktor obyektif tersebut tidak berperan sama sekali. Dapatlah dikatakan bahwa faktor-faktor obyektif itu merupakan faktor-faktor obyektif itu menunjang proses pertumbuhan nationalisme dan nation ke arah perkembangannya dalam pembentukan negara nasional.

  2. Tinjauan secara subyektif :
    Apakah hakikat bangsa (nation) itu? Berbicara apakah hakikat bangsa (nation)

maka mau atau tak mau kita sudah memasuki tinjauan subyektif. Karena banyak teori tentang bangsa (nation) yang dikemukakan oleh para sarjana atau ahli menurut sudut pandang masing–masing sehingga menghasilkan konsep atau definisi yang berbeda-beda. Ada bermacam–macam teori tentang bangsa (nation) antara lain ialah teori psikologi, sosiologi, antropologi, sejarah, politik, hukum, filsafat, dan lain-lain. Di tengah wacana mengenai nasionalisme yang pada umumnya dimulai dari tengah yakni langsung membicarakannya sebagai fenomena masyarakat modern yang dikaitkan dengan fenomena negara penulis coba mengangkat isu yang masih kurang dibicarakan orang, yakni membicarakannya dalam konteks kondisi-kondisi dasar yang di dalamnya dibangun bangsa (nation), kebangsaan (nasionalitas), dan rasa kebangsaan (nasionalisme) Indonesia. Kondisi dasar yang dimaksud dalam tulisan ini adalah suku bangsa. Membicarakan suku bangsa sebagai kondisi dasar berarti menempatkan konsep-konsep bangsa, negara, dan nasionalisme secara posteriori. Dengan memahami suku bangsa sebagai kondisi dasar, diharapkan pemahaman kita tentang bangsa, kebangsaan, dan nasionalisme akan menjadi lebih sistematik dan jernih. Corak kebangsaan dan nasionalisme sedikit banyak ditentukan oleh kondisi dasar tersebut, meskipun dalam perjalanan zaman niscaya ada distorsi-distorsi yang dapat mengubah sosok maupun muatan nasionalisme itu. Selanjutnya, dengan menempatkan negara dalam konteks ini, maka negara dipandang sebagai bagian dari wilayah analisis yang lebih luas, yakni sebagai external agent yang saling memengaruhi dengan kondisi-kondisi lokal. Karena titik tolak pembicaraan ini adalah dari perspektif tradisional suku bangsa—suatu kesatuan sosial yang hidup di suatu teritorial tertentu, dan yang memiliki suatu kebudayaan—maka pergeseran konsep ini menjadi konsep kelompok etnik, sebagai konsekuensi dari proses menjadi kompleks masyarakat, menjadi penting dibicarakan.

Para ahli antropologi sependapat bahwa suku bangsa adalah landasan bagi terbentuknya bangsa. IM Lewis (1985: 358), misalnya, mengatakan bahwa ―istilah bangsa (nation) adalah satuan kebudayaan… tidak perlu membedakan antara suku bangsa dan bangsa karena perbedaannya hanya dalam ukuran, bukan komposisi struktural atau fungsinya… segmen suku bangsa adalah bagian dari segmen bangsa yang lebih besar, meski berbeda ukuran namun ciri-cirinya yang sama. Meski pernyataan ini menuai banyak kritik, khususnya terkait dengan isu ―homogenitas‖ ini, jelas bahwa para antropolog sangat peduli bahwa suatu konsep sosial budaya harus memiliki dasar empirik dalam kenyataan, bukan konsep yang dibangun di awang- awang. Konsep bangsa tentulah memiliki akar empirik, yakni dari suku bangsa. Di dunia Barat modern, paham kebangsaan (nasionalisme) yang bangkit pada abad ke-18 adalah merupakan suatu gerakan politik untuk membatasi kekuasaan pemerintah dan menjamin hak-hak warganegara. Lagi pula gerakan ini untuk membina masyarakat sipil yang liberal dan rasional. Kebangkitan nasional negara-negara Eropa, Asia, Afrika dan Amerika Latin berbeda-beda coraknya. Nasionalisme di beberapa negara di Eropa adalah suatu usaha membuat batas-batas negara dan bangsa yang tinggal di wilayah tersebut. Di Afrika pemerintahan kolonial menarik batas-batas politik wilayah kolonialnya yang memotong batas-batas sukubangsa dan etnis. (K.R. Minogue, 1967:13). Negara-negara jajahan di Afrika tersebut melihat adanya praktek kolonial, seperti diskriminasi dan ketidakadilan antara kulit hitam, semi kulit hitam dan penguasa atau masyarakat kulit putih. Kegelisahan orang-orang Afrika yang utama lainnya untuk menentang kolonial adalah tentang pendidikan dan eksploitasi eonomi. (John Gunter, 1955:14-15). Nasionalisme di Afrika harus dikembalikan pada unsur-unsur praktek kolonial dan tradisi masa lampau yang telah dimiliki oleh bangsa-bangsa Afrika tersebut.

Di negara-negara Asia di jaman modern ini nasionalisme merupakan hasil yang sangat penting daripada pengaruh kekuasaan kolonial bangsa Barat. Bangsa Belanda di Indonesia mempraktekan politik kolonial yang mementingkan subyek negeri induk. Bagi Blanda daerah koloni adalah sumber ekonomi untuk memakmurkan negeri induk. Dari politik kolonial kuno, seperti pada masa VOC hingga perubahan politik modern, seperti tanam paksa, politik liberal dan politik etis, tidak dapat disangkal lagi bahwa politik kolonial Belanda sangat mementingkan subyek negeri induk. Hal ini berbeda dengan politik otonomi yang dipraktekan Inggris di Semenanjung Malaya menciptakan suatu hubungan ekonomi dan sosio-politik di mana daerah koloni diberi kesempatan untuk memerintah sendiri dalam mana pemerintah koloni dan pemerintah induk membentuk pemerintahan ‗commonwealth‘.

Kebangsaan (nationality) dan rasa kebangsaan (nationalism) saling berkaitan satu sama lain. Rasa kebangsaan, biasanya juga disebut nasionalisme, adalah dimensi sensoris meminjam istilah Benedict Anderson (1983) Imagined Communities merupakan konsep antropologi yang tidak semata-mata memandang nasionalisme sebagai prinsip politik. Dimensi sensoris yang tak lain adalah kebudayaan ini memperjelas posisi antropologi yang berangkat dari konsep suku bangsa, kesukubangsaan, bangsa, dan kebangsaan, sebagaimana dibicarakan di atas. Inilah akar-akar bagi membicarakan rasa kebangsaan (nasionalisme)itu. Rasa kebangsaan atau yang kerap kali juga disebut nasionalisme adalah topik baru dalam kajian antropologi. Nasionalisme sebagai ideologi negara-bangsa modern sejak lama adalah rubrik ilmu politik, sosiologi makro, dan sejarah. Perhatian antropologi terhadap nasionalisme menempuh jalur yang berbeda dari disiplin-disiplin tersebut yang menempatkan negara sebagai titik awal pembahasan. Sejalan dengan tradisinya, antropologi menempatkan nasionalisme bersamaan dengan negara karena kesetiaan, komitmen, dan rasa memiliki negara tidak hanya bersifat instrumental yakni keterikatan oleh prinsip politik melainkan juga bersifat sensorik yang berisikan sentimen-sentimen, emosi-emosi, dan perasaan-perasaan. Dalam dimensi ini, bangsa, kebangsaan, dan rasa kebangsaan menjadi suatu yang ―imagined‖ (meminjam istilah Benedict Anderson), yang berarti ―orang- orang yang mendefinisikan diri mereka sebagai warga suatu bangsa, meski tidak pernah saling mengenal, bertemu, atau bahkan mendengar. Namun, dalam pikiran mereka hidup suatu bayangan (image) mengenai kesatuan bersama. Itulah sebabnya ada warga negara yang mau mengorbankan raga serta jiwanya demi membela bangsa dan negara.

Tak seorang pun menyangkal bahwa bangsa Indonesia tersusun dari aneka ragam suku bangsa. Jelas bahwa tidak hanya suku bangsa yang beraneka ragam, melainkan juga ras, agama, dan golongan sosial-ekonomi. Belum lagi fakta bahwa penduduk Indonesia yang jumlahnya kira-kira 250 juta itu hidup tersebar di kepulauan yang paling luas di dunia. Maka, keanekaragaman adalah kondisi dasar bangsa dan negara kita. Bilamana kita hendak membicarakan nasionalisme Indonesia, maka isu keanekaragaman itu patut menjadi landasan pertama pemahaman kita. Nasionalisme kita adalah suatu konstruksi yang dibangun dan dipelihara posteriori. Sejarah perjuangan bangsa penuh heroik dalam mencapai kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah salah satu bagian konstruksi terpenting sehingga selama 62 tahun bagian ini menjadi perekat integrasi bangsa.