Ilmu pengetahuan dalam dunia Islam dimulai sejak diutusnya Rasulullah untuk menyampaikan risalah dan ajaran Islam kepada umat manusia. Seiring berjalannya waktu, para sahabat dan tabi’in mulai muncul dan dikenal masyarakat luas karena keilmuannya. Ilmu berkembang pesat pada saat peradaban islam. Lalu bagaimana perkembangan ilmu pengetahuan sebelum peradaban Islam ?
Zaman Yunani
Di dalam banyak literatur menyebutkan bahwa periode Yunani merupakan tonggak awal berkembangnnya ilmu pengetahuan dalam sejarah peradaban umat manusia. Perkembangan ilmu ini dilatarbelakangi dengan perubahan paradigma dan pola pikir yang berkembang saat itu. Sebelumnya bangsa Yunani masih diselemuti oleh pola pikir mitosentris, namun pada abad ke 6 SM di Yunani lahirlah filsafat yang dikenal dengan the greek miracle. Dengan paradigma ini, ilmu pengetahuan berkembang sangat pesat karena menjawab persoalan disekitarnya dengan rasio dan meninggalkan kepercayaan terhadap mitologi atau tahayul yang irrasional.
Sebagaimana yang dikatakan oleh George J. Mouly, dia membagi perkembangan ilmu pada tahap animisme, ilmu empiris dan ilmu teoritis. Pada tahap animisme, manusia menjelaskan gejala yang ditemuinya dalam kehidupan sebagai perbuatan dewa-dewi, hantu dan berbagai makhluk halus. Pada tahap inilah pola pikir mitosentris masih sangat kental mewarnai pemikiran bangsa Yunani sebelum berubah menjadi logosentris.
Seiring dengan berkembangannya jaman, filsafat dijadikan sebagai landasan berfikir oleh bangsa Yunani untuk menggali ilmu pengetahuan, sehingga berkembang pada generasi-generasi setelahnya. Ia ibarat pembuka pintu-pintu aneka ragam disiplin ilmu yang pengaruhnya terasa hingga sekarang. Karena itu, periode perkembangan filsafat Yunani merupakan entri poin untuk memasuki peradaban baru umat manusia. Inilah titik awal manusia menggunakan rasio untuk meneliti dan sekaligus mempertanyakan dirinya dan alam jagad raya. Jones dalam A History of Western, mengatakan bahwa awal dan akar kebangkitan filsafat dan sains Barat seperti sekarang ini adalah warisan intelektual Yunani kuno.
Para ahli pada zaman itu, mencoba membuat konsep tentang asal muasal alam. Corak dan sifat dari pemikiranya untuk membangun merangkai bangunan ilmu bersifat mitologik (keteranganya didasarkan atas mitos dan kepercayaan saja). Namun setelah adanya demitologisasi oleh para pemikir alam seperti Thales (624-548 SM), Anaximenes (590-528 SM), Phitagoras (532 SM), herakliotos (535-475 SM), Parminides (540-475 SM) serta banyak lagi pemikir lainya, maka pemikiran filsafat berkembang secara cepat kearah puncaknya.
Thales, yang dikenal dengan filosof tertua, mengucapakan “semua adalah air”, dengan kata lain, dia berpendapat bahwa asal alam adalah air. Anaximandros mencoba menjelaskan bahwa substansi pertama itu bersifat kekal, ada dengan sendirinya. Dia mengatakan itu udara, udara merupakan sumber segala kehidupan. Heraklitos melihat alam semesta selalu dalam keadaan berubah. Baginya kosmos tidak pernah berhenti (diam); ia selalu berubah, dan bergerak. Pernyataan “semua mengalir” berarti semua berubah bukanlah pernyataan sederhana.
Bertolak belakang dengan Heraklitos, Parmenides berpendapat bahwa realitas merupakan keseluruhan yang bersatu, tidak bergerak dan tidak berubah. Phytagoras berusaha menemukan kunci bagi harmoni universal, baik yang bersifat alamiah maupun sosial, dan personalitas bilangan. Ia berpendapat bahwa bilangan adalah unsur utama alam dan sekaligus menjadi ukuran. Unsur-unsur bilangan itu adalah genap dan ganjil, terbatas dan tidak terbatas. Jasa Phytagoras sangat besar dalam pengembangan ilmu, terutama ilmu pasti dan ilmu alam. Ilmu yang dikembangkan kemudian hari sampai hari ini sangat bergantung pada pendekatan matematika.
Jadi setiap filosof mempunyai pandangan berbeda mengenai seluk beluk alam semesta. Perbedaan pandangan bukan selalu berarti negatif, tetapi justru merupakan kekayaan khazanah keilmuan. Terbukti sebagian pandangan mereka mengilhami generasi setelahnya.
Ravertz dalam bukunya Filsafat Ilmu menyebutkan, paling tidak ada dua bidang kelimuan yang dipelajari yang pada waktu itu mendekati kemapanannya, pertama, ilmu kedokteran, praktek yang setidaknya mencoba menerapkan metode yang menekankan observasi, dan kedua, geometri yang sedang mengumpulkan setumpukan hasil di seputar hubungan-hubungan antara ilmu hitung yang disusun secara khusus.
Masa keemasan kelimuan bangsa Yunani terjadi pada masa Aristoteles (384-322 SM). Ia adalah murid Plato, walaupun ia tidak sepakat dengan gurunya mengenai soal-soal mendasar. Khususnya, ia menganggap matematika sebagai suatu abstraksi dari kenyataan ilmiah. Dan ia berhasil menemukan pemecahan persoalan-persoalan besar filsafat yang dipersatukannya dalam satu sistem: logika, matematika, fisika, dan metafisika. Logika Aristoteles berdasarkan pada analisis bahasa yang disebut silogisme. Pada dasarnya silogisme terdiri dari tiga premis:
Semua manusia akan mati (premis mayor).
Socrates seorang manusia (premis minor).
Socrates akan mati (konklusi).
Zaman Romawi
Ilmu pengetahuan yang pernah ditorehkan oleh Bangsa Romawi tidak bisa dilepaskan dari bangunan ilmu pengetahuan yang telah disumbangkan oleh bangsa Yunani. Di dalam banyak literatur yang ada, disebutkan bahwa bangsa Romawi merupakan bangsa yang pertama kali mengaplikasikan teori-teori yang pernah dirumuskan oleh bangsa Yunani, sehingga mata rantai kelimuan yang mulai memudar yang seolah-olah putus dalam sejarah perkambangan ilmu pengetahuan bangsa Yunani menjadi tumbuh kembali. Sehingga di dalam lapangan inovasi ilmu pengetahuan, bangsa Romawi tidak banyak melahirkan para pemikir yang ulung, konseptor yang handal, dan perumus teori dalam rangka melebarkan sayap ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, bangsa ini tidak menekankan soal-soal praktis dan mengabaikan teori ilmiah, sehingga pada masa ini tidak muncul ilmuwan yang terkemuka. Memang ada dua ilmuan yang sangat besar yang hidup selama pemerintahan Marcus Aurelius pada abad kedua masehi, namun keduanya adalah bangsa Yunani. Namun yang perlu dicatat bahwa bangsa Romawi membuat pemikiran spekulatif Yunani menjadi praktis dan dapat diterapakan dengan mudah.
Kendati demikian, bangsa Romawi bukan berarti tidak memiliki kontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Sejarah mencatat bahwa bangsa Romawi memiliki kemahiran dalam kemampuan keinsinyuran dan keterampilan ketatalaksanaan serta mengatuur hukum dan pemerintahan.
Sumbangan terbesar bangsa Romawai kepada peradaban manusia terutama dalam bidang pemikiran sistem hukum dan lembaga-lembaga politik, ada tiga bentuk pemikiran hukum Romawi yang banyak diadopsi para pemikir Barat, antara lain : Ius Civile, Ius Gentium, Ius Naturale. Dari segi pemikiran ilmu politik, Romawi memberikan pemahaman tentang teori imperium, antara lain :
Kekuasaan dan otoritas negara
equal rights (Persamaan hak politik)
Governmental Contract (Kontrak Pemerintah)
Pengadaptasian kekuasaan dan keagamaan
Para sejarawan berspekulasi tentang penyebab kegagalan orang Romawi di bidang pengembangan ilmu. Ada yang mencoba melihat perbudakan yang menghambat dorongan bagi industri, sebagai penyebabnya.
Peradaban Abad Pertengahan
Dominasi para teolog pada masa ini mewarnai aktivitas ilmiah pergerakan ilmu pengetahuan. Hal ini dapat dilihat dari semboyan yang berlaku bagi ilmu pada masa ini adalah ancillla theologia atau abdi agama. Atau dengan kata lain, kegiatan ilmiah diarahkan untuk mendukung kebenaran agama. Agama Kristen menjadi problema kefilsafatan karena mengajarkan bahwa wahyu Tuhanlah yang merupakan kebenaran sejati. Inilah yang dianggap sebagai salah satu penyebab masa ini disebut dengan Abad gelap (dark age). Usaha-usaha menghidupkan kembali keilmuan hanya sesekali dilakukan oleh raja-raja besar seperti Alfred dan Charlemagne.
Namun di Timur terutama di wiayah kekuasaan Islam justru terjadi perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat. Di saat Eropa pada zaman Pertengahan lebih berkutat pada isu-isu keagamaan, maka peradaban dunia Islam melakukan penterjemahan besar-besaran terhadap karya-karya filosof Yunani, dan berbagai temuan di lapangan ilmiah lainnya.