Bagaimana Perkembangan Hubungan Indonesia-Uni Eropa dalam Sektor Kelapa Sawit?

erkembangan Hubungan Indonesia-Uni Eropa dalam Sektor Kelapa Sawit

Saat ini, Uni Eropa tidak hanya bekerja sama dalam hal ekonomi secara luas, Uni Eropa juga membuka kerja sama dalam bidang perdagangan Kelapa Sawit.

Bagaimana Perkembangan Hubungan Indonesia-Uni Eropa dalam Sektor Kelapa Sawit ?

Perkembangan Hubungan Indonesia-Uni Eropa dalam Sektor Kelapa Sawit


Saat ini, Uni Eropa tidak hanya bekerja sama dalam hal ekonomi secara luas, Uni Eropa juga membuka kerja sama dalam bidang perdagangan Kelapa Sawit. Uni Eropa menggunakan Kelapa Sawit sebagai bahan pangan, bahan dasar pembuatan kosmetik, dan juga sumber daya energi nonmigas. Uni Eropa turut menggunakan produk Kelapa Sawit sebagai bahan baku pembuatan biodiesel yang permintaannya semakin tinggi untuk kebutuhan bahan bakar transportasi dan pembangkit listrik.

Kelapa Sawit pertama kali dibawa bangsa Eropa ke tanah jajahannya, seperti yang dilakukan oleh Belanda ke Indonesia pada tahun 1800an dari Mauritius. Sejak saat itu, tanaman Kelapa Sawit tumbuh lebih subur di Indonesia dibandingkan di tanah asalnya di Afrika Barat. Sejak saat itu pula, tanaman Kelapa Sawit menjadi komoditas dagang tertua dalam sejarah manusia. Industri ini kemudian mulai berkembang pada 1916 ketika para investor dari Jerman, Belgia, dan beberapa negara Eropa lainnya datang dan membuka perusahaan perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia. Sejak saat itulah negara-negara Eropa turut memanfaatkan Kelapa Sawit sebagai bahan konsumsi dan perdagangan.

Di level negara, Belanda, Spanyol, dan Italia menjadi negara pengimpor Kelapa Sawit terbesar dari Indonesia (Bagan II.B.1).62 Kerja sama bilateral Indonesia dengan negara-negara pengimpor Kelapa Sawit juga semakin baik. Hal ini ditunjukkan salah satunya dengan adanya pembahasan antara Menteri Luar Negeri Indonesia Retno L.P. Marsudi dengan Menteri Luar Negeri Belanda, Stephanus Abraham Blok dalam pertemuan bilateral di Belanda pada April 2019. Pada kesempatan tersebut Menteri Retno mengungkapkan bahwa isu Kelapa Sawit tidak hanya penting bagi keberlanjutan. Industri ini juga menyangkut pencapaian agenda 2030 untuk tujuan pembangunan berkelanjutan dan penghapusan kemiskinan.

Pada 2016, Indonesia dan Uni Eropa memulai negosiasi perdagangan bebas di bawah kerangka CEPA, yang mana Kelapa Sawit menjadi subjek penting dalam pembahasan. Dari total barang yang diekspor Indonesia ke Uni Eropa, sebesar 28,4 persen produk ekspor Indonesia didominasi dari sektor agrikultur. Pada 2016, Indonesia mengekspor hampir 16 persen atau senilai 2,7 miliar Euro Minyak Kelapa Sawit ke Uni Eropa. Bahkan hingga 2017, Indonesia masih tercatat sebagai negara pengasil dan eksportir Kelapa Sawit terbesar dunia. Terhitung sebesar 55 persen produksi global dan 62 persen ekspor global produk Kelapa Sawit berasal dari Indonesia. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai eksportir komoditi Kelapa Sawit terbesar ke Uni Eropa, serta menjadikan Uni Eropa sebagai pasar Kelapa Sawit terbesar kedua Indonesia setelah India.

Melihat prospek yang positif dari industri ini, maka dibutuhkan usaha ekstra untuk menjadikan industri Kelapa Sawit sebagai industri yang ramah lingkungan sekaligus bermanfaat dalam sisi ekonomi. Uni Eropa juga berkomitmen untuk membantu melestarikan lingkungan serta mengurangi emisi gas rumah kaca. Salah satu cara yang dilakukan Uni Eropa di antaranya dengan menggunakan bahan baku pengganti energi fosil, yakni menggunakan biofuel atau biodiesel yang berbasis campuran minyak nabati.

Biofuel merupakan energi yang berasal dari materi hidup seperti tumbuhan, sedangkan biodiesel merupakan minyak yang bersumber dari hewan atau tumbuhan yang digunakan sebagai bahan baku alternatif kendaraan bermotor atau industri. Hingga 2017, negara-negara di Uni Eropa menggunakan bahan bakar biodiesel berbasis Kelapa Sawit hingga 51 persen dari total penggunaan Kelapa Sawit di kawasan tersebut.

Meningkatnya konsumsi terhadap produk Kelapa Sawit turut meningkatkan kekhawatiran masyarakat internasional tentang isu keberlanjutan dan kelestarian lingkungan. Dugaan industri Kelapa Sawit yang kerap kali menyebabkan deforestasi dan kebakaran hutan memunculkan kampanye negatif terhadap industri Kelapa Sawit. Kampanye negatif ini kerap kali disebarkan oleh organisasi-organisasi lingkungan, yang mana organisasi lingkungan ini turut mendesak pemerintah setempat untuk membuat kebijakan yang pro terhadap kepentingan mereka, di mana salah satunya adalah isu keberlanjutan.

Perdebatan tentang industri Kelapa Sawit ini tidak hanya menjadi pembahasan masyarakat ataupun organisasi lingkungan saja. Uni Eropa sebagai inisiator praktik keberlanjutan juga membuat banyak peraturan yang menyangkut konsumsi sumber daya di kawasannya, termasuk mengatur regulasi tentang penggunaan produk berbasis Kelapa Sawit yang berkelanjutan. Salah satunya ialah kebijakan Uni Eropa tentang Renewable Energy Directive (RED) pada 2009.

Kebijakan RED yang dibuat Uni Eropa sebagai mitigasi dari penggunaan energi fosil sebagai bahan bakar transportasi terhadap perubahan iklim. Kebijakan ini juga bertujuan untuk mempromosikan energi terbarukan serta memastikan energi terbarukan tersebut diproduksi secara berkelanjutan dan ramah lingkungan. Namun, sejak terdapat pemberitaan bahwa Kelapa Sawit memicu perusakan lingkungan, negara-negara penghasil Kelapa Sawit termasuk Indonesia mencari cara untuk mempromosikan produknya serta berusaha meningkatkan mutu produk agar sesuai dengan kriteria keberlanjutan.

Maka dari itu, terbentuklah Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) yang menjawab tantangan Uni Eropa atas isu keberlanjutan. RSPO ialah organisasi non profit yang digunakan untuk mendorong pertumbuhan Kelapa Sawit berkelanjutan melalui kerja sama dan dialog terbuka antar pemangku kebijakan.69 Adanya dugaan pengalihfungsian lahan hutan menjadi lahan perkebunan Kelapa Sawit mengancam keanekaragaman hayati dan mengakibatkan pemanasan global dari konversi lahan gambut. Karena itu, para importir dari negara-negara barat menuntut agar setiap barang yang mengandung minyak Kelapa Sawit harus berasal dari perkebunan Kelapa Sawit yang lestari.

Pada 2004, dibuatlah organisasi RSPO yang difasilitasi oleh World Wide Fund (WWF). Standar Minyak Kelapa Sawit yang berkelanjutan menurut RSPO ialah Minyak Sawit yang dihasilkan dari pengelolaan dan operasi yang legal, layak seara ekonomi, berwawasan lingkungan, dan bermanfaat secara sosial. Standar sertifikasi RSPO berusaha memastikan bahwa Kelapa Sawit yang diproduksi jauh dari pelanggaran aktivitas perusakan lingkungan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

Pada perkembangannya, Uni Eropa juga menerapkan European Union Emission Trading Scheme (EU-ETS), atau kebijakan yang dijalankan guna mendukung produk negara-negara yang memiliki sektor industri karbon yang rendah. Dalam kebijakan tersebut, industri Kelapa Sawit disebut tidak memenuhi standar serta memproduksi karbon di atas ambang normal, yakni sebesar 860 kilogram karbon dioksida setiap harinya. EU-ETS juga telah menjalani tiga kali periode. Pada tahun 2013-2020, Uni Eropa memutuskan untuk menetapkan bea masuk anti dumping sementara untuk biofuel atau biodiesel Sawit Indonesa sebesar 2,8-9,6 persen sejak Juli 2013.

Uni Eropa melalui Komisi Eropa Direktorat Jenderal bidang Lingkungan Hidup juga mengeluarkan laporan bertajuk “ The Impact of EU Consumption on Deforestation ”. Dalam laporan itu, menyebut bidang perkebunan hanya berkontribusi sebanyak 29 persen dan sektor Kelapa Sawit berkontribusi 8 persen dari usaha menghentikan deforestasi. Menanggapi hal tersebut, Pemerintah Indonesia bersama dengan negara-negara penghasil Kelapa Sawit lainnya mengirimkan Joint Letter kepada pihak Komisi Eropa yang berpendapat bahwa laporan tersebut bias karena mengabaikan faktorfaktor pendorong deforestasi lainnya. Negara-negara penghasil Kelapa Sawit juga khawatir bahwa laporan tersebut dapat merusak nama baik negara penghasil Kelapa Sawit sekaligus mengandung unsur diskriminasi perdagangan.

Pada 2013 pula, Indonesia melakukan lobi bilateral kepada pihak Uni Eropa. Lewat Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) yang terletak di negara-negara Eropa, pihak Indonesia mengajukan sikap keberatannya atas penerapan bea anti-dumping terhadap biodiesel dari Indonesia. Usaha tersebut membuahkan hasil, hingga tahun 2016 peraturan anti dumping Uni Eropa terhadap produk biodiesel berbasis Kelapa Sawit Indonesia dianulir dalam Peradilan Umum Uni Eropa.

Kebakaran hutan besar yang memicu pencemaran udara pada 2015 di wilayah Indonesia, Malaysia, dan Singapura memicu perhatian internasional. Dalam kasus ini, industri Kelapa Sawit dituding bertanggung jawab karena kebakaran besar tersebut juga terjadi di atas perkebunan Kelapa Sawit. Melalui kejadian ini, Uni Eropa kembali mengkaji tentang Kelapa Sawit dan pengaruh industri tersebut terhadap lingkungan. Pada 2016, Komisi Eropa mulai merevisi kebijakan RED berkaitan dengan strategi masa depan Uni Eropa tentang penggunaan energi terbarukan di bidang transportasi. Dalam kebijakan tersebut, minyak nabati seperti Minyak Kelapa Sawit, Minyak Kedelai ( Soybean Oil / SBO), Minyak Lobak ( Rapeseed Oil / RSO), Minyak Bunga Matahari ( Sunflower Oil /SFO), dan Minyak Jagung disebut sebagai elemen penting bahan baku biofuel.

Setelah melewati perdebatan panjang, Parlemen Eropa di bidang Lingkungan, Kesehatan publik, dan Keselamatan Pangan memutuskan untuk menulis tentang praktik tidak berkelanjutan yang mengatasnamakan industri Kelapa Sawit. Hingga pada akhirnya, Parlemen Eropa mengeluarkan resolusi tentang pelarangan masuknya produk Kelapa Sawit ke Uni Eropa, serta mengeluarkan Kelapa Sawit sebagai bahan baku biofuel atau biodiesel sejak 2021 berdasarkan kebijakan EU RED Directive .