Bagaimana perkawinan poligami menurut Undang-Undang di Indonesia?

Poligami adalah sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yg bersamaan.

Bagaimana perkawinan poligami menurut Undang-Undang di Indonesia?

##perkawinan Poligami Menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Secara yuridis formal, poligami di Indonesia diatur dalam Undangundang Perkawinan No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) bagi penganut agama Islam.

Walaupun pada dasarnya asas yang melekat dalam Undang-undang perkawinan tersebut merupakan asas monogami. Namun menurut Yahya Harahap asas hukum dalam Undang-undang tersebut tidaklah berimplikasi pada asas monogami mutlak akan tetapi asas monogami terbuka.

Sementara asas yang melekat pada Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah asas poligami tertutup. Sebab secara tersurat dalam Pasal 55 ayat 1 (satu) Kompilasi Hukum Islam (KHI) dijelaskan bahwa asas perkawinanya adalah poligami.

Namun pasal-pasal setelahnya mengindikasikan untuk menutup asas poligami tersebut dengan berbagai persyaratan yang begitu ketat, sehingga tidak memungkinkan bagi para pelaku poligami untuk menerapkannya dengan sewenang-wenang.

Kedua asas tersebut tentunya terdapat konsekuensi hukum yang sama, yaitu poligami diperbolehkan di negara Indonesia. Akan tetapi dengan persyaratan yang begitu ketat dan selektif.

Hal ini disebutkan dengan tegas dalam Pasal 3 ayat 1 (satu) Undang-undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyebutkan bahwa :

  1. Pada asasnya dalam suatu perkawinan, seorang pria hanya boleh memiliki seorang istri, begitu juga sebaliknya seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami.

  2. Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Penjelasan Pasal 3 ayat 2 (dua) Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan bahwa pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih satu, jika dikehendaki oleh pihak-pihak bersangkutan, didalam memberi putusan selain memeriksa persyaratan yang tersebut dalam Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan harus mengingat pula, apakah ketentuan hukum perkawinan agama dari calon suami mengizinkan adanya poligami ataukah dilarang.

Pasal 4 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa:

  1. Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat 2 (dua) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan didaerah tempat tinggalnya.

  2. Pengadilan dimaksud dalam ayat 1 (satu) Pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:

a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.62

Pasal 4 ayat 2 (dua) Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diatas, telah menjelaskan mengenai alasan-alasan bagi seorang suami untuk dapat beristri lebih dari seorang. Selanjutnya dalam Pasal 5 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menegaskan pula bahwa:

  1. Untuk dapat mengajukan permohonan ke pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 1 (satu) Undang-undang ini harus memenuhi syarat-syarat berikut:
    a. Adanya persetujuan dari istri/istri-istri.
    b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluankeperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
    c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
    d. Persetujuan yang dimaksud dalam ayat 1 huruf (a) Pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurangkurangnya 2 (dua) tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang perlumendapat penilaian dari hakim pengadilan.

Penjelasan Pasal 4 ayat 2 (dua) Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan syarat fakultatif yang harus dipenuhi. Sedangkan Pasal 5 ayat 1 (satu) Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan syarat kumulatif yang harus dipenuhi untuk mendapatkan izin dari pengadilan.

Perkawinan oleh seorang pria untuk kedua kalinya dapat dilakukan dengan terlebih dahulu mendapatkan izin kawin untuk kedua kalinya sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang mengatur lebih lanjut tentang tatacara seorang suami untuk beristri lebih dari seorang (berpoligami).

Pasal-pasal tersebut antara lain, Pasal 40 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan yang menyatakan bahwa:

“Apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan tertulis kepada pengadilan”.

Selanjutnya Pasal 41 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 juga menyebutkan alasan yang memungkinkan bagi seorang suami untuk kawin lagi. Secara lengkap Pasal 41 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang PelaksanaanUndang-undang Perkawinan menyatakan:

“Pengadilan kemudian memeriksa mengenai:

  1. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan suami kawin lagi ialah:
    a. Bahwa istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.
    b. Bahwa istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
    c. Bahwa istri tidak dapat melahirkan keturunan.
  2. Ada atau tidaknya dari persetujuan istri, baik persetujuan lisan maupun tertulis, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan didepan sidang pengadilan.
  3. Ada atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup, istri-istri dan anak-anak dengan memperlihatkan;
    a. Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditanda tangani oleh bendahara tempat bekerja; atau
    b. Surat keterangan pajak penghasilan; atau
    c. Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan.
  4. Ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.

Lebih lanjut dalam Pasal 42 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaa Undang-undang Perkawinan menyebutkan bahwa:

  1. Dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal pada Pasal 40 dan Pasal 41, pengadilan harus memanggil dan mendengar istri yang bersangkutan.
  2. Pemeriksaan pengadilan untuk itu dilakukan oleh hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya surat permohonan beserta lampiran-lampirannya.

Pasal 43 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan menyebutkan bahwa:

“Apabila pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristri lebih dari seorang, maka pengadilan memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristri lebih dari seorang”.

Pasal 44 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan menyebutkann bahwa:

“Pegawai pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang sebelum adanya izin pengadilan seperti yang dimaksud dalam Pasal 43”

Perkawinan Poligami Menurut Kompilasi Hukum Islam

Intruksi Presiden No 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) memberikan pengaturan tentang tatacara berpoligami bagi pemeluk agama Islam. Sebagaimana diatur pada bab IX Kompilasi Hukum Islam yang terdiri dari Pasal 55 sampai Pasal 59. Pasal 55 Kompilasi Hukum Islam memuat syarat substansial berpoligami yang melekat pada seorang suami, yakni terpenuhinya keadilan sebagimana yang telah ditetapkan.

Pasal 55 Kompilasi Hukum Islam mengemukakan bahwa:

  1. Beristri lebih dari satu orang pada waktu yang bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang istri.
  2. Syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.
  3. Apabila syarat utama yang disebut pada Ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristri lebih dari seorang.

Syarat yang disebutkan Pasal 55 ayat 2 (dua) Kompilasi Hukum Islam tersebut diatas merupakan hal yang terpenting dari poligami, sebab apabila syarat utama tersebut tidak mampu dipenuhi oleh suami, maka suami dilarang untuk berpoligami dan pengadilan agama pun tidak akan memberikan izin kepada suami untuk berpoligami.

Selanjutnya Pasal 56 Kompilasi Hukum Islam juga mengemukakan bahwa seorang suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama. Pasal 56 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan:

  1. Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama.
  2. Pengajuan permohonan izin dimaksud pada Ayat (1) dilakukan menurut tata cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
  3. Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga, atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.

Pasal 56 Kompilasi Hukum Islam diatas merupakan syarat-syarat formal poligami yang harus dijalani seorang suami. Peraturan ini dibuat sebagai perlindungan hukum bagi pelaku poligami, karena di Indonesia adalah negara hukum (rechstaat) sehingga segala urusan hubungan manusia, maka pelaksanaannya harus diketahui oleh instansi yang berwenang.

Selanjutnya Pasal 57 Kompilasi Hukum Islam memberikan peluang bagi seorang suami yang hendak berpoligami, manakala istri tidak mampu menjalankan kewajibannya. Hal tersebut juga pada hakikatnya haruslah mendapat izin dari Pengadilan Agama.

Sebagaimana Pasal 57 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan: Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dan seorang apabila:

  1. istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri.
  2. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
  3. istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Pasal 57 Kompilasi Hukum Islam diatas merupakan syarat-syarat substansial yang melekat pada seorang istri yaitu kondisi-kondisi nyata yang melingkupinya sehingga menjadi alasan logis bagi seorang suami untuk berpoligami.

Selanjutnya dalam Pasal 58 Kompilasi Hukum Islam memberikan syarat bahwa untuk memperoleh izin Pengadilan Agama harus pula memenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada Pasal 5 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 58 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa:

  1. Selain syarat utama yang disebut pada Pasal 55 Ayat (2) KHI, maka untuk memperoleh izin Pengadilan Agama harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada Pasal 5 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, yaitu:
    a. Adanya persetujuan istri;
    b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
  2. Dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 41 Huruf b Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, persetujuan istri atau istri-istri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan istri pada sidang Pengadilan Agama.
  3. Persetujuan dimaksud pada Ayat 1 (satu) Huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri atau istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari istri atau istri-istrinya sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian hakim.

Pasal 58 Kompilasi Hukum Islam diatas merupakan syarat-syarat formal yang diperankan seorang istri sebagai respon terhadap suami yang hendak memadu dirinya yang melibatkan instansi yang berwenang.
Aturan-aturan ini sebagai antisipasi untuk menjaga hubungan baik dalam keluarga setelah berjalannya keluarga poligami.

Selanjutnya Pasal 59 Kompilasi Hukum Islam berbunyi: Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristri lebih dari satu orang berdasarkan salah satu alasan yang diatur dalam Pasal 55 Ayat 2 (dua) KHI dan Pasal 57 KHI. Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.

Pasal 59 Kompilasi Hukum Islam diatas menjelaskan sikap Pengadilan Agama untuk bertindak dalam menghadapi perkara poligami dari istri yang saling mempertahankan pendapatnya. Dengan demikian ketentuan poligami yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak bertentangan dengan hukum agama Islam.

Berdasarkan uraian diatas jelaslah bahwa hukum perkawinan nasional walaupun menganut kuat prinsip monogami tetapi membuka peluang bagi seorang pria untuk berpoligami dengan syarat dapat memenuhi ketentuan- ketentuan yang telah ditentukan oleh perundang-undangan berlaku. Pada asasnya seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri dan seorang istri hanya boleh mempunyai seorang suami.

Akan tetapi asas monogami dalam Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak bersifat mutlak, artinya hanya bersifat pengarahan pada pembentukan perkawinan monogami dengan jalan mempersulit dan mempersempit praktek poligami, bukan sama sekali menghapus praktek poligami.

Kata poligami berasal dari bahasa Yunani. Kata ini merupakan penggalan dari poli atau polus, artinya banyak, dan kata gamein atau gamos artinya kawin atau perkawinan. Jadi perkataan poligami dapat diartikan sebagai suatu perkawinan yang banyak atau suatu perkawinan yang lebih dari seorang.

Atau Perkawinan Poligami merupakan sebuah bentuk perkawinan dimana seorang lelaki mempunyai beberapa orang isteri dalam waktu yang sama. Seorang suami mungkin mempunyai dua isteri atau lebih pada saat yang sama.

Tunisia adalah satu-satunya negara Muslim yang melarang poligami sekarang ini. Fatwa dan tafsir Abduh yang dipegang Presiden Tunisia Bourguiba pada tahun 1956 untuk mensahkan undang-undang (UU) yang melarang poligami. Namun, Turki saat pemerintahan Musthafa Kemal Ataturk pada tahun 1926 juga melarang poligami.

UU Tunisia yang tegas dan sangat berani melarang poligami tidak diikuti negara lain. Justru sebaliknya, hampir semua negara Muslim di dunia melegalisasi poligami, seperti di Yaman Selatan (1974), Siria (1953), Mesir (1929), Maroko (1958), Pakistan (1961), dan negara Muslim lain.

Poligami di Indonesia juga disahkan Sesuai Ketentuan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yaitu :

  • Ayat 1 Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.

Ketentuan Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan tersebut di atas membuka kemungkinan seorang suami dapat melakukan poligami apabila dikehendaki oleh istri pertama tentunya dengan ijin pengadilan.

  • Ayat 2a Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh fihak- fihak yang bersangkutan

  • Ayat 2b. Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri- isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.

Ketentuan diatas merupakan dasar untuk melakukan poligami di Indonesia walapun menggunakan asas monogami dibuka juga melakukan poligami dengan syarat yang sudah diatur dalam peraturan perundangan di Indonesia adapun koondisi yang dapat dijadikan alasan pengajuan poligami ;

  1. Sakitnya istri yang tidak bisa disembuhkan, 2

  2. Tidak mampunya istri memberikan keturunan, dan,

  3. Tidak mampunya istri melakukan tugasnya sebagai istri.

Sementara syarat syarat yang harus dipenuhi suami ketika melakukan poligami menangkup ;

  1. Kemampuan suami untuk berlaku adil,
  2. Kemampuan finansial suami, dan
  3. Adanya ijin istri.

Dalam pasal berikutnya ketika istri tidak ada kabar dalam jangka waktu dua tahun maka tidak perlu melakukan ijin pada istri.

Pelaksanaan poligami menurut Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975.

Dalam PP Nomor 9 Tahun 1975 mengatur lebih terperinci tentang Pelaksanaan poligami Atas UUP Nomor 1 tahun 1974 tentang Pelaksanaan beristri lebih dari seorang. Yaitu :

Pasal 40

Apabila seorang suami bermaksud untuk beristeri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan.

Pasal 41

Pengadilan kemudian memeriksa mengenai:

  1. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi, ialah:

    • bahwa isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri.
    • bahwa isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
    • bahwa isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
  2. ada atau tidaknya persetujuan dari isteri, baik persetujuan lisan maupun tertulis, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan didepan sidang pengadilan.

  3. ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak, dengan memperlihatkan:

    • surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditanda-tangani oleh bendahara tempat
      bekerja atau.
    • surat keterangan pajak penghasilan atau.
    • surat keterangan lain yang dapat diterima oleh Pengadilan.
  4. ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan ntuk itu.

Pasal 42

  1. Dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal pada Pasal 40 dan 41, Pengadilan harus memanggil dan mendengar isteri yang bersangkutan.

  2. Pemeriksaan Pengadilan untuk itu dilakukan oleh Hakim selambat- lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya, surat permohonan beserta lampiran-lampirannya.

Pasal 43

Apabila Pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristeri lebih dari seorang, maka Pengadilan memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristeri lebih dari seorang.

Pasal 44

Pegawai Pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang sebelum adanya izin Pengadilan seperti yang dimaksud dalam Pasal 43.

Poligami menurut Kompilasi Hukum Islam.

Dalam KHI ketentuan beristri lebih dari satu orang tertera dalam Bab IX mulai pasal 55 sampai 59. Dalam KHI. Disebutkan bahwa batasan seorang suami yang hanya boleh menikah sampai empat orang istri saja. Hal itu pun juga dengan persyaratan yang harus dipenuhi.

Pasal 55, berisi:

  1. Beristri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan terbatas hanya sampai empat orang istri.
  2. Syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.
  3. Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristri lebih dari seorang.

Seorang suami yang hendak beristri lagi harus mendapat izin dari Pengadilan Agama untuk mendapatkan kekuatan hokum yang sah.

Hal ini diatur dalam pasal 56, yaitu:

  1. Suami yang hendak beristri lebh dari satu orang harus mendapatkan izin dari Pengadila Agama.

  2. Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut tata cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan No. 9 Tahun 1975.

  3. Perkawinanyang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak memunyai kekuatan hukum.

Dalam hal perizinan, seorang suami akan mendapatkan izin dari Pengadilan Agama jika terdapat suatu keadaan yang sesuai dengan ketentuan.

Hal ini diatur daam pasal 57, yaitu:

Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:

  1. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.
  2. Istri mendapat cacad badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
  3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Sebelum Pengadilan Agama memberikan izinnya, juga harus dipenuhinya suatu persyaratan yang sudah ditentukan.

Hal ini diatur dalam pasal 58, yaitu:

  1. Selain syarat utama yang disebut pasal 55 ayat (2) maka untuk memperoleh izin Pegadilan Agama harus pula dipenuhi syarat- syarat yang ditentukan pada pasal 5 UU No. 1/ 1974, yaitu:

    • Adanya persetujuan istri
    • Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
  2. Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah No 9/1975, persetujuan istri atau istri-istri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan istri pada siding Pengadilan Agama.

  3. Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri atau istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari istri atau istri-istrinya sekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian Hakim.

Dalam hal tidak diberikannya izin suami oleh pihak istri diatur dalam pasal 59, yaitu:

Dalam hal istri tidak mau mamberikan peretujuan, dan permohonan izin untuk beristri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.

Hukum Acara Poligami.

Permohonan ijin beristri lebih dari seorang (poligami) diatur dalam pasal- pasal 3, 4 dan 5 UU Nomor 1 tahun 1974, pasal 40 – 44 PP Nomor 9 tahun 1975, pasal 55-59 Kompilasi hukum islam.
Tata cara permohonan ijin poligami diatur sebagai berikut;4

A. Poligami harus ada ijin dari Pengadilan Agama.

Seorang suami yang hendak beristri lebih dari seorang (poligami) harus mendapat ijin lebih dahulu dari Pengadilan Agama (Pasal 56 ayat (1) KHI).

B. Kewenangan Relatif Pengadilan Agama.

Permohonan ijin untuk beristri lebih dari seorang diajukan kepada Pengadilan Agama di tempat tinggalnya (pasal 4 ayat (1)UU No.1/1974).

C. Surat Permohonan.

Surat permohonan ijin beristri lebih dari seorang harus memuat:

  • Nama, umur, dan tempat kediaman Pemohon, yaitu suami dan termohon, yaitu yaitu istri/istri-istri;
  • Alasan-alasan untuk beristri lebih dari seorang;
  • Petitum.

Permohonan ijin Poligami merupakan perkara contentius, karena harus ada (diperlukan) persetujuan istri. Karena itu, perkara ini diproses di Kepanitraan Gugatan dan didaftarkan dalam Register induk Perkara Gugatan.

D. Pemanggilan pihak-pihak.

Pengadilan Agama harus memanggil dan mendengar pihak suami dan istri ke persidangan. Pemanggilan dilakukan menurut tatacara pemanggilan yang diatur dalam hukum acara perdata biasa yang diatur dalam pasal 390 HIR dan pasal-pasal yang berkaitan.

E. Pemeriksaan.

  • Pemeriksaan permohonan ijin poligami dilakukan oleh Majelis Hakim selambat-lambatnya 30 hari setelah diterimanya surat permohonan beserta lampiran-lampirannya (pasal 42 ayat (2) PP No. 9/1975).

  • Pada dasarnya , pemeriksaan dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum, kecuali apabila karena alasan-alasan tertentu menurut pertimbangan hakim yang dicatat dalam Berita Acara Persidangan, Pemeriksaan dapat dilakukan dalam sidang tertutup (pasal 17 ayat (1) UU No. 14/1970).

F. Upaya damai.

Pada sidang pertama pemeriksaan ijin poligami, Hakim berusaha mendamaikan (pasal 30 ayat (1) HIR). Jika mencapai perdamaian, perkara di cabut kembali oleh pemohon.

G. Pembuktian.

1. Pengadilan agama kemudian memeriksa mengenai :

  • Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi, sebagai syarat alternatif yaitu;

    1. Bahwa istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.

    2. Bahwa istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan

    3. Bahwa istri tidak dapat melahirkan keturunan.

  • Ada atau tidak adanya persetujuan dari istri , baik persetujuan lisan maupun tertulis, yang harus dinyatakan di depan sidang.

  • Ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak dengan memperlihatkan:

    1. Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang di tanda tangani oleh bendahara tempat bekerja, atau

    2. Surat keterangan pajak penghasilan; atau

    3. Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan.

  • Ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.

2. Sekalipun sudah ada persetujuan tertulis dari istri persetujuan ini harus dipertegaskan dengan persetujuan lisan di depan sidang, kecuali dalam hal istri telah dipanggil dengan patut dan resmi tetapi tidak hadir dalam sidang dan tidak pula menyuruh orang lain sebagai wakilnya.

3. Persetujuan dari istri tidak diperlukan lagi dalam hal:

  • Istri/istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuan dan tidak mungkin menjadi pihak dalam perjanjian;atau
  • Tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 tahun;atau
  • Karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan Agama.

H. Putusan

  • Apabila Pengadilan Agama berpendapat bahwacukup alasan bagi pemohon untuk beristri lebih dari seseorang , maka Pengadilan Agama memberikan putusannya yang berupa ijin untuk beristri lebih dari seorang.

  • Terhadap putusan ini , baik istri maupun suami dapat mengajukan banding atau kasasi.6

I. Biaya perkara

Biaya dalam perkara ini dibebankan kepada pemohon (pasal 89 ayat (1) UU No.7/1989)

J. Pelaksanaan poligami

Pegawai pencatatan nikah dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang sebelum ada ijin dari Pengadilan Agama yang telah mempunyai ketetapan hukum tetap.

Poligami Dalam Perspektif UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan


Undang-Undang perkawinan menganut asas monogami seperti yang terdapat di dalam pasal 3 yang mengatakan, seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami, namun pada bagian yang lain dinyatakan bahwa dalam keadaan tertentu poligami dibenarkan.

Suami boleh beristri lebih dari satu orang dengan ketentuan jumlah istri dalam waktu yang bersamaan terbatas hanya sampai empat orang. Adapun syarat utama yang harus dipenuhi adalah suami mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya dan anak-anaknya, akan tetapi jika suami tidak bisa memenuhi maka suami dilarang beristri lebih dari satu, disamping itu suami harus terlebih dahulu mendapat ijin dari Pengadilan Agama, tanpa ijin dari Pengadilan Agama maka perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum.

Izin untuk berpoligami hanya dapat diberikan jika telah memenuhi sekurang-kurangnya salah satu dari syarat alternatif dan ketiga syarat kumulatif. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 4 ayat (2) disebutkan ada tiga syarat alternatif.

Salah satu syarat tersebut adalah persetujuan dari istri, tetapi syarat ini tidak diperlukan bagi suami apabila istri tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya dua tahun, atau karena sebab- sebab lainya seperti pada pasal 5 ayat (2).

Persetujuan secara lisan ini nantinya istri akan dipanggil oleh Pengadilan dan akan didengarkan oleh majelis hakim, tidak hanya istri tetapi suami juga akan diperlakukan hal yang sama. Kemudian pemanggilan pihak-pihak ini dilakukan menurut tata cara yang diatur dalam hukum acara perdata biasa yang diatur dalam pasal 390 HIR dan pasal-pasal yang berkaitan. Seorang Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan poligami, harus memenuhi persyaratan-persyaratan sebagaimana telah ditentukan dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975. 21 Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 disebutkan bahwa untuk memperoleh ijin melakukan poligami hanya dapat diberikan oleh pejabat yang berwenang, apabila memenuhi sekurang-kurangnya salah satu syarat alternatif dan ketiga syarat kumulatif sebagaimanan disebutkan dalam pasal 10 ayat 2 dan 3 PP No. 10 Tahun 1983.

Pasal 10 ayat 1 PP No. 10 Tahun 1983 bahwa Pegawai Negeri Sipil yang akan beristri lebih dari seorang wajib memperoleh ijin dari pejabat dimana dalam surat permintaan ijin sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat 1 tadi harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasari permintaan untuk beristri lebih dari seorang. Permintaan ijin itu harus diajukan kepada pejabat melalui saluran hirarki.

Setiap alasan yang menerima permintaan ijin dari Pegawai Negeri Sipil dalam lingkungannya untuk melakukan poligami wajib memberikan pertimbangan dan wajib meneruskan kepada pejabat melalui saluran hirarki dalam jangka waktu selambat-lambatnya tiga bulan terhitung mulai tanggal menerima permintaan surat itu. Ada atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup istri-istrinya dan anak-anak dengan memperlihatkan surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditanda tangani oleh bendahara tempat bekerja, Surat keterangan pajak penghasilan dan surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan.

Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1983 pejabat dari Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan akan memberikan ijin apabila ternyata :

  1. Tidak bertentangan dengan ajaran atau peraturan agama yang dianut oleh Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan.

  2. Memenuhi syarat alternatif dan semua syarat komulatif.

  3. Tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku.

  4. Tidak bertentangan dengan akal sehat.

  5. Tidak ada kemungkinan mengganggu tugas kedinasan yang dinyatakan dalam surat keterangan atasan langsung Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan, serendah-rendahnya pejabat eselon IV atau setingkat dengan itu.

Apabila seorang suami bermaksud beristri lebih dari satu maka wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan. Jika melanggar akan diberi hukuman. Adapun prosedur untuk melakukan poligami terdapat pada ketentuan pasal 40 hingga 44 tentang Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan, pasal 40 yang memberikan Pengadilan wewenang dalam memeriksa ada atau tidaknya alasan yang menujukan bahwa suami kawin lagi, ada tidaknya izin istri, adanya kemampuan suami untuk berlaku adil pada semua istrinya, serta adanya persetujuan secara lisan.23

Proses dalam acara Pengadilan Agama dimana dalam pemeriksaan Pengadilan harus memanggil dan mendengar istri yang bersangkutan. Pemeriksaan pengadilan untuk itu dilakukan oleh hakim selambat-lambatnya 30 hari setelah diterima surat permohonan beserta lampiran-lampirannya.

Pengadilan didalam memberikan pertimbangan terhadap Pegawai Negeri Sipil yang mengajukan permohonan untuk beristri lebih dari seorang dengan melihat apakah hukum membolehkannya atau tidak yaitu dengan memperlihatkan Ketentuan Undang-Undang yang berlaku serta memperhatikan kelengkapan syarat-syarat maupun alasan-alasan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1983 dan juga Kompilasi Hukum Islam.