Bagaimana Perjalanan Sunan Kalijaga Menjadi Wali Songo?

sunan kalijaga
Sunan Kalijaga merupakan kreator tokoh punakawan dalam pewayangan yang digunakan sebagai media dalam berdakwah. Bagaimana Perjalanan Sunan Kalijaga Menjadi Wali Songo?

Perjalanan Sunan Kalijaga Menjadi Wali Songo?


Pertemuan Raden Sahid dengan Sunan Bonang memiliki arti yang sangat penting untuk merubah pandangan hidup Raden Sahid terhadap kehidupan di dunia ini. Sekaligus sebagai tonggak sejarah dalam proses kewaliannya. Seandainya Raden Sahid tak pernah bertemu dengan Sunan Bonang, ia tak akan pernah tahu sesuatu yang dianggapnya baik dan benar dalam pandangan Islam. Raden Sahid akhirnya mengetahui bahwa kebenaran dalam Islam adalah kebenaran yang hakiki, kebenaran yang mutlak, yang tidak dapat diperdebatkan, karena membawa dampak kebaikan untuk siapapun yang menjalankan kebenaran itu.

Raden Sahid kini menyadari bahwa apa yang dilakukannya selama ini ternyata keliru. Keperduliannya membela kaum tertindas adalah sikap yang mulia, namun karena dilakukannya dengan mencuri dan merampok orang lain, perbuatan tersebut menjadi perbuatan yang keliru, perbuatan keliru yang dilakukannya dengan sengaja hukumnya adalah dosa. Pertemuannya dengan Sunan Bonang memberikan pencerahan dalam jiwanya sehingga paham akan kebaikan dan keburukan, mengerti akan pahala dan dosa.

Raden Sahid akhirnya memutuskan untuk berguru kepada Sunan Bonang. Dengan demikian, Sunan Bonang merupakan guru spiritual pertama bagi Raden Sahid. Sunan Bonang menerima Raden Sahid sebagai muridnya. Jaka Sahid diperintah untuk tetap berada di tepi sungai sampai sang Sunan kembali menemuinya. Tiada terasa sudah bertahun-tahun telah menunggu dengan setia kedatangan Sunan Bonang. Dia tetap setia bermeditasi di pinggir sungai atau kali. Sebuah kepatuhan dalam ajaran makrifat. Sikap tunduk dalam berguru spiritual. Bukan teori yang dipelajari, melainkan mujahadah, berjuang untuk mengalami kebenaran.

Masa penantian Jaka Sahid atau Raden Sahid ini dikisahkan bahwa dia menunggu dengan duduk bersemadi di pinggir kali dengan kusyuk hingga rerumputan dan semak menutupi tubuhnya. Bahkan, ketika hendak menemuinya, Sunan Bonang mengalami kesulitan. Dengan penuh waspada, akhirnya Sunan mampu menemukannya. Pada tahap berikutnya, Sunan menggembleng Raden Sahid untuk mewariskan ilmu-ilmu agama dan spiritual kepadanya.

Ketaatan dan kesungguhan yang ada dalam diri Raden Sahid membuatnya dengan mudah menyerap semua ilmu yang diajarkan oleh gurunya. Dan ia tidak lantas merasa puas. Baginya ilmu agama tidak akan pernah habis dipelajari sampai akhir hayatnya. Maka ketika Sunan Bonang memperkenalkan kepada Sunan Ampel dan Sunan Giri, Raden Sahid menyatakan ingin berguru kepada mereka. Pilihan Raden Sahid untuk berguru kepada wali Allah itu sungguh pilihan yang tepat dan bijak. Karena dari mereka banyak tambahan ilmu yang diperolehnya. Raden Sahid semakin mengetahui hakikat manusia terhadap Sang Penciptanya.

Sebagai putra Adipati yang hidup dalam limpahan kesenangan duniawi, lalu memilih jalan hidup seperti yang dijalaninya. Sekarang, Raden Sahid dianggap telah menjalani kematian dalam kehidupan, atau dalam istilah Jawa “mati sajroning urip”. Yang artinya lelaku menjauhkan diri dari kesenangan duniawi. Hidup yang dijalaninya semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah. Karena jika ingin megetahui hakikat kehidupan, maka manusia juga harus mengetahui hakikat kematian. Untuk memahami hakikat kematian, manusia tidak harus mati, karena memahami hakkat kematian sama halnya dengan pengendalian nafsu duniawi, yang pada hakikatnya sering menjerumuskan manusia untuk melupakan Sang Pencipta, melupakan Sang Pengendali Kehidupan yang memiliki kekuasaan yang seluas-luasnya. Maka panggilan “Syekh Malaya” terhadap Raden Sahid sama artinya dengan mematikan diri.

Sumber lain menyebutkan bahwa, nama Syekh Malaya merupakan julukan dari Sunan Gunung Jati di Cirebon setelah Raden Sahid berguru kepada Sunan Ampel dan Sunan Bonang karena telah melakukan perjalanan jauh untuk menimba ilmu seorang diri ke tanah seberang di negeri Malaya. Sebuah perjalanan yang amat bermakna bagi Raden Sahid yang kemudian dituangkan dalam sebuah kisah, yakni Serat Seh Malaya. Ini merupakan kisah tentang dirinya.

Setelah beberapa tahun berguru di Pasai dan berdakwah di wilayah Malaya dan Patani, Raden Sahid kembali ke Jawa. Sekembalinya di tanah Jawa, Raden Sahid atau Syekh Sahid atau Syekh Malaya, diangkat menjadi salah satu dari anggota Walisongo. Raden sahid mendapat julukan “Sunan Jaga kali atau Kali jaga”, merujuk pada kegiatannya saat menunggu Sunan Bonang, di pinggir kali di tengah hutan Jatiwangi. Dialah Sunan Kalijaga sang penjaga kali.

Sunan Kalijaga yang telah tercelup dalam ilmu pengetahuan Islam dari para gurunya, menjadikannya sebagai seorang yang terhormat dan berwibawa. Sunan Kalijaga banyak menguasai berbagai ilmu pengetahuan seperti tauhid, syariat, ilmu kanuragan, ilmu kesenian, dan lainnya. Oleh karenanya, Sunan Kalijaga terkenal sebagai seorang yang ahli dalam ilmu tauhid, mahir dalam ilmu syariat dan menguasai ilmu tentang perjuangan dakwah Islam. Bahkan beliau juga ahli dalam bidang sastra sehingga terkenal sebagai pujangga dengan melahirkan syair-syair indah dalam bahasa Jawa.

Nama aslinya adalah Raden Said atau Jaka Setiya. Waktu mudanya nama Raden Said itu adalah nama yang diidentifikasikan dengan Gan Si Cang (kapten Cina Semarang), putra dari Gan Eng Cu alias Arya Tedja.

Raden Said yang dikenal sebagai Sunan Kalijaga, ia adalah putra dari Bupati Tuban yang bernama Tumenggung Wilatika dan Dewi Retno Dumilah lahir pada tahun 1430an. Tumenggung Wilatika merupakan keturunan dari Ranggalawe yang hidup semasa pemerintahan Raden Wijaya di Majapahit.

Tumenggung Wilatika disebut juga sebagai Aria Teja IV, merupakan keturunan Aria Teja III, Aria Teja II, dan berpangkal pada Aria Teja I, sedangkan Aria Teja I adalah putra dari Aria Adikara atau Ranggalawe. Yang terakhir Aria Teja IV adalah salah seorang Raja Majapahit.

Sejak kecil Sunan Kalijaga sudah tampak bahwa ia adalah calon yang berjiwa luhur. Ia seorang yang selalu taat kepada agama dan berbakti kepada kedua orang tua serta kepada orang-orang lemah yang mempunyai sifat dan sikap welas asih (belas kasih).

Ia juga sejak kecil sudah mempunyai solidaritas yang tinggi terhadap kawan-kawannya. Bahkan ia tidak segan untuk masuk dan bergaul ke dalam lingkungan rakyat jelata. Ketika itulah ia tidak tahan lagi melihat penderitaan orang-orang miskin di pedesaannya.

Sunan Kalijaga juga dikenal sebagai Syekh Malaya. Nama Syekh Malaya merupakan panggilan bagi Sunan Kalijaga yang pernah menjadi juru dakwah di wilayah Malaya. Dalam khazanah makrifat Jawa, gelar Syekh “Malaya” itu berasal dari Jawa.

Kata “Malaya” berasal dari kata “ma-laya” yang artinya mematikan diri. Dia telah mengalami “ mati sajroning urip, urip sajroning pati ” maksud dari kata tersebut adalah merasakan mati dalam hidup ini. Kematian dalam hidup seseorang akan mengetahui hakikat hidup.

Nama Sunan Kalijaga berasal dari Desa Kalijaga (Tuban). Sewaktu Sunan Kalijaga tinggal di sana, ia sangat suka berendam atau berlama-lama duduk di tepian sungai. Secara harfiah, nama Kalijaga menunjukkan bahwa Sang Sunan suka menjaga sungai. Namun secara simbolik, nama Kalijaga menunjukkan bahwa sang Sunan senantiasa menjaga semua aliran (kepercayaan) yang ada di dalam masyarakat.

Pada awalnya Sunan Kalijaga berguru dengan Sunan Bonang. Karena, Sunan Bonang merupakan guru spiritual pertama bagi Sunan Kalijaga atau Raden Said. Ia diperintahkan untuk tetap berada di tepi sungai sampai Sang Sunan Bonang kembali menemuinya. Agar Sunan Kalijaga tetap sikap tunduk dalam berguru spiritualnya. Bukan hanya teori yang dipelajari, melainkan mujāhadah (berjuang untuk mengalami kebenaran).

Setelah Sunan Kalijaga sudah mengikuti aturan Sunan Bonang, lalu Sunan Bonang memberi gelar kepada Raden Said sebagai Sunan Kalijaga. Sunan Bonang juga mengajarkan kepada Sunan Kalijaga yaitu sangkan paraning dumadi, suatu ilmu pada hakikatnya menjelaskan tentang asal-usul kejadian alam semesta dan seisinya, kepergian roh yang sudah mati di dalam raganya, dan hakikat hidup dan mati.

Sunan Bonang pun mengajarkan Sunan Kalijaga/Raden Said untuk mewariskan ilmu-ilmu agama dan spiritual kepadanya. Setelah dianggap cukup belajarnya dengan Sunan Bonang, oleh karena itu Sunan Bonang menganjurkan agar Sunan Kalijaga meneruskan ilmunya kepada Syekh Sutabaris di Palembang.

Syekh Sutabaris adalah seorang guru agama yang tinggal di pulau Upih, bagian kota Malaka dan terletak di sebelah utara sungai. Sebenarnya Sunan Kalijaga tidak untuk berguru kepada Syekh Sutabaris melainkan menyusul Sunan Bonang untuk naik haji ke Makkah.

Sunan Kalijaga yang naik haji ke Makkah itu bukan karena menyusul Sunan Bonang, tetapi memenuhi perintahnya. Di pulau Upihlah, Sunan Kalijaga mendapatkan perintah dari Syekh Maulana Maghribi agar kembali ke Jawa untuk membangun masjid dan menjadi penggenap Wali.

Setelah berguru kepada Syekh Sutabaris, Sunan Kalijaga melanjutkan bergurunya dengan Sunan Gunung Jati. Ternyata, Syekh Siti Jenar pun berguru dengan Sunan Gunung Jati. Lalu, keduanya (Sunan Kalijaga dan Syekh Siti Jenar) pun diajarkan ilmu makrifat selama empat tahun.

Setelah berguru dengan 3 gurunya itu (Sunan Bonang, Syekh Sutabaris dan Sunan Gunung Jati), Sunan Kalijaga ke Pasai dan berdakwah di wilayah Semenanjung Malaya hingga wilayah Patani di Thailand Selatan. Dalam hikayat Patani, Sunan Kalijaga dikenal sebagai seorang tabib.

Bahkan di sana ia mengobati Raja Patani yang sedang sakit kulit berat hingga sembuh. Di wilayah Patani juga Sunan Kalijaga atau Raden Said dikenal dengan nama Syekh Sa‟id.

Dalam berdakwah Sunan Kalijaga lebih menggunakan jalur kesenian dan kebudayaan. Sunan Kalijaga juga merupakan salah satu seorang anggota Wali Songo yang namanya lebih populer dibandingkan dengan anggota lainnya di tanah Jawa.