Bagaimana perjalanan seorang manusia menuju Allah swt?

Allah swt

Perjalanan manusia, pada hakikatnya, adalah menuju ke Allah swt, karena asal manusia adalah dari penciptaan Allah swt. Bagaimana sejatinya perjalanan menuju Allah swt ?

Al-Imam Ibnu Athaillah Askandary dalam kitab Al Hikam menyatakan,

Himmah (hsrat) seorang salik takkan berhenti ketika tersingkap baginya tirai rohani, melainkan suara-suara hakikat (hawaatif al-haqiiqah) akan berseru padanya “apa yang engkau cari masih di depanmu!” Tidak perlu terlihat keindahan alam, melainkan hakikatnya akan menyeru padamu, Kami hanyalah batu ujian (fitnah), maka janganlah engkau kafir.

Bahwa orang yang sedang berjalan kepada Allah s.w.t. dengan amal ibadatnya, dengan akhlak tasawufnya dan dengan ajaran tauhidnya, akan yakin dalam perjalanannya itu bahwa Allah s.w.t. akan memberi nikmat kepadanya dengan ilmu-ilmu ladunni, ilmu-ilmu pengetahuan yang langsung dari Allah s.w.t. untuk bertambah makrifatnya kepada Allah. Dan kemungkinan besar ia akan menemukan rahasia-rahasia sebagian dari alam ini.

Di samping itu pula kemungkinan besar ia mendapatkan Nur Ilahi yang berkenaan dengan semakin mendalam makrifatnya kepada Allah serta merasakan hal-hal yang berhubungan dengan tingkatan-tingkatan yang telah dilalui oleh hamba-hamba Allah di mana mereka telah sampai banyak sedikitnya kepada tujuan yang hakiki, yaitu sampai hatinya dan perasaannya dengan luas dan mendalam kepada Allah s.w.t. di samping hatin ya tidak tunduk terkecuali kepada Allah s.w.t. semata.

Apabila orang yang berjalan kepada Allah s.w.t. bertemu kemuliaan-kemuliaan dalam perjalanannya seperti tersebut di atas, maka orang itu pasti melalui salah satu dari dua jalan berikut, yaitu :

  • Adakala ia berhenti dalam perjalanan dan merasa bahwa kemuliaan-kemuliaan yang datang di tengah jalan adalah tujuan terakhir dalam perjalanannya. Misalnya, kita selaku hamba Allah apabila tauhid kita mendalam, demikian juga ajaran tasawuf dan ilmu syariat lainnya, apabila kita kuat beribadah kepada Allah s.w.t. dengan ibadah yang sempurna di samping keimanan kita yang mendalam, maka kita akan menemui sesuatu di tengah perjalanan.

    Bagi hamba Allah yang berhenti dalam perjalanannya karena kemuliaan ini, atau ia merasa cukup dengan kemuliaan yang ada itu, maka hamba Allah yang begini pasti tidak akan naik cita-citanya, bahkan kehendaknya untuk mencukupkan kemuliaan yang ada, akan menghambat dirinya untuk tidak naik kepada tingkatan-tingkatan berikutnya.

  • Adakalanya ia berjalan dengan ilmunya, yakni ilmu syariat, makrifat dan hakikat, di samping akhlak tasawuf yang diamalkan oleh sekalian hamba Allah yang saleh. Maka ilmu dan amalnya itulah yang akan mendorong dia untuk tidak memperhatikan segala hambatan-hambatan di dalam perjalanan seperti yang telah disebutkan di atas. Bahkan hamba Allah yang begini sifatnya tidak akan terpengarnh pula oleh kecantikan-kecantikan daya tarik alam dunia yang fana ini.

    Semuanya kemuliaan itu tidak mempengaruhi hatinya dan amalnya, tetapi ia terus berjalan menuju tujuannya, yaitu makrifat kepada Allah s.w.t. di mana merupakan laut yang dalam dan luas dan tidak ada habis-habisnya, di akhirat yang kekal baqa’.

    Hamba Allah yang begini sudah mengetahui sebelumnya bahwa semuanya itu
    adalah cobaan dari Allah s.w.t. Karena itu mereka tidak mau berhenti di tengah jalan karena tergoda oleh cobaan tersebut. Mereka tidak mau menjadi budak bagi semuanya itu, karena hal itu dapat menghijab mereka dengan Allah s.w.t.

Berhenti dalam perjalanan karena melihat kemuliaan yang muncul seketika, berarti kita telah terpengaruh dengan cobaan-cobaan yang pada hakikatnya adalah merupakan fitnah bagi kita. Bahkan juga pada hakikatnya apabila kemuliaan itu membatasi kita atau menghambat kita untuk tidak sampai pada tujuan kita, maka dalam ajaran akhlak tasawuf, berarti kita telah kufur pada nikmat yang diberikan Allah s.w.t.

Ketahuilah bahwa “kufur” dibagi kepada dua macam:

  • Kufur karena kita sudah tidak dalam agama Islam lagi. Misalnya karena telah Musyrik kepada Allah, atau menghina ajaran-ajaran agama yang terang dan jelas menurnt Al-Quran dan Hadis. Kufur ini bukan yang kita maksudkan dalam pembahasan kita sekarang, dan kufur begini adalah kufur di dalam ilmu hukum Islam (Al-Fiqhul Islami).

  • Kufur nikmat. Yang dimaksud dengan kufur ini ialah tidak bersyukur kepada Allah s.w.t. atas nikmat-nikmat yang telah dikurniai Allah. Atau dengan kata lain, terpengaruh kepada nikmat-nikmat, sehingga melupakan kita kepada Allah dengan nikmat-nikmat itu.

Abu Hasan Tastury telah merumuskan dalam syair-syairnya sebagai berikut:

Maka jangan anda berpaling dalam perjalanan kepada yang lain (selain Allah) karena tiap-tiap selain Allah berarti lain, karena itu maka ingatlah Allah (zikrullah) sebagai benteng pemeliharaan.

Dan setiap tingkatan (macam kemuliaan) janganlah anda berdiri padanya, sesungguhnya (semua maqam itu) adalah hijab (penghambat).

Maka sungguh-sungguhlah dalam perjalanan dan mohonlah bantuan (kepada Allah).

Dan manakala anda lihat tiap-tiap derajat terang dan jelas (dianugerahi Allah) kepadamu, maka lepaskanlah dirimu daripadanya, jangan terpengaruh dengan derajat-derajat itu) juga dari derajat-derajat yang seumpama dengannya.

Dan katakanlah (pada dirimu sendiri) tidak ada yang aku tuju selain hanya pada Dzat Engkau (Allah). Karena itu tidak ada gambaran apa pun yang dianggap terang, dan tidak ada tepi apa pun yang (harus) dicapai.

Dan berjalanlah pada pihak yang ada tanda-tanda sebelah kanan! Karena pihak yang mempunyai tanda-tanda tersebut merupakan jalan yang ada padanya keberkatan, maka janganlah engkau tinggalkan keberkatan itu.

Kesimpulannya adalah, apabila kita berjalan menuju cita-cita untuk menuju kepada Allah s.w.t., maka harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut:

  1. Betul-betul berjalan dengan sungguh-sungguh, tekun, ikhlas dan yakin. Bekalilah diri dengan ilmu syariat, tauhid dan tasawuf sebanyak-banyaknya dan amalkanlah ajaran dari ilmu-ilmu itu semata-mata karena Allah s.w.t.

  2. Apabila kita telah mulai beramal dengan sesungguhnya, maka dengan berkah amal kita, kita akan menemukan kemuliaan-kemuliaan seperti tersebut di atas sebagai anugerah Allah s.w.t.

  3. Janganlah kita menganggap, bahwa kemuliaan-kemuliaan itu merupakan tujuan tiakhir dalam perjalanan, jangan terpengaruh karenanya, tetapi jangan lupa bersyukur kepada Allah s.w.t. atas kemuliaan-kemuliaan yang telah ditemukan dalam perjalanan.

  4. Anggaplah semuanya itu merupakan cobaan-cobaan dari Allah untuk melihat kekuatan, keyakinan dan kesungguhan kita dalam beramal. Apakah kita terpengaruh karenanya atau tidak.

  5. Tujuan terakhir dalam perjalanan ialah berkenalan dengan Allah di mana tidak ada hijab-hijab yang bermacam-macam, baik hijab duniawi ataupun
    hijab agama. Sehingga dengannya kita akan mencapai arti “Ihsah” yang hakiki, mendalam dan sempurna seperti yang telah dianjurkan Nabi Besar kita Muhammad Rasulullah s.a.w.

Mudah-mudahan, dengan rahmat Allah s.w.t., kita dapat mengamalkan ajaran
tersebut, seperti yang telah dilalui oleh para Anbiya, Aulia dan hamba-hamba
Allah yang saleh. Insya Allah wabiidznillah! Amin, ya Rabbal-’alamin.

Referensi : Abuya Syeikh Prof. Dr. Tgk, Chiek. H. dan Muhibbuddin Muhammad Waly Al-Khalidy, 2017, Al-Hikam Hakikat Hikmah Tauhid dan Tasawuf Jilid 1, Al-Waliyah Publishing