Bagaimana perjalanan jiwa pasca kematian itu ?

Setelah kematian, jiwa manusia tetap akan “hidup” dan menjalani “kehidupan” yang berbeda dengan kehidupan di dunia ini. Bagaimana perjalanan jiwa pasca kematian itu ?

Al-Ghazali memandang bahwa jiwa paska kematian akan kembali kepada badan materi ini; dalam kondisi seperti ini apabila ia memiliki iman dan amal saleh di dunia maka ia akan memperoleh kenikmatan material dan spiritual secara sempurna.

Dalam menjelaskan pandangan ini, para pendukung pendapat al-Ghazali berkata,

“Akal menghukumi bahwa kebahagiaan ruh-ruh terletak pada makrifatullah dan kebahagiaan badan-badan dalam mengenal segala yang inderawi. Namun dua kebahagiaan di dunia ini tidak akan diraih secara bersamaan;karena manusia selagi ia tenggelam dalam manisfestasi cahaya-cahaya alam ghaib, ia tidak akan menaruh perhatian pada kelezatan jasmani. Demikian juga apabila ia sibuk dengan urusan-urusan jasmani maka ia tidak akan dapat mencicipi kelezatan ruhani."

Hal ini disebabkan oleh kelemahan ruh-ruh manusia di alam ini. Namun tatkala ruh-ruh ini meninggalkan badan-badan maka ia akan semakin kuat dan kian sempurna. Tatkala ruh-ruh dikembalikan ke badan di alam akhirat maka ia akan dapat memperoleh dua kebahagiaan ini. Dan sudah barang tentu kondisi ini merupakan sebaik-baik level kebahagiaan.

Pemikiran mengenai kehidupan setelah mati mengundang banyak perdebatan di berbagai ranah. Namun tidak ada satu pun pemikir yng menjelaskan mengenai hal tersebut semenarik Mullā Ṣadrā. Ia menengahi perdebatan di atas dengan menyatukan ketiga-nya menjadi satu pemikiran yang luar biasa. Ia berpendapat bahwa kematian bagi jiwa hanya sebuah proses perubahan dan perpindahan dari satu alam ke alam lain, dari satu tingkatan jiwa yang kurang sempurna menuju tingkatan jiwa yang lebih sempurna dan seterusnya hingga ia menjadi sempurna.

  • Pertama , ia kekal dan dibangkitkan dengan badan baru.

  • Kedua , badan baru tersebut merupakan hasil proyeksi jiwa dari perbuatannya selama di dunia.

  • Ketiga , jiwa akan terus mengalami perjalanan dari satu alam ke alam lain tanpa henti menuju Tuhan.

Perjalanan Jiwa hingga Bertemu Tuhan


Kematian bukanlah akhir dari segalanya, melainkan awal episode baru dalam kehidupan yang berbeda. Ketika kematian datang, jiwa akan terus berjalan menuju alam berikutnya yang lebih intens dan sempurna. Hakikat kematian bagi Ṣadrā adalah proses dikeluarkan jiwa dari badan, dipalingkannya dari alam indera, dan dihadapkan kepada Allah dan kerajaanNya secara bertahap. Sehingga apabila jiwa itu telah mencapai tujuannya, hubungannya dengan badan akan berhenti secara total. Manusia secara fitrah akan senantiasa berusaha untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, naik kepadaNya, sejak hari di mana mereka diciptakan berupa nutfah di dalam rahim. Manusia selalu berpindah dari satu keadaan ke keadaan yang lain dan dari satu tingkatan ke tingkatan yang lain sehingga akan bertemu dengan Tuhannya dan menyaksikanNya. Manusia akan kekal dengan jiwanya, entah dalam kebahagiaan dan kelezatan yang abadi bersama para nabi dan orang salih atau dalam kepedihan, kesedihan, penderitaan dengan neraka Allah.

Dengan begitu, kematian berarti kelahiran dan kehidupan baru, “Katakanlah, malaikat maut yang diserahi tugas untuk mencabut nyawamu akan mematikan kamu, kemudian hanya kepada Allahlah kalian akan dikembalikan” (Q.s. al-Sajdah/32: 11.)

Jika dipahami, maka kematian merupakan proses pengembalian manusia, baik dari sisi jasmani maupun ruhani. Dalam pandangan agama, seseorang bergerak menuju jalan kesempurnaan dalam bentuk kematian. Artinya, kematian merupakan pintu atau jembatan yang harus dilewati agar manusia dapat memasuki alam lain yang lebih sempurna.

Dalam hal ini, Ṣadrā mendukung teorinya dengan firman Allah dalam al-Qur’ān surat al-Mu’minūn/23: 12-14,

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu sari pati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan sari pati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (Rahim.) Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus

Ayat diatas menceritakan tentang penciptaan manusia dari saripati tanah hingga menjadi manusia. Maknanya, manusia merupakan gabungan dari materi (māddah) dan bentuk (ṣūrah), dan kemudian materi awal bergerak menjadi tanah dan segumpal darah, kemudian segumpal daging, selanjutnya menjadi janin, dan akhirnya menjadi bayi, anak- anak, remaja, dewasa, tua, dan akhirnya mati kembali menjadi tanah.26 Posisi kematian bagi Ṣadrā merupakan proses gradasi wujud dari level wujud rendah dan melalui kematian, ia akan menuju ke level wujud yang lebih tinggi. Kematian adalah sarana untuk membawa manusia dari kehidupan tingkat duniawi menuju tingkat kehidupan berikutnya.

Ṣadrā menyatakan bahwa manusia senantiasa dalam perubahan dan perjalanan (evolusi), dan hakikat sebenarnya dari manusia adalah jiwanya. Sejak ia ditiupkan Tuhan ke badan hingga kematian bahkan sampai pada perjalanan terakhirnya ia tetaplah jiwa yang sama, karena jiwa adalah kesempurnaan realitasnya dan kesempurnaan kedirian. Ia berkembang dan menjadi sempurna dalam perkembangannya hingga bertemu Tuhan.

Titik perjalanan/evolusi tertinggi jiwa adalah tercapai kesempurnaan jiwa secara utuh sehingga ia menjadi wujud murni/individualitas murni, dan individu tertinggi dan termurni itu adalah Tuhan. Proses penyempurnaan jiwa manusia itu tidak lain adalah upaya manusia untuk kembali pada sumber asal dirinya. Jika manusia ingin mengarahkan dirinya menjadi wujud yang lebih tinggi dengan melakukan perbuatan baik dan melepaskan diri dari beragam ikatan materi dan hasrat dari dirinya, maka jiwanya akan naik pada tingkat kualitas yang lebih sempurna, tetapi jika tidak, maka manusia akan turun bahkan pada tingkatan yang paling rendah, inilah yang kelak di Akhirat menjadi kera dan babi, bahwa jiwa mereka berorientasi pada keburukan sehingga kualitas jiwa mereka pun rendah.

Tingkatan pertama yang dilewati manusia sesudah kematian adalah Alam Kubur, yakni tangga pertengahan antara kematian dan kebangkitan badan.

image

Perbedaan antara kubur dari Alam Akhirat, bagi Ṣadrā, seperti janin yang berada dalam rahim dan dunia, bahwa posisi manusia ketika berada di kubur itu laksana seorang janin yang berada di rahim, sedangkan Akhirat adalah dunia, alam aktual setelah janin keluar. Seperti sebuah janin yang berada di rahim untuk menyempurnakan wujudnya sebelum ia terlahir di dunia, maka apa yang terjadi di dalam kubur pun merupakan proses penyempurnaan jiwa manusia sebelum ia memasuki Alam Akhirat. Apa yang terjadi di dalam kubur tidaklah jauh berbeda dari apa yang terjadi di Akhirat hanya saja dalam bentuk dan kualitas yang lebih rendah dan lemah. Hal ini disebabkan oleh kemampuan daya persepsi yang dimiliki oleh manusia pada saat itu belum mencapai kesempurnaan untuk menangkap realitas Akhirat.

Ṣadrā meyakini akan keberadaan nikmat ataupun adzab di kubur. Semua perbuatan baik maupun yang buruk akan membawa manusia pada kebahagiaan dan penderitaan, dan berbagai perbuatan tersebut memunculkan bentuk imajinal yang sesuai dengan hakikat jiwanya masing-masing. Bentuk imajinal ini melingkupi manusia dan menimbulkan kebahagian ataupun penderitaan dan selalu menemaninya dalam perjalanannya di kubur, sebagaimana yang dinyatakan oleh Ṣadrā berikut ini:

Ketahuilah, setiap orang yang menyaksikan batinnya sendiri dengan pandangan batin di dunia, tentu ia melihatnya dipenuhi dengan berbagai macam pengganggu dan binatang buas, seperti syahwat, hasrat, dengki, makar, bangga diri, hasud, riya, dan sombong. Ketika di dunia mata mereka tertutup untuk menyaksikannya. Apabila tirai tersebut disingkap dan ia jatuh ke dalam kuburannya maka ia akan melihatnya, tampak dengan bentuk-bentuknya sesuai dengan makna- maknanya. Dengan mata kepalanya, ia akan melihat kalajengking dan ular yang merupakan tabiat dan sifat-sifatnya di masa hidupnya hadir dalam dirinya. Inilah siksaan kubur jika ia adalah orang yang celaka, dan sebaliknya jika ia orang yang bahagia.

Peristiwa-peristiwa yang terjadi bersumber dari jiwa manusia, bukan sesuatu yang eksternal darinya. Jiwa manusia, menurut Ṣadrā, untuk dapat memiliki kesiapan dan kesadaran untuk memasuki alam berikutnya, haruslah memiliki kesempurnaan yang sesuai dengan kualitas alam tersebut. Karenanya, fase kehidupan di dunia ini adalah fase penyempurnaan jiwa untuk memersepsi Alam Barzakh dan fase kehidupan Barzakh adalah fase penyempurna jiwa untuk memersepsi Alam Akhirat. Rentang waktu perjalanan manusia di Alam Barzakh sangat bergantung pada kualitas jiwa seseorang tersebut. Dan pada masa tertentu Tuhan akan membangkitkan mereka untuk memasuki alam berikutnya.

Tingkatan berikutnya yang akan dilalui oleh jiwa manusia adalah Alam Mahsyar .

Setiap manusia dikumpulkan dengan berbagai cara, sesuai dengan aktifitas dan niat-niatnya dan dikelompokkan berdasarkan bentuk- bentuk proyeksi jiwa mereka. Ada yang dikumpulkan dengan wajah yang gembira dan dimuliakan, namun ada pula yang dibangkitkan dan dikumpulkan dengan keadaan yang mengerikan, dengan bentuk badan yang tercela. Hal ini sesuai dengan motif-motif dan akhir jiwa mereka, dan tercipta seluruh organ-organ badan sesuai dengan maksud jiwa dan struktur hakikinya. Hal ini seperti yang telah Allah jelaskan dalam firmanNya Q.s. Maryam/19: 85 dan Ṭāhā/20: 124.

Tingkatan selanjutnya yang akan dilalui manusia adalah perjalanan melewati al-Sirat.

image

Al-Ṣirāṭ adalah jalan lurus yang menuju setiap kebaikan dan keburukan dan jalan yang terbentang antara surga dan neraka. Bentuk dari al-Ṣirāṭ yang dilewati manusia kelak terdiri dari dua tingkatan. Ada yang lebih tipis dari rambut dan lebih tajam dari pedang. Cara manusia melewati al-Ṣirāṭ ini sesuai dengan perbuatan mereka, ada yang melewatinya secepat kilat, ada yang seperti lompatan kuda, ada yang merayap, ada yang berjalan kaki dan ada pula yang melewatinya sambil bergantung. Sehingga terkadang kobaran api neraka akan membakar sebagian tubuhnya dan menyisakan bagian lainnya. Keadaan al-Ṣirāṭ juga tergantung pada keadaan jiwa manusia, jika mereka beriman maka al-Ṣirāṭ akan melebar dan jika jiwa mereka kotor maka al-Ṣirāṭ akan menyempit. Cepat atau lambat waktu manusia ketika melewati al-Ṣirāṭ tergantung pada kadar kedekatan jiwanya dengan Tuhan. Al-Ṣirāṭ terbentang di atas neraka, maka setiap

Manusia yang tidak mengikuti al-Ṣirāṭ (petunjuk) dari Allah, akan melewati Ṣirāṭ- Ṣirāṭ yang lainnya yang membawa mereka pada tujuan selain Allah dan menyimpang dari al-Ṣirāṭ akan membuat mereka terjatuh ke dalam neraka dan tinggal di dalamnya. Ṣadrā menyatakan bahwa jalan yang lurus itu akan membawa manusia ke surga jika ia melalui jalan itu dengan petunjuk yang benar dari jiwa. Jika jiwanya suci, ia akan melewati al-Ṣirāṭ dengan cara yang cepat dan dengan keadaan al-Ṣirāṭ yang lebar dan nyaman. Sedangkan jika jiwanya kotor, ia akan melewati al-Ṣirāṭ dengan lambat dan kondisi al-Ṣirāṭ sempit dan setajam pedang.

Selanjutnya, tingkatan yang dilalui jiwa adalah tahap penerimaan lembaran dan kitab perbuatan. Lembaran dan kitab itu sebenarnya adalah hati dan jiwa manusia, di mana tempat seluruh aktifitas manusia tersebut tercatat. Ṣadrā menyatakan,

Ketahuilah, ucapan dan perbuatan, selama eksistensinya di dalam gerakan dan suara, mereka tidak kekal dan teguh. Namun barangsiapa melakukan suatu perbuatan dan mengucapkan suatu ucapan, darinya akan dihasilkan pengaruh pada jiwanya dan keadaan itu kekal sepanjang zaman. Jika perbuatan tersebut dilakukan secara berulang-ulang, maka pengaruh itu melekat di dalam jiwa. Dengan demikian, keadaan-keadaan itu menjadi pembawaan, lalu berkumpul di dalam dirinya dan khazanah perseptifnya. Itulah buku catatan pada hari itu tertutup pada pandangan mata. Dengan kematian, maka akan tersingkaplah tulisan yang sebelumnya tertutup darinya selama hidup. Semua yang dilakukan oleh manusia sebesar biji atom pun akan tertulis di buku catatan tersebut.

Kitab yang akan diberikan di Hari Kiamat pada intinya tidak lain adalah jiwa manusia itu sendiri. Ketika kiamat tiba, segala yang tersembunyi di dalam jiwa manusia tersingkap dan terbuka. Keadaan jiwalah yang memersepsi semua kejadian yang ada di Hari Kiamat, baik dari bentuk badan saat kebangkitan, al-Ṣirāṭ, maupun buku catatan perbuatannya selama di dunia.

Fase berikutnya, yakni perhitungan dan penimbangan perbuatannya di dunia. Pe- nimbangan (mīzān) dan perhitungan (ḥisāb) menurut Ṣadrā tidak lain merupakan gambaran ketika Tuhan menyingkapkan hasil perbuatan manusia dan menimbang seluruhnya. Ṣadrā melanjutkan bahwa jiwa manusialah yang berperan sebagai timbangan bagi perbuatannya sendiri, karena setiap perbuatan melahirkan efek pada jiwa. Jika perbuatan baik yang dilakukan, maka efek yang ditimbulkan adalah kebersihan dan sebaliknya. Karenanya, setiap individu manusia memiliki timbangan sendiri bagi dirinya, bahkan secara spesifik untuk setiap perbuatan yang dilakukannya.

Tahap-tahap yang dilalui manusia tak terhenti sampai di sini, akan tetapi terus berlanjut memasuki alam pembalasan, Akhirat. Inilah tujuan perjalanan manusia dari awal pembangkitan hingga akhirnya sampai pada Alam Keabadian dan bertemu dengan Tuhan. Jika hasil perhitungannya baik, maka ia akan memasuki surga, sedangkan jika jiwanya tidak bersih, ia akan ke neraka untuk menyucikan dosa-dosa yang dilakukan selama di dunia.

Ṣadrā, ketika membicarakan masalah surga dan neraka, selain mendasarkan pada argumen rasional yang telah ia paparkan, juga berdasarkan pada dalil-dalil agama, pernyataan para imam dan mukāsyafah. Yang ingin dijelaskan oleh Ṣadrā adalah hanya membuktikan bahwa surga dan neraka bersifat non materi dan tidak mengandung unsur aspek lahir duniawi. Ṣadrā berpendapat sebagai berikut:

Surga dan neraka adalah realitas batin/psikis (noetik.) Surga diciptakan dengan kehakikatan Tuhan sedangkan neraka diciptakan secara insidental. Dan tentang ini terdapat sebuah rahasia. Surga dan neraka tidak memiliki lokasi spasial dan materi seperti dalam aspek duniawi, karena segala sesuatu yang ditempatkan dalam ruang dan materi perlu pembaharuan dan akan mengalami kehancuran. Dan hal tersebut hanya mungkin terjadi di dunia. Tapi surga dan neraka adalah bentuk dunia lain yang bersifat non materi.

Jika surga adalah tempat bagi jiwa-jiwa yang suci dan bebas dari belenggu dosa, maka neraka merupakan tempat bagi jiwa- jiwa pendosa di mana para penghuninya akan merasakan kehinaan, kesakitan, dan adzab. Neraka adalah penjara yang dibuat Tuhan di Hari Akhir yang kedalaman dasarnya tak terkira, yang di dalamnya terdapat api yang menyala-nyala. Tuhan memasukkan manusia ke neraka berdasarkan niat-niat dan tujuan mereka. Neraka bagi Ṣadrā hanya khusus bagi orang kafir dan musyrik, sedangkan pengikut ajaran tauhid yang berdosa hanya melewatinya saja sebagai bentuk pembersihan dosa. Orang kafir dan musyrik akan disiksa sesuai dengan apa yang mereka kerjakan dan mereka akan mendapatkan kenyamanan dan kebahagiaan di neraka setelah masa hukuman selesai.

Ṣadrā mencontohkannya seperti manusia yang sifatnya sedemikian rupa sehingga tidak menyukai bau-bau yang harum dan cenderung menyukai hal-hal yang busuk. Kenikmatan dan kenyamanan tidaklah dipatok dengan keindahan belaka, akan tetapi mengikuti harmoni dan kecenderungan hati.33 Begitu juga dengan penghuni neraka, mereka yang berhati condong kepada keburukan, maka jiwa mereka akan memersepsi keburukan dan siksaan- siksaan. Ketika itu dilakukan berulang maka akan menjadi kebiasaan dan perlahan mereka akan merasa nyaman, jika tiba-tiba mereka ditempatkan di tempat yang tidak sesuai dengannya (kecenderungan), justru mereka akan merasa kesakitan dan tidak bahagia.

Kebahagiaan adalah kesempurnaan wujud, begitu pula sebaliknya dengan penderitaan. Semakin berkualitas jiwa manusia, akan meningkat kesempurnaan dan kemuliaannya. Adapun kualitas wujud paling tinggi adalah wujud al-ḥaqq sebagai sumber awal dan wujud differensial intelektual. Upaya untuk mencapai kesempurnaan jiwa haruslah dilakukan penyucian beragam kekurangan dan penyakit yang ada di jiwa. Ṣadrā menekankan aktifitas intelektual sebagai jalan penyucian dan penyempurnaan jiwa. Dengan begitu jiwa akan mengaktualisasikan dirinya menjadi intelek murni, dan akan bersama-sama dengan para nabi. Jiwa yang menjadi wujud murni akan ditransendenkan oleh wujud yang lebih tinggi sehingga menjadi lebih dekat dengan Tuhan dan seterusnya hingga sampai pada puncak perjalanannya yakni bertemu Tuhan.

Sumber : Siti Ikhwanul Mutmainnah, Konsep Jiwa Setelah Mati Menurut Mullā Ṣadrā.

Referensi :

  • Mullā Ṣadrā, Manifestasi-Manifestasi Ilahi, Risalah Ketuhanan dan Hari Akhir sebagai Perjalanan Pengetahuan Menuju Kesempurnaan , terj. Irwan Kurniawan (Jakarta: Sadra Press, 2011).
  • Kholid al-Walid, Perjalanan Jiwa Menuju Akhirat, Filsafat Eskatologi Mulla Shadra , 171.