Apa yang anda ketahui tentang periodisasi perkembangan drama Indonesia?

Apa yang anda ketahui tentang perkembangan drama di Indonesia ?

Saat ini tercatat ada banyak sekali naskah drama Indonesia baik yang sudah dipubllikasikan maupun yang masih dalam bentuk naskah asli. Di samping itu ada 78 buah sastra drama karya sastrawan Tionghoa di Indonesia dari zaman sebelum perang yang ditulis dalam bahasa Melayu-Rendah. Jumlah yang terakhir ini baru yang berupa naskah drama yang telah dibukukan atau dipublikasikan lewat majalah dan surat kabar, belum termasuk naskah asli untuk kepentingan pementasan. Dan jumlah itu belum termasuk naskah drama terjemahan dalam bahasa Indonesia (lihat daftar naskah drama Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin). Alhasil lebih dari 400 karya sastra drama Indonesia terkumpul. Hal itu menunjukkan bahwa sejarah pertumbuhan dan perkembangan drama Indonesia cukup semarak dan sekaligus merupakan kekayaan khasanah sastra kita.

Perkembangan teater Barat di Indonesia ternyata beriringan dengan perkembangan bentuk sastra drama. Naskah drama Indonesia yang pertama tercatat adalah Lelakon Raden Beij Soerio Retno karya F. Wiggers yang terbit tahun 1901. Sebelum itu muncul kelompok drama Indonesia kelompok drama Indonesia tertua dengan nama Komedie Stamboel pada tahun 1891 (Salmon; Boen S. Oemarjati, 1971). Inilah yang disebut-sebut sebagai perintis drama di Indonesia.

Boens S. Oemarjati (1971) membuat periodisasi perkembangan sastra lakon sebagai berikut.

1926-1942 sebagai masa kebangkitan dengan munculnya Bebasari karya Rustam Effendi, kemudian Sanusi Pane dan lain- lain dalam tulisan lakon yang romantis-idealistis, serta hadirnya kegiatan teater kecil di pentas.
1942-1945 merupakan masa pembangunan ketika Usmar Ismail, Idrus, El hakim dan lain-lain menulis lakon/drama yang romantis-realistis dan tampilnya generasi kelompok romantis-realistis dan tampilnya generasi kelompok Maya di panggung.
1945-1950 adalah masa awal perkembangan para penulis lakon yang disebut terakhir melanjutkan usaha kreativitas- nya disertai dengan semakin ramainya teater kecil di pentas.
1950-1963 sebagai masa per- kembangan, masa produktif dengan hadirnya lakon- lakon asli, saduran dan terjemahan serta disempurna- kan dengan lahirnya Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) dan berbagai kegiatan teater kecil dan kelompok studi di pentas.

Setelah itu sekitar tahun 1963-1973 kita menyaksikan dunia teater Indonesia diwarnai dengan perkembangan dan pemandangan yang sama sekali berbeda dengan periode sebelumnya. Muncullah “pembaruan” yang dibawa oleh para aktor dan sutradara muda berbakat seperti W.S. Rendra, Arifin C. Noer, dan Putu Wijaya dengan membuahkan naskah seorang sutradara daripada naskah seorang pembaca, naskah yang tumbuh dari pengalaman teater yang konkret.

Goenawan Mohamad (1981) bahkan menyebut karya-karya Rendra sebagai drama “mini kata”. Dengan argumentasi yang kritis pula dibuktikannya bagaimana para pembaru teater Indonesia tersebut menciptakan lakon-lakonnya berdasarkan pengalaman dengan pentas, dengan kelompok dalam latihan dan pementasan, dan dengan publik. Sekaligus ini merupakan pembeda utama antara lakon-lakon mutakhir dengan lakon-lakon Indonesia sebelumnya.

Inovasi yang dilakukan oleh Rendra dan kawan-kawan itu kemudian dilanjutkan dan ikuti oleh generasi penerusnya seperti Nano Riantiarno, Norca Marendra, dan Wisran Hadi dalam karya- karya lakon dan pentas teaternya pada dekade 1970-1980-an. Dengan kata lain teater Indonesia mutakhir belum beranjak (yang berarti) pada pembaruan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh di atas.

Sebagaimana genre sastra yang lain yakni puisi, cerpen dan novel, maka tema-tema drama Indonesia pun berkembang dari periode ke periode. Dari setting sejarah pada periode 1930-an, kesadaran harga diri dan tanggung jawab menentukan nasib bangsa (zaman Jepang), pembelaan terhadap kaum Indo dan bagaimana mengisi kemerdekaan (kurun setelah kemerdekaan), juga latar revolusi, kehidupan pelacur bahkan tema sosial, kejiwaan dan keagamaan mulai digarap dalam drama-drama dekade 1950-1960- an.

Pada masa pembaharuan teater Indonesia yakni dekade 1970-1981-an hingga kini maka tema-tema yang menonjol adalah masalah-masalah sosial politik sekitar demokrasi, keadilan, kemiskinan, keterbelakangan, kerakusan kalangan tertentu dan ketimpangan sosial yang lain sebagai efek pembangunan. Bahkan ada beberapa tema yang dianggap terlalu “keras”, berani dan “kurang ajar” sehingga tak jarang yang akhirnya terkena sensor.

Berdasarkan realitas itu, sebenarnya dilihat dari konsep estetiknya, selain periode teater seperti dikemukakan oleh Oemarjati di atas, terdapat periode teater tahun 1970-1981 yakni masa pembaharuan. Pada masa itu telah lahir teater kontemporer atau teater mutakhir yang berbeda konsep estetiknya dengan teater-teater pada masa sebelumnya yang dipelopori oleh Rendra, Arifin C. Noer, dan Putu Wijaya. Dapat dikatakan bahwa pada masa pembaruan itu dunai teater Indonesia mengalami masa keemasan dalam arti dunia teater mengalami perkembangan yang pesat dan kehidupan teater demikian bergairah di Indonesia terutama di kalangan kaum terpelajar.

Kondisi Drama Indonesia Pasca Kemunculan Teater Barat


Bagaimanapun drama (teater) sudah merupakan bagian integral dari kehidupan masyarakat, termasuk masyarakat Indonesia. Sebagai bangsa yang pluralistik dan dikenal religius, kita telah lama memiliki seni pertunjukkan teater, baik sebelum kebudayaan Indonesia bersentuhan dengan kebudayaan asing (Barat) maupun sesudah terjadi perkawinan antara kebudayaan Indonesia asli dengan kebudayaan Barat (modern). Tradisi teater itu telah kita kenal dalam upacara-upacara ritual dalam kelompok- kelompok masyarakat Indonesia.

Berkaitan dengan itu muncullah teater modern (Barat) pada paroh abad ke-19 di kalangan masyarakat Belanda, kemudian berkembang juga di lingkungan masyarakat Cina dan peranakannya, akhirnya masuk pula di kalangan masyarakat kota Indonesia. Salah satu aspek yang membedakan teater modern dengan teater tradisional adalah adanya naskah drama (Jakob Sumardjo, 1992). Para sastrawan mulai menciptakan karya sastra drama pada awal abad ke-20, dan mementaskannya. Mulailah era teater modern dan berkembang terus hingga muncul teater mutakhir pada dekade 1970-an serta mengalami kemajuan yang pesat pada dekade 1980 –an hingga sekarang.

Kehadiran teater modern di Indonesia berkaitan dengan adanya perubahan sosiokultural yang terjadi di negeri ini, terutama setelah Perang Dunia II dan zaman kemerdekaan. Ilmu pengetahuan dan teknologi komunikasi yang maju pesat memungkinkan bangsa Indonesia mengembangkan pergaulan dan komunikasi dengan bangsa lain dan juga antara suku bangsa di Indonesia sendiri. Akibatnya, terjadilah persinggungan nilai-nilai yang berujung pada proses akulturasi. Bahkan sejak pembangunan nasional Pelita I digalakkan, maka proses akulturasi nilai-nilai itu semakin meningkat. Mudah dipahami bahwa kemudian kemodernan dan keindonesian lebih menyeruak tampil di permukaan ketimbang nilai-nilai tradisional.

Sementara itu kenyataan menunjukkan bahwa berbagai keluhan dan ketidakpuasan muncul. Banyak kalangan menyatakan tentang kurangnya minat baca sastra termasuk drama dalam masyarakat, kurangnya apresiasi, apakah sastra Indonesia dibaca oleh para pemimpin, pejabat, guru, dosen, mahasiswa, pelajar, pegawai, pedagang dan sebagainya. Demikian pula, kurangnya media sastra, kurangnya kritik sastra yang “bernyawa”, adanya jurang antara guru dan pelajar dengan sastrawan, sukarnya guru memperoleh buku-buku sastra (yang berbobot), bingungnya guru dengan masalah angkatan dalam sastra, kurikulum sastra yang belum memuaskan, pelajaran sastra yang menitiberatkan hafalan teori dan sejarah, kenapa sastra terpencil, dan sebagainya, merupakan sederet permasalahan yang menyangkut pengem- bangan sastra Indonesia dan pengajaran sastra di dunia pendidikan (lihat Lukman, 1989).

Secara ringkas keadaan di atas dapat dikemukakan, bahwa kondisi saat ini adalah:

  1. apresiasi sastra dalam masyarakat dianggap masih terbatas

  2. penelitian sastra yang menunjang pengembangan sastra belum memadai dan belum meluas hasilnya

  3. penerbitan buku-buku sastra masih kecil jumlahnya, baik dari segi jumlah naskah maupun jumlah eksemplarnya

  4. penerbitan hasil-hasil penelitian sastra sangat kurang, dan (5) pengajaran dan pelajaran sastra (lagu klasik) perlu ditingkatkan mutunya. Dari kelima hal itu bidang drama rupanya paling dominan (persoalannya).

Masih berkaitan dengan itu subtansi sastra tidak lain adalah pengalaman kemanusiaan, pengalaman batin. Hubungan kompleks yang melibatkan seseorang dalam proses penghayatan sastra, antara lain emosi yang membuatnya sedih atau gembira, pengalaman yang dihadapinya, nilai kehidupan yang ditemuinya. Pendeknya, kekayaan batin apa pun yang ditemukan pembaca dalam menggauli karya sastra seperti keadilan, kezhaliman, ketidakbebasan, cinta kasih dan sebagainya, semuanya itu bertalian dengan pengalaman kemanusiaan (humanisme).

Dari pengamatan menyaksikan pementasan teater mutakhir dapat dilihat betapa banyak, mungkin lebih dari 50% penonton yang tampak belum mampu menghayati dan memahami teater. Suara-suara gaduh, bunyi-bunyian liar dan konyol adalah indikasi akan hal itu. Hal ini mudah kita pahami jika kita mengerti latar belakang mereka. Jika latar belakang mereka literatur Barat dengan sendirinya mereka akan segera mengatakan segala yang aneh dalam pertunjukan adalah absurd dalam pengertian seperti yang dikemukakan Martin Esslin untuk mengembangkan istilah dari Samuel Beckett, Ionesco, dan Arabal. Akan tetapi jika titik tolak mereka adalah teater tradisional maka segala sesuatu yang tampaknya absurd itu akan mereka terima sebagai keanehan, kegilaan ‘keedanan’, bahkan kekurangajaran (Putuwijaya, dalam Kasijanto dan Damono, 1981).

Sejalan dengan itu, karena sebagai karya sastra dan seni pertunjukkan tidak berkaitan dengan sains dan data yang dapat digeneralisasikan melainkan dengan manusia yang harus langsung manghadapinya, maka mau tak mau setiap pembaca selalu terkait dengan perspektifnya dalam hubungannya yang unik dengan dunia yang dihadapinya. Karena itu dalam dunia pendidikan Rosenblatt (1983) mengingatkan bahwa peran dan pengaruh guru dalam memberikan daya dorong (motivasi) terhadap penjelajahan karya sastra di kalangan siswa amat penting.