Bagaimana perilaku politik dalam organisasi?

Perilaku Politik merupakan kegiatan yang tidak dipandang sebagai bagian dari peran formal seseorang di dalam organisasi, tetapi yang memengaruhi, atau berusaha memengaruhi, distribusi keuntungan dan kerugian di dalam organisasi. Perilaku politik berada di luar persyaratan kerja tertentu dari seseorang. Perilaku itu mensyaratkan suatu upaya untuk menggunakan landasan kekuasaan seseorang. Serta mencakup berbagai upaya untuk memengaruhi tujuan, kriteria, atau proses-proses yang digunakan dalam pengambilan keputusan ketika kita menyatakan bahwa politik terkait dengan “distribusi keuntungan dan kerugian di dalam organisasi”.

Definisi ini cukup luas untuk mencakup beragam perilaku politik seperti menahan informasi kunci dari pengambilan keputusan, bergabung dalam koalisi, mencari-cari kesalahan, menyebarkan rumor, membocorkan informasi rahasia tentang kegiatan organisasi kepada media, saling menyenangkan ddengan orang laindi dalam organisasi untuk memperoleh manfaat bersama, dan melobi atas nama atau melawanseseorang atau alternative keputusan bersama.

  • Perilaku politik yang sah ( legitimate political behavior ) mengacu pada politik sehari-hari yang wajar / normal. Misalnya: menyampaikan keluhan kepada penyelia, memotong rantai komando, membangun koalisi, menentang kebijakan atau keputusan organisasi lewat pemogokan atau dengan terlalu berpegang ketat pada ketentuan yang ada, dan menjalin hubungan keluar organisasi melalui kegiatan profesi.

  • Sedangkan perilaku politik yang tidak sah ( illegitimate political behavior ) merupakan perilaku politik yang menyimpang dari atauran main yang telah ditentukan. Kegiatan yang tidak sah tersebut meliputi: sabotase, melaporkan kesalahan, dan protes-protes simbolis seperti mengenakan pakaian nyeleneh atau bros tanda protes, dan beberapa karyawan yang secara serentak berpura-pura sakit agar tidak perlu masuk kerja.

Pengertian Politik


Politik berasal dari Bahasa Yunani “politeia” yang berarti kiat memimpin kota (polis). Secara prinsip, politik merupakan upaya untuk ikut berperan serta dalam mengurus dan mengendalikan urusan masyarakat. Menurut Arsitoteles, politik adalah usaha warga negara dalam mencapai kebaikan bersama atau kepentingan umum. Politik juga dapat diartikan sebagai proses pembentukan kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Dari definisi yang bermacam-macam tersebut, konsep politik dapat dibatasi menjadi:

  • Politik sebagai kepentingan umum
    Politik merupakan suatu rangkaian asas (prinsip), keadaan dan jalan, cara, serta alat yang akan digunakan untuk mencapai tujuan tertentu, atau suatu keadaan yang kita kehendaki disertai dengan jalan, cara, dan alat yang akan kita gunakan untuk mencapai keadaan yang kita inginkan itu. Politik dalam pengertian ini adalah tempat keseluruhan individu atau kelompok bergerak dan masing-masing mempunyai kepentingan atau idenya sendiri.

  • Politik dalam arti kebijaksanaan
    Politik dalam arti kebijaksanaan (policy) adalah penggunaan pertimbangan - pertimbangan tertentu yang dianggap lebih menjamin terlaksananya suatu usaha, cita-cita, keinginan atau keadaan yang kita kehendaki. Kebijaksanaan adalah suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau kelompok politik dalam usaha memilih tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan-tujuan itu.

Pengertian Politik dalam Organisasi


Menurut Kacmar dan Baron (1999) yang dikutip dalam Andrews dan Kacmar (2001) memberikan pengertian bahwa politik yang ada dalam suatu organisasi merupakan tindakan individu yang dipengaruhi oleh tujuan pencapaian kepentingan pribadi tanpa memperhatikan atau menghargai well-being orang lain atau organisasi. Greenberg dan Baron (2000) mendefinisikan politik organisasional sebagai penggunaan kekuasaan secara tidak resmi untuk meningkatkan atau melindungi kepentingan pribadi.

Politik keorganisasian adalah serangkaian tindakan yang secara formal tidak diterima dalam suatu organisasi dengan cara mempengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan individu (Greenberg dan Baron, 2000). Kelaziman dan intensitas kemunculan politik organisasi berbeda-beda mengikuti karakteristik struktur organisasi dan siklus khusus (Drory, 1993). Pfeffer (1992) dikutip dalam Greenberg dan Baron (2000) mengemukakan beberapa aspek situasi yang memunculkan aktivitas politik dalam organisasi, sebagai berikut:

  • Perilaku politik biasanya muncul pada saat ada ketidakpastian, sumber daya yang langka, unit-unit (individual dan kelompok) memiliki kepentingan yang terkonflik dan saat anggota- anggota organisasi memiliki kekuasaan (power) yang hampir sama.

  • Perilaku politik yang muncul dalam bidang sumber daya manusia, seperti pada saat penilaian kinerja, seleksi personel, dan keputusan kompensasi (Ferris dan Kacmar, 1992). Hal ini kemungkinan karena adanya ambiguity. Lingkungan organisasional bersifat ambigu karena tidak adanya kriteria evaluasi yang jelas, sehingga organisasi cenderung kurang bergantung pada hasil yang dapat diukur dan lebih pada usaha pekerja, potensi yang dipersepsikan dan karakteristik, nilai, dan sikap personal. Semua hal tersebut dapat diubah melalui manipulasi pertimbangan (Ferris & King, 1991).

  • Aktivitas politik biasanya tidak sama pada tahap hidup organisasi yang berbeda. Menurut Greenberg dan Baron (1997) ada tiga tahapan dalam organisasi yang memiliki perilaku politik yang berbeda-beda. Tahap pertama, saat organisasi baru berdiri, pendiri organisasi memperoleh kekuasaan politik dengan menunjukkan ide mereka kepada para bawahannya. Kedua, tahap pertumbuhan organisasi, anggota organisasi cenderung terpisah-pisah karena kekomplekan tugas sehingga menciptakan adanya kepentingan yang berbeda-beda dan dapat menimbulkkan konflik. Ketiga, saat pertumbuhan organisasi mengalami penurunan, anggota- anggota merasa tidak aman akan pekerjaannya dan memerlukan tindakan politik untuk mendapatkan kekuasaan dalam pengendalian organisasi.

Faktor-faktor Perilaku Berpolitik


Karl Albrecht (1983) memberikan pemahaman bahwa suatu organisasi akan dipengaruhi faktor-faktor politis internal yang berkaitan dengan budaya organisasi dan gaya manajemen. Faktor-faktor politis yang dimaksud Albrecht merupakan iklim politik organisasi yang pada prinsipnya juga mempengaruhi iklim organisasi secara keseluruhan. Elemen Politik internal organisasi yaitu faktor-faktor internal dalam organisasi, kultur, dan gaya manajemen, yang mempengaruhi para pengambil keputusan dalam melaksanakan fungsi manajemennya.

Kreitner (2006) menjelaskan faktor-faktor utama yang menyebabkan munculnya perilaku berpolitik adalah karena adanya ketidakpastian dalam organisasi, seperti tujuan tidak jelas, ukuran prestasi dan kinerja tidak terstandar, proses pembuatan keputusan tidak terdefinisi dengan baik, kompetisi antar individu dan kelompok tinggi, dan perubahan.

Elemen Politik dalam Organisasi


Albrecht (1983) mengungkapkan ada lima elemen iklim politis dalam organisasi yang hendaknya dapat dipahami manajer senior dalam mengendalikan organisasi, antara lain:

  • Inner Circle Relationship
    Mengidentifikasi hubungan antara Manager Upper dengan Chief Executive , apakah hubungan tersebut bersifat kekeluargaan, kerabat atau pertemanan ( Friendlines ). Disamping itu apakah terjadi kolaborasi antar manajer dan apa ada grup khusus baik dari dalam departemen maupun dari luar departemen yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan.

  • Axis of Influence
    Mengidentifikasi hubungan pertemanan dari manager menengah / area yang memiliki hubungan langsung ke Chief Executive tanpa melewati Manajer Divisinya. Apakah ada hubungan khusus antara berbagai manajer level menengah dengan pimpinan puncak sehingga dapat mengesampingkan peran manajer divisinya. Bisa jadi hubungan tersebut timbul karena memang adanya special expertise (keahlian khusus) yang dimilikinya dalam pengelolaan unit yang dipimpinnya sehingga dapat melaksanakan tugas-tugas tanpa diperlukan manajer divisi.

  • Informal Power Centers
    Apakah ada karyawan level operasional yang memiliki hubungan khusus atau pertemanan dengan manajer senior, sehingga melewati atasannya.

  • Polarizing Elements
    Adakah ketidakcocokan antara Manajer dengan bawahannya dan dalam hal apa sajakah itu terjadi, dalam semua aktivitas organisasi atau hanya perbedaan yang tidak prinsip saja. Timbulnya hubungan antar personal yang saling berkompetisi sehingga mempengaruhi interaksi emosional bila akan mempengaruhi pengambilan keputusan maka akan menjadi kendala pelaksanaan tugas-tugas saja.

  • Informal Coalitions
    Apakah ada grup manajer yang berkoalisi untuk menolak keputusan atau mengambil keputusan yang lain dengan yang sudah ditetapkan manajer atasnya dan sejauh mana hal ini akan diteruskan.

Beberapa Taktik Memainkan Politik dalam Organisasi


Untuk memahami komponen politik dari organisasi, mengkaji taktik dan strategi yang digunakan oleh seseorang atau subunit untuk meningkatkan peluangnya dalam memenangkan permainan politik, individu atau subunit dapat menggunakan beberapa taktik poltik untuk memperoleh kekuasaan dalam mencapai tujuan. Taktik memainkan politik dalam organisasi adalah sebagai berikut:

  • Meningkatkan ketidakmampuan mengganti, misalkan jika dalam suatu organisasi hanya ada satu-satunya orang atau subunit yang mampu melakukan tugas yang dibutuhkan oleh subunit atau organisasi, maka ia atau subunit tersebut dikatakan sebagai memiliki ketidakmampuan mengganti.

  • Dekat dengan manajer yang berkuasa. Cara lain untuk memperoleh kekuasaan adalah dengan mengadakan pendekatan dengan manajer yang sedang berkuasa.

  • Membangun koalisi. Melakukan koalisi dengan individu atau subunit lain yang memiliki kepentingan yang berbeda merupakan taktik politik yang dipakai oleh manajer untuk memperoleh kekuasaan untuk mengatasi konflik sesuai dengan keinginanya.

  • Mempengaruhi proses pengambilan keputusan. Dua taktik untuk mengendalikan proses pengambilan keputusan agar penggunaan kekuasaan nampaknya memiliki legitimasi dan sesuai dengan kepentingan organisasi yaitu mengendalikan agenda dan menghadirkan ahli dari luar.

  • Menyalahkan atau menyerang pihak lain. Manajer biasanya melakukan ini jika ada sesuatu yang tidak beres atau mereka tidak dapat menerima kegagalannya dengan cara menyalahkan pihak lain yang mereka anggap sebagai pesaingnya.

  • Memanipulasi informasi. Taktik lain yang sering dilakukan adalah manipulasi informasi. Manajer menahan informasi, menyampaikan informasi kepada pihak lain secara selektif, mengubah informasi untuk melindungi dirinya.

  • Menciptakan dan menjaga image yang baik. Taktik positif yang sering dilakukan adalah menjaga citra yang baik dalam organisasi tersebut. Hal ini meliputi penampilan yang baik, sopan, berinteraksi dan menjaga hubungan baik dengan semua orang, menciptakan kesan bahwa mereka dekat dengan orang-orang penting dan hal yang sejenisnya.

Organisasi sebagai salah satu entitas sosial juga tidak terlepas dari politik. Setiap orang dalam organisasi akan menggunakan taktik dan strateginya masing-masing untuk memperebutkan sumber daya yang terbatas, baik itu menyangkut distribusi informasi, kekuasaan, karir maupun penghargaan lainnya. Organisasi kesehatan, seperti rumah sakit juga tidak terlepas dari kegiatan politik.

Strauss dalam penelitiannya di institusi rumah sakit mengidentifikasi pola interaksi antar aktor di rumah sakit (dokter, perawat dan staf administrasi) sebagai ‘keteraturan hasil negosiasi’ (negotiated order). Tak dapat disangkal bahwa ‘negosiasi’ merupakan salah satu bentuk aktivitas politik untuk mendapatkan komitmen bersama. Untuk menjadi manajer yang efektif, seorang manajer harus sadar bahwa ‘politik selalu ada dalam setiap kehidupan organisasi.

Berkenaan dengan praktik manajemen melalui pendekatan politik, maka seorang manajer (termasuk pemain lainnya) harus paham bagaimana bermain politik yang etis dan elegant, sehingga secara etis dapat diterima oleh anggota lainnya. Permainan politik yang tidak etis dalam jangka panjang akan berakibat buruk terhadap kredibilitas pelakunya.

Melihat aktivitas organisasi sebagai aktivitas politik merupakan penyegaran terhadap pemahaman kehidupan ‘organisasi’ yang selama ini selalu didominasi oleh cara pandang instrumental, yang analisisnya mengabaikan motif dan kepentingan aktor yang terlibat dalam organisasi.

Dalam kelompok sosial, termasuk organisasi, manusia selalu terlibat interaksi antar satu dengan lainnya. Setiap anggota akan membawa minat, kepentingan, persepsi, dan tujuan yang berbeda-beda. Oleh karena itu, proses pengaruh-mempengaruhi merupakan hal yang wajar dalam kehidupan organisasi. Dengan kata lain, politik adalah suatu kenyataan sosial yang harus dihadapi oleh anggota organisasi, termasuk manajer. Ada ungkapan yang menarik “meskipun kita tidak suka politik, kita tidak bisa menghindar dari politik”.

Politik didefinisikan oleh Dahl sebagai “setiap pola hubungan yang kokoh antar manusia dan melibatkan secara cukup mencolok kendali, pengaruh, kekuasaan dan kewenangan”. Pada prinsipnya politik adalah suatu jaringan interaksi antarmanusia dengan kekuasaan diperoleh, ditransfer, dan digunakan. Dengan menggunakan definisi ini, maka dapat dikatakan bahwa politik tidak hanya terjadi pada sistem pemerintahan, namun politik juga terjadi pada organisasi formal, badan usaha, klub-klub pribadi, organisasi keagamaan, kelompok suku primitif, marga, dan bahkan pada unit keluarga.

Pusat analisis politik adalah kekuasaan dan pengaruh. Kekuasaan didefinisikan sebagai potensi seorang aktor dapat mempengaruhi aktor lain, sehingga aktor lain tersebut menuruti kemauan aktor pertama. Dalam kontes saling pengaruh-mempengaruhi ini, maka tiap-tiap aktor akan saling beradu kekuasaan untuk memenangkan ‘kepentingan’, dengan taktik memainkan kekusaannya masing-masing.

Pemahaman bahwa organisasi adalah sebuah entitas politik akan mampu menyadarkan manajer melihat organisasi secara ‘utuh’ dan tidak hanya mengandalkan pada cara-cara instrumental saja. Morgan dan Bolman & Deal misalnya, melihat organisasi sebagai wahana atau gelanggang politik tempat bernegosiasi kepentingan oleh para anggotanya. Drory mendefinisikan politik organisasi sebagai perilaku informal di dalam organisasi dengan menggunakan kekuasaan dan pengaruh melalui tindakan terencana yang diarahkan untuk peningkatan karir individu pada situasi untuk memperoleh banyak pilihan keputusan.

Selanjutnya, Miles mendefinisikan politik organisasi sebagai proses yaitu setiap aktor atau kelompok dalam organisasi membangun kekuasaan untuk mempengaruhi penetapan tujuan, kriteria atau proses pengambilan keputusan organisasional dalam rangka memenuhi kepentingannya. Analisis organisasi dari perspektif politik melibatkan tiga diskursus yaitu kepentingan, kekuasaan dan pengaruh.

Morgan mendefinisikan kepentingan sebagai “predisposisi yang mempengaruhi tindakan seseorang dalam berinteraksi secara sosial, meliputi tujuan, nilai, keinginan, harapan, dan orientasi seseorang”. Lebih jauh, Morgan membagi kepentingan ke dalam tiga kategori yaitu kepentingan pekerjaan, kepentingan karir dan kepentingan ekstramural. Kepentingan pekerjaan adalah kepentingan yang terkait dengan tugas seseorang sesuai kedudukan dan jabatan yang diembannya. Sementara, kepentingan karir terkait dengan masa depan seseorang dalam organisasi (posisi dan jabatan yang lebih baik), yang bisa saja tidak berhubungan dengan kepentingan pekerjaan.

Dalam komponen kepentingan juga termasuk kepentingan ekstramural yang terdiri dari kepribadian, sikap, nilai, keyakinan dan komitmen di luar pekerjaan yang semuanya akan membingkai pola perilaku seseorang baik menyangkut pekerjaan maupun karir. Dalam interaksi antaraktor dalam organisasi, setiap aktor menggunakan kekuasaan dan pengaruh untuk dapat memenuhi tujuannya.

Kekuasaan didefinisikan sebagai “peluang seorang aktor dalam interaksi sosialnya berada di posisi memenangkan keinginannya meski ada hambatan dari pihak lain”. Sebagai ilustrasi, ‘A’ mempunyai kekuasaan terhadap ‘B’, kalau ‘A’ dapat mempengaruhi atau memaksa ‘B’ untuk melakukan sesuatu yang diinginkan oleh ‘A’. Dengan kata lain, kekuasaan adalah suatu sumber daya yang merefleksikan kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain untuk bertindak sesuai dengan keinginan orang pertama.

Kekuasaan bukan merefleksikan tindakan, tapi merefleksikan sumber kekuatan untuk mempengaruhi tindakan orang lain. Kekuasaan bersifat netral, apakah akan bersifat baik atau buruk tergantung dari motif yang menggunakannya. Ada baiknya kita renungkan ungkapan Baltasar Gracian berikut: “Satu-satunya keuntungan memiliki kekuasaan adalah bahwa Anda dapat melakukan lebih banyak kebaikan”.

Berbeda dengan kekuasaan yang merujuk kepada ketersediaan sumber daya, pengaruh merujuk kepada tindakan atau praktik. Pengaruh dapat didefinisikan sebagai penggunaan kekuasaan atau otoritas untuk mempersuasi orang lain agar mereka mengikuti kehendak si pengguna kekuasaan. Lebih jauh, Yukl menyebutkan bahwa pengaruh adalah efek dari tindakan agen tehadap pihak lain (target).

Secara sekuensial dapat dikatakan bahwa kekuasaan menimbulkan pengaruh dan akhirnya pengaruh mempengaruhi tindakan orang lain (kekuasaan à pengaruh à tindakan orang lain). Namun demikian, beberapa rujukan tentang perilaku politik sering mempertukarkan istilah kekuasaan dan pengaruh.

Asumsi dasar organisasi sebagai entitas politik, yaitu:

  1. organisasi adalah koalisi yang terdiri dari berbagai individu dan kelompok dengan berbagai kepentingan,
  2. dalam organisasi selalu ada potensi perbedaan menyangkut kepribadian, keyakinan, kepentingan, sikap, persepsi, dan minat dari para anggotanya,
  3. kekuasaan memainkan peranan penting dalam memperebutkan sumber daya,
  4. tujuan organisasi, pengambilan keputusan dan proses manajemen lainnya adalah hasil dari bargaining, negosiasi, dan brokering dari berbagai faksi peserta,
  5. karena keterbatasan sumber daya dan setiap aktor berebut kepentingan, maka konflik adalah wajar (natural) dalam kehidupan organisasi.

Praktik Politik dalam Organisasi


Setiap aktor termasuk manajer menggunakan taktik dan strategi untuk mempengaruhi aktor lain dengan menggunakan sumber kekuasaan yang dimiliki. Secara deskriptif, beberapa taktik yang dipakai oleh para aktor adalah sebagai berikut:

  1. Membentuk koalisi dengan pihak lain untuk meningkatkan dukungan dan sumber daya

  2. Menciptakan suasana (seremoni dan simbol) untuk membentuk persepsi dan perilaku orangorang sesuai dengan peran dan fungsinya

  3. Mentransformasikan kepentingan kita menjadi kepentingan pihak lain dengan mengubah persepsi dan tindakan pihak lain

  4. Memperluas jumlah pemain yang terlibat dalam suatu isu yang menjadi kepentingan kita untuk mendapatkan perhatian yang lebih luas

  5. Melaksanakan negosiasi dan tawar-menawar dengan pihak lain yang bersinggungan dengan kepentingan kita untuk mendapatkan kompromi

  6. Memilih waktu yang tepat untuk setiap tindakan agar situasi menguntungkan kita (manajer).

Etika Berpolitik dalam Organisasi


Pembahasan politik organisasi tidaklah lengkap tanpa berbicara tentang etika berpolitik dalam organisasi. Pertimbangan etis haruslah merupakan suatu kriteria pengontrol dalam perilaku politik untuk mempengaruhi pihak lain. Etik adalah standar moral apakah suatu perilaku baik atau buruk menurut norma masyarakat. Perilaku politik yang etis adalah perilaku yang bermanfaat untuk individu dan organisasi, sedangkan perilaku politik yang tidak etis adalah perilaku yang bermanfaat untuk individu tetapi melukai organisasi.

Setidaknya terdapat tiga kriteria untuk menilai apakah cara kita bertindak etis atau tidak etis yaitu prinsip utilitarianisme, hak dan keadilan. Prinsip utilitarianisme mengajarkan bahwa keputusan yang kita ambil haruslah ’memberikan manfaat terbesar untuk jumlah orang terbesar’. Pandangan demikian menekankan pada kinerja kelompok (kinerja organisasi).

Dengan kata lain, pengambilan keputusan adalah dalam rangka efisiensi dan produktivitas organisasi, bukan untuk mengambil keuntungan sepihak. Prinsip ’hak’ menekankan bahwa setiap individu mempunyai kebebasan untuk mengemukakan pendapat dan berbicara, sebagaimana diatur dalam Piagam Hak Asasi Manusia. Prinsip ’keadilan’ mengisyaratkan individu untuk memberlakukan dan menegakkan aturanaturan secara adil dan tidak berat sebelah sehingga terdapat distribusi manfaat dan biaya yang pantas.

Tampak bahwa ketiga kriteria penilaian etis dan tidak etis tersebut bersifat bersaing (trade-off), satu kriteria dapat saling melemahkan atau meniadakan kriteria lainnya. Misalnya, dalam rangka peningkatan efisiensi dan produktivitas organisasi, perusahaan memecat 10% karyawan yang kurang produktif.

Dalam pandangan utilitarianisme, keputusan ini bermanfaat untuk jumlah terbanyak, namun boleh jadi mengabaikan hak-hak individu (hak mendapatkan pekerjaan dan penghidupan) dan rasa keadilan (adanya perlakukan diskriminatif yaitu adanya pemecatan sebagian kecil karyawan). Dalam melakukan tindakan politik, siapapun aktornya (bisa manajer atau staf) haruslah berpedoman pada tiga kriteria etis tadi.

Di samping ketiga kriteria tersebut, ada the golden rule dari perilaku politik, yaitu ”Perlakukan orang lain sebagaimana kamu menginginkan orang lain memperlakukanmu” (Do unto others as you want them to do unto you) atau ”Jangan lakukan sesuatu pada orang lain yang mana kamu tidak menginginkan orang lain melakukan hal itu kepadamu” (Don’t do anything to anyone that you wouldn’t want them to do to you).

Sebagai saringan dapat juga dipakai empat langkah pertanyaan berikut:

  • apakah perilaku itu merupakan kebenaran?,
  • apakah perilaku itu adil untuk semua pihak terkait?,
  • apakah perilaku itu akan membangun komitmen dan pertemanan yang lebih baik?, dan
  • apakah perilaku itu bermanfaat untuk semua pihak terkait?
    Apabila jawaban dari keempat pertanyaan saringan tersebut, dalam batas-batas tertentu memenuhi syarat, maka dapat dikatakan perilaku tersebut adalah etis.

Perilaku politik dalam ”kelompok cara mempengaruhi dengan menebar rasa takut”, misalnya menusuk dari belakang, mengintimidasi, mengkambinghitamkan, mengganggu, mengancam, menakut-nakuti, meremehkan, menyepelekan, menyalahkan, melemahkan, mengaburkan, memperdayai, menipu, merayu, menghambat, mengalihkan, membuat sedih, membuat kecil hati, menghalangi, menyiasati dan merampas hak adalah perilaku politik yang kurang atau tidak etis. Siapapun orangnya akan ”sakit hati” bila ditusuk dari belakang, dikambinghitamkan, disepelekan, diremehkan, diperdayai dan tindakan sejenisnya.

Perilaku politik dalam ”kelompok cara mempengaruhi dengan azas manfaat” dan ”kelompok cara mempengaruhi dengan kehormatan” merupakan perilaku politik yang etis dan dapat diterima semua pihak. Hasil perilaku politik berdasarkan azas manfaat adalah komitmen dan konsensus, sehingga perilaku politik demikian (meski bersifat situasional) adalah etis dan dapat diterima semua pihak. Selanjutnya, perilaku politik berdasarkan asas kehormatan menduduki tataran tertinggi bila dilihat dari tingkat ’keetisan’-nya.

Perilaku politik berdasarkan azas kehormatan mampu menanamkan ideologi dan cara hidup kepada pihak lain. Perilaku politik berdasarkan azas kehormatan banyak ditunjukkan oleh para pemimpin besar dunia. Tokoh Mahatma Gandhi, misalnya, mampu mempengaruhi lawan dan kawan karena prinsip hidup yang dipegangnya yaitu kesederhanaan dan kejujuran.

Referensi

https://journal.ugm.ac.id/jmpk/article/viewFile/2720/2443