Bagaimana peran amil dalam pengelolaan Zakat?

zakat

Manusia adalah aktivitas sosial yang mempunyai kecenderungan mengorganisir dan bekerjasama yang saling hubung, saling bergantungdan merupakan hal yang inheren. Berkaitan dengan pengelolaan dan pengorganisasian zakat di Indonesia, diatur berdasarkan undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 Pasal 1 Bab 1 Tahun 2011 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat.

PERAN AMIL DALAM PENGELOLAAN ZAKAT


Keunggulan zakat jika dibandingkan dengan instrumen lain yang paling utama adalah dalam hal penggunaannya. Zakat telah ditentukan secara jelas dalam surah At-Taubah ayat 60. Zakat memiliki karakteristik unik yang membedakannya dari instrumen fiskal konvensial. Zakat mempunyai banyak keunggulan, zakat muncul menjadi alternatif instrumen pengentasan kemiskinan yang efektif dan lebih mementingkan kesejahteraan masyarakat.

Keunikan instrumen zakat yang membedakan dari instrumen fiskal konfensional tersebut. Hal ini membawa implikasi pada pengelolaan zakat yang juga beda. Harta zakat termasuk kategori milik individu yaitu individu asnaf bukan milik negara. Oleh karena itu peran amil zakat sangat dibutuhkan, sebagai mana yang telah disebutkan di dalam Al-Qur’an surat at-Taubah ayat 60 menjelaskan bahwa amil zakat termasuk mustahik penerima zakat bukan semata-mata urusan pribadi yang diserahkan kepada kesadaran muzakki saja, tetapi lebih dari itu. Negara atau lembaga wajib mengangkat atau mengatur orang-orang yang memenuhi persyaratan untuk menjadi amil zakat.

Keunggulan zakat jika dibandingkan dengan instrumen lain yang paling utama adalah dalam hal penggunaannya zakat telah ditentukan secara jelas dalam syari’at di dalam surat Al- Taubah ayat 60. Dalam UU nomor 23 tahun 2011 pada bab Ipasal 3 tersebut dikemukakan bahwa pengelolaan zakat adalah bertujuan :

  • Meningkatkan pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai dengan tuntutan agama

  • Meningkatkan fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial

  • Meningkatkan hasil daya guna zakat

Dalam Bab III Undang-undang nomor 23 tahun 2011 dikemukakan bahwa organisasi pengelolaan zakat terdiri dua jenis yaitu Badan Amil Zakat (pasal 7) dan Lembaga Amil Zakat (pasal 8). Di samping dari segi penggunaannya yang telah ditentukan oleh syari’at Islam. Zakat juga memiliki instrumen dan basis yang cukup luas mulai dari produk pertanian, hewan peliharaan, simpanan emas dan perak, aktivitas perniagaan komersial, dan barang-barang tambang yang diambil dari perut bumi, bahkan fiqih kontemporer memandang zakat juga diambil dari seluruh pendapatan yang dihasilkan dari aset atau keahlian pekerjaan. Dengan demikian potensi zakat menjadi sangat besar dan menjadi modal dasar yang amat penting bagi pembiayaan program pengentasan kemiskinan.

Menurut Yusuf Al-Qardawi dalam bukunya, fiqih zakat mengemukakan bahwa seseorang yang ditunjuk sebagai amil zakat atau pengelola zakat haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

Beragama Islam, karena zakat adalah salah satu urusan utama kaum muslimin yang termasuk rukun Islam (Rukun Islam yang ketiga). Oleh sebab itu urusan penting kaum muslimin ini diurus oleh sesama muslim.

  • Mukhallaf yaitu orang dewasa yang sehat akal pikirannya yang siap menerima tanggung jawab mengurus urusan umat.

  • Memiliki sifat amanah dan jujur, sifat ini sangat penting karena berkaitan dengan kepercayaan umat. Artinya para muzakki akan dengan rela menyerahkan zakatnya melalui lembaga atau pengelola zakat.

  • Mengetahui hukum-hukum zakat yang menyebabkan amil mampu melakukan sosialisasi segala sesuatu yang berkaitan dengan zakat kepada masyarakat.

  • Memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya. Amanah dan jujur merupakan syarat yang sangat penting akan tetapi harus ditunjang oleh kemampuan dalam melaksanakan tugas. Perpaduan antara amanah dan kemampuan inilah yang akan menghasilkan kinerja yang optimal.

  • Kesungguhan amil zakat dalam melaksanakan tugasnya zakat amil zakat yang baik adalah amil zakit yang full-time dalam melaksanakan tugasnya, tidak asal-asalan dan tidak pula sambilan.

Untuk realitas di era modern ini, kelompok amil akan lebih optimal yang diperankan oleh intermediary system , atau dalam bahasa Indonesianya disebut dengan Pusat Pengurusan Zakat (PPZ) atau Lembaga Amil Zakat (LAZ). Dengan demikian tingkat optimalisasi profesionalismenya akan melihat amil sebagai kelembagaan dan amil sebagai person, keduanya mewakili Sang Maha Pemurah untuk mengapresiasikan pemahaman khalifah di muka bumi akan makna dari kepemilikan materi. Dalam pelaksanaan pengelolaan zakat, maka amil dapat melaksanakan tugas-tugasnya sebagai berikut :

  • Melakukan pendataan muzakki dan mustahik, melakukan pembinaan, menagih, mengumpulkan, dan menerima zakat, mendo’akan muzakki saat menyerahkan zakat kemudian menyusun penyelenggaraan sistem administrasi dan manajerial dana zakat yang terkumpul tersebut.

  • Memanfaatkan data terkumpul mengenai peta mustahik dan muzakki zakat, memetakan jumlah kebutuhannya, dan menentukan distribusinya. Pembinaan berlanjut untuk mustahik yang menerima dana zakat.

Dari sisi institusi pengelolaan dana zakat sekurang-kurangnya mampu memenuhi beberapa hal :

  • Yang dimaksud dengan amil zakat adalah semua pihak yang bertindak mengerjakan yang berkaitan dengan pengumpulan, penyimpanan, penjagaan, pencatatan, dan penyaluran harta zakat. Mereka diangkat oleh masyarakat Islam untuk memungut dan membagikan serta tugas lain yang berhubungan dengan zakat, seperti penyadaran masyarakat tentang hukum zakat, menerangkan sifat-sifat pemilik harta yang terkena kewajiban membayar zakat dan mereka yang mustahik , mengalihkan, menyimpan dan menjaga serta menginvestasikan harta zakat

  • sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam rekomendasi pertama Seminar Masalah Zakat Kontemporer ke-3 yang disponsori oleh Lembaga Zakat Kuwait.

  • Tugas-tugas yang dipercayakan kepada amil zakat ada yang bersifat pemberian kuasa (karena berhubungan dengan tugas pokok dan kepemimpinan) yang harus memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh para ulama fiqih, antara lain muslim, laki-laki,jujur, mengetahui hukum zakat. Ada tugas-tugas sekunder lain yang diserahkan kepada orang yang hanya memenuhi sebagian syarat-syarat di atas, seperti akuntansi, penyimpanan dan perawatan aset yang dimiliki lembaga pengelola zakat dan lain-lain.

  • Para pengurus zakat berhak mendapat bagian zakat cari kuota amil yang diberikan oleh pihak yang mengangkat mereka dengan catatan bagian tersebut tidak melebihi dari upah yang pantas walaupun mereka bukan orang fakir dengan penekanan supaya total gaji para amil dan biaya administrasi itu tidak lebih dari seperdelapan zakat (12,5%). Perlu diperhatikan, tidak diperkenankan mengangkat pegawai lebih dari keperluan. Sebaiknya gaji para petugas ditetapkan dan diambil dari anggaran pemerintah, sehingga uang zakat disalurkan kepada mustahik lain.

  • Para amil zakat tidak diperkenankan menerima sogokan, hadiah atau hibah dalam bentuk uang ataupun barang.

  • Memperlengkapi gedung dan administrasi suatu badan zakat dengan segala peralatan yang diperlukan sebagai bila tidak dapat diperoleh dari kas pemerintah, hibah atau sumbangan lain, maka dapat diambil dari kota amil sekadarnya dengan catatan bahwa sarana tersebut harus berhubungan langsung dengan pengumpulan, penyimpanan dan penyaluran zakat atau berhubungan dengan peningkatan jumlah zakat.

  • Instansi yang mengangkat dan mengeluarkan izin beroperasi suatu badan zakat berkewajiban melaksanakan pengawasan untuk meneladani Nabi SAW, dalammelakukan tugas kontrol terhadap para amil zakat. Seseorang amil zakat harus jujur dan bertanggung jawab terhadap harta zakat yang ada di tangannya dan bertanggung jawab mengganti kerusakan yang terjadi akibat kecerobohan dan kelalaiannya.

  • Para petugas zakat seharusnya mempunyai etika keislaman secara umum, seperti penyantun, dan ramah kepada para wajib zakat dan selalu mendo’akan mereka juga terhadap mustahik , dapat menjelaskan kepentingan zakat dalam menciptakan solidaritas sosial serta menyalurkan zakat segera mungkin kepada para mustahik .

Agar pengelolaan berjalan dengan baik, maka BAZ harus menerapkan prinsip-prinsip good organization geoernace (tata kelola organisasi yang baik) maka menurut undang-undang No 23 tahun 2011 pada Bab III pasal 2 menjelaskan Pengelolaan zakat dilakukan berdasarkan syari’at Islam dengan berasaskan :

  1. Kemanfaatan yang dimaksud dengan kemanfaatan adalah bahwa pelaksanaan atau pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat dan harta selain zakat dapat bermanfaat bagi umat Islam termasuk seluruh elemen masyarakat dalam mewujudkan kesejahteraan dan keadilan.

  2. Keadilan ialah bahwa pelaksanaan atas pendistribusian dan pendayagunaan zakat dan harta selain zakat dilakukan berdasarkan databes yang disusun secara tertib dan teratur oleh BPZ

  3. Kepastian Hukum adalah bahwa pelaksanaan atas pengumpulan, pendistribusian dan pendayaguna zakat dan harta selain zakat dilakukan berdasarkan suatu aturan hukum yang jelas dan tegas

  1. Keterbukaan adalah pelaksanaan atas pengumpulan, pendisrribusian dan pendayagunaan zakat dan harta selain zakat dilakukan dibawah pengawasan BPZ dan masyarakat serta dipublikasikan melalui media masa cetak atau elektronik

  2. Akuntabilitas adalah bahwa pelaksanaan atas pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat dan harta selain zakat dilaksanakan secara tertib dan bertanggung jawab dengan dilengkapi pengauditan oleh akuntan publik
    Untuk menjadi keanggotaan pada Badan Amil Zakat Nasional harus memenuhi persyaratan sebagaimana disebutkan didalam Undang-undang No 23 Tahun 2011 Bab II tentang Badan Pengelolaan Zakat pasal 11 menjelaskan bahwa syarat untuk menjadi anggota BPZ meliputi :

    • Warga Negara Indonesia
    • Beragama Islam
    • Bertaqwa kepada Allah SWT ;
    • Berahklaq mulia ;
    • Berusia minimal 40 (empat puluh) tahun; dan
    • Tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap kerena melakukan tindakan pidana yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun.

Dari penjelasaan di atas dapat disimpulkan bahwa Amil adalah orang atau lembaga yang mendapat tugas untuk mengambil, memungut dan menerima zakat dari para muzakki, menjaga dana memelihara kemudian menyalurkannya. Dengan persyaratan Amil Zakat sebagai Mukallaf, memahami hukum zakat dengan baik, jujur amanah, memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas keamilan.

1 Like

Peran dan Fungsi Lembaga Amil Zakat dalam Perspektif Hukum

Lembaga Amil Zakat diakui oleh Undang-Undang sebagai bentuk partisipasi masyarakat dalam penge- lolaan dana zakat, infaq, dan shadaqah di Indonesia. Pasal 1 poin 1 Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 menyebutkan bahwa pengelolaan zakat adalah kegiatan perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan terhadap pengumpulan dan pendistribusian serta pe dayagunaan zakat. Berdasarkan ketentuan di atas terdapat tiga peran yang dimainkan dalam pengelolaan zakat, yaitu operator, pengawas dan regulator.

Peran yang dimainkan LAZ hanya sebagian kecil, yaitu sebagai operator. Sedangkan peran-peran yang lain menjadi kewenangan pemerintah. Peran ini diatur dalam Pasal 8 yang menyatakan badan amil zakat sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 dan lembaga amil zakat sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 mempunyai tugas pokok mengumpulkan, mendistribusikan dan mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan agama.

LAZ dengan BAZ memiliki peran dan kedudukan yang sama, yaitu membantu pemerintah mengelola zakat. Keduanya berdiri sendiri dalam melakukan aset zakat. Keberadaan LAZ maupun BAZ harus mampu mewujudkan tujuan besar dilaksanakannya penge- lolaan zakat, seperti meningkatkan kesadaran masya- rakat dalam penunaian zakat, meningkatkan fungsi pranata keagamaan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial, serta meningkatkan hasil guna dan daya guna zakat.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat yang baru, membawa perubahan terhadap peran LAZ dalam menjalankan fungsi penge- lolaan zakat. Pasal 17 yang menyatakan bahwa untuk membantu BAZNAS dalam pelaksanaan pengum- pulan dan pendistribusian, dan pendayagunaan zakat, masyarakat dapat membentuk LAZ.

Jika dalam Undang-Undang yang lama posisi keduanya dipandang sejajar dan seimbang dalam men- jalankan fungsi pengelolaan zakat, dalam Undang- Undang yang baru ini peran LAZ menjadi dikerdilkan dan diposisikan sebagai subordinat dari BAZ yang dibentuk oleh pemerintah. Pergeseran inilah yang ditentang oleh LAZ-LAZ yang tergabung dalam Forum Zakat, bahkan ada wacana untuk melakukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi, meski- pun instrumen yang keberlakuannya, yaitu Peraturan Pemerintah diberi tenggat satu tahun. Adapun perbandingan skema hubungan peran antara BAZ dan LAZ dalam Undang-Undang 38 Tahun 1999 maupun Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011.

Optimalisasi Peran Lembaga Amil Zakat

Indonesia sebagai negara terbesar penduduk muslimnya di dunia mempunyai peluang yang sangat besar untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya lewat zakat. Namun demikian menurut penelitian yang dilakukan oleh Eri Sudewo bahwa secara umum zakat di Indonesia belum banyak berdampak pada pe- ningkatan kualitas kehidupan kaum miskin. Hal ini disebabkan karena pengelolaan zakat oleh lembaga amil zakat, baik Badan Amil Zakat (BAZ) maupun Lembaga Amil Zakat (LAZ) kebanyakan masih menggunakan manajemen tradisional. Oleh karena itu menurutnya untuk meningkatan kualitas kehidupan kaum miskin, maka disarankan untuk meninggalkan 15 tradisi yang selama ini berkembang di BAZ dan LAZ tersebut, kemudian menerapkan 4 prinsip dasar.

Kelima belas tradisi dimaksud adalah:

  • Anggapan sepele, bahwa zakat merupakan bantuan yang kemudian membentuk paradigma bahwa bantuan adalah pekerjaan sosial semata sehingga tidak perlu mendapat perhatian ekstra.

  • Kelas dua, dimana zakat tidak perlu dikelola dengan serius, akan tetapi cukup dengan sisa-sisa tenaga saja,

  • Tanpa manajemen akan tetapi pengelolaan zakat kebanyakan meng- gunakan intuisi sehingga pengeloalaan zakat berjalan sesuai dengan persepsi masing-masing,

  • Tanpa perencanaan karena bersifat bantuan, maka kapan- pun bisa dijalankan,

  • Oleh karena tidak adanya perencanaan, maka pembentukan struktur organisasi seringkali tumpang tindih,

  • Tanpa fit and proper test karena hal ini merupakan suatu hal yang sangat muluk bagi pengelolaan zakat yang bersifat bantuan tersebut, sehingga dengan demikian menimbulkan

  • Kaburnya batasan antara wewenang dan tanggung jawab,

  • Ikhlas tanpa imbalan karena anggapan bahwa hal ini meruapakan pekerjaan sosial, akan tetapi kemudian menimbulkan pengelolaan zakat

  • Dikelola dengan paruh waktu,

  • Lemahnya SDM,

  • Bukan pilihan, hal ini akan berpengaruh besar pada kondisi kejiwaan yang bersangkutan dan lembaga itu sendiri,

  • Lemahnya kreatifitas yang menyebabkan program-program yang dilahirkan tidak inovatif,

  • Tidak ada monitoring dan evaluasi,

  • Tidak disiplin,

  • Kepanitiaan tidak ada perencanaan kegiatan yang sifatnya sporadis dan berjangka pendek.

Kelima belas persoalan yang dikemukakan, Eri Sadewo masih dapat dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Dalam suatu kepengurusan LAZ misalnya, pengelola zakat masih “ nyambi ” dengan pekerjaan yang lain, seperti pendidik, pedagang, atau perkerjaan lain dengan alasan memenuhi kebutuhan ekonomi agar ia mampu beramal secara ikhlas pada saat mengelola asset zakat. Padahal, tenaga yang digunakan pada saat mengurus LAZ adalah sisa-sisa yang digunakan dalam pekerjaan ekonomis yang ia lakukan sehari- hari. Hal ini membuat penggalian potensi zakat tidak maksimal.

Sedangkan 4 prinsip dasar yang dikembangkan,:

  • Pertama , prinsip rukun Islam yang dibedakan menjadi dua, yaitu rukun pribadi dan rukun masyarakat. Zakat merupakan rukun masyarakat, yang artinya zakat merupakan bentuk ibadah vertikal kepada Allah sekaligus merupakan ibadah yang horizontal, karena menyangkut kebutuhan manusia. Menurut Sadewo, sifat dan karakter masing-masing ibadah dapat didekati menggunakan prinsip 5 W + 1 H. Dalam persoalan how, dalam ibadah zakat pengaturannya diserahkan kepada manusia. Sebab, sifat dan kebutuhan setiap manusia berbeda. Misalnya, ijab kabul atau pe- nyerahan zakat dari muzakki dengan amil secara langsung tidak lagi banyak terjadi. Sebab, melalui perkembangan teknologi muzakki dapat menyalurkan dananya melalui mesin ATM atau transfer via bank. Hal ini menunjukkan bahwa kepercayaan muzakki terhadap amil meningkat, tanpa harus bertatap muka dengannya. Selain itu, kesalehan dalam ibadah zakat merupakan keberhasilan membentuk suatu masyarakat yang saling membantu berdasarkan kesadaran.

  • Kedua , prinsip moral. Dalam pengelolaan zakat, para ‘âmil dituntut memiliki sifat jujur, amanah, siddiq, tanggung jawab, adil, kasih, gemar menolong, dan tabah. Menurut Sadewo, kejujuran menjadi kata kunci utama, sebab pengelolaan zakat belum dikontrol oleh lembaga resmi yang dapat memberikan sanksi, muzakki tidak tahu kemana zakatnya disalurkan, masyarakat seolah tidak punya hak memantau pengelolaan zakat.

  • Ketiga , prinsip lembaga. Ada beberapa prinsip kelembagaan yang harus dimiliki oleh lembaga zakat agar bisa dipercaya oleh donatur dan masyarakat, yaitu: figur yang tepat, non-politik, non-golongan, independen, dan netral obyektif.

  • Keempat , prinsip manajemen. Terdapat dua gaya dalam manajemen, yaitu management by result dan management by process . Management by result mementingkan hasil sehingga dengan demikian dia berjangka pendek, sedangkan management by process lebih mementingkan proses sehingga berjangka panjang. Menurut Eri Sudewo, lembaga zakat lebih tepat menggunakan management by process. Hal ini disebabkan karena nilai yang menjadi landasan utama lembaga zakat menjadi pas dengan karakter dasar management by process, karena tujuan lembaga zakat adalah memberdayakan masyarakat. Untuk menuju pada pemberdayaan yang dimaksud dibutuhkan waktu yang cukup. Di samping itu, dibutuhkan pula partisipasi dan pengertian muzakki, mustahiq, mitra kerja, pemerintah, dan masyarakat.