Bagaimana penjelasan tentang zat Allah swt dan segala sifat-sifat-Nya?

Allah swt

Siapakah Allah swt ? Bagaimana wujud-Nya ? Untuk memikirkan tentang Allah tidak akan mungkin menggunakan akal manusia, karena akal tidak akan kuat. Bagaimana kita dapat “memahami” Allah swt itu sendiri ?

Al-Imam Ibnu Athaillah Askandary dalam kitab Al Hikam menyatakan,

Bagaimana mungkin dapat dibayangkan, kalau sesuatu dapat menjadi hijab atas Nya, padahal Dia-lah yang menampakan segala sesuatu?

Pengertiannya ialah, bahwa Allah s.w.t. telah menjadikan segala alam dan makhluk sesudah sesuatunya itu tidak ada atau belum ada. Apakah sesuatu yang dijadikan Allah itu bersifat sesudah tiada atau bersifat tidak ada sesudah ada.

Apabila adanya sesuatu atau tidak adanya sesuatu tersebut berhajat kepada Allah s.w.t., maka mustahil pada akal bahwa sesuatu itu dapat menghambat “terlihatnya” Allah swt. Terciptanya sesuatu adalah menggambarkan adanya yang menciptakan dan bukan sebaliknya.

Al-Imam Ibnu Athaillah Askandary dalam kitab Al Hikam menyatakan,

Bagaimana mungkin dapat dibayangkan, kalau sesuatu mampu menjadi hijab atas-Nya, apabila Dia-lah yang tampak ada pada segala sesuatu?

Maksudnya ialah, apabila di atas tadi menunjukkan pada kita bahwa bagi orang yang telah begitu dekat kepada Allah, di mana Allah s.w.t. tidak tersembunyi keberadaan-Nya dan pada penglihatannya tidak terdinding oleh alam, maka seluruh alam ini bagi dia adalah “Madlul” dan Allah sebagai “dalil”. Karena itu, Allah s.w.t. menjadi lebih terang dan lebih jelas dalam perasaannya dibandingkan alam itu sendiri.

Tiap-tiap sesuatu yang ada dalam alam ini menunjukkan atas tanda-tanda keberadaan Allah s.w.t. Allah tidak tersembunyi, sebab Allah s.w.t. dapat terlihat di dalam alam. Gunung yang kita lihat menunjukkan keberadaan Allah. Laut luas yang kita lihat, tanaman dan segala sesuatu yang ada dalam alam juga menunjukkan kepada keberadaan Allah.

Inilah yang dimaksud dengan firman Allah s.w.t. dalam AlQuran:

“Akan Kami perlihatkan kepada mereka bukti-bukti kebenaran Kami di segenap penjuru (dunia) ini dan pada diri mereka sendiri, sampai terang kepada mereka bahwasanya hal keadaan itu adalah hak dan benar.” (Fushshilat: 53)

Orang-orang yang berada pada tingkatan ini menempatkan alam sebagai “dalil” dan Allah sebagai “madlul”.

Al-Imam Ibnu Athaillah Askandary dalam kitab Al Hikam menyatakan,

Bagaimana mungkin dapat dibayangkan, kalau sesuatu mampu untuk menjadi hijab atas-Nya, padahal Dia-lah yang terlihat dalam segala sesuatu

Maksudnya, bahwa Allah s.w.t. tergambar dalam alam, yakni Allah s.w.t. dilihat oleh hamba-hambaNya menurut tingkatan atau martabat masing-masing hambaNya.

Bagi “ahli syuhud”, yaitu hamba-hamba Allah, dimana mereka tidak melihat alam sebagai hijab atau dinding yang menghambat penglihatan mereka kepada Allah. Apa saja yang dilihat, maka Dzat Allahlah yang terlihat di dalamnya. Dan alam adalah laksana bayangan yang tidak ada artinya.

Tetapi bagi ahli-ahli hijab yakni hamba-hamba Allah yang belum sampai kepada tingkat ahli syuhud, apabila mereka melihat alam, maka bukan Dzat Allah yang terlihat olehnya, tetapi adalah sifat-sifatNya dan nama-namaNya yang Maha Indah.

Misalnya apabila ia melihat orang yang gagah perkasa mempunyai kekuatan dan kekuasaan, maka terlihatlah dalam hatinya sifat-sifat Allah s.w.t. sebagai Tuhan yang Maha Perkasa pada segala-galanya. Apabila ia melihat orang lain dalam keadaan hina-dina, maka ia melihat Allah yang memberikan kehinaan kepada mereka itu.

Apabila dia melihat benda hidup, maka hatinya merasakan bahwa Allahlah yang menghidupkan benda itu. Apabila ia melihat orang mati, maka hatinya melihat bahwa Allah yang telah mematikan orang itu. Apabila ia melihat adanya nikmat pada sebagian makhluk, maka hatinya berkata bahwa Allah dengan sifat Maha Memberi yang telah memberikan nikmat kepada
orang itu.

Apabila ia melihat orang kaya dengan harta kekayaannya, maka hatinya melihat Allah s.w.t. dengan sifatnya yang Maha Pemurah. Apabila ia melihat seseorang di mana segala maksudnya sampai, maka terlihat olehnya Allah s.w.t. yang telah menyampaikan segala maksudnya itu. Demikianlah seterusnya dalam penghayatan perasaannya apabila ia melihat sekalian alam ini, maka terlihatlah olehnya Allah s.w.t. dengan sifat-sifatNya yang Maha Indah dan asmaNya yang Maha Agung.

Al-Imam Ibnu Athaillah Askandary dalam kitab Al Hikam menyatakan,

Bagaimana mungkin dapat dibayangkan, kalau sesuatu mampu menjadi hijab atas-Nya, padahal Dia-lah yang maha tampak atas segala sesuatu?

Yakni Allah s.w.t. tajalli atau terang dengan nyata bagi tiap-tiap sesuatu di dalam alam ini. Bagi orang yang telah begitu dekat kepada Allah, ia sujud kepada Allah, dan ia mensucikan Allah dengan bertasbih kepadaNya, sebagaimana langit, bumi, dan seluruh isinya menyatakan kebesaran Allah dalam ucapannya masing-masing.

Inilah pengertian firman Allah dalam Al-Quran:

“Langit yang tujuh lapis, bumi dan apa yang di dalamnya bertasbih (memuji dan menyatakan kebesaran) kepada Allah s.w.t., dan tak ada sesuatu pun melainkan bertasbih memuji Allah, tetapi kamu tidak mengerti tasbih mereka itu. Sesungguhnya Dia Maha Penyantun dan Maha Pengampun.” (Al Isra’: 44)

Al-Imam Ibnu Athaillah Askandary dalam kitab Al Hikam menyatakan,

Lalu Bagaimana mungkin dapat dibayangkan, ada sesuatu mampu untuk menjadi penghalang atas-Nya, sedangkan Dia-lah Yang Mahaada sebelum adanya segala sesuatu?

Maksudnya, bagi orang yang dekat kepada Allah, ia melihat Dzat Allah
yang tidak sama dengan sesuatu, dan wujud Allah tidaklah dapat disamakan
dengan wujud alam sekalian. Tidak mungkin alam dapat menutup Allah, sebab Allah s.w.t. sudah ada tanpa permulaan, sebelum ada segala sesuatu dalam alam ini.

Bagaimana pula bisa dibayangkan, kalau sesuatu mampu untuk menjadi penghalang atas-Nya, sementara Dia (keberadaannya) lebih jelas (tampak) dari segala sesuatu itu sendiri?

Maksudnya, Allah s.w.t. pada hakikatnya tidak mungkin tidak dilihat karena ditutup atau terhijab oleh alam dan makhluk semuanya ini. Sebab wujud Allah adalah lebih terang daripada sekalian wujud selain Allah.

Wujud Allah adalah wujud yang sesungguhnya (dzaaty). Sedangkan wujud selain Allah sifatnya adalah mendatang, artinya wujud yang didahului oleh permulaan atau wujud yang berakhir dengan kesudahan. Wujud Allah s.w.t. adalah lebih terang dari wujud-wujud lainnya. Justru karena terangnya yang begitu terang dan jelas, maka tidak sanggup ia melihat Dzat Allah dalam wujud yang hakiki.

Inilah maksud syair:

“Tidak apa-apa matahari di pagi hari bersinar di ufuk timur, oleh karena cahayanya tidak dilihat orang buta.”

Yakni orang yang tidak melihat karena buta dengan sebab ia tidak melihat cahaya matahari, dan hal itu maka tidaklah merusak keberadaan matahari. Jadi bukan matahari yang tidak ada, tetapi matanyalah yang tidak melihat sinar cahaya sang matahari.

Al-Imam Ibnu Athaillah Askandary dalam kitab Al Hikam menyatakan,

Dan Bagaimana mungkin Dia akan dihijab oleh sesuatu, padahal Dia adalah Yang Mahaesa, yang tidak ada di samping-Nya sesuatu apapun?

Yakni Allah s.w.t. tidak mungkin digambarkan oleh akal dan hati, bahwa Allah tidak kelihatan atau tersembunyi oleh alam, sebab Dia adalah Maha Esa. Artinya tidak ada wujud hakiki pada segala sesuatu dari alam ini selain Allah s.w.t.

Hadis riwayat Imam Bukhari, bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda:

“Allah telah ada pada masa belum ada sesuatu selain Allah.”

Al-Imam Ibnu Athaillah Askandary dalam kitab Al Hikam menyatakan,

Bagaimana mungkin segala sesuatu akan mampu menghalangi-Nya, jika Dia lebih dekat kepadamu dari segala sesuatu itu sendiri?

Maksudnya, Allah s.w.t. adalah lebih dekat kepada kita dari segala sesuatu selainNya. Kedekatan Allah s.w.t. kepada hambaNya terbagi kepada dua
macam:

  1. Kedekatan Allah menurut ahli syuhud. Bagi ahli syuhud di mana antara mereka dengan Allah tidak ada sesuatu yang menjadi dinding pada penglihatan dan perasaan, apalagi pada aqidah, bahwa mereka itu dekat dengan Dzat Allah yang tidak ada umpama dengan sesuatu. Dekat dalam arti kata tidak ada antara, dan bukanlah arti dekat menurut pengertian dekat benda dengan benda. Maka dekatNya Dzat Allah s.w.t. kepada mereka adalah dekat sekali sehingga seolah-olah tidak dapat dibayangkan oleh akal manusia menurut pengertian biasa.

    Untuk ini Allah s.w.t. telah berfirman di dalam Al-Quran:

    Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan Kami mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya. Dan Kami lebih dekat kepadanya dari urat lehemya sendiri.” (Qaaf: 16)

    Ayat ini rnenggambarkan sangat dekatNya Allah s.w.t. kepada hamba-hambaNya. Dekat pada DzatNya yang tidak ada umpama, bahkan tak dapat
    digambarkan oleh akal kita selaku makhlukNya.

  2. Kedekatan menurut ahli hijab. Yakni, bagi hamba-hamba Allah yang belum sampai ke tingkat musyahadah Dzat Allah seperti ahli syuhud di atas, maka bagi mereka itu belum terasa pemahaman dekat Dzat Allah seperti perasaan di atas. Tetapi yang dapat mereka rasakan ialah bahwa ilmuNya, kudratNya, iradahNya dan lain-lain dari sifat-sifat Allah adalah lebih dekat kepada mereka atau dengan kata lain bahwa segala perbuatannya gerak-geriknya dan apa yang terlintas dalam hatinya semuanya diketahui oleh Allah.

    Dan segala-galanya itu terjadi dengan kodrat Allah dengan sifat-sifatNya, tetapi
    belum sampai mereka merasakan dekat dengan DzatNya yang Maha Mutlak. Adapun arti ayat tadi bagi mereka adalah dekat menurut sifat-sifat Allah, dan bukan dekat pada DzatNya yang Maha Esa.

Al-Imam Ibnu Athaillah Askandary dalam kitab Al Hikam menyatakan,

Bagaimana mungkin Dia bisa dihalangi oleh sesuatu, sementara apabila tidak ada Dia, niscaya tidak akan ada segala sesuatu itu?

Maksudnya, bahwa sekalian alam ini berhajat kepada Allah, dan Allah s.w.t. terkaya dari semuanya itu. Kalaulah demikian, maka tentulah sekaliannya, segala yang dijadikan oleh Allah tidak akan dapat menghijab Allah pada penglihatan hamba-hambaNya yang ‘Arifin Muqarrabin.

Oleh karena itu maka Al-Imam Ibnu Athaillah Askandary mengambil kesimpulan dari pertanyaan-pertanyaan beliau sebagai berikut

Alangkah mengherankan, bagaimana mungkin keberadaan sesuatu yang “pasti ada” (Allah) bisa terhalang oleh sesuatu yang (sebelumnya) “tidak ada” (yaitu makhluk)? Bagaimana mungkin pula sesuatu yang baru (al-hadits, yaitu makhluk) dapat bersama dengan Zat yang memiliki sifat Qidam (tidak berpermulaan)?

Maksudnya, bahwa tidak mungkin diterima oleh akal bahwa antara wujud hakiki dengan wujud bayangan dapat berkumpul. Wujud Allah adalah wujud hakiki dan wujud Allah dapat disamakan laksana cahaya. Sedangkan wujud alam adalah wujud bayangan yang dimisalkan laksana kegelapan tanpa cahaya.

Antara cahaya dan gelap tidak mungkin berkumpul keduanya. Apabila gelap berarti tidak ada cahaya dan apabila ada cahaya maka hilanglah gelap. Maka demikianlah pada pandangan hamba-hamba Allah yang Muqarrabin. Mereka meskipun melihat alam, tetapi mereka tidak dapat melihat alam beserta Allah s.w.t. Sebab Allah adalah wujud hakiki, sedangkan alam adalah wujud bayangan.

Di samping itu pula tidak mungkin berkumpul antara alam yang baru dengan Dzat yang qidam (tanpa permulaan), dan baqa (tanpa kesudahan).

Dalam Al-Quran Al-Karim Allah berfirman:

“Dan katakanlah (hai Muhammad) telah datang yang benar dan hilang yang palsu, sesungguhnya yang palsu itu pasti lenyap.” (Al-Isra’: 81)

Allah s.w.t. terang dan jelas dalam aqidah, bahkan juga dalam penglihatan dan perasaan hamba-hambaNya yang tauhidnya kepada Allah s.w.t. telah begitu mendalam dan telah begitu mantap.

Maka di samping Iman dan Islam yang telah ada padanya, juga hakikat Al-Ihsan menjadi pakaian batinnya dan lampu cahaya rohaninya sebagai yang telah dianjurkan oleh Allah dan RasulNya.

Mudah-mudahan kita dimasukkan Allah dalam golongan hamba-hambaNya yang mendapatkan nikmat seperti yang telah tersebut di atas. Amin!

Referensi : Abuya Syeikh Prof. Dr. Tgk, Chiek. H. dan Muhibbuddin Muhammad Waly Al-Khalidy, 2017, Al-Hikam Hakikat Hikmah Tauhid dan Tasawuf Jilid 1, Al-Waliyah Publishing