Bagaimana Pengaruh Spionase dalam Hubungan Internasional?

spionase
Dalam hubungan internasional tidak lepas dari adanya suatu praktik pengitaian, memata-matai untuk mengumpulkan informasi mengenai sebuah organisasi atau lembaga yang dianggap rahasia tanpa mendapatkan izin dari pemilik yang sah dari informasi tersbut. Bagaimana Pengaruh Spionase dalam Hubungan Internasional?

Spionase dan Hubungan Internasional


Saat ini telah dimaklumi bahwa spionase merupakan dimensi yang tidak terpisahkan dari hubungan internasional, khususnya terkait dengan bagaimana intelijen berperan dalam aktivitas-aktivitas global. Dalam Perang Dunia II, misalnya, keberhasilan pendaratan D-Day Tentara Sekutu pada 6 Juni 1944 merupakan hasil dari operasi desepsi militer yang dinamai Operasi Bodyguard yang menyesatkan Jerman terkait tanggal dan lokasi pendaratan utama Sekutu. Di pihak Jepang, Ken Kotani mengungkapkan bahwa keberhasilan Jepang pada awal Perang Pasifik disebabkan oleh peran intelijen Angkatan Darat dan Angkatan Laut Kekaisaran Jepang untuk mengumpulkan informasi dalam jumlah yang cukup banyak dan menggunakannya dalam berbagai operasi, seperti dalam Pertempuran Malaya, Operasi Hong Kong, Operasi Palembang, dan serangan terhadap Pearl Harbor. Sebaliknya, kekalahan Jepang pada akhir Perang Pasifik disebabkan hilangnya fungsi intelijen Jepang secara perlahan-lahan di paruh kedua perang.

Setelah Perang Dunia II, peran intelijen dalam masalah keamanan global tidak surut. Memasuki masa Perang Dingin, dinas-dinas intelijen semakin meningkatkan aktivitasnya dalam persaingan antara negara-negara Barat dan negara-negara Blok Timur, mulai dari perencanaan, pengumpulan informasi, analisis, hingga diseminasi yang dilakukan secara rahasia. Dinas-dinas intelijen digunakan dalam masa Perang Dingin karena dua hal, yaitu: konflik ideologi antara kedua Blok dan perlombaan senjata nuklir yang menyebabkan ketegangan internasional dalam masa tersebut mencapai tingkat yang sangat berbahaya. Menurut George Blake, mata-mata Soviet di dalam Secret Intelligence Service (SIS) Inggris, usaha intelijen kolektif oleh seluruh pihak menghadirkan suatu transparansi bersama hingga tingkat tertentu pada saat itu. Dalam masa Perang Dingin, dua dinas intelijen yang berada pada garis depan pertempuran adalah Central Intelligence Agency (CIA) dari Amerika Serikat dan Komitet Gosudarstvennoy Bezopasnosti (KGB) dari Uni Soviet.

CIA terlibat dalam berbagai peristiwa internasional yang penting dalam sejarah dunia moderen, khususnya yang ditujukan kepada gerakan-gerakan sayap kiri yang dipersepsikan sebagai komunis. Contohnya, CIA terlibat dalam kudeta Iran pada 1953, usaha pembunuhan Fidel Castro dan invasi Teluk Babi, juga operasi yang ditargetkan pada Zaire untuk mendukung Mobutu Sese Seko, Presiden Zaire pada 1965‒1997.CIA mengirim misi ke Indochina untuk menentang pemerintahan yang bersifat komunis di bawah pemimpin salah satu faksi di Vietnam, Ho Chi Minh. CIA juga mengirim misi ke Tibet untuk mengurangi pengaruh dan kapabilitas rezim Cina yang menyebarkan revolusi budaya hingga ke Tibet. CIA juga terlibat dalam skandal Irangate, di mana Amerika Serikat secara rahasia memfasilitasi penjualan senjata ke Iran, yang merupakan subjek embargo senjata pada saat itu, agar beberapa sandera dilepas oleh Iran dan hasil penjualannya dapat digunakan untuk mendanai kelompok pemberontak Contra di Nikaragua.

Di lain pihak, KGB terlibat dalam spionase terhadap negara lain, pencurian teknologi Barat, operasi propaganda, hingga penindasan terhadap oposisi. KGB juga merekrut sumber-sumber intelijen luar negeri yang mengkhianati negaranya. Laporan John Kohan dari Time pada tahun 1983 menyebutkan bahwa KGB merupakan organisasi pengumpul informasi paling efektif di dunia, yang melakukan spionase legal dan ilegal di negara-negara sasaran. Spionase legal KGB dilakukan berbasis pada Kedutaan Besar dan Konsulat Uni Soviet, dan jika mata-mata mereka tertangkap dapat dilindungi dari tuntutan dengan imunitas diplomatik. KGB juga aktif melakukan penetrasi terhadap organisasi-organisasi intelijen lainnya, termasuk Amerika Serikat. Pada 1950-an hingga 1960-an, terdapat tidak kurang dari tiga agen Soviet dalam National Security Agency (NSA) dan beberapa defektor dari NSA. Target penetrasi Soviet lainya termasuk jaringan keluarga Walker di Amerika Serikat pada 1968-1984, Geoffrey Prime di markas Partai Konservatif Inggris CCHQ pada 1968-1978, hingga godaan agen wanita terhadap marinir Amerika Serikat yang menjaga ruang sandi di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Moskow.

Pasca Perang Dingin, aktivitas intelijen dunia mengalami penurunan hingga
terjadinya peristiwa 11 September 2001. Selama lebih dari satu dekade, perang melawan teror menjadi isu keamanan global paling utama dan hal ini juga mempengaruhi isu-isu intelijen dalam hubungan internasional. Amerika Serikat melancarkan invasi ke Afghanistan atas dasar laporan Komisi 9/11 dan Perang Irak atas dasar laporan Estimasi Intelijen Nasional. Intelijen dan diplomasi internasional kini terhubung erat dalam agenda perang melawan teror. Kini, negara-negara di dunia sedang mengembangkan kerjasama intelijen stratejik internasional dalam rangka information sharing dalam mewujudkan keamanan kolektif.