Bagaimana peneliti melakukan observasi objek Alam Semesta ?

alam semesta

Kemajuan suatu peradaban umat manusia dapat dilihat dari teknologi-teknologi yang telah berhasil dikembangkannya. Semakin maju perkembangan teknologinya, semakin banyak pula yang dapat diketahui tentang misteri-misteri yang belum terpecahkan di alam semesta kita yang maha luas ini.

Bagaimana peneliti melakukan observasi objek Alam Semesta ?

Melalui Gelombang Gravitasi

Pada tahun ini (2017) anugrah Nobel dibidang Fisika jatuh kepada tiga (3) orang ilmuwan sebagai penemu riak dalam struktur ruang-waktu alam semesta yang disebut sebagai Gelombang Gravitasi (Gravitational Waves). Mereka bertiga adalah Rainer Weiss dari MIT (Massachusetts Institute of Technology, USA), Kip Thorne dari Caltech (California Institute of Technology) dan Barry C Barish yang juga dari Caltech.

Keberhasilan ini tidak hanya dari mereka bertiga saja, tapi juga dari ilmuwan-ilmuwan yang terlibat dalam kolaborasi pada Instrument LIGO (Laser Interferometer Gravitational-Wave Observatory,USA) dan VIRGO (Italia) selama melakukan penelitian terkait. Keberadaan Gelombang Gravitasi pertama kali terdeteksi keberadaannya pada 14 September 2015 jam 09:50:45 UTC (Coordinated Time Universal) bulan September 2015 oleh dua detektor instrument LIGO.

Pada tahun 1916, Gelombang Gravitasi keberadaannya telah dipredisksi oleh fisikawan terkenal Albert Eintein melalui teori relativitas umumnya. Gelombang Gravitasi berasal dari benda yang bermassa sangat besar seperti dua (2) lubang hitam yang sebelum bergabung saling berputar satu sama lain kemudian menghasilkan osilasi (riak seperti gelombang air), merambat di alam semesta dengan kecepatan cahaya dalam ruang-waktu. Osilasi inilah yang akan dideteksi oleh Instrument LIGO yang kemudian dengan perhitungan dan simulasi melalui super komputer akan diketahui sumber dari osilasi tersebut. LIGO yang terdiri dari dua buah lengan berbentuk L memiliki dua buah detektor yang mana lengan satunya terpasang di Livingston, Louisiana dan lengan yang lainnya terpasang di Hanford, Washington Timur.

Sumber sinyal isolasi pertama kali terdeteksi berasal dari sepasang lubang hitam yang masing-masing memiliki massa sekitar 30 kali massa matahari (Matahari tata surya kita) berjarak sekitar 1,3 milyar tahun cahaya dari bumi, hal ini berarti gelombang tersebut berasal dari 1,3 milyar tahun lalu. Kedua lubang hitam bertabrakan yang kemudian menyatu menjadi lubang hitam yang lebih besar.

Hasil gabungan dari kedua lubang hitam tersebut menghasilkan badai gelombang di dalam ruang-waktu yang berlangsung selama 20 milidetik sekaligus menghasilkan sejumlah energi yang sangat besar yaitu setara dengan 50 kali dari total daya dari semua bintang di alam semesta. Interferometer pada LIGO beroperasi dengan sinar laser yang dipancarkan secara bersama pada kedua lengan yang saling tegak lurus yang masing-masing sejauh empat (4) kilometer (2,5 mil), kemudian sinar laser dipantulkan kembali ke blok pembagi dan akan kembali dalam waktu yang sama. Gelombang gravitasi terdeteksi berdasarkan pada perbedaan waktu dari jarak yang ditempuh oleh sinar laser ini, perbedaan disebabkan ketika gelombang yang lewat lalu mendistorsi ruang-waktu [3].

Kemudian Instrument LIGO juga diperkuat oleh Instrument detektor Virgo yang terletak di Pisa, Italia. Kolaborasi kedua detektor telah mendeteksi secara bersama sebuah gelombang gravitasi hasil penggabungan dua buah lubang hitam. Sinyal osilasi tersebut diamati pada tanggal 14 Agustus 2017 yang berasal dari penggabungan dua lubang hitam 30,5 kali massa matahari dengan lubang hitam lain 25,3 kali massa matahari. Peristiwa penggabungan ini terjadi 540 megaparsec atau sekitar 1,8 miliar tahun cahaya jauhnya dari Bumi. Karena pada saat mendeteksi gelombang gravitasi melibatkan tiga detektor sekaligus, para peneliti telah mampu mempersempit lokasi sumber sinyal dengan faktor hampir 20 kali lebih cepat dibandingkan dengan pendeteksian sebelumnya yang hanya menggunakan LIGO.

Detektor LIGO dan Virgo tidak hanya dapat digunakan untuk mendeteksi penggabungan dari lubang hitam saja tapi juga bisa digunakan untuk mendeteksi penggabungan dari bintang neutron. Karena berdasarkan pada teorinya bahwa pada saat dua bintang neutron bertabrakan mereka akan menghasilkan gelombang gravitasi dan sinar gamma, bersamaan dengan itu juga menghasilkan jet kuat yang dipancarkan pada sepktrum elektromagnetik.

Keberhasilan ini mengubah sejarah umat manusia dalam mencari tahu keberadaaan objek-objek yang sulit terdeteksi di alam semesta terutama objek-objek yang tidak memancarkan cahaya (gelap) yang masih menjadi misteri tapi memiliki massa yang sangat besar seperti lubang hitam. Dari terdeteksinya gelombang gravitasi ini juga akan menawarkan wawasan kepada kita tentang bagaimana alam semesta berkembang. Penelitian gelombang gravitasi juga memungkinan untuk mengungkapkan sifat materi gelap yang selama ini belum pernah terungkap oleh ilmu pengetahuan mengenai keberadaannya di alam semesta ini.

Sumber:

  1. Ed Daw. 2017. “Scientists behind the discovery of gravitational waves win the 2017 Nobel Prize for Physics”. PhysOrg, 3 Oktober 2017 diakses pada tanggal 1 Desember 2017

  2. B. P. Abbott et al. 2016. “Observation of Gravitational Waves from a Binary Black Hole Merger”. Physical Review Letters, American Physical Society, February 12, 2016. DOI: 10.1103/PhysRevLett.116.061102

  3. Jaquith, Todd. 2016. “A New Era in Physics: Gravitational Waves Finally Detected”. Futurism, 11 Februari 2016 diakses pada tanggal 1 Desember 2017

  4. Voss, David. 2017. “Virgo Joins LIGO in Detection of Gravitational Waves”. American Physical Society News, 27 September 2017 diakses pada tanggal 1 Desember 2017

  5. Chu, Jennifer. 2017. “LIGO and Virgo make first detection of gravitational waves produced by colliding neutron stars”. MIT News, 16 Oktober 2017 diakses pada tanggal 1 Desember 2017

  6. Bergan, Brad dan Karla Lant. 2017. “Next Week, Scientists Will Finally Disclose Key Details About Gravitational Waves”. Futurism, 11 Oktober 2017 diakses pada tanggal 1 Desember 2017