Bagaimana pendapat anda terkait pidato Megawati pada HUT PDIP 2017?

"Puji Syukur kita panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu Wata’ala, sehingga PDI Perjuangan mampu melewati berbagai ujian sejarah selama 44 tahun. Pasang naik dan pasang surut sebagai sebuah partai politik, telah kami lalui. Saya sebagai Ketua Umum pada hari ini, ingin mengucapkan terima kasih kepada mereka yang memilih berada dalam gerbong perjuangan bersama. Terima kasih kepada mereka yang tetap setia, meski kadang Partai ini mendapat terpaan gelombang yang begitu dahsyat. Mereka selalu ada, tidak hanya ketika Partai ini sedang berkibar, namun justru memperlihatkan kesetiaannya ketika Partai berada dalam posisi yang sulit. Ijinkan saya memberikan penghormatan, dan penghargaan sebesar-besarnya, kepada antara lain Bapak Jacob Nuwa Wea, Bapak Alexander Litaay, dan Bapak Mangara Siahaan, dan masih banyak yang lain, yang tidak bisa saya sebut satu per satu. Mereka telah mendahului kita menghadap Sang Khalik sebagai pejuang Partai. Mereka tidak hanya ada dalam sejarah hidup saya, namun juga adalah tokoh-tokoh yang berjuang mempertahankan Partai ini sebagai partai ideologis. Kesetiaan yang mereka tunjukan sepanjang hidup kepartaian, bagi saya adalah bentuk kesetiaan ideologis, yang sudah seharusnya dihayati, dan dijalankan oleh setiap kader Partai.

Hadiri yang saya muliakan,

Dari awal mula saya membangun Partai ini, tanpa ragu saya telah menyatakan dan memperjuangkan, bahwa PDI Perjuangan adalah partai ideologis, dengan ideologi Pancasila 1 Juni 1945. Syukur alhamdulillah, pada tanggal 1 Juni tahun 2015 yang lalu, Presiden Jokowi telah menetapkan 1 Juni 1945 sebagai hari lahirnya Pancasila. Artinya, secara resmi negara telah mengakui, bahwa Pancasila 1 Juni 1945 sebagai ideologi bangsa Indonesia.

Saudara-saudara,

Peristiwa di penghujung tahun 2015, telah menggugah sebuah pertanyaan filosofis dalam diri saya: cukupkah bagi bangsa ini sekedar memperingati 1 Juni sebagai hari lahirnya Pancasila? Dari kacamata saya, pengakuan 1 Juni sebagai hari lahirnya Pancasila, memuat suatu konsekuensi ideologis yang harus dipikul oleh kita semua. Dengan pengakuan tersebut, maka segala keputusan dan kebijakan politik yang kita produksi pun, sudah seharusnya bersumber pada jiwa dan semangat nilai-nilai Pancasila 1 Juni 1945.

Apa yang terjadi di penghujung tahun 2015, harus dimaknai sebagai cambuk yang mengingatkan kita terhadap pentingnya Pancasila sebagai “pendeteksi sekaligus tameng proteksi” terhadap tendensi hidupnya “ideologi tertutup”, yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Ideologi tertutup tersebut bersifat dogmatis. Ia tidak berasal dari cita-cita yang sudah hidup dari masyarakat. Ideologi tertutup tersebut hanya muncul dari suatu kelompok tertentu yang dipaksakan diterima oleh seluruh masyarakat. Mereka memaksakan kehendaknya sendiri; tidak ada dialog, apalagi demokrasi. Apa yang mereka lakukan, hanyalah kepatuhan yang lahir dari watak kekuasaan totaliter, dan dijalankan dengan cara-cara totaliter pula. Bagi mereka, teror dan propaganda adalah jalan kunci tercapainya kekuasaan.

Syarat mutlak hidupnya ideologi tertutup adalah lahirnya aturan-aturan hingga dilarangnya pemikiran kritis. Mereka menghendaki keseragaman dalam berpikir dan bertindak, dengan memaksakan kehendaknya. Oleh karenanya, pemahaman terhadap agama dan keyakinan sebagai bentuk kesosialan pun dihancurkan, bahkan dimusnahkan. Selain itu, demokrasi dan keberagaman dalam ideologi tertutup tidak ditolelir karena kepatuhan total masyarakat menjadi tujuan. Tidak hanya itu, mereka benar-benar anti kebhinekaaan. Itulah yang muncul dengan berbagai persoalan SARA akhir-akhir ini. Disisi lain, para pemimpin yang menganut ideologi tertutup pun memosisikan dirinya sebagai pembawa “self fulfilling prophecy”, para peramal masa depan. Mereka dengan fasih meramalkan yang akan pasti terjadi di masa yang akan datang, termasuk dalam kehidupan setelah dunia fana, yang notabene mereka sendiri belum pernah melihatnya.

Saudara-saudara,

Apa yang saya sampaikan di atas tentang ideologi tertutup, jelas bertentangan dengan Pancasila. Pancasila bukan suatu ideologi yang dipaksakan oleh Bung Karno atau pendiri bangsa lainnya. Pancasila lahir dari nilai-nilai, norma, tradisi dan cita-cita bangsa Indonesia sejak masa lalu, bahkan jauh sebelum kemerdekaan. Bung Karno sendiri menegaskan, dirinya bukan sebagai penemu Pancasila, tetapi sebagai penggali Pancasila. Beliau menggalinya dari harta kekayaan rohani, moral dan budaya bangsa dari buminya Indonesia. Pancasila dengan sendirinya adalah warisan budaya bangsa Indonesia. Apakah ketika Indonesia berumur 71 tahun, kita telah melupakan sejarah bangsa? Jangan sekali-kali melupakan sejarah kita!!

Pancasila berisi prinsip dasar, selanjutnya diterjemahkan dalam konstitusi UUD 1945 yang menjadi penuntun sekaligus rambu dalam membuat norma-norma sosial politik. Produk kebijakan politik pun tidak boleh bersifat apriori, bahkan harus merupakan keputusan demokratis berdasarkan musyawarah mufakat. Dengan demikian, Pancasila sebagai jiwa bangsa, tidak memiliki sifat totaliter dan tidak boleh digunakan sebagai “stempel legitimasi kekuasaan”. Pancasila bersifat aktual, dinamis, antisipasif dan mampu menjadi “leidstar”, bintang penuntun dan penerang, bagi bangsa Indonesia. Pancasila selalu relevan di dalam menghadapi setiap tantangan yang sesuai dengan perkembangan jaman, ilmu pengetahuan, serta dinamika aspirasi rakyat.

Namun, tentu saja implementasi Pancasila tidak boleh terlalu kompromistis saat menghadapi sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai dasar yang terkandung di dalamnya. Meskipun demikian, guna meng-eksplisit-kan ide dan gagasan agar menjadi konkret, dan agar Pancasila tidak kaku dan keras, dalam merespon keaktualan problematika bangsa, maka instrumen implementasinya pun harus dijabarkan dengan lebih nyata, tanpa bertentangan dengan filsafat pokok dan kepribadiaan bangsa.

Saudara-saudara,

Indonesia diakui sebagai negara demokratis, namun demokrasi yang kita anut dengan Pancasila sebagai “the way of life bangsa” telah secara tegas mematrikan nilai-nilai filosofis ideologis, agar kita tidak kehilangan arah dan jati diri bangsa.

Pancasila, lima sila, jika diperas menjadi Trisila, terdiri dari: Pertama, sosio-nasionalisme yang merupakan perasan dari kebangsaan dan internasionalisme; kebangsaan dan peri kemanusiaan. Kedua, sosio-demokrasi. Demokrasi yang dimaksud bukan demokrasi barat, demokrasi yang dimaksud adalah demokrasi politik ekonomi, yaitu demokrasi yang melekat dengan kesejahteraan sosial, yang diperas menjadi satu dalam sosio-demokrasi.

Ketiga, adalah ke-Tuhan-an. Menjadi poin ketiga, bukan karena derajat kepentingannya paling bawah, tetapi justru karena Ke-Tuhan-an sebagai pondasi kebangsaan, demokrasi politik dan ekonomi yang kita anut. Tanpa Ke-Tuhan-an bangsa ini pasti oleng. Ke-Tuhan-an yang dimaksud adalah Ke-Tuhan-an dengan cara berkebudayaan dan berkeadaban; dengan saling hormat menghormati satu dengan yang lain, dengan tetap tidak kehilangan karakter dan identitas sebagai bangsa Indonesia.

Bung Karno menegaskan, “kalau jadi Hindu, jangan jadi orang India. Kalau jadi Islam, jangan jadi orang Arab, kalau jadi Kristen, jangan jadi orang Yahudi. Tetaplah jadi orang Indonesia dengan adat budaya Nusantara yang kaya raya ini.”

Hadirin yang saya hormati, Trisila jika diperas menjadi Ekasila, yaitu gotong royong. Inilah suatu paham yang dinamis, berhimpunnya semagat bersama untuk membanting tulang bersama, memeras keringat bersama untuk kebahagiaan bersama. Kebahagian yang dimaksud adalah kebahagian kolektif sebagai sebuah bangsa, yang memiliki tiga kerangka: pertama, Satu Negara Republik Indonesia yang berbentuk Negara-Kesatuan dan Negara-kebangsaan yang demokratis dengan wilayah kekuasaan dari Sabang sampai Merauke; dari Miangas hingga ke Rote. Kedua, satu masyarakat yang adil dan makmur materiil dan spiritual dalam wadah Negara kesatuan Republik Indonesia. Ketiga, satu persahabatan yang baik antara Republik Indonesia dan semua negara di dunia, atas dasar saling hormat-menghormati satu sama lain, dan atas dasar membentuk satu Dunia Baru yang bersih dari penindasan dalam bentuk apa pun, menuju perdamaian dunia yang sempurna.

Adapun untuk mencapai kerangka tujuan di atas diperlukan dua landasan: landasan idiil, yaitu Pancasila dan landasan strukturil, yaitu pemerintahan yang stabil. Untuk itulah PDI Perjuangan selalu ikut dan berdiri kokoh menjaga jalannya pemerintah Presiden Jokowi dan Jusuf Kalla sebagai pemerintahan yang terpilih secara konstitusional. Keduanya merupakan syarat mutlak atas tanggung jawab sejarah yang harus kita tuntaskan sekaligus sebagai konsekuensi ideologis yang telah saya sampaikan di awal, yang mengakui Pancasila 1 Juni 1945 sebagai ideologi bangsa.

Kader-kader Partai yang saya cintai, hadirin yang saya hormati,

Saya menjabarkan hal-hal di atas dalam forum ini, untuk menegaskan kembali bahwa PDI Perjuangan tetap memilih jalan ideologis. PDI Perjuangan menyatakan diri tidak hanya sebagai rumah bagi kaum Nasionalis, tetapi juga sebagai Rumah Kebangsaan bagi Indonesia Raya. Kepada kader Partai di seluruh Indonesia, saya instruksikan agar tidak lagi ada keraguan, apalagi rasa takut, untuk membuka diri dan menjadikan kantor-kantor Partai sebagai rumah bagi rakyat untuk menyampaikan aspirasi. Saya instruksikan, jadilah “Banteng Sejati” di dalam membela keberagaman dan kebhinekaan. Berdirilah di garda terdepan, menjadi tameng yang kokoh untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Saya yakin, TNI dan POLRI akan bersama kita dalam menjalankan tugas ini, dan tidak akan memberi ruang sedikit pun pada pihak-pihak yang anti Pancasila dan anti demokrasi Pancasila. Apresiasi saya kepada TNI-POLRI yang telah berani bersikap tegas dalam menyikapi pihak-pihak tersebut.

Bagi kader Partai yang berada di legislatif dan eksekutif, kalian tidak hanya dibutuhkan negeri ini untuk mempertahankan kesatuan dan kebangsaan. Perlu disadari, terutama bagi kader yang telah mendapat kepercayan rakyat di eksekutif. Saya tahu, kalian, bahkan saya, adalah manusia biasa. Tentu, sebagai manusia biasa kita tidak luput dari kesalahan. Tetapi, sebagai pemimpin harus disadari pula bahwa jabatan yang kalian emban adalah jabatan politik. Kesalahan dalam keputusan politik tidak hanya berdampak bagi diri pribadi dan keluarga. Kesalahan tersebut berdampak pada kehidupan seluruh rakyat. Karena itu, hati-hatilah dalam membuat keputusan-keputusan politik, baik itu berupa perkataan, tindakan, produk politik baik berupa kebijakan politik legislasi, maupun kebijakan politik anggaran.

Kader-kader yang saya cintai,

Luangkan waktu untuk merenung, sudah tepatkah langkah-langkah yang kalian ambil atas jabatan yang telah diberikan oleh rakyat, ataukah justru sebaliknya. Jangan kalian justru menjadi bagian dari orang-orang yang menindas dan menyengsarakan rakyat dengan kekuasaan yang sebenarnya justru merupakan amanah dari rakyat.

Saya tegaskan kembali, sebagai Ketua Umum Partai, instruksi saya kepada kalian adalah mensejahterakan rakyat, bukan sebaliknya! Kebhinekaan harus disertai dengan keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat!

Terakhir, saya ucapkan terima kasih kepada seluruh rakyat Indonesia yang tetap setia membatinkan Pancasila di dalam kehidupan sehari-hari. Kita tidak perlu reaksioner, tetapi sudah saatnya silent majority bersuara dan menggalang kekuatan bersama. Saya percaya mayoritas rakyat Indonesia mencintai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ber-Bhineka Tunggal Ika. Kita akan bersama-sama terus berjuang, kita pasti mampu membuktikan pada dunia, bahwa Pancasila mampu menjadikan keberagaman sebagai kekuatan untuk membangun kehidupan yang berperikemanusiaan dan berperikeadilan.

Bangsa ini sedang berada dalam “struggle to survive”, dalam perjuangan untuk bertahan, bertahan secara fisik dan mental! Bertahan agar tetap hidup, secara badaniah dan mental. Hadapilah tantangan-tantangan yang ada dengan kekuatan gotong royong sebagai kepribadian bangsa. Berderaplah terus menuju fajar kemenangan sebagai bangsa yang sejati-jatinya merdeka. Dengan ridho Tuhan, saatnya kita gegap gempitakan kembali segala romantika dan dinamika, dentam-dentamkan segala hantaman, gelegarkan segala banting tulang, angkasakan segala daya kreasi, tempa segala otot-kawat-balung-wesinya!

Sungguh: kita adalah bangsa berkepribadian Banteng!

Hayo maju terus! Jebol terus!
Tanam terus! Vivere pericoloso!
Hiduplah menyerempet bahaya di jalan Tuhan!
Ever onward, Never retreat!
Kita pasti menang!

Wassalamualaikum Warrahmatullahi Wabarokatuh.
Om Santi Santi Santi Om
Namo Buddhaya

Merdeka !!!

Jakarta, 10 Januari 2017
Ketua Umum PDI Perjuangan

Megawati Soekarnoputri."

Berikut pendapat dari Habil Marati (Mantan Anggota DPR 1999-2010)

###MOSI MENOLAK PERNYATAAN MEGAWATI BAHWA PANCASILA SEBAGAI IDIOLOGI TERBUKA


Pidato Megawati pada perayaan ulang tahun ke-44 PDIP, tentang konfrontatif antara idiologi terbuka dan idiologi tertutup adalah suatu pernyataan politik yang tidak memiliki tempat pada Negara Kesatuan Republik Indonesia. Negara kesatuan Republik Indonesia yang merdeka di susun dalam suatu susunan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan Rakyat berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

MENGATAKAN PANCASILA SEBAGAI IDIOLOGY TERBUKA ADALAH SEKULER

Pancasila adalah sebuah klasik, dimana sila silanya mencerminkan masa berlakunya tidak akan ketinggalan zaman, Pancasila di lahirkan tidak hanya untuk sekedar memenuhi persyarakat lahirnya sebuah Negara, akan tetapi pancasila merupakan arus demokrasi religius, demokrasi yang di bangun berdasarkan tatanan tatanan amanat penderitaan rakyat yang merupakan pengalaman yang di alami ratusan tahun Bangsa Indonesia pada cosmopolit, serta di susun sesuai dengan asas asas kodrat manusia sebagai mahluk sosial.

Pancasila dalam kedudukannya sebagai Idiologi politik memberikan batas batasan terhadap hubungan Agama dengan Rakyat Indonesia, hubungan Agama dengan kedaulatan rakyat, hubungan Negara dengan Alam semesta, hubungan Tuhan dengan Bangsa Indonesia serta hubungan politik dengan Agama. Megawati menyatakan Pancasila sebagai partai terbuka, serta megawati menolak ramalam ramalan kemajuan negara termasuk alam Ahirat berdasarkan Pandangan Agama, Megawati pun menyampaikan bahwa Agama adalah sebuah Dogma, arus pikir serta sinyalemen Megawati ini sangat bertentangan dengan Pancasila bahkan Megawati menempatkan Pancasila sebagai Idiologi sekuler tanpa mengakui adanya Tuhan dan Ahirat, sikap dan karakter politik megawati ini sangat mengancam dan meracuni pikiran pikiran generasi muda sebagai penerus dan penanggung jawab Negara di masa yang akan datang. Megawati mengkonteskan antara Agama khususnya Islam sebagai Idiologi tertutup dan Pancasila sebagai idiolagi terbuka, disini Megawati dan PDIP blunder lagi, siapa bilang bahwa Pancasila itu adalah Idiologi terbuka?, dari sejak lahirnya sampai dengan hari ini Pancasila adalah merupakan Idiologi tertutup, dari sisi Idiologis semua bangsa Indonesia mengerti bahwa Pancasila tertutup untuk Idiologi Marxisme, Sosialisme, Komunisme, Atheisme serta Pancasila menolak partai politik yang tidak mengakui adanya Tuhan, Pancasila menolak partai politik yang beridiologikan sekuler apalagi Komunis, jadi sangat keliru dan meracuni generasi muda kalau ada politisi atau partai partai politik menyatakan bahwa Pancasila adalah Idiologi terbuka, demikian pula dari sisi demokrasi, Pancasila termasuk idiologi tertutup, sangat jelas bahwa sila ke Empat Pancasila adalah menolok demokrasi liberal, demokrasi materialisme, maupun demokrasi totaliterisme.

Mengatakan Agama sebagai Dogma yang meramalkan tentang kemajuan bangsa yang akan datang termasuk adanya Ahirat, pernyataan ini tidak sesuai dengan Pancasila, dan ini meracuni pikiran pikiran generasi muda yang akan datang.

ISLAM BUKAN DOGMA DAN BUKAN IDIOLOGI TERTUTUP

Hanya orang yang tidak memahi Agama dan tidak Beragama yang mengatakan Agama adalah dogma dan Idiologi tertutup, Islam adalah bukan Idiologi akan tetapi hasil interaksi antara hamba pilihan dengan Sang Pencipta yang hidup sebagai kebutuhan dasar manusia baik sekarang maupun pada ahir perjalanan manusia, Islam berfungsi sebagai intermediasi kehidupan manusia antara dunia dan akhirat yang rasional dan terukur. Megawati mengkontes Agama ( Islam) sebagai Idiologi tertutup dan Pancasila sebagai Idiologi terbuka, sudah saya sampaikan di atas bahwa Megawati salah kaprah mengatakan pancasila adalah idiologi terbuka justru Pancasila adalah Idiologi tertutup dan terkunci malah dari paham isme isme lainnya.

Islam itu bukan budaya Arab, Islam itu tidak identik dengan Orang Arab, demikian juga Pancasila itu tidak identik dengan kebebasan semau gue, Pancasila itu bukan tirani, pancasila itu tidak bertentangan dengan Alquran. Kalau Umat Islam menolok Ahok ini bukan budaya Arab, kalau Umat Islam menolak Komunisme ini juga bukan budaya Arab, demikian juga kalau umat Islam menolak sekularisme, kawin sejenis, LGBT, dan kawin tanpa nikah ini juga bukan budaya Arab. Apa maksud Megawati mengatakan kalau jadi Islam jadilah Islam nusantara, tidak ada Islam Nusantara, tidak ada Islam Arab, dari dulu Islam pegangannya cuma dua yaitu Alquran dan Hadits. Bagi umat Islam toleransi itu bukan berarti umat Islam mengesampingkan Alquran demi Toleransi oooo bukan begini, Umat Islam menolak Ahok karena tiga hal, pertama karena dia telah menistakan Alquran, kedua Jelas perintah ayat Almaidah 51, dan ketiga tidak bisa di pisahkan persoalan pri dan non pri, ini juga bukan rasis tapi realita.

Pikiran pikiran Megawati tersebut menunjukan Megawati tidak memahami Agama, khususnya Agama Islam dan Megawati juga tidak menguasai betul kebatinan Pancasila dan sejarah lahirnya Pancasila, untuk memahami Pancasila lebih dalam memerlukan pemahaman Agama (Islam ) demi NKRI, mengapa?, Pancasila tidak dapat menjelaskan pada Bangsa Indonesia tentang penciptaan Langit dan Bumi kecuali Agama ( Islam), demikian juga Pancasila tidak dapat menjelaskan Ketuhanan Yang Maha Esa itu kecuali Agama (Islam), termasuk juga Pancasila tidak dapat menjelaskan tentang Ahirat kecuali Agama ( Islam), karena itu Kalau mau tau ahirat jangan tanya pancasila tapi tanya dalam Agama ( Islam).

Apa sesungguhnya yang dimaksud Megawati mengenai Idiologi tertutup, apakah Islam? dan apa yang dimaksud dogma apa Alquran?, Islam bukan sebuah Idiologi, tapi Islam adalah proseses intermediasi antara kehidupan dunia dan ahirat, antara kehidupan hari ini dan hari esok yang rasional dan terukur, sedangkan Alquran itu adalah bukan dogma, tapi sebuah kitab suci yang dikontrol oleh pemiliknya yaitu Allah SWT, dan Allah sendiri menantang bagi orang orang yang meragukan tentang kebenaran Alquran ini, Umat Islam mempertaruhkan jiwa dan hartanya untuk menjaga Alquran ini, demikian juga Umat Islam akan mempertaruhkam jiwa dan hartanya untuk menjaga Pancasila mengapa? Karena Sila pertama Pancasila Ketuhanan Yang Maha Esa, jadi kalau ada partai politik memasukan faham komunisme dalam pancasila pasti umat Islam menghancurkannya bersama TNI, jadi jelas Pancasila itu bukan Idiologi terbuka, sehingga pernyataan Bu Megawati yang mensitir Pancasila sebagai Idiologi terbuka adalah perlu dipertanyakan.

Berikut ada hal yang menarik terkait pandangan AHMAD DZAKIRIN Msc di Strategic Defense NTU Singapore, terkait pidato megawati diatas.

###Self Fulfilling Prophecy dan Sesat Pikir Penulis Naskah Pidato Megawati


Menyimak pidato Megawati ada beberapa sesat pikir (scientific fallacy) sang ketua PDIP yang hampir tidak tergantikan ini, diantaranya; penyebutan self fulfilling prophecy (ramalan tentang masa depan)

Tampak jelas jika penulis konsep pidato (dengan tidak memasukkan pembaca naskah karena saya yakin yang bersangkutan tidak paham apa yang dibacakannya) tidak mengetahui konsep teori “self fulfilling prophecy” secara benar.

Dia merupakan teori sosiologi positivistik yang dirumuskan Robert Merton. Teori ini berpijak kepada pandangan bahwa seseorang yang membayangkan kondisi sosial yang dialaminya nanti dan diyakininya, maka dia benar-benar akan menjalani atau mengalami keyakinan tersebut.

Merton dalam konteks ini berbicara bahwa kenyataan sosial (social reality) dapat menjadi konstruksi sosial (social construction). Dalam eksperimennya, Merton mendapati seorang perempuan (Roxanne) yang takut kalau bercerai dengan suaminya. Karena terus menerus dihantui perceraian, maka perilaku Roxanne justru mengarah atau akan menyebabkan perceraian.

Sebagai teori sosial alternatif, self fulfilling prophecy mengonstruksi lingkungan sosialnya berdasarkan persepsi yang dimilikinya. Jika Roxanne berpikir sebaliknya, maka perceraian tersebut dapat dihindarkan dan hidup mereka akan lebih bahagia. Kesimpulannya, manusia sendiri yang menjadi aktor kreatif yang akan membentuk lingkungan dan masa depannya sendiri.

Dimana letak kesalahannya:

Pertama, teori ini bukan teori agama dan tidak ada kaitannya dengan pandangan akhirat (“setelah dunia fana”). Hanya saja, sang pembaca naskah yang tidak paham atas apa yang dibacanya memaksa mengaitkan penyebutan teori sosiologi ini dengan urusan ramal meramal apalagi menyinggung urusan akhirat, yang cenderung dilihatnya dalam perspektif atheistik (antara ada dan tidak ada).

Kedua, Dalam konsep konstruksi sosial Merton, penulis naskah ini tampaknya sedang membayangkan agama dalam konteks beban, ancaman dan bahaya yang bersifat destruktif. Gairah keagamaan umat dan para tokohnya di penghujung tahun secara stereotype dipandang sebagai eskpresi anti kebinekaan yang mengancam Pancasila. Alih-alih, menyederhanakan kasus yang tengah ditangani pengadilan ini, mereka justru menjadikannya rumit, bermusuhan dan ideologis sehingga tidak pelak menciptakan masalah baru.

Dan tentu, jika mereka terus menerus mengeksploitasi ketakutan terhadap “kegairahan agama”, sama seperti yang pernah dilakukan sang suami,Taufik Kiemas di RSIS Singapura pada 2007, maka saya juga patut khawatir dengan seorang pemimpin yang memiliki konstruksi sosial “agama” seperti itu bagi masa depan negeri ini.

Jika itu yang diinginkan, masa saya nasehatkan: hati-hati dengan “self fulfilling prophecy” anda.