Bagaimana Pencabutan Gugatan Perdata Sebelum Masuk Tahap Pemeriksaan?

image
Bila Penggugat mencabut gugatannya di depan persidangan sebelum perkara diperiksa, apakah pencabutan tersebut harus diberitahukan kepada pihak Tergugat?

Dasar Hukum Pencabutan Gugatan

M. Yahya Harahap dalam bukunya Hukum Acara Perdata (hal. 81) mengatakan bahwa salah satu permasalahan hukum yang mungkin timbul dalam proses berperkara di pengadilan adalah pencabutan gugatan. Pihak penggugat mencabut gugatan sewaktu atau selama proses pemeriksaan berlangsung. Alasannya bervariasi, mungkin disebabkan gugatan yang diajukan tidak sempurna atau dasar dalil gugatan tidak kuat atau dalil gugatan bertentangan dengan hukum, dan lainnya.

Yahya Harahap (Ibid, hal. 81-82) lebih lanjut menjelaskan bahwa sebenarnya Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (“HIR”) maupun Rechtreglement voor de Buitengewesten (“RBG”) tidak mengatur soal pencabutan gugatan. Karena kekosongan tersebut, perlu dicari landasan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan. Landasan hukum yang dianggap valid terdiri dari:

Pasal 271 dan Pasal 272 Reglement of de Rechtsvordering (“Rv”)
Meskipun Rv tidak berlaku, dalam masalah tertentu masih perlu dipedomani sesuai dengan prinsip process doelmatigheid (kepentingan beracara) atau process orde (ketertiban beracara) apabila tentang hal itu tidak diatur dalam HIR dan RBG; dan

Yurisprudensi
Selain ketentuan Pasal 271 dan 272 Rv, hakim dapat mempergunakan yurisprudensi sebagai pedoman atau rujukan. Meskipun di Indonesia tidak menganut sistem preseden, hal itu tidak melarang hakim mengikuti putusan peradilan terdahulu (previous decision) secara liberal dan rasional.
Pencabutan Gugatan Selama Pemeriksaan Belum Berlangsung

Yahya menjelaskan bahwa pencabutan gugatan merupakan hak yang melekat pada diri penggugat. Terkait hal ini, soal pencabutan gugatan selama pemeriksaan belum berlangsung (hal. 82-83), penerapannya berpedoman pada ketentuan Pasal 271 Rv alinea pertama, yang menegaskan:

Penggugat dapat mencabut perkaranya;
Dengan syarat, pencabutan perkara dilakukan sebelum tergugat menyampaikan jawaban.
Penyampaian jawaban dalam proses pemeriksaan perdata berlangsung pada tahap sidang pertama atau sidang kedua atau sidang berikutnya apabila pada sidang-sidang yang lalu diundur tanpa menyampaikan jawaban dari pihak tergugat. Dalam hal yang seperti ini, meskipun para pihak telah hadir di persidangan, dianggap pemeriksaan belum berlangsung selama tergugat belum menyampaikan jawaban. Dalam keadaan demikian, hukum memberi hak penuh kepada penggugat mencabut gugatan tanpa persetujuan pihak tergugat.[1]

Lebih lanjut Yahya menjelaskan bahwa memang hak mencabut yang paling murni dan mutlak apabila proses yang terjadi:[2]

Baru pada tahap pendaftaran dan pendistribusian kepada majelis, dan
Proses belum berlanjut pada tahap pemanggilan.
Dalam tahap proses yang seperti ini, pencabutan gugatan benar-benar mutlak menjadi hak penuh penggugat Akan tetapi, perluasan hak itu dapat meningkat sampai tahap selama tergugat belum mengajukan jawaban, penggugat mutlak berhak mencabut gugatan. Hal ini selain berpedoman pada Pasal 271 Rv, juga didukung praktik peradilan. Antara lain dapat dikemukakan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1841 K/Pdt/1984 yang menegaskan:[3]

Selama proses pemeriksaan perkara di persidangan belum berlangsung, penggugat berhak mencabut gugatan tanpa persetujuan tergugat,
Setelah proses pemeriksaan berlangsung, pencabutan masih boleh dilakukan, dengan syarat harus ada persetujuan pihak tergugat.
Haruskah Pencabutan Gugatan Diberitahukan kepada Tergugat?

Pencabutan gugatan yang belum diperiksa dilakukan dengan surat sebagaimana diatur dalam Pasal 272 Rv yang berbunyi:

Pencabutan instansi dapat dilakukan di dalam sidang pengadilan jika semua pihak-hadir secara pribadi atau pengacara-pengacara mereka yang mendapat surat kuasa untuk itu, atau dengan kuasa yang sama diberitahukan dengan akta sederhana oleh pengacara pihak satu kepada pengacara pihak lawan.

Pencabutan instansi dapat diterima dengan cara yang sama.

Pencabutan instansi membawa akibat demi hukum bahwa:

  1. semua pada kedua belah pihak dikembalikan kepada keadaan yang sama seperti sebelum diajukan gugatan; (KUHPerd. 1979, 1981,)

  2. pihak yang mencabut gugatannya berkewajiban membayar biaya perkara yang harus dilakukan berdasarkan surat perintah Ketua yang ditulis menurut penaksiran besamya biaya. (Rv. 58 dst., 607 dst.)

surat perintah ini dapat dilaksanakan segera. (Rv. 54. dst., 246, 334,)

Sejalan dengan pasal di atas, Yahya (Ibid, hal. 85-86) menjelaskan pencabutan dapat dilakukan penggugat dengan cara berikut:

Pencabutan Dilakukan dengan Surat:
Ditujukan dan disampaikan kepada Ketua Pengadilan Negeri (“PN”)
Berisi penegasan pencabutan gugatan. Pencabutan yang dilakukan dengan lisan pada prinsipnya tidak sah dan harus ditolak. Akan tetapi dapat juga dibenarkan dengan syarat:
Pencabutan dilakukan di depan Ketua PN atau panitera.
Atas pencabutan itu dibuat akta pencabutan yang ditandatangani penggugat dan Ketua PN atau panitera.
Tujuan utama pencabutan harus berbentuk surat atau akta agar tercipta dan terbina kepastian hukum (legal certainty) dan sekaligus menjadi bukti tentang kebenaran pencabutan.

Ketua Pengadilan Negeri Menyelesaikan Administrasi Yustisial atas Pencabutan:
Dalam hal panggilan sidang belum disampaikan kepada tergugat, Ketua PN cukup memerintahkan panitera mencoret perkara dari buku register;
Apabila panggilan sudah disampaikan kepada tergugat, tindakan administrasi yustisial yang mesti diselesaikan Ketua PN atau majelis tersebut adalah:
Memerintahkan juru sita menyampaikan pemberitahuan pencabutan kepada tergugat;
Pemberitahuan pencabutan dapat disampaikan pada hari sidang yang ditentukan;
Memerintahkan panitera melakukan pencoretan perkara dari buku register.