Beberapa tokoh sosiologi konflik yang menganut mazhab positivis diantaranya sebagai berikut :
a. Dahrendorf (Dialektika Konflik Kekuasaan)
Ralf Dahrendorf berbicara tentang konflik antara kelompok-kelompok terkoordinasi (imperatively coordinated association), elite dominan dan manajemen pekerja. Bagi Dahrendorf, wajah masyarakat tidak selalu dalam kondisi terintegrasi, harmonis dan saling memenuhi melainkan ada wajah lain yang memperlihatkan konflik dan perubahan. Baginya, pelembagaan melibatkan dunia kelompok-kelompok terkoordinasi yang mewakili peran-peran organisasi yang dapat dibedakan. Organisasi ini dikarakteri oleh hubungan kekuasaan dengan beberapa kelompok peranan mempunyai kekuasaan memaksakan atas yang lain. Apabila dalam paradigma struktural fungsional menjelaskan bahwa organisasi sosial terbentuk atas konsensus bersama, maka dalam sudut pandang Dahrendorf organisasi sosial dapat bersama karena keterpaksaan.
Bagi Dahrendorf, konflik hanya muncul melalui relasi-relasi sosial dalam sistem. Setiap individu atau kelompok yang tidak terhubung dalam sistem tidak akan mungkin terlibat dalam konflik. Relasi-relasi sosial dalam struktur sosial ditentukan oleh kekuasaan. Kekuasaan yang dimaksud Dahrendorf adalah kekuasaan kontrol dan sanksi sehingga memungkinkan mereka yang memiliki kekuasaan memberi berbagai perintah dan mendapatkan apa yang mereka inginkan dari mereka yang tidak memiliki kekuasaan. Dalam hal ini, kekuasaan dalam masyarakat modern dan industrial dapat diterjemahkan sebagai wewenang.
Dahrendorf melihat wewenang adalah:
-
Relasi wewenang selalu bersifat antara super dan subordinasi
-
Di mana ada relasi-relasi wewenang, kelompok-kelompok superordinasi selalu
diharapkan mengontrol perilaku kelompok-kelompok subordinasi melalui permintaan dan perintah serta peringatan dan larangan
-
Berbagai harapan tertanam relatif permanen dalam posisi sosial individu
-
Kekuasaan superordinasi selalu melibatkan spesifikasi subjek-subjek perorangan untuk mengontrol dan spesifikasi dari ruang sosial di mana kontrol mungkin dilakukan
-
Wewenang menjadi hubungan terlegitimasi, tanpa protes dengan perintah-perintah otoritatif dapat diberi sanksi; sesungguhnya ini merupakan fungsi sebenarnya dari sistem legal untuk mendukung pemberlakuan wewenang yang memiliki legitimasi
Saat kekuasaan merupakan tekanan (coersive), kekuasaan dalam hubungan kelompok- kelompok terkoordinasi ini memeliharanya menjadi legitimate dan oleh sebab itu dapat dilihat sebagai hubungan otoritas di mana beberapa posisi mempunyai hak normatif untuk menentukan atau memperlakukan yang lain. Sehingga kekuasaan dan wewenang adalah sumber langka yang menbuat kelompok-kelompok saling bersaing dan berkelahi. Contohnya di sebuah perusahaan, mereka yang berada di posisi subordinat atau yang dikuasai menyadari ketertindasan mereka. Namun mereka masih belum memiliki kepentingan untuk mengubah posisi subordinat tersebut. Pada dasarnya mereka hanya memiliki kepentingan semu (latent interest).
Kepentingan semu berada di level individu, tersimpan di bawah sadar. Namun, kepentingan semu ini tersebar pada mereka yang merasa ditindas sebagai kelompok subordinat sehingga menciptakan kelompok semu pula (quasi group). Dahrendorf memberi beberapa kondisi sosiologis agar formasi kepentingan laten bisa menjadi kelompok kepentingan manifes yakni 1) dalam kelompok laten terdapat pemimpin yang berani dengan hubungan konflik; 2) kelompok memiliki ideologi konflik; 3) para anggota kelompok laten memiliki kebebasan untuk mengorganisasi konflik; 4) memiliki anggota-anggota yang komitmen dan berkomunikasi di antara sesama
Dalam kajian tentang konflik, Dahrendorf juga memberikan ide tentang adanya resolusi konflik. Resolusi konflik dapat terjadi jika terdapat redistribusi kekuasaan atau wewenang dan menjadikan konflik tersebut sebagai sumber dari perubahan dalam sistem sosial. Redistribusi kekuasaan dan wewenang merupakan pelembagaan dari kelompok peranan baru yang mengatur versus kelompok peranan yang diatur sehingga dalam kondisi khusus kontes perebutan wewenang yang tidak merata akan kembali muncul dengan inisiatif kelompok kepentingan yang ada. Dari sini dapat disimpulkan bahwa kenyataan sosial merupakan siklus tak berakhir dari adanya konflik wewenang dalam bermacam-macam tipe kelompok terkoordinasi. Dahrendorf menyebut teori konfliknya sebagai sosiologi konflik dialektis yang menjelaskan proses terus-menerus distribusi kekuasaan dan wewenang di antara kelompok-kelompok terkoordinasi.
b. Lewis Coser (Fungsi Positif Konflik)
Terdapat kontribusi penting Coser dalam sosiologi konflik yakni 1) pendapatnya mengenai konflik sosial sebagai suatu hasil dari faktor-faktor lain dari perlawanan kelompok kepentingan; 2) memperlihatkan konsekuensi konflik dalam stabilitas dan perubahan sosial. Coser memperlihatkan bagaimana konflik memiliki fungsi terhadap sistem sosial. Ia menolak pandangan bahwa hanya konsensus dan kerja sama yang memiliki fungsi terhadap integrasi sosial. Kohesi kelompok merupakan salah satu konsekuensi dari fungsi konflik. Menurut Coser, konflik tidak hanya berwajah negatif. Konflik memiliki fungsi positif terhadap masyarakat melalui perubahan-perubahan sosial yang diakibatkannya. Namun demikian bagi Coser, konflik yang disembunyikan tidak akan memberi efek positif.
Coser mempunyai pendapat yang sama dengan Simmel dalam melihat unsur dasar konflik yakni hostile feeling (rasa benci/bermusuhan). Namun bagi Coser, hostile feeling belum tentu menyebabkan konflik terbuka sehingga Coser menambahkan unsur perilaku permusuhan (hostile behavior) yang menyebabkan masyarakat mengalami situasi konflik. Terdapat 2 tipe dasar konflik yakni konflik realistis dan nonrealistis. Konflik realistis memiliki sumber yang konkret atau bersifat material seperti perebutan sumber ekonomi atau wilayah. Sedangkan konflik non realistis didorong oleh keinginan yang tidak rasional dan cenderung bersifat ideologis contohnya adalah konflik antar-agama, antaretnis dan lain sebagainya. Di antara 2 tipe dasar konflik, konflik yang non realistislah yang cenderung sulit untuk ditemukan resolusi konflik, konsensus dan perdamaian tidak akan mudah diperoleh. Bagi Coser, sangat memungkinkan bahwa konflik melahirkan kedua tipe ini sekaligus sehingga menghasilkan situasi konflik yang lebih kompleks.
Coser juga memberikan perhatian pada adanya konflik eksternal dan internal. Konflik eksternal mampu menciptakan dan memperkuat identitas kelompok. Konflik eksternal akan menjadi proses refleksi kelompok-kelompok identitas mengenai kelompok di luar mereka sehingga meningkatkan partisipasi setiap anggota terhadap kelompoknya. Sedangkan konflik internal memberi fungsi positif terhadap kelompok identitas mengenai adanya kesalahan perilaku. Misalnya terdapat perilaku anggota yang dianggap menyimpang dari norma kelompok sehingga perlu dikoreksi oleh kelompok tersebut. konflik internal juga merupakan mekanisme bertahan dari eksistensi suatu kelompok.
Seperti yang diungkap dalam buku The Functions of Social Conflict, Coser meyakini bahwa konflik merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial. Tentu dengan catatan: harus ada semacam katup penyelamat (savety valve) yang memfungsikan konflik tersebut secara positif. Dengan pengalaman Lewis Coser yang selama puluhan tahun hanya setia mengkaji konflik, tentu ia tidak mengesampingkan adanya sifat destruktif yang melekat di setiap konflik. Oleh karenanya, dia kemudian mengungkapkan pentingnya safety valve (katup penyelamat) sebagai mekanisme yang dapat dipakai untuk mempertahankan suatu kelompok dari kemungkinan terjadinya konflik sosial negatif (baca: destruktif) dengan kelompok lain.
Katup penyelamat bisa dianalogikan semacam pentil roda, di mana ia bisa membuka dan menutup arus angin yang masuk ke dalam rodanya. Ketika dia melakukan tugasnya dengan tepat, roda itu akan pas terisi angin, tapi jika tidak, roda sepeda akan meledak atau setidaknya mudah bocor di mana-mana. Begitu juga dengan konflik, tidak dipungkiri kita butuh konflik untuk mempertajam nilai-nilai dalam kelompok, tapi ketika konflik tersebut sudah berlebihan kita perlu meredam dan mengurangi tekanannya.
c. Wehr dan Bartos (Tindakan Koersif dan Fase Konflik)
Otomar J. Bartos dan Paul Wehr mendefinisikan konflik sebagai “situasi pada saat para aktor menggunakan perilaku konflik melawan satu sama lain untuk menyelesaikan tujuan yang berseberangan atau mengekspresikan naluri permusuhan”. Bartos dan Wehr memasukkan unsur perilaku konflik sebagai unsur pemicu konflik. Perilaku konflik merupakan berbagai bentuk perilaku yang diciptakan oleh seseorang atau kelompok untuk membantu mencapai apa yang menjadi tujuan atau mengekspresikan permusuhan pada musuh atau pesaing mereka.
Perilaku konflik dibagi menjadi tindakan koersif dan non koersif. Tindakan koersif merupakan bentuk tindakan sosial yang memaksa pihak lawan untuk melakukan sesuatu yang pihak lawan tidak ingin melakukannya. Tindakan koersif terbagi menjadi dua yakni koersi nyata dan koersi ancaman. Koersi nyata muncul dalam bentuk melukai atau membunuh lawan, selain itu bisa juga dalam bentuk penyiksaan psikologis yang menghasilkan luka simbolis. Tujuan utama dari koersi nyata adalah menghentikan kemampuan lawan untuk meneruskan konflik. Sedangkan koersi ancaman bertujuan menekankan agar lawan menurunkan keinginan mencapai tujuan pada tingkat tertentu. Bentuk koersi ini muncul dalam bentuk intimidasi dan negosiasi sekaligus. Tindakan non koersif adalah upaya mencari jalan keluar dari hubungan konflik.
Terdapat 3 model tindakan non koersif yakni persuasi, menjanjikan penghargaan dan murni kerja sama. Tingkat tindakan koersif ketika berada dalam suatu hubungan konflik akan menciptakan dinamika konflik. Dinamika konflik ditandai terlebih dahulu oleh fase-fase konflik yang terbagi menjadi 2 yaitu fase solidaritas konflik dan fase sumber-sumber konflik. Solidaritas konflik adalah terciptanya konflik, menuju kompleksitas, melalui keterlibatan individu-individu yang lain. Proses ini berlangsung melalui 3 proses yaitu terdapat interaksi individu-individu anggota secara intensif, ada rasa suka terhadap anggota yang lain dan jika terdapat kesamaan kepercayaan, nilai-nilai dan norma. Ketiga, proses ini akan teraktualisasikan, dipicu oleh adanya fakta kekejian. Ada dua bentuk kekejian yaitu frustasi dan keluhan. Solidaritas konflik dicirikan oleh beroperasinya ideologi dalam kelompok, memberi doktrin dan semangat perlawanan. Selanjutnya terdapat pengorganisasian anggota dan struktur sehingga bisa dirumuskan berbagai strategi konflik. Kemudian yang terakhir adalah mobilisasi massa dengan mengefektifkan seluruh sumber dayanya untuk memenangkan konflik.
Fase selanjutnya adalah sumber konflik yakni proses kelompok-kelompok berkonflik memanfaatkan atau menyiapkan instrumen tertentu untuk menghadapi konflik. Sumbangan Wehr dalam sosiologi konflik adalah perhatiannya dalam dinamika konflik yaitu kondisi yang ditandai oleh eskalasi dan deeskalasi konflik. Eskalasi konflik adalah meningkatnya berbagai tindakan koersif kedua belah pihak yang berkonflik sehingga aksi kekerasan timbal-balik bisa muncul dalam situasi ini. Eskalasi konflik selalui ditandai dan disebabkan oleh meningkatnya aktivitas solidaritas konflik, pergerakan sumber daya konflik dan eskalasi strategis. Strategi eskalasi adalah respon rasional dari satu pihak berkonflik yang melihat tindakan-tindakan lawan. Sedangkan deeskalasi konflik akan muncul dengan ditandai dan disebabkan oleh penurunan aktivitas solidaritas konflik, sumberdaya konflik dan eskalasi strategis.
Referensi
Hastuti, D. R. (2018). Ringkasan Kumpulan Mazhab Teori Sosial. Makassar: Pustaka Taman Ilmu.
Susan, N. (2009). Pengantar Sosiologi Konflik Dan Isu-Isu Konflik Kontemporer. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Susan, N. (2019). Sosiologi Konflik : Teori-Teori dan Analisis Edisi Ketiga. Jakarta: Pranada Media Group.