Apa yang anda ketahui tentang pemikiran René Descartes?

René Descartes 690x320

René Descartes juga dikenal sebagai Cartesius, merupakan seorang filsuf dan matematikawan Perancis. Karyanya yang terpenting ialah Discours de la méthode (1637) dan Meditationes de prima Philosophia (1641).

Descartes, kadang dipanggil “Penemu Filsafat Modern” dan “Bapak Matematika Modern”, adalah salah satu pemikir paling penting dan berpengaruh dalam sejarah barat modern. Dia menginspirasi generasi filsuf kontemporer dan setelahnya, membawa mereka untuk membentuk apa yang sekarang kita kenal sebagai rasionalisme kontinental, sebuah posisi filosofikal pada Eropa abad ke-17 dan 18.

Descartes adalah filsuf Perancis yang dilahirkan pada tanggal 31 Maret 1596 M di wilayah Tourine, Perancis. Rene Descartes berhasil menemukan ilmu mekanika-analitik, dimana ia dapat mengungkapkan bentuk-bentuk mekanis dengan kode-kode ilmu aljabar. Ia adalah filosof perancis, ahli matematika dan santis yang mendapatkan pendidikan di sekolah jesuit. Ia menentang terhadap cara pendidikan yang pernah diterimanya dan mengemukakan akan penggunaan akal sebagai alat penyelidikan falsafi.

Descartes memegang bendera reformasi dan inovasi kajian filsafat abad XVII M. Ia melandaskan filsafatnya atas asas spontanitas dan keyakinan positif dalam matematika. Ia memanfaatkan metode matematis yang kaidah-kaidahnya dibatasi sendiri olehnya. Ia ingin menerapkan hal itu di semua cabang ilmu pengetahuan, agar terbukti adanya kecermatan dan keyakinan ilmu-ilmu matematis pada ilmu-ilmu lain tersebut. Demikianlah descartes mendeklarasikan trend rasionalisme pada masa modern. Trend inilah yang dulu dibawa plato pada zaman klasik, sehingga karena itulah descartes pantas mendapat julukan “Bapak Filsafat Eropa Modern”.

Pemikiran-Pemikiran Descartes antara lain:


1. Keraguan Sebelum Keyakinan

Descartes menciptakan metode keraguan yang ia gunakan untuk menguji pengetahuan- pengetahuannya yang lampau, dimana ia bisa memilih yang benar dan menghindari yang salah. Karena itulah anda menemukannya meragukan pengetahuan kita terhadap segala hal. Ia mengatakan bahwa indra menipu kita dan kebenaran-kebenaran umum yang kita klaim sesungguhnya mempunyai efek (kesan) fantasi dan keraguan. Bahkan lebih jauh lagi, kita sering salah dalam pembuktian dan penetapan hukum. Sesuatu yang dapat dilintas oleh kesalahan, maka hilanglah keyakinan darinya.

Dibalik metode keraguan yang diciptakan Descartes, ada tujuan untuk sampai kepada keyakinan. Ia menamakannya dengan Keraguan Metodologis. Descartes menjadikannya sebagai sebuah metode atau cara untuk membebaskan akal dari segala kesalahan. Menurut descartes, otak kita sangat mirip dengan sebuah ranjang yang dipenuhi buah-buah apel. Ada yang bagus ada yang busuk. Cara untuk membersihkannya adalah dengan mengeluarkan apel-apel itu dari ranjang tersebut dan memulai memilih yang bagus satu demi satu untuk dimasukkan kembali ke dalam ranjang. Dengan demikian, kita dapat terbebas dari yang busuk dan menjaga yang bagus.

2. Wujud Jiwa

Sesungguhnya, keraguan terhadap segala sesuatu dalam pengetahuan kita dapat menyampaikan kita kepada sebuah kebenaran yang tidak diragukan. Maka, manakala aku meragukan bahwa aku sedang melakukan kerja berpikir dan kerja berpikir ini mesti ada supaya aku bisa berpikir. Begitulah descartes mengucapkan ungkapan terkenalnya cogito ergo sum (aku berpikir, maka aku ada). Disini kita melihat bahwa descartes menetapkan wujud jiwa dan bukan badan, karena descartes berbicara tentang zat yang berpikir, bukan badan yang dapat diindera.

3. Bukti adanya Tuhan (Allah)

Rene Descartes mencoba membuktikan eksistensi tuhan (Allah) dengan tiga bukti. Bukti pertama, disini Descartes meminjam metode keraguan, dengan urutan sebagai berikut:

  • Keraguan adalah bukti bahwa manusia menyadari bahwa dirinya bersifat kurang dan terbatas.

  • Manusia tidak akan menyadari kekurangan yang ada pada dirinya kecuali jika ia memiliki ide (konsep) tentang “kesempurnaan) dan ide (konsep) tentang “eksistensi yang betul-betul sempurna”.

  • Konsep tentang “kesempurnaan” mampu diwujudkan oleh manusia dalam dirinya, karena dirinya adalah eksistensi yang bersifat kurang dan sesuatu yang kurang tidak bisa menjadi sumber dari sesuatu yang sempurna.

  • Konsep tentang kesempurnaan diletakkan dalam jiwa kita oleh suatu eksistensi yang sungguh sempurna, yaitu allah.

Bukti kedua, dinamakannya dengan bukti Ontologis-Eksistensialis. Descartes memaparkannya sebagai berikut: “Ketika pikiran memilah-milah pelbagai konsep dan gambaran yang ada padanya, maka diantara berbagai konsep dan gambaran itu, ia akan menemukan konsep tentang “eksistensi yang maha tahu dan maha kuasa di atas segala sesuatu”. Sesuai dengan apa yang diperolehnya dari ide tersebut, maka dengan mudah pikirannya memutuskan bahwa allah adalah wujud yang sempurna itu.

Meskipun pikiran mempunyai konsep-konsep khusus yang berkaitan dengan banyak entitas lain, namun selamanya ia tidak akan melihat entitas yang meyakinkan tentang eksistensi obyek- obyek dalam konsep-konsep tersebut. Adapun pada konsep tentang eksistensi yang sempurna ini, pikiran bukan hanya melihat adanya kemungkinan eksistensi, seperti halnya konsep-konsep pikiran tentang sesuatu yang lain. Bahkan, ia melihat adanya eksistensi azali-abadi yang mesti ada.

Bukti ketiga, disini ia berpegang pada pembuktian yang lalu tentang adanya jiwa. Jika jiwa ada, maka bukanlah aku yang menciptakannya. Karena seandainya aku yang menciptakan jiwaku, aku pasti akan memberinya kesempurnaan yang aku inginkan. Dengan demikian, jiwa kita adalah akibat dari sebuah sebab lain, yaitu Allah. Seandainya aku mengembalikan wujudku kepada eksistensi selain Allahy, maka terpaksa aku akan membentuk rangkaian sebab-akibat hingga sampai kepada sebab pertama.

4. Wujud Alam Luar

Dalam alam luar, kita menemukan banyak objek melalui indera, dimana descartes meragukan apa yang disaksikann oleh (indera). akan tetapi menurut descartes, akal kita memiliki kesiapan untuk menerima objek-objek itu. karena kita sudah menetapkan keabsahan pengetahuan kita dengan eksistensi Allah, maka allah-lah yang memberikan jaminan kepada kita akan kebenaran yang ada di hadapan akal, karena kebaikan allah akan amaencegahnya untuk memberikan kita akal yang menyesatkan. demikianlah descartes menegaskan kepada kita bahwa alam itu “ada” seperti yang kita lihat.

Usaha manusia untuk memberi kemandirian kepada akal sebagaimana yang telah dirintis oleh para pemikir renaisans, masih berlanjut terus sampai abad ke-17. Abad ke-17 adalah era dimulainya pemikiran-pemikiran kefilsafatan dalam artian yang sebenarnya. Semakin lama manusia semakin menaruh kepercayaan yang besar terhadap kemampuan akal, bahkan diyakini bahwa dengan kemampuan akal segala macam persoalan dapat dijelaskan, semua permasalahan dapat dipahami dan dipecahkan termasuk seluruh masalah kemanusiaan.

Keyakinan yang berlebihan terhadap kemampuan akal telah berimplikasi kepada perang terhadap mereka yang malas mempergunakan akalnya, terhadap kepercayaan yang bersifat dogmatis seperti yang terjadi pada abad pertengahan, terhadap norma-norma yang bersifat tradisi dan terhadap apa saja yang tidak masuk akal termasuk keyakinan-keyakinan dan serta semua anggapan yang tidak rasional.

Dengan kekuasaan akal tersebut, orang berharap akan lahir suatu dunia baru yang lebih sempurna, dipimpin dan dikendalikan oleh akal sehat manusia. Kepercayaan terhadap akal ini sangat jelas terlihat dalam bidang filsafat, yaitu dalam bentuk suatu keinginan untuk menyusun secara a priori suatu sistem keputusan akal yang luas dan tingkat tinggi. Corak berpikir yang sangat mendewakan kemampuan akal dalam filsafat dikenal dengan nama aliran rasionalisme.

Pada zaman modern filsafat, tokoh pertama rasionalisme adalah Rene Descartes (1595-1650). Tokoh rasionalisme lainnya adalah Baruch Spinoza (1632-1677) dan Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716). Descartes dianggap sebagai Bapak Filsafat Modern. Menurut Bertrand Russel, kata “Bapak” pantas diberikan kepada Descartes karena dialah orang pertama pada zaman modern itu yang membangun filsafat berdasarkan atas keyakinan diri sendiri yang dihasilkan oleh pengetahuan akliah.

Dia pula orang pertama di akhir abad pertengahan yang menyusun argumentasi yang kuat dan tegas yang menyimpulkan bahwa dasar filsafat haruslah akal, bukan perasaan, bukan iman, bukan ayat suci dan bukan yang lainnya. Hal ini disebabkan perasaan tidak puas terhadap perkembangan filsafat yang amat lamban dan banyak memakan korban. Ia melihat tokoh-tokoh Gereja yang mengatasnamakan agama telah menyebabkan lambannya perkembangan itu. Ia ingin filsafat dilepaskan dari dominasi agama Kristen, selanjutnya kembali kepada semangat filsafat Yunani, yaitu filsafat yang berbasis pada akal.

Descartes sangat menyadari bahwa tidak mudah meyakinkan tokoh-tokoh Gereja bahwa dasar filsafat haruslah rasio. Tokoh-tokoh Gereja waktu itu masih berpegang teguh pada keyakinan bahwa dasar filsafat haruslah iman sebagaimana tersirat dalam jargon credo ut intelligam yang dipopulerkan oleh Anselmus. Untuk meyakinkan orang bahwa dasar filsafat haruslah akal, ia menyusun argumentasinya dalam sebuah metode yang sering disebut cogito Descartes , atau metode cogito saja. Metode tersebut dikenal juga dengan metode keraguan Descartes (Cartesian Doubt).

Lebih jelas uraian Descartes tentang bagaimana memperoleh hasil yang sahih dari metode yang ia canangkan dapat dijumpai dalam bagian kedua dari karyanya Anaximenes Discourse on Methode yang menjelaskan perlunya memperhatikan empat hal berikut ini:

  1. Tidak menerima sesuatu apa pun sebagai kebenaran, kecuali bila saya melihat bahwa hal itu sungguh-sungguh jelas dan tegas, sehingga tidak ada suatu keraguan apa pun yang mampu merobohkannya.

  2. Pecahkanlah setiap kesulitan atau masalah itu sebanyak mungkin bagian, sehingga tidak ada suatu keraguan apa pun yang mampu merobohkannya.

  3. Bimbinglah pikiran dengan teratur, dengan memulai dari hal yang sederhana dan mudah diketahui, kemudian secara bertahap sampai pada yang paling sulit dan kompleks.

  4. Dalam proses pencarian dan penelaahan hal-hal sulit, selamanya harus dibuat perhitungan-perhitungan yang sempurna serta pertimbangan-pertimbangan yang menyeluruh, sehingga kita menjadi yakin bahwa tidak ada satu pun yang terabaikan atau ketinggalan dalam penjelajahan itu.

Atas dasar aturan-aturan itulah Descartes mengembangkan pikiran filsafatnya. Ia meragukan segala sesuatu yang dapat diragukan. Pertama-tama ia mulai meragukan hal-hal yang berkaitan dengan panca indera. Ia meragukan adanya badannya sendiri. Keraguan itu dimungkinkan karena pada pengalaman mimpi, halusinasi, ilusi dan pengalaman tentang roh halus, ada yang sebenarnya itu tidak jelas. Pada keempat keadaan itu seseorang dapat mengalami sesuatu seolah-olah dalam keadaan yang sesungguhnya. Di dalam mimpi, seolah-olah seseorang mengalami sesuatu yang sungguh-sungguh terjadi, persis seperti tidak mimpi. Begitu pula pada pengalaman halusinasi, ilusi dan hal gaib. Tidak ada batas yang tegas antara mimpi dan jaga.
Oleh karena itu, Descartes berkata, ”Aku dapat meragukan bahwa aku di sini sedang siap untuk pergi ke luar; ya, aku dapat meragukan itu karena kadang-kadang aku bermimpi persis sepeti itu, padahal aku ada di tempat tidur sedang bermimpi”.

Jadi, siapa yang dapat menjamin bahwa yang sedang kita alami sekarang adalah kejadian yang sebenarnya dan bukan mimpi?

Pada langkah pertama ini Descartes berhasil meragukan semua benda yang dapat diindera. Sekarang , apa yang dapat dipercaya dan yang sungguh-sungguh ada? Menurut Descartes, dalam keempat keadaan itu (mimpi, halusinasi, ilusi dan hal gaib), juga dalam jaga, ada sesuatu yang selalu muncul. Ada yang selalu muncul baik dalam jaga maupun dalam mimpi, yaitu gerak, jumlah dan besaran (volume). Ketiga hal tersebut adalah matematika. Untuk membuktikan ketiga hal ini benar-benar ada, maka Descartes pun meragukannya. Ia mengatakan bahwa matematika bisa salah. Saya sering salah menjumlah angka, salah mengukur besaran, demikian pula pada gerak. Jadi, ilmu pasti pun masih dapat saya ragukan, meskipun matematika lebih pasti dari benda. Kalau begitu, apa yang pasti itu dan dapat kujadikan dasar bagi filsafatku? Aku ingin yang pasti, yang distinct.

Sampailah ia sekarang kepada langkah ketiga dalam metode cogito. Satu-satunya hal yang tak dapat ia ragukan adalah eksistensi dirinya sendiri yang sedang ragu-ragu. Mengenai satu hal ini tidak ada satu manusia pun yang dapat menipunya termasuk setan licik dan botak sekali pun. Bahkan jika kemudian ia disesatkan dalam berpikir bahwa dia ada, maka penyesatan itu pun bagi Descartes merupakan bukti bahwa ada seseorang yang sedang disesatkan. Ini bukan khayalan, melainkan kenyataan. Batu karang kepastian Descartes ini diekspresikan dalam bahasa latin cogito ergo sum (saya berpikir, karena itu saya ada).

Dalam usaha untuk menjelaskan mengapa kebenaran yang satu (saya berpikir, maka saya ada) adalah benar, Descartes berkesimpulan bahwa dia merasa diyakinkan oleh kejelasan dan ketegasan dari ide tersebut. Di atas dasar ini dia menalar bahwa semua kebenaran dapat kita kenal karena kejelasan dan ketegasan yang timbul dalam pikiran kita:” Apa pun yang dapat digambarkan secara jelas dan tegas adalah benar.

Dengan demikian, falsafah rasional mempercayai bahwa pengetahuan yang dapat diandalkan bukanlah turunan dari dunia pengalaman melainkan dari dunia pikiran. Descartes mengakui bahwa pengetahuan dapat dihasilkan oleh indera, tetapi karena dia mengakui bahwa indera itu bisa menyesatkan seperti dalam mimpi atau khayalan, maka dia terpaksa mengambil kesimpulan bahwa data keinderaan tidak dapat diandalkan.

Cogito ergo sum dianggap sebagai fase yang paling penting dalam filsafat Descartes yang disebut sebagai kebenaran filsafat yang pertama (primum philosophium). Aku sebagai sesuatu yang berpikir adalah suatu substansi yang seluruh tabiat dan hakikatnya terdiri dari pikiran dan keberadaannya tidak butuh kepada suatu tempat atau sesuatu yang bersifat bendawi.

Untuk menguatkan gagasannya, ia mengemukakan ide-ide bawaan (innate ideas). Descartes berpendapat bahwa dalam dirinya terdapat tiga ide bawaan yang telah ada pada dirinya sejak lahir, yaitu pemikiran, Tuhan dan keluasan. Argumen tentang ide bawaan tersebut adalah ketika saya memahami diri saya sebagai makhluk yang berpikir, maka harus diterima bahwa pemikiran merupakan hakikat saya. Ketika saya mempunyai ide sempurna, maka pasti ada penyebab sempurna bagi ide tersebut, karena akibat tidak mungkin melebihi penyebabnya. Wujud yang sempurna itu tidak lain adalah Tuhan. Adapun alasan tentang keluasan karena saya mengerti ada materi sebagai keluasan, sebagaimana diketahui dan dipelajari dalam ilmu geometri.

Mengenai substansi, Descartes menyimpulkan bahwa selain dari Tuhan ada dua substansi, yaitu jiwa yang hakikatnya adalah pemikiran dan materi yang hakikatnya adalah keluasan. Tetapi, karena Descartes telah menyangsikan adanya dunia di luar dirinya, maka ia kesulitan membuktikan adanya dunia luar tersebut. Bagi Descartes, satu-satunya alasan untuk menerima adanya dunia luar adalah bahwa Tuhan akan menipu saya sekiranya Ia memberi ide keluasan. Namun tidak mungkin Tuhan sebagai wujud yang sempurna akan menipu saya. Jadi, di luar saya benar-benar ada dunia material.