Bagaimana pemikiran politik J.J Rosseau?

http://images.slideplayer.es/3/1486129/slides/slide_8.jpg

Jean Jacques Rosseau termasuk pemikir filsafat terkemuka di dalam peradaban Eropa. Ia bersama Thomas Hobbes, John Locke, dan Montesquieu, merupakan pemikir yang mengembangkan gagasan mengenai kontrak sosial, yaitu ikatan antarindividu terkait kehidupan politiknya.

Yang menarik dari Rosseau adalah ia adalah pemikir yang secara tegas menggunakan istilah Kontrak Sosial, dan ini merupakan hal unik mengingat pemikir lainnya tidak secara tegas menggunakan istilah ini, melainkan menggunakan istilah compact atau covenant, seperti halnya Thomas Hobbes dan John Locke.
Terkait esensi manusia, maka ada dua konsep penting, yaitu Original Sin dan Savage Man.

Original Sin merupakan penafsiran ulang dari Rosseau mengenai hakikat manusia. Rosseau menyakini bahwa pada hakikatnya manusia tercipta secara bebas di awal penciptaannya di Surga. Namun, kemudian manusia terusir dari Taman Eden ini karena ketamakan, dan ketamakan inilah yang menurut Rosseau adalah the original sin.

Rosseau melihat original sin muncul karena manusia mengenal peradaban, dengan peradaban pertama adalah keluarga, sehingga karena ketamakannya, manusia menjadi terusir dari surga. Namun, berbeda dengan para pemikir protestan lainnya, Rosseau menilai saat manusia turun ke Bumi, maka ia dalam kondisi bebas. Manusia yang turun ke bumi ini adalah makhluk yang bebas, dengan kehidupan yang sederhana, dan inilah yang kemudian disebutnya sebagai the savage man.

Kebutuhan hidup manusia semakin kompleks, maka manusia kemudian membentuk peradaban dengan tujuan untuk membantu kehidupannya, namun seiring semakin berkembangnya inovasi peradaban, maka manusia menjadi tergantung oleh peradaban, dan lebih jauh lagi, manusia mengaitkan esensi peradaban sebagai identitas diri. Maksudnya adalah manusia tidak lagi dikenal karena esensi dirinya sebagai manusia, namun dilihat dari kepunyaan dan simbolisasi peradaban itu sendiri. Maka, pada akhirnya, manusia merasakan keraguan dalam menjalani kehidupannya, dan ia terpenjara oleh peradaban itu sendiri. Kedua gagasan ini menjadi alat kritikan Rosseau terhadap situasi kemunduran manusia.

Gagasan Original Sin, ia tujukan kepada kalangan borjuasi di Eropa yang telah menjadikan ekonomi tidak lagi sebagai sistem yg membantu manusia memenuhi kebutuhan fisiknya, namun menjadikannya sebagai sistem yg terfokus kepada keuntungan. Pandangan Rosseau ini kemudian berpengaruh terhadap pemikiran politiknya. Bagi Rosseau, politik yang memanusiakan manusia adalah politik atau kekuasaan yang berpihak pada kepentingan bersama, atau the common good. Kritikan ia yang keras kepada kalangan borjuasi pada dasarnya merupakan kritikan terhadap kepentingan partikular.

Menurut Rosseau, suatu negara memiliki kekuasaan yang baik adalah yang mampu mengutamakan the common good, dan gagasan ini sejalan dengan pemikiran Thomas Aquinas, seorang tokoh gereja dan termasuk penggagas humanisme, yaitu mengenai Bonne Commune.

Rosseau menempatkan individu-individu bebas ini selalu mengutamakan kepentingan bersama, dan meminimalisasikan kepentingan partikular, dan ini terlihat dlm pandangan Rosseau mengenai negara yang dipimpin oleh para magistrates, yaitu individu-individu yang mengutamakan esensi kebaikan bersama, dan meminimalisasikan kepentingan partikular.

Rosseau menyakini negara sebagai sistem yang mengabdi kepada manusia, dan gagasan ini sejalan dengan pemikiran Plato yang melihat negara sebagai sistem pelayanan masyarakat, sehingga negara secara langsung tidak memiliki kedaulatannya sendiri. Negara yang baik adalah negara yang mampu berinteraksi secara langsung dengan individu-individu bebas, dan negara berdiri sebagai pengabdi kepentingan umum, bukan sebagai pengabdi kepentingan partikular. Agar negara dapat berjalan dengan baik, maka negara perlu menjalin interaksi bebas dengan rakyatnya, dengan setiap individu bertindak sebagai the law givers yang berdaulat.

Di dalam pandangan Rosseau, para law givers ini saling bertemu untuk merumuskan esensi kebaikan umum, dan hasilnya adalah hukum yg berlaku di suatu negara. Dengan asumsi bhw kepentingan partikular merupakan bentuk ketamakan, maka setiap kepentingan partikular harus dijauhkan dlm pembuatan hukum tersebut.

Disinilah maka muncul proses diskriminasi atas nama humanisme dalam perspektif Rosseau, yaitu manusia diakui kebebasannya secara penuh selama dirinya berorientasi kepada kepentingan bersama, dengan meminimalisasikan kepentinga sempitnya. .

Sebenarnya, pemikiran Rosseau ini dapat terpahami, yaitu bahwa kepentingan bersama itu meliputi semua individu, dan adanya kepentingan sempit ini maka berpotensi adanya pengabaian atau pengancam terhadap kebebasan individu itu sendiri karena sebagaimana konstruksi pemikiran Thomas Hobbes itu sendiri, yaitu bahwa manusia senantiasa berorientasi kepada kepentingan sendiri untuk mempertahankan hakikat kebutuhan dasar manusia, yaitu hidup itu sendiri.

Sumber: Filsafat Montesqieu dan Jean Jacques Rosseau
diakses dari http://eprints.dinus.ac.id/14390/1/[Materi]_Filsafat_Montesqieu_dan_Jean_Jacques_Rosseau.pdf

Riwayat Hidup J. J. Rousseau


Rousseau lahir dia Geneva pada 28 Juni 1712. Ia adalah anak kedua dari Isaac Rousseau. Ibu Rousseau adalah seorang perempuan kaya bernama Suzanne. Pada 4 Juli 1712, Rousseau dibabtis sebagai seorang pengikut Kalvinisme. Namun, sayangnya, dua hari kemudian, ibunya meninggal. Pada waktu itu, ibunya masih berumur 40 tahun. Peristiwa ini amat mempengaruhi hidup Rousseau. Gaya reflektif dan pemahamannya soal hubungan antar manusia amat diwarnai oleh peristiwa ini.6 Ayah Rousseau adalah seorang tokoh ternama di Geneva. Sebagaimana pada masa itu, Geneva memiliki tiga jenis penduduk. Ayah Rousseau adalah warga kota penuh. Maka, ia memiliki hak untuk aktif di dalam politik. Penting juga untuk dicatat, bahwa jumlah warga negara penuh di Geneva pada masa itu kurang dari sepuluh persen dari jumlah total penduduk.

Sebagai seorang filsuf, Rousseau bertumbuh dalam suasana akademik yang baik. Ayahnya adalah orang yang berpendidikan tinggi. Di satu sisi, ia adalah seorang pembuat jam. Di sisi lain, ia adalah orang yang memiliki minat membaca amat tinggi. Dari ayahnyalah, Rousseau tertarik membaca tulisan- tulisan klasik, seperti karya Plutarch, seorang sejarahwan Yunani ternama. Bahkan, di dalam buku autobiografinya yang berjudul The Confessions, Rousseau menyatakan, bahwa karena membaca Plutarch, ia sering melihat dirinya sendiri sebagai orang Yunani, atau orang Romawi. Namun, dalam perjalanan waktu, kekayaan ayahnya mulai berkurang. Mereka pun terpaksa pindah pada 1722. Rousseau kemudian tinggal bersama paman dan sepupunya yang bernama Abraham. Seperti ditulis di The Confession , Rousseau mengingat masa-masa itu dengan penuh kebahagiaan, sekaligus kepahitan (Wattimena, 2017).

Pada Maret 1728, sebagaimana dicatat oleh Dent, Rousseau mengalami peristiwa yang mengejutkan. Pada waktu itu, ia sedang berjalan-jalan di luar gerbang kota. Namun, ketika ia pulang, ia melihat pintu gerbang kota telah tertutup. Ia pun membuat keputusan ganjil, yakni memutuskan untuk pergi meninggalkan kotanya saat itu juga, tanpa pertimbangan, dan tanpa persiapan apapun. Ia “ingin mencoba kesempatannya di dunia yang lebih luas”. Selama beberapa waktu, ia menggelandang, hingga akhirnya berjumpa dengan Françoise-Louise de la Tour, Baronne de Warens, yang juga dikenal sebagai Madam de Warens. Setelah itu, ia sempat pergi ke Turin, namun kembali lagi tinggal bersama Madam de Warens. Pada 1731, mereka pindah ke Chambery, dan tinggal bersama selama sepuluh tahun ke depan. Sebagaimana dinyatakan oleh Dent, hubungan mereka dua amat istimewa, penuh trauma, sekaligus penuh dengan kasih sayang. Rousseau tidak hanya menjadi kekasih untuk Madam de Warens, tetapi juga pengelola urusan-urusan rumah tangganya. Bersamanya, Rousseau membaca beragam karya klasik, dan mulai berani menulis. Namun, pada 1738, hubungan mereka retak. Rousseau mulai menjalin hubungan dengan Wintzenfried, asistennya.

Pada 1762, sekitar tiga puluh tahun kemudian, Rousseau menulis salah satu karya terbesarnya, yakni The Social Contract . Buku itulah yang menjadi acuan saya di dalam tulisan ini. Buku itu disambut dengan meriah oleh berbagai kalangan. Ia bahkan diminta untuk menuliskan konstitusi untuk Corsica pada 1764 dan Polandia pada 1771 (Rahmatanto, 2010). “Jika Corsica tidak diinvasi, dan Polandia tidak pecah”, demikian tulis Wokler, “mungkin saja, di akhir abad 18, kita bisa melihat penerapan prinsip-prinsip Kontrak Sosial di konstitusi negara yang nyata.” (Wokler, 2017). Sebenarnya, inilah cita-cita Rousseau, yakni mengawinkan teori dan praktek politik praktis. Ini jugalah yang membuatnya amat dikagumi oleh para pemikir lainnya, terutama oleh para pemikir Pencerahan. Berbeda dengan Filsafat Politik Plato, yang berbicara tentang praktek-praktek ideal suatu negara, filsafat politik Rousseau berbicara tentang situasi konkret tempat tinggalnya, dan bagaimana sebaiknya tempat itu dikelola dengan prinsip-prinsip yang tepat.

Di sisi lain, banyak juga pihak yang marah dengan tulisan Rousseau tersebut, terutama pada bagian yang membicarakan agama. Di dalam buku itu, sebagaimana ditegaskan oleh Wokler, Rousseau menegaskan kaitan antara agama dan politik. Artinya, orang berpolitik haruslah menggunakan semangat yang sama, seperti orang beragama, yakni melihat tugas-tugas politik sama sucinya dengan tugas-tugas suci agama yang melibatkan keberadaan Tuhan. Pandangan ini menuai banyak kritik, baik dari kalangan agama, maupun dari kalangan para pemikir sekular. Di mata para filsuf Pencerahan, Rousseau dianggap sebagai penjilat yang masih berpihak pada tradisi kuno, yakni agama. Di mata kaum agamawan, ia dianggap sebagai pemikir bejat yang menyamakan agama dengan kekotoran dunia politik. Namun, posisinya sebenarnya adalah pada komitmen pencerahan itu sendiri, yakni penggunaan akal budi dalam kehidupan pribadi, maupun kehidupan publik. Karya- karyanya terus mengalami sensor. Di Paris, buku-buku Rousseau dilarang terbit. Bahkan, buku-buku itu dibakar di jalan-jalan kota Geneva. Pada 1762, ia menjadi buronan para penegak hukum. Ia dibenci, baik oleh kaum agamawan, maupun oleh para pemikir Pencerahan. Dua kelompok yang pada masa-masa itu juga saling bertentangan.

Pada 1763, Rousseau mendapatkan perlindungan dari Frederick, penguasa Prussia (Jerman) pada masa itu. Pada saat yang sama, ia pun melepaskan kewarganegaraannya di Geneva. Di Prussia, ia seringkali harus menggelandang, karena tidak mempunyai tempat tinggal tetap. Sebagaimana dicatat oleh Wokler, Rousseau pada masa-masa itu seringkali mengalami ketakutan berlebihan atas niat-niat orang-orang di sekitarnya. Ia merasa, bahwa semua orang memiliki niat jahat padanya. Pada 1766, ia menemukan pelindung baru, yakni David Hume di Inggris. Di sana, Rousseau tinggal lebih dari 18 bulan, terutama di Wootton, Staffordshire, Inggris. Namun, kecemasan dan ketakutannya terus ada, dan semakin bertambah. Ia selalu merasa, semua teman-temannya, termasuk Hume dan para pemikir Pencerahan di Prancis lainnya, bersekongkol untuk menjatuhkannya. Kecemasan dan ketakutan ini sungguh membuat hidup Rousseau menderita. Pada masa-masa yang sama, berbagai tulisan lahir dari tangannya, mulai dari tentang musik, botani, puisi, sampai karya-karya tentang pendidikan. Ia juga menulis autobiografi perjalanan hidupnya sendiri. Perasaan cemas, takut, dan kebencian pada orang-orang yang mengejarnya membuatnya harus kembali melarikan diri ke Paris bagian Utara, yakni di Ermenonville. Di tempat inilah, ia mengalami pendarahan, dan meninggal dalam diam. Namun, sebagaimana dicatat oleh Wokler, banyak orang menduga, Rousseau membunuh dirinya sendiri.

Menurut Nicholas Dent, di dalam bukunya tentang Rousseau, perjalanan hidup Rousseau dapat dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama adalah 1712-1749. Ini adalah masa-masa penempaan awal Rousseau sebagai seorang pemikir. Pada masa-masa ini, ia banyak menulis soal musik. Bagian kedua adalah masa pendewasaan, yakni 1750-1764. Pada masa-masa ini, banyak karya-karya terbaik Rousseau terbit. Diantaranya adalah Discourses, La Nouvelle Héloïse, Émile, The Social Contract, dan Letter to d’Alembert . Bagian ketiga adalah 1764-1768. Di masa ini, ia mengalami banyak gangguan mental. Pada masa ini pulalah ia menulis The Confession, autobiografinya yang terkenal.14 Pembagian ini, pada hemat saya, dapat membantu kita untuk memahami berbagai konteks peristiwa yang mempengaruhi hidup serta pemikiran Rousseau.

PEMIKIRAN ROUSSEAU TENTANG KEHENDAK UMUM


Garis besar kritikan Rousseau dalam semua karya tulisnya adalah pendapat yang mengatakan agar kembali ke keadaan alamiah (state to nature). Rousseau mempunyai kepercayaan yang kuat bahwa pada kodratnya manusia itu adalah baik. Anggapan ini menjadi prinsip dasar dari tulisannya tentang etika, di mana pendapat ini berasal dari ketakutannya bahwa ia sendiri adalah orang yang jahat.

Menurut Rousseau bahwa “manusia alamiah” itu hidup dalam keadaan polos dan mencintai dirinya sendiri secara spontan. Ia sesungguhnya bebas dari kewenangan orang lain dan semua individu memiliki kedudukan yang sama. Kepolosan manusia tersebut pada akhirnya akan hancur sewaktu ia menjamin kebutuhan-kebutuhannya masuk ke dalam kesatuan masyarakat. Dengan manusia telah bermasyarakat, maka “ketidaksamaan” menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan kehidupan mereka. Ketidaksamaan itulah yang akan dapat menimbulkan segala kemerosotan dan egoisme. Namun, di lain pihak, Rousseau melihat bahwa manusia tidak mungkin kembali kepada keadaan state of nature . Walau bagaimanapun, sosialisasi adalah perihal yang tidak dapat dihindari karena hanya dalam kesatuan masyarakat itulah manusia dapat menjamin kebutuhan-kebutuhannya. Dalam hal ini, Rousseau berhadapan dengan dilema, yaitu di satu pihak proses pemasyarakatan manusia menghasilkan suatu keadaan akan kehilangan akan kepolosan dan kebebasannya yang alamiah, sementara di pihak lain manusia itu tidak dapat tidak bermasyarakat.

Untuk itu, ia memandang bahwa diperlukannya suatu negara yang dapat menjamin dengan sungguh-sunguh akan kebebasan setiap warga negara. Dalam hal ini antara kehendak negara dengan kehendak warganya tidak ada perbedaan ataupun pertentangan. Begitu pula dengan spontanitas alamiah manusia tidak dipatahkan, melainkan ditampung. Dalam keadaan seperti ini individu yang masuk ke dalam negara itu tidak kehilangan apapun dari individualitas alamiahnya. Sarana untuk merancang negara yang ideal menurutnya adalah paham “kehendak umum”.

Rousseau menggarisbawahi makna kehendak umum agar tidak disalah artikan dengan de-liberasi massa. Kehendak umum senantiasa mengacu pada kepentingan umum, sementara de-liberasi massa bisa disebut kehendak semua. Karena dalam kenyataannya, hasil dari de-liberasi massa hanyalah sebuah kehendak yang merupakan kumpulan kehendak khusus. Pada titik ini, terdapat perbedaan istilah antara; kehendak khusus, kehendak umum, dan kehendak semua, yang mana satu sama lain tidaklah sama namun kerap mengaburkan pengertian. Pertama, kehendak khusus adalah kehendak yang dimiliki oleh setiap individu, sifatnya cenderung egosentris. Sebagai contoh: hasrat menjadi kaya harta, selalu menang dari orang lain, dsb. Kedua, kehendak umum secara mudah dapat dinyatakan sebagai sebuah kehendak yang berorientasi pada kepentingan umum. Kehendak ini dimiliki oleh setiap orang disamping kehendak khusus. Contohnya: kesejahteraan sosial, mempertahankan kepemilikan dan sebagainya. Ketiga, kehendak semua (de-liberasi massa) merupakan kumpulan kehendak khusus dari mayoritas masyarakat. Ini cenderung banyak disalahartikan sebagai kehendak umum karena dianggap mewakili hasrat masyarakat.

Maka, dapat dikatakan bahwa kehendak umum merupakan himpunan beberapa kehendak khusus yang memiliki kesamaan. Sementara, kehendak semua tidaklah kehendak yang sama, jadi kekurangan dan kelebihan dari kehendak ini akan saling membatalkan satu sama lain. Kaburnya pemahaman atas kehendak umum dan kehendak semua menjadikan seolah-olah dalam keadaan tertentu, kehendak umum terlihat salah. Padahal, sebenarnya kehendak itu merupakan kehendak semua yang dipaksakan. Rousseau sendiri sebenarnya membenarkan kehendak semua karena ia berpegang pada prinsip “kehendak kita kebaikan kita”. 19 Namun terkadang, kebaikan yang sesungguhnya tidak bisa dilihat masyarakat secara jernih akibat kurangnya informasi yang didapat. Namun, harus diakui dalam dunia nyata, banyak “pihak kepentingan” yang dapat dengan mudah menggunakan kuasanya untuk mengolah informasi yang berkembang di masyarakat. Sebagai contoh, media massa yang berperan besar dalam memberikan informasi pada masyarakat, dewasa ini sudah terjerat oleh kepentingan kapitalis dengan jumlah modal raksasa. Tentu saja, hal ini juga akan memengaruhi kehendak masyarakat.

Dengan argumennya tersebut, maka Rousseau dengan tegas menolak adanya lembaga perwakilan rakyat. Dia berpendapat bahwa kedaulatan itu tidak dapat diwakilkan dengan cara apapun juga. Setiap bentuk perwakilan, sebagaimana yang dihasilkan dalam pemilihan umum dengan sendirinya sudah mencampuri identitas dengan memasukkannya ke dalam kehendak negara, yang dengan demikian dapat menciptakan “keterasingan” yang dialami oleh individu tersebut. Untuk mengatasi hal ini, diperlukan adanya sistem perwakilan langsung sebagaimana yang terdapat di zaman Yunani Kuno. Undang-undang dan segala kebijaksanaan yang berkenaan dengan negara diputuskan secara bersama-sama dalam suatu pertemuan yang dihadiri oleh seluruh masyarakat tanpa terkecuali. Upaya semacam ini memungkinkan kebebasan dari setiap orang itu dapat dibatasi karena mereka mempunyai kehendak dan kebebasan yang sama, maka kehendak itu perlu disalurkan dengan bebas.

Rousseau menganggap bahwa kehendak umum itu hanya ada satu karena kepentingan umum itu memang hanya satu adanya. Masalahnya, di dalam kenyataanya, tidak semua orang menyetujui kebijaksanaan yang dikeluarkan oleh pemerintah dari suatu negara. Menurut Rousseau, keadaan ini akan dapat mengancam konstruksi negara secara keseluruhan. Untuk tujuan itu, ada dua masalah yang hendak dipecahkannya, yakni: Pertama, bahwa bagaimana fakta ketidaksepakatan itu dapat diatasi sehingga kehendak negara tetap satu. Kedua, bagaimana fakta ketidaksepakatan itu dijelaskan dalam teorinya. Untuk itu, dia berupaya memberi penjelasan bahwa kehendak umum muncul dalam kehendak mayoritas. Kalaupun ada pertentangan dalam kehendak, maka yang lebih diutamakan adalah kehendak umum di mana kehendak umum itu ditafsirkan sebagai kehendak mayoritas. Pendapat ini sekaligus merupakan kelemahan utama dari teorinya, karena dengan demikian pendapat kaum minoritas tidak diperhatikan atau tertampung lagi. Padahal untuk keadaan semacam ini, dengan jelas Rousseau menolak dengan tegas akan kebebasan warga negara dimana tak seorangpun warga negara itu tidak tertampung kehendaknya dalam negara sehingga tak setuju juga dengan konsep perwakilan, karena kedaulatan tidak dapat diwakilkan kepada siapapun juga.

Kemudian, dijelaskan pula oleh Rousseau bahwa orang yang berkehendak minoritas ini tidak perlu diindahkan karena mereka memiliki pandangan yang menyimpang dan terlalu egois, belum sadar dan keliru, dimana mereka ini perlu diberi pencerahan terlebih dahulu agar mereka sadar dan sederajat dengan orang yang berpendapat mayoritas. Untuk tujuan itu diperlukan adanya lembaga yang bertugas untuk mengembangkan kesadaran politik masyarakat, sehingga dengan demikian orang-orang yang tak sadar ini dapat dieliminir dengan cara memberikan penerangan kepada mereka. Pada titik ini, nampak adanya kontradiksi yang besar mengenai paham kebebasan dalam pemikiran Rousseau. Dia rnelihat kebebasan alamiah manusia hendaknya dipertahankan, kemudian di lain pihak dikatakannya pula bahwa negara sebagai suatu kondisi yang tak dapat dihindarkan, sehingga wujud kebebasan yang diinginkan dengan terbentuknya negara itu semakin kabur.

MENGIDAMKAN NEGARA IDEAL MELALUI KONTRAK SOSIAL


Rousseau mempunyai pandangan yang berbeda dalam melihat negara dengan penganut paham teori kontrak (perjanjian) sosial yang lain. Thomas Hobbes dan John Locke bertolak dari pengandaian yang sarna yaitu suatu pendapat bahwa dengan mendirikan sebuah negara maka berarti melepaskan beberapa hak kepada negara. Di samping itu Hobbes dan Locke juga pada dasarnya mempunyai pandangan yang sama tentang; negara merupakan suatu lembaga yang berhadapan dengan para warga negara yang pernah mendirikannya, sebab itu negara perlu dikontrol. Sedangkan Rousseau dalam karyanya bertolak dari identitas antara negara dengan rakyat, maka di satu pihak individu melepaskan diri seluruhnya kepada negara.

Sebelum melangkah lebih jauh, sebaiknya kita memahami terlebih dahulu pengertian negara menurut Rousseau. Negara, menurut Rousseau, adalah sebuah bentuk pasif dari persatuan beberapa individu yang memiliki sebuah kesamaan tujuan, kemudian mereka melakukan kontrak dan membentuk pribadi publik yang bergerak dalam rangka politik. Berangkat dari pengertian ini, maka hakikat dari negara, menurut Rousseau, terletak pada individu dengan latar kehendak yang sama. Perjanjian akan terjadi dengan “kesadaran diri” masing-masing individu tersebut, bahwa ada sebuah kepentingan yang tidak dapat diraih apabila tidak membentuk suatu kekompakan sosial.

Misalnya, kebutuhan mempertahankan harta milik sebagai kepentingan bersama. Pasti akan sulit apabila seseorang menjamin keamanan semua miliknya secara sendirian. Maka setiap individu pasti juga akan membutuhkan bantuan orang lain. Di sinilah peran kekompakan sosial dirasa amat penting bagi individu. Beberapa orang yang memiliki sebuah keinginan yang sama, menyerahkan diri mereka kepada suatu perjanjian. Maka tujuan yang semula bersifat khusus menjelma menjadi tujuan umum tanpa mengurangi hak dan kebebasan individu tersebut.

Konsekuensi dari penyerahan ini adalah hilangnya peran individu yang mengatasi anggota lain dan dapat mengambil keputusan. Karena setiap orang akan memiliki pandangan yang sama tentang apa yang akan diperbuat. Mereka secara alamiah sadar bahwa segala yang terjadi pada komunitas berdampak langsung bagi dirinya, jadi mereka menjadi penentu nasib komunitas dan diri mereka sendiri. Pelaku perjanjian, selain mendapat hak yang setara dalam komunitas juga mendapat keuntungan berupa tambahan kekuatan untuk melindungi semua miliknya.

Dari sini, dapat kita pahami bahwa secara singkat, kontrak (perjanjian) sosial, menurut Rousseau, adalah kesepakatan antara beberapa orang demi membentuk persekutuan karena dilandasi kebutuhan terhadap masyarakat. Kontrak sosial nantinya akan melahirkan rasa persamaan, persaudaraan, dan senasib-sepenanggungan diantara anggotanya. Akibat moral yang ditimbulkan sangat bermanfaat bagi negara, khususnya karena merupakan cikal-bakal jiwa nasionalisme dan semangat patriotik untuk mempertahankan kedaulatan dan kebebasan diri sebagai bentuk dari kehendak umum.

Pengaruh filsafat Plato sangat kental dalam tulisan Rousseau. Hal ini terlihat dari: Pertama, keyakinan bahwa pendudukan politik pada hakekatnya adalah persoalan etika, baru pada persoalan ke dua berada pada tingkat hukum dan kekuasaan. Kedua, ia mengambil dari dalil-dalil Plato yang termaktub dalam pemikiran filosofis tentang negara kota ( city state ), bahwa masyarakat itu sendirilah yang menjadi lembaga pembentuk kesusilaan yang utama, oleh karena itu masyarakat itu sendiri menjadi nilai susila yang tertinggi. Mengenai pandangan tentang negara kota ini, Rousseau berpendapat bahwa bentuk suatu negara yang ideal adalah negara dengan besar wilayahnya berpenghuni kecil, dengan jumlah penduduk yang tidak terlalu banyak. Hal ini berarti bentuk negara yang kira-kira ideal itu adalah bentuk negara kota sebagaimana yang terdapat pada masa Plato, Zaman Yunani kuno.

Jadi, dapat kita pahami bahwa Rousseau menganggap negara itu sebagai panitia yang diangkat oleh rakyat untuk jangka waktu tertentu dengan tugas utama melakukan kehendak rakyat yang tertuang dalam undang-undang. Pemerintah itu hanya sah sepanjang masih dapat menjamin kepentingan dan kebebasan warga negara. Kebebasan ini adalah menjadi persyaratan yang diharapkan dalam pembertukan negara tersebut.

Melalui penggambaran semacam itu, maka adanya identitas individu masyarakat dan identitas negara akan teratasi dengan baik. Dengan begitu, manusia secara keseluruhan memasukkan dirinya ke dalam negara tanpa khawatir kehilangan kebebasan dan kepolosannya. Maka apabila terjadi kontras antara kepentingan negara dengan keadaan akan kebebasan individual manusia dapat teratasi dengan adanya suatu mekanisme yang mengatur agar tidak bersentuhan (konflik) antara keduanya. Mekanisme ini diatur oleh Rousseau dengan cara yang ideal yaitu “pelepasan total manusia ke dalam negara”. Rakyat tetap berdaulat sepenuhnya dimana kedaulatannya itu tidak diserahkannya kepada negara, melainkan tetap menjadi miliknya yang hakiki. Jadi, masyarakat dapat merayakan kebebasannya dan sepenuhnya berada dalam ikatan dengan adanya suatu negara, tanpa ada pambatasan yang dilakukan oleh negara.