Bagaimana pemikiran filsafat dari Bertrand Arthur William Russell ?

pemikiran Bertrand Arthur William Russell

Bertrand Arthur William Russell adalah seorang filsuf dan ahli matematika yang sangat terkenal dari Inggris. Selama hidupnya, Bertrand Russell sangat banyak menulis tentang berbagai persoalan seperti filsafat, moral, pendidikan, sejarah, agama dan politik.

Bertrand Russell menggambarkan filsafat sebagai suatu wilayah pemikiran manusia yang berada antara teologi di satu sisi dan ilmu pengetahuan di sisi lainnya. Filsafat dapat dikatakan seperti teologi, karena sifat dan watak filsafat yang juga bersikan dunia spekulasi-spekulasi tentang pengetahun yang pasti namun ia tidak dapat dipastikan. Di lain pihak, ia dapat dikatakan pula seperti ilmu pengetahuan, karena tata kerja filsafat yang memang lebih banyak mengarah dan memfungsikan akal seperti layaknya ilmu-ilmu pengetahuan (sains). Segala dogma, karena ia melampaui pe- ngetahuan pasti, termasuk dalam lingkup teologi. Di antara keduanya inilah ada daerah yang tak bertuan yang rentan terhadap kedua persoalan teologi dan sains. Dan inilah wilayah filsafat.

Filsafat bagi Bertrand Russell pada prinsipnya tidak lain adalah logika. Filsafat yang memperhatikan hukum-hukum logika dapat menerangkan ide-ide fundamental yang merupakan dasar bagi pengembangan ilmu pngetahuan. Ilmu-ilmu khusus hanya menyelidiki bagian-bagian tertentu saja dari keseluruhan. Jika ilmu pengetahuan memulai penyelidikannya pada unsur-unsur yang paling sederhana untuk kemudian mencapai pengetahuan yang lebih majemuk, maka filsafat berangkat dari pengetahuan abstrak- majemuk untuk kemudian, melalui analisis filsofis dapat mencapai skema-skema logis (logical form) yang paling sederhana dari semua abstraksi.

Meskipun pemahaman, pengkajian dan pembentukan yang bersifat menyeluruh merupakan sebagian dari tugas filsafat, tetapi yang paling esensial dalam keseluruhan aktivitasnya adalah analisis logik yang diiringi oleh adanya sintesis logik. Hal ini mengingat bagian terpenting justru terletak pada kritik dan penjelasan terhadap pernyataan yang mungkin untuk dijawab sebagai dasar dan pengakuan yang tidak dapat diganggu gugat.

Dengan analisis logik, berarti bahwa seseorang melakukan upaya memberikan alasan a priori yang tepat bagi sebuah atau lebih pernyataan yang dibuat, sehingga pernyataan itu benar-benar dapat meyakinkan. Dan dengan sintesis logik berarti seseorang itu me- nentukan makna bagi pernyataan berdasarkan kepada pengalaman empirik.

Dengan demikian berarti bahwa logika bagi Bertrand Russell tidak lain adalah sebagai alat yang harus ada bagi filsafat. Meskipun ia bukan bagian dari filsafat, tetapi posisinya sangat menentukan pola kerja filsafat itu sendiri. Hal semacam ini dapat dianalogikan dengan abjad yang mesti diketahui lebih dahulu jika seseorang ingin memulai aktivitas membaca. Pendek kata tidak mungkin seseorang itu akan dapat berfilsafat ketika dalam dirinya tidak atau belum memiliki keterampilan dalam bidang logika.

Bagi Bertrand Russell, filsafat bertugas memberikan analisis terhadap fakta-fakta. Filsafat harus melukiskan jenis-jenis fakta yang ada. Fakta di sini adalah berupa karaktersitik ataupun relasi-relasi yang dimiliki benda-benda. Agaknya tidak dapat dipungkiri bahwa fakta-fakta itu tidak mempunyai sifat benar atau pun salah. Hanyalah proposisi-proposisi ini merupakan simbol yang terdiri dari kumpulan kata-kata yang menunjuk pada data inderawi (sense data) dan ciri-ciri atau relasi-relasi (universal).

Sebagai contoh dapat diketengahkan di sini, data inderawi dapat disebut putih sedangkan universal ’berdiri di samping”. Data inderawi ditunjukkan dengan logical proper names, seperti ’ini’ dan ’itu’. Nama diri yang dimaksudkan Bertrand Russell ini bukanlah dalam makna biasa, tetapi lebih sebagai description in disguise.
Proposisi yang paling sederhana adalah proposisi dalam bentuk seperti x adalah y (inilah putih atau xRy (ini berdiri di samping itu). Proposisi seperti inilah yang disebut Bertrand Russell dengan proposisi atomis (atomic Proposition), karena proposisi ini tidak memuat unsur-unsur majmuk. Proposisi atomis mengungkap fakta atomis. Jadi, bahasa bagi Bertrand Russell adalah simbil yang melukiskan realitas, menganalisis bahasa berarti mempelajari fakta-fakta. Dengan demikian, Bertrand Russell mensepadankan bahasa dengan realitas di dunia.

Di sisi lain, proposisi-proposisi atomik ini dapat pula dibentuk menjadi proposisi majmuk dengan menggunakan kata ’dan’ dan ’atau’. Proposisi seperti ini dinamakan Bertrand Russell dengan proposisi molekuler. Pada proposisi molekuler ini terdapat sejumlah proposisi atomik. Kebenaran ataupun kekeliruan suatu proposisi molekuler tergantung kepada kebenaran ataupun kekeliruan yang terdapat pada proposisi atomik yang terkandung di dalamnya. Sebagai contoh inilah putih dan itulah hitam. Kalimat ini mengandung dua proposisi atomik yang dihubungkan dengan kata ”dan”, sehingga jadilah ia proposisi dalam bentuknya yang majemuk (proposisi molekuler). Benar atau kelirunya kalimat ini tergantung kepada untaian proposisi atomiknya. Dan oleh karena itu, maka hal ini menunjuk kepada fakta atomiknya.

Dengan demikian berarti bahwa baik proposisi atomik ataupun proposisi molekuler menunjuk kepada fakta-fakta atomiknya, sehingga untuk menentukan kebenaran atau kekeliruan suatu bentuk proposisi atomik atau pun molekuler ditentukan oleh fakta atomiknya.

Fakta atomik, kata Bertrand Russell, tidak dapat mengungkapkan dirinya sendiri. Dus oleh karena itu pula tidak dapat dikatakan benar atau tidak pula dapat dikatakan salah (keliru). Dan hanya bahasalah (proposisi atomik) yang merupakan sarana untuk mengungkap apakah fakta atomik itu dapat dinilai benar atau salah.

Agaknya inilah yang melandasi Bertrand Russell menjadikan bahasa (sempurna) sebagai objek kajiannya. Melalui titik tolak bahasa logiklah ia menjalankan tehnik analisis bagi bahasa filsafat untuk mendapatkan apa yang ia sebut sebagai atom-atom logik.

Bagi Bertrand Russell penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam bahasa filsafat itu lebih banyak ditimbulkan oleh karena tidak memahami bahasa logika, padahal hal ini diperlukan dalam menyusun struktur kalimat dalam bahasa filsafat. Ada kalimat yang barangkali struktur bahasanya sama, namun memiliki struktur logik yang berbeda. A dan B baru dapat dikatakan memiliki corak logik yang sama jika unsur yang ada dalam A sesuai dengan unsur yang ada di dalam B., sehingga dengan yang berlaku bagi B dapat digantikan atau diberlakukan pula pada A.

Adanya dua istilah dianggap memiliki corak logik yang sama di sini, bukanlah dalam pengertian bahwa kedua istilah itu dipandang sama berdasarkan pelbagai penafsiran yang mungkin diberikan untuk kedua istilah itu (A-B). Yang menjadi tolok ukur dalam hal ini tidak lain adalah aspek logik yang didukung oleh adanya fakta-fakta tertentu. Dan dari sinilah nantinya dapat diambil suatu kesimpulan atas istilah yang dijadikan objek bagi upaya perbandingan ini. Di sini jelas sekali bahwa Bertrand Russell berupaya memadukan antara prinsip-prinsip matematika ke dalam prinsip logika dalam memecahkan persoalan-persoalan filsafat.

Penempatan logika sebagai bagian fundamental dalam dunia filsafat seperti digambarkan di atas mencerminkan apa yang juga menjadi ide sentral filsafat John Dewey (1859-1952). Menurut John Dewey, logika adalah sarana yang menunjukkan kecerdasan tindakan manusia dalam merekonstruksi ragam situasi yang disyaratkan dalam suatu tindakan ilmiah. Seluruh proses keputusan rasional menjadi bahan pertimbangan bagi tindakan penyelidikan dan sekaligus sebagai instrumen bagi rekonstruksi aktual ragam situasi.

Hanya saja mereka berbeda dalam esensi penggunaannya dalam mengungkapkan realitas faktual. Jika Bertrand Russell memposisikan logika sebagai tatanan harmonis manusia dalam mengungkap ragam realitas yang ada di dunia ke dalam rumusan bahasa logik, maka Dewey lebih menempatkan logika sebagai alat manusia dalam merekonstruksi realitas faktual yang ada dalam ragam variasi konteks kehidupannya ke arah bangunan baru yang diinginkan. Pendeknya, logika bagi Dewey adalah instrumen manusia untuk merumuskan fenomena-fenomena realitas empiris ke dalam tatanan logis yang secara rasional memungkinkan adanya jalinan hubungan satu dengan yang lainnya. Rumusan ini diperlukan manusia untuk menuntun aktivitasnya. Benar atau kelirunya suatu ide dapat dilihat setelah ide tersebut dibuktikan secara empiris.

Apa yang dikemukan oleh kedua filsuf di depan, agaknya yang mesti dicermati di sini adalah bahwa keduanya sepakat dalam melihat urgeni logika dalam filafat. John Dewey memfokuskan perhatian pada perumusan titik anjak penyelidikan ilmiah atau yang ia sebut dengan logic inquiry, sedangkan Bertrand Russell mem- posisikannya sebagai gerak upaya manusia dalam merumuskan penelaahannya terhadap ragam variasi faktual ke dalam dimensi bahasa logika.

Filsafat Bertrand Russell

Analisis Bahasa

Bertrand Bertrand Russell berpendapat bahwa analisis bahasa yang benar akan dapat menghasilkan pengetahuan yang benar pula tentang realitas dunia. Hal ini disebabkan karena unsur yang paling kecil dari bahasa yang disebutnya dengan istilah proposisi atomik merupakan gambaran dari unsur yang paling kecil pula dari fakta (fakta atomik).

Dengan demikian dapat dilihat bahwa bahasa di sini tidak lain adalah simbol dari realitas dunia, sehingga menganalisis bahasa sebagai pernyataan atas fakta yang ada, memiliki makna bahwa menganalisis bahasa sama artinya dengan menganalisis realitas atau fakta yang ada. Oleh karena itu, menurut Bertrand Russell, analisis bahasa yang benar akan dapat menghasilkan pengetahuan yang benar pula tentang dunia.

Bagi Bertrand Russell, proposisi matematika memberikan ketegasan, bahwa apa pun yang memiliki struktur umum mestilah juga memiliki struktur tertentu lainnya. Berdasarkan ini pula maka struktur umum tertentu tidak dapat digunakan untuk memberikan penyimpulan atas wujud-wujud ini atau itu yang bersifat partikular.

Untuk menjelaskan konsepnya ini Bertrand Russell me- nerangkan, bahwa paling tidak dapat dikemukakan sebanyak lima bentuk logical constans, yaitu: propositional function, implication, realtion, class and denotation.

  • Propositional function digambarkan oleh Bertrand Russell dengan contoh ungkapan X adalah seorang manusia di mana di dalamnnya tidak benar dan tidak pula salah. Karena jika X digantikan dengan Amir umpamanya, maka apabila kalimat di atas dilanjutkan dengan X adalah hidup, kesimpulannya tentu Amir adalah hidup. Hal ini tidak dapat dikatakan benar dan tidak pula dapat dikatakan salah.

  • Dilihat dari segi implikasi formal (menghubungkan fungsi-fungsi proposisi), X adalah manusia, manusia adalah hidup. Jika disebut X adalah manusia, manusia tercakup di dalam bahwa X adalah hidup. Ini secara formal menegaskan implikasi material (hubungan antara proposisi-proposisi). Implikasi formal tidak dapat dipisahkan dari implikasi material. Implikasi formal merupakan satu kelas bagi implikasi material. Implikasi formal menegaskan implikasi material. Dengan demikian, dalam analisis forma filsafat tidak serta merta menggambarkan kebenaran dalam materi. Oleh karena itu, untuk membangun bahasa filsafat mesti pula dengan merujuk dua kebenaran, yaitu benar dalam forma dan benar pula dalam materia.

    Dalam pandangan Bertrand Russell, proposisi umum seperti manusia hidup tidak dapat diketahui kebenarannya kecuali melalui fakta atom semata. Proposisi umum baru dapat dikatakan benar setelah kita mengeksplorasi kesemuanya secara individual. Semua bukti empirik, kebenarannya bersifat particular. Pengetahuan yang benar secara umum bukan didasarkan pada buki empiris, tidak tergantung pada data inderawi. Dengan demikian berarti, bahwa kebenaran proposisi manusia hidup di atas perlu dipertanyakan.

  • Mengenai masalah relation, Bertrand Bertrand Russell menyebutkan, bahwa dalam menyatakan X identik dengan Y umpamanya, perlu ada upaya penetapan hubungan one to one. Bila X berada dalam hubungannya dengan Y dan Y memiliki hubungan yang demikian pula, maka keduanya baru dapat dikatakan identik.

  • Menjelaskan teori class-nya, Bertrand Bertrand Russell memberikan contoh dengan ilustrasi, bahwa kelas babi ternyata bukanlah babi itu sendiri (themself). Dapat saja dikatakan bahwa semua babi adalah termasuk kelas babi, namun kelas dari semuanya (yang bukan babi) termasuk dalam kelas. Dari teorinya inilah pula kemudian Bertrand Russell berhasil mengatasi bentuk-bentuk pernyataan yang bersifat antinomy.

    Sebagai contoh dalam hal ini adalah seperti ungkapan semua masyarakat Kreta adalah pembohong sedangkan ini dituturkan oleh seorang orang Kreta, maka pernyataan yang demikian tentulah bohong dan oleh karena itu salah. Karena pernyataan itu memiliki tingkat yang lebih dari pada seorang Kreta. Dengan demikian, masing-masingnya memiliki tingkatan yang berbeda.

Adapun teori Bertrand Russell tentang definition of number merupakan suatu tehnik sentral dari metode filsafat Bertrand Russell, yaitu apa yang disebunya dengan the principle of abstractions. Prinsip abstraksi ini merupakan suatu prinsip untuk menghindarkan persoaln bahwa kumpulan dari kelompok-kelompok yang memiliki sifat umum yang dapat dihitung bagaimana pun haruslah dapat digunakan dalam kondisi dan tempat di mana pun dan kapan pun. Prinsip ini mengacu pada suatu kelas yang terdiri dari semua kelas yang memiliki hubungan yang unuk satu dengan yang lainnya.

Meskipun demikian, Bertrand Russell dalam hal ini tetap mengakui adanya kemungkinan lain, namun hal itu tidak perlu diasumsikan. Kenyataannya, ada kelas yang mencakup dirinya dan ada pula yang tidak mencakup dirinya. Dengan demikian kelas itu tampil dalam dua tipe, yaitu members of theselves dan Not members of themselves.

Kecuali teori-teori Bertrand Russell di atas, yang tidak kalah pentingnya lagi adalah teorinya tentang denotation. Dalam teorinya ini, Bertrand Russell menegaskan bahwa struktur suatu proposisi secara gramatikal bisa saja menyesatkan. Sebagai contoh dapat digambarkan, ”saya menemukan konsep manusia”. Manusia dalam hal ini merupakan denotasi being manusia. Begitu juga manusia ”manusia sebagai makhluk hidup” umpamanya bukanlah yang dimaksud tentang konsep manusia.

Dengan donating prhrase, Bertrand Russell menjelaskan bahwa yang perlu diamati adalah now phrase, bukan konsep. Yang dimaksudkann oleh Bertrand Russell dengan phrase di sini adalah ungkapan seperti a man, some men, any man, every man, all men dan sebagainya. Meskipun tidak ada karaktersitik umum mengenai ungkan demikian, namun hal itu sangat jelas begitu dan memang ungkapan demikiandapat menjadi subjek gramatikal dalam suatu kalimat.

Sebagai contoh dapat dilihat pada ungkapan seumpama: ”Socrates adalah seorang manusia (a man); Plato adalah seorang manusia (a man); Aristo adalah seorang manusia (a man); Kita tidak dapat mengatakan, bahwa seorang manusia (a man) berarti X identik dengan Y dan Y identik dengan X.

Agaknya teori Bertrand Russell ini merupakan implikasi logis dari pandangannya tentang prinsip isomorfis (kesepadanan) serta adanya upaya untuk memadukan prinsip matematika ke dalam prinsip logika di samping juga teori relation-nya. Dan memang jika dilihat apa yang mendasari pemikiran Bertrand Russell sampai lahirnya konsep tentang analitik logik sebagai suatu metode yang cocok bagi gerak filsafat, ternyata adalah bahwa apa yang dituturkannya melalui bahasa tidak lain adalah hasil observasi manusia terhadap realitas dunianya.

Bahasa adalah simbol-simbol yang sebenarnya ada dalam alam realitas. Jadi dapat dikatakan dunia manusia dalam konteks Bertrand Russell sebatas bahasanya. Sedemikian rupa menelaah bahasa berarti juga menjelaskan dan menelaah fakta-fakta yang ada untuk kemudian dijelaskan dan diinterpretasi sedemikian rupa agar ia memiliki makna. Dan upaya analisis ini tidak lain adalah tugas hahiki dari wilayah kerja filsafat.

Pandangan Bertrand Russell ini memperlihatkan, bahwa fakta dan data empiris tidak akan berarti apa-apa jika belum disentuhkan dengan dunia bahasa sebagai cerminan dari alam realitas. Filsafatlah yang menjadikan semua yang ada dalam alam realitas menjad memiliki makna dan meniscayakan kemampaatannya bagi pengembangan manusia di dunia. Manusia akan menjadi dirinya dengan bahasa, karena dengan demikian ia bercerita tentang segala sesuatu yang lihat, ia memberikan penilaian dan penafsiran-penafsiran yang akan menunjukkan manfaatnya bagi manusia itu sendiri.

Bahasa filsafat bukanlah bahasa biasa, karena bagi Bertrand Russell, ontologik, unsur asasi dari realitas alam bukanlah benda- benda, tetapi fakta-fakta, karena benda adalah elemen bagi fakta. Fakta yang paling kecil yang tidak dapat dipecah lagi adalah apa yang disebutnya sebagai fakta atomis. Sedangkan bahasa adalah gambar- an yang selaras dengan realitas. Bagian terkecil dari bahasa biasa atau bahasa sehari-hari dapat ditemukan melalui analisis. Ini disebutnya sebagai atom-atom logis.

Atomis logis ini membedakan antara proposisi atomis dengan proposisi molekuler. Proposisi atomis adalah keterangan sederhana yang tidak lagi memiliki ragam keterangan lain sebagai unsur- unsurnya. Termnya memilki term subjek dan prediket yang memiliki hubungan faktual. Jika proposisi atomis ini lebih dari satu, maka ia akan membentuk proposisi majmuk di mana masing-masing proposisi atomis memilki satu fakta atomis.

Implikasi Metodologis Filsafat Analitik Bertrand Russell pada Sistem Berfikir Filsafat

Apa yang direkomendasikan Bertrand Russell terhadap metode filsafat seperti telah diuraikan di atas, paling tidak didukung oleh pemikiran dasarnya bahwa:

  1. Filsafat pada prinsipnya tidak lain adalah logika dan oleh karena itu, untuk memulai aktivitas filsafat, seseorang itu mesti membekali diri dengan pengetahuan tentang prinsip-prinsip logik.

  2. Sesungguhnya fakta-fakta yang ada pada realitas itu tidak meiliki sifat benar atau salah. Yang mempunyai sifat demikian hanya

  3. Kesalahan pengetahuan selalu berada pada dunia bahasa dalam menggambarkan realitas, karena di dalamnya selalu tidak luput dari kelalaian dan kepentingan subjek penutur realitas dalam membuat proposisi-proposisi dalam bahasa sebagai simbol dari fakta-fakta…

  4. Bahasa sepadan dengan dunia realitas, sehingga menganalisis bahasa berarti juga menganalisis dunia realitas

  5. Prinsip matematik dapat pula diterapkan pada prinsip logika.

Metode analitik logik yang ditawarkan Bertrand Russell ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

  1. Bahasa dan pemikiran manusia dapat dianalisis menurut unsur-unsur yang tak dapat dibagi lagi pada komponen terkecil.

  2. Logika mengatur proposisi atomis menjadi sistem pengetahuan

  3. Identitas fundamental kebenaran terdapat di antara lambang dan fakta yang diwakilinya dalam alam realitas

  4. Kompleksitas simbol dalam bahasa berhubungan dengan kompleksitas fakta yang dilambangkan dengan simbol-simbol itu

  5. Ada kesesuaian dan kemiripan antara struktur bahasa dengan struktur realitas dunia yang sesungguhnya

  6. Hubungan-hubungan eksternal dalam analitik logik adalah riil, sehingga dapat dijadikan landasan epistemik dalam mem- bangun pengetahuan.

Pemikiran Bertrand Russell sehubungan dengan analitik logik ini, secara metodologis telah menempatkan bahasa sebagai suatu hal yang utama dalam aktivitas filsafat. Bahasa dapat memantulkan dan atau menunjukkan fakta-fakta dalam dunia realitas. Dengan menggunakan bahasa yang benar berarti telah memberikan gambaran yang jelas dan tegas apa yang menjadi objek peng- amatannya terhadap dunia realitas. Dengan demikian menganalisis bahasa secara baik dan benar dapat melahirkan pengetahuan yang benar dan baik pula tentang alam realitas.

Teori atomis logik Bertrand Russell adalah suatu kegiatan filosofis yang menempatkan pengujian kebenaran pengetahuan dalam struktur bahasa dan dunia dengan jalan analisis logis. Agaknya teori Bertrand Russell ini berkenaan dengan pencarian fakta-fakta atomis dalam realitas dan proposisi-proposisi atomis pada taraf bahasa merupakan suatu pemikiran yang mengandung aspek metafisika. Hal ini tampak, bahwa pemikiran Bertrand Russell tersebut tidak didasarkan pada data yang bersifat empiris, tetapi dari kecenderungan pandangannya yang melihat dunia dari analisis bahasanya.

Kendatipun Bertrand Russell menempatkan bahasa sebagai sesuatu yang identik dengan alam empiris yang serba materi dan faktuil, namun penempatan makna dan kemanfaatannya pada upaya interpretasi dan analisis sebagai kerja filsafat menjadikan kosen- trasinya bukan pada materi tetapi sesuatu yang ada dalam wilayah analisis bahasa yang digunakan sebagai kata ganti atau sebutan atas dunia materi.

Dapat dilihat, teori-teori yang menopang metodologi analitik logik yang dikemukakan oleh Bertrand Russell seperti atomism, implication, relation, class dan denotation seperti yang telah diuraikan di atas kesemuanya mencerminkan pada suatu paham yang pluralisme radikal, bukan monisme seperti yang dipahami oleh kaum idealisme.

Upaya Bertrand Russell mengungkap pengetahuan yang benar ke dalam bentuk pernyataan-pernyataan yang benar melalui penggunaan prinsip-prinsip logika telah memberikan konstribusi besar bagi dunia metodologi filsafat. Yang jelas, implikasi meto- dologis pemikirannya tentang analitik logik ini dapat membawa kepada pola berpikir yang jelas, terarah, sistematis dan kritis. Bukankah aktivitas analisis memuat kegiatan mengajukan pertanyaan, menjawab, berkeyakinan dan kemudian dengan bantuan penalaran logika dijabarkan dan diuraikan ke dalam struktur proposisi-proposisi.

Tampaknya, secara historis selalu adanya upaya menyusun suatu metode yang layak untuk kerja filsafat. Mulai dari Plato dengan metode dealektikanya dalam bentuk bertanya dan menjawab yang kemudian dikembangkan kembali secara epistemik oleh Hegel dalam bentuk tesis, antitesis dan sintesis; Aristoteles dengan metode silogismenya yang cenderung bersifat deduktif; Rene Descartes dengan metode ragu-ragunya dan seterusnya. Dan memang agaknya tidak dapat dipungkiri bahwa metode itu penting namun ia jangan sampai menjadikan pemikiran menjadi kaku, beku dan tidak berkembang.

Membahas filsafat tidak harus dengan satu metode tertentu secara rigit, karena hal itu akan dapat menjerat, mengekang dan menghambat seseorang dalam melakukan aktivitas filsafat. Hal ini akan mempersempit ruang gerak filsafat yang meniscayakan berpikir bebas terutama untuk penyelidikan dan analisis yang lebih jauh lagi dalam upayanya mencari kebenaran.

Metode analitik logik yang mendekati filsafat dengan meng- analisis terminologi linguistik dan dengan ketelitiannya yang cermat menyusun tabel nilai-nilai linguistik dengan tujuan untuk menetapkan nilai kebenaran bagi suatu kalimat, secara metodologis epitemik tetap memiliki kekurangan-kekurangan.
Kekurangan metode ini tampak dalam penerapannya, di mana pemikir dalam hal ini harus memenuhi standart makna dari sebuah kata dan memahami struktur gramatikal kalimat atau pernyataan. Pemikir dengan metode ini dibatasi oleh aturan-aturan yang ketat dalam menentukan benar atau salahnya suatu proposisi.

Pemikir dalam hal ini tidak dapat berpikir secara bebas dalam menemukan makna baru bagi suatu proposisi. Dengan demikian, jelas pemikir di sini tidak pula akan dapat bebas memberikan interpretasi-inter- pretasi sebagai suatu yang menjadi karakteristik pokok model kerja dunia filsafat.

Kecuali kelemahan seperti disebutkan di atas, metode analitik logik Bertrand Russell yang pada dasarnya menginginkan batang tubuh pengetahuan itu dapat diformulasikan dalam hubungan antara wujud yang lebih simpel, lebih intelligeble, lebih dapat diterima. Dan ketika diformulasikan ke dalam proposisi-proposisi maka ia tetap mengandung kebenaran yang pasti, jelas dan tidak mengandung problematik dalam makna, maka hal ini tetap menghadapi kesulitan- kesulitan besar. Hal ini mengingat apa yang dideskripsikan dalam bahasa tidak sepenuhnya mewakili atau akan sesuai dengan apa yang ada dalam gambaran realitas yang dipikirkan.

Upaya analisis yang menghubungkan apa yang digambarkan oleh pemikir tentang realitas empiris yang kemudian dituangkannya dalam struktur kalimat-kalimat, selalu berhadapan dengan problemtika dalam perwakilan bahasa. Selalu manusia berhadapan dengan delema bahasa ketika ia ingin menguraikan data empiris dan rasional yang dialaminya. Persoalan seperti apakah bahasa yang saya gunakan untuk menyatakan realitas benar-benar dapat dibaca oleh orang lain sesuai dengan apa yang saya lihat atau saya pikirkan.

Kendatipun demikian, Delfgauw dalam bukunya yang berjudul Filsafat Abad 20 mengemukakan, bahwa semula tetap diper- tahankan, bahwa pada dasarnya analisis bahasa ini akan berhasil memberikan perumusan yang senilai bagi setiap pernyataan, dapat menghindari segala ragam kegandaan dalam makna. Alasannya adalah bahwa struktur bahasa itu memungkinkan pemulangan pernyataan bersusun kepada pernyataan bersahaja. Namun demikian hal ini kemudian diragukan, karena suatu kalimat bersusun tidak dapat begitu saja dipulangkan kepada sejumlah bagian penyususnnya.

Kecuali itu, bagian-bagian penyusun atau kalimat tunggal tersebut mesti pula mempunyai struktur pernyataan. Akibatnya, pernyataan-pernyataan serta harapan-harapan keagamaan ataupun yang bernuansakan metafisik tidak akan dapat begitu saja dipulangkan pada pernyataan-pernyataan yang memiliki relasi empiris. Hal ini pun memunculkan problem lebih lanjut, yakni apakah dengan demikian berarti pernyataan-pernyataan dalam paradigma metafisik lantas tidak memiliki makna? Apakah kebermaknaan setiap pernyataan senantiasa mesti bernuansakan makna empiris? Bukankah setiap penyataan selalu memiliki logika sendiri-sendiri yang dalam ragam identitasnya memiliki telos yang inheren dengan dirinya yang dalam banyak variannya dapat saja berdimensikan empiris dan dapat pula metafisika?

Ungkapan seperti ”Tuhan itu Mahakuasa”. Jika ini dikembalikan kepada arti empiris, maka ia akan memiliki makna bahwa Tuhan itu berpotensi untuk menciptakan apa saja. Dengan demikian Ia pun mampu membuat batu yang beratnya semua orang tidak sanggup mengangkatnya, termasuk Dirinya. Dan jika Ia tidak dapat melakukan aktivitas mengangkat, berarti Ia pun tidak dapat dikatakan Maha Kuasa lagi. Dan kalau begitu tanggal sebutan Tuhan untuk Dirinya. Penafsiran terhadap pernyataan-pernyatan semacam ini meniscayakan kesetaraan esensial dan substansial, sehingga tidak terjadi ambiguitas dalam sistem dan struktur berpikir maupun dalam pemaknaan. Barangkali munculnya metode hermeneutika dalam filsafat adalah jawaban nyata atas persoalan ini.

Sumber : Muhmidayeli, Filsafat analitik: Kritik epistemologi ide analitik logis Bertrand Russell, Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Syarif Kasim

Bertrand Russell termasuk dalam kelompok filosof kontemporer yang pokok kajiannya adalah persoalan logosentris, yakni pengkajian filsafat melalui analisis aturan-aturan kesesuaian kebahasaan. Pemikirannya mengenai tata bahasa logis yang digunakan sehari-hari merupakan suatu paradox terhadap para pemikir-pemikir Inggris yang cenderung mengedepankan ajaran idealisme. Maka dari itu ia menegaskan bahwa kesadaran adalah akses manusia terhadap dunia dan pengetahuan manusia berasal daripada pengalaman sehingga dapat dipahami dengan cepat dan tanggap dengan bantuan logika yang sesuai dengan realitas. Karenanya realitas dapat dirasakan dengan adanya sensor atas fakta-fakta yang berupa sensasi-sensasi yang berasal inderawi.

Atomisme Logis

Pada saat pemikiran filsafat di Inggris didominasi oleh tradisi-tradisi idealisme membuat Russell tergugah untuk memberikan tantangan terhadap tradisi yang dinilai konservatif. Ia menciptakan gagasan pemikiran filsafat yang berbeda dengan pemikir yang lain, yakni atomisme logis. Melalui konsep ini ia telah dinilai berhasil mensintesakan pemikiran para filosof sebelumnya.

Atomisme logis merupakan sebuah ajaran yang menyatakan bahwa semua entitas bersifat kompleks yang hanya dapat dianalisis melalui nama- nama yang secara logika tepat dan berupa keadaan partikular-partikular. Menurutnya, bahwa dunia memuat berbagai fakta yang sesuai dengan wujudnya tersendiri seperti yang terpikir oleh akal. Dalam teorinya terlihat jelas bahwa Russell termasuk ke dalam golongan empirisme.

Atomisme logis Russell telah berhasil memberikan sebuah konsepsi logis mengenai realitas yang terjadi sehari-hari. Pemikirannya merupakan sebuah reaksi terhadap para Hegelian Inggris yang dinilainya sebagai sebuah pemahaman yang salah mengenai realitas. Idealisme Hegel dikatakannya sebagai sebuah ajaran yang tidak perlu untuk dikaji karena dalam sistem ajarannya Hegel menyatakan bahwa realitas adalah satu dan realitas seluruhnya berupa pikiran.

Misalnya, ketika seseorang melihat orang lain kelaparan, maka selamanya orang tersebut akan tetap merasa lapar apabila tidak diberikan makanan untuknya. Ini persis seperti apa yang telah diajarkan oleh Hegel, maka ketika melihat orang kelaparan akan bisa merasakan kenyang dengan dikatakan kepadanya “makan, makan, dan makan”. Akan tetapi, pada kenyataannya manusia lapar tidak membutuhkan kata-kata seperti itu melainkan mereka butuh pada makanan.

Pemikiran Russell merupakan pertukaran gagasan G.E. Moore, yang mengemukakan konsep filsafat analitik bahasa, yaitu teman seperjuangan dengannya. Rusell dan Moore memiliki gagasan bahwa seorang filosof mempunyai tugas untuk menganalisis proposisi-proposisi kebahasaan, yaitu: suatu pemikiran yang dinyatakan dalam bentuk kalimat yang dapat dinilai benar tidaknya kalimat tersebut. Meskipun mereka berdua memiliki persamaan, namun mereka memiliki perbedaan yang mendasar. Yaitu Moore, menggunakan analisa berdasarkan commonsence. Moore beranggapan bahwa bahasa alamiah yang digunakan sehari-hari dinilai telah memadai dalam filsafat. Sedangkan Rusell mengatakan bahwa bahasa sehari-hari tidak cukup memadai dalam filsafat karena menurutnya bahasa sehari-hari sering kali memilki makna dasar yang ambigu sesuai dengan konteks yang terjadi. Atas dasar inilah maka Rusell menciptakan pemikrannya melalui bahasa yang berdasarkan formulasi logika.

Dalam hal ini Rusell ingin mewujudkan realitas yang akurat yang sesuai dengan fakta berdasarkan formulasi logika. Namun ia juga mengakui bahwa untuk dapat mengimplementasikan bahasa logis itu banyak terpengaruh oleh logika Gothlob Frege. Secara mendasar Russell mengemukakan alasan sebagai dasar pemikirannya adalah;

  1. Logika Frege yang baru itu hanya cocok diterapkan pada ilmu itu hitung (aritmatika), tidak untuk diterapkan pada cabang matematika yang lain.

  2. Premis Frege tidak dapat meniadakan berbagai kontradiksi yang terdapat dalam sistem logika formal tradisional.

Dengan teori atomisme bahasa ini, Russell menawarkan dasar-dasar logico-epistemologik untuk bahasa, artinya Russell mengetengahkan antara fakta, logika formal dan bahasa ideal. Dengan ini Russell sebenarnya hendak menyatakan bahwa antara fakta dan bahasa harus sepadan, bahasa digunakan sesuai dengan fakta-fakta yang ada. Fakta-fakta ini dijelaskan olehnya bahwa fakta bukanlah benda-benda melainkan adalah totalitas keberadaan indera dalam mempersepsikan. Baginya realitas sesungguhnya merupakan totalitas fakta-fakta yang terbagi menjadi dua yaitu fakta universalia (kesadaran akan alam semesta) dan fakta partikular (benda-benda).

Russell mengemukakan teori kebahasaan yang di era post-Modern ini dinilai sangat berharga dalam perkembangan filsafat, yakni bahwa antara fakta dan bahasa memiliki unsur isomorphisme yaitu semacam kesetaraan antara realitas atau fakta dengan bahasa yang diungkapkan. Akan tetapi, realitas yang dimaksud Russell tidak hanya terarah kepada fenomena empirik melainkan merupakan ke-periada-an sifat universal.

Agaknya memang membingungkan, bagaimana seorang Russell dengan pandangannya mengenai realitas fakta memiliki kaitan erat dengan bahasa. Kattsoff dalam bukunya Pengantar Filsafat mengatakan bahwa pemikiran Russell didominasi oleh fakta-fakta yang berupa kejadian-kejadian, tidak berupa kebendaan. Dalam memahami Russell, Kattsoff menjelaskan bahwa Russell memakai istilah minimal events sebagai sebuah kejadian- kejadian terkecil yaitu kejadian-kejadian yang menempati lingkungan berhingga tertentu dalam gerak, ruang, dan waktu. Misalnya, meja sesungguhnya bukanlah sebuah realitas melainkan campuran proses penyerapan inderawi manusia terhadap warna, bangun dan pengalaman.

Jadi terlihat jelas bahwa tidak ada yang benar-benar bersifat material di dunia karena adanya indera menerima berbagai sensor dari kualitas dan kuantitas yang bersifat substansial. Materi baginya hanya merupakan sebuah reaksi inderawi belaka sehingga yang tinggal hanyalah kejadian-kejadian yang disebut fakta-fakta.

Filsafat Bertrand Russell

Proposisi Atomik dan Proposisi Majemuk

Dalam pembahasan proposisi atomik dan proposisi majemuk Russell menyatakan adanya kaitan erat antara struktur realitas dan struktur bahasa. Suatu proposisi disebut proposisi atomic apabila berupa proposisi yang berdiri dalam satu kalimat yang mengandung ralitas sederhana, tidak memuat unsur- unsur majemuk. Proposisi atomik yang telah digabungkan dengan proposisi lain dengan kata penghubung, misalnya “yang, atau, dan” dan sebagainya. Untuk dapat lebih memahami proposisi atomik dan proposisi majemuk sebaiknya kita sajikan misal sebagai berikut;

"Socrates adalah seorang warga Athena yang bijaksana”.

Contoh proposisi ini terdiri dari dua unsur proposisi atomik yaitu:

  • Socrates adalah seorang warga Athena, dan
  • Socrates adalah seorang bijaksana.

Menurut Russell, kebenaran suatu pernyataan atau ketidakbenaran suatu pernyataan dalam suatu proposisi majemuk ialah tergantung pada kebenaran atau ketidakbenaran proposisi atomiknya. Karena proposisi majemuk ialah fungsi yang utama dalam proposisi Atomik. Didamana proposisi atomik tidak dapat dinyatakan benar atau salah, karena hal tersebut hanya bahasa yang dapat menentukan kesalahan atau kebenarannya, karena proposisi atomik hanya bisa mengutarakan bahasa dengan unsur-unsur realita yang sederhana. Misalnya seperti contoh di atas, kata Socrates, bijaksana, dan Athena, ketiga kata ini merupakan objek yang terkandung dalam proposisi atomik.

Kelemahan Atomisme Logis Bertrand Russell

Atomisme logis yang disusun Russell memiliki kelemahan yang tampak dari ketidakkonsistennya dalam menolak metafisika. Karena tak dapat disangkal, atomisme logis mengandung suatu metafisika, sebab teori ini ingin menjelaskan struktur hakiki dari bahasa dan dunia. Atau dengan kata lain, teori ini mau mengatakan bagaimana akhirnya dengan realitas seluruhnya.

Mengatakan bahwa dunia ini diasalkan pada fakta-fakta atomis, jelas sekali merupakan suatu pendapat metafisis. Pendapat Russell tersebut juga terlihat jelas, tidak berdasar pada data-data empiris, melainkan suatu analisis tentang bahasa.

Atomisme logis juga menggunakan suatu kriteria untuk menentukan makna. Suatu proposisi disebut bermakna hanya jika dapat ditunjukkan suatu fakta atomis yang sepadan dengannya. Tapi sudah jelas bahwa proposisi yang dirumuskan dalam atomisme logis itu sendiri tak dapat disamakan dengan jenis proposisi lain. Tak ada fakta atomis yang membuat proposisi-proposisi yang membentuk teori atomisme logis itu menjadi benar atau salah. Akibatnya, perlu disimpulkan bahwa proposisi-proposisi atomisme logis itu sendiri tidak bermakna.

Referensi :

  • Robert C. Solomon dan Kathleen M. H., A Short History of Philosophy, terj. Saut Pasaribu,
  • Sejarah Filsafat, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000).
  • Diane Collingson, Fifty Major Philosoper, terj. Ali Mufty dan Ilzamuddin, Lima Puluh Filosof Dunia yang Mempengaruhi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001).
  • Mundiri, Logika, (Jakarta: Rajawali Press, 2011).
  • Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu: Positivisme, Post-Positivisme, dan Post-Modernisme, (Yogyakarta: Rakesarasin, 1998).
  • Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004)
  • Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995).
  • K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer (Inggris-Jerman, Gramedia, Jakarta,2002).