Bagaimana pemikiran Filosofis dari Nietzsche ?

Filsafat Nietzsche

Filsafat Nietzsche adalah filsafat cara memandang ‘kebenaran’ atau dikenal dengan istilah filsafat perspektivisme. Nietzsche juga dikenal sebagai “sang pembunuh Tuhan” (Also sprach Zarathustra). Ia memprovokasi dan mengkritik kebudayaan Barat di zamannya (dengan peninjauan ulang semua nilai dan tradisi (Umwertung aller Werten) yang sebagian besar dipengaruhi oleh pemikiran Plato dan tradisi kekristenan (keduanya mengacu kepada paradigma kehidupan setelah kematian, sehingga menurutnya anti dan pesimis terhadap kehidupan).

Bagaimana pemikiran Filosofis dari Nietzsche ?

Pemikiran filosofis bersifat konseptual yaitu berpikir dalam filsafat tidak hanya sekedar berpikir, tapi mempunyai konsep secara umum. Konsepsi (rencana kerja) merupakan hasil kerja pengumuman dan abstraksi dari pengalaman tentang berbagai hal dan proses individual. Filsafat merupakan pemikiran tentang hal dan proses dalam hubungan yang umum. Seorang filsuf tidak hanya membicarakan dunianya sendiri ataupun dunia sekitarnya, melainkan juga mengenai perbuatan berpikir itu sendiri. Dengan ciri ini maka berpikir kefilsafatan melampaui batas-batas pengalaman hidup sehari-hari.

Agar dapat berpikir filosofis seseorang harus mengubah mindset atau pola berpikirnya. Ia tidak segan bahkan berani untuk mempertanyakan keyakinannya. Keyakinan yang dimaksud tidak hanya soal agama tetapi hal-hal yang sebelumnya sudah dianggap benar oleh dirinya dan masyarakat umum. Hal ini yang dilakukan oleh orang-orang seperti Nietzsche dan Descartes. Bagi seorang filosof tidak ada keyakinan yang tidak dipertanyakan. Semua keyakinan dipertanyakan secara serius dan dicari pembuktiannya. Tujuannya bukan untuk membebaskan seseorang atau masyarakat terbebas dari nilai-nilai. Namun, agar keyakinan tersebut dapat dibuktikan kebenarannya. Atau memiliki validitas secara logis. Intinya, segala pertanyaan yang mendasar harus sampai kepada sebuah jawaban yang menyeluruh. Karena dalam filsafat terdapat tujuan agar kita dapat menjelaskan berbagai pertanyaan tersebut hingga pada hal yang mendasar serta berlaku untuk fenomena keseluruhannya. Berpikir secara filosofis tidak hanya cukup dibuktikan dengan data-data semata, melainkan juga seorang filosof harus mampu berpikir secara spekulatif, bahkan menciptakan konsep-konsep yang bersifat secara abstrak untuk menjelaskan realitas secara total. Dan segala pertanyaan ini dijawab tidak dengan mengaitkan dengan kekuuatan mistik atau mitos-mitos, melainkan dengan nalar (Sipayung, 2010).

filsafat Nietzsche

Friedrich Nietzsche hidup pada tahun 1844 dan meninggal pada tahun 1900 Masehi. Nietzsche mulai mempelajari filsafat setelah ia membaca uraian-uraian Schopenhauer. Schopenhauer memang memiliki pengaruh yang kuat terhadap pandangan filsafat Nietzsche. Keduanya, Schopenhauer dan Nietzsche mempunyai pandangan filsafat yang sama. Keduanya mendasarkan filsafat pada kehendak. Meskipun demikian terdapat pula perbedaan antara keduanya, bila Schopenhauer mendasarkan pandangan filsafatnya pada kehendak untuk hidup (Wille zum Leben), sedangkan Nietzsche mendasarkan pada kehendak untuk berkuasa (Wille zur Macht) (Sunardi, 2012).

Pengetahuan merupakan salah satu wujud nyata dari kehendak untuk berkuasa. Nietzsche menyatakan bahwa pengetahuan merupakan suatu alat untuk mencapai kekuasaan. Kehendak untuk mendapatkan pengetahuan, atau kehendak untuk tahu, tergantung akan besar kecilnya kehendak untuk berkuasa. Tujuan mendapatkan pengetahuan bukanlah semata-mata untuk tahu, dalam arti menguasai kebenaran dari suatu ilmu, tetapi juga untuk tujuan kebenaran.

Antara tahun 1800-an hingga 1900 Masehi negara-negara barat sedang mengalami puncak revolusi. Revolusi yang terjadi di negara-negara barat ditandai dengan perkembangan teknologi yang berkembang dengan pesat, sehingga wajar apabila pada tahun-tahun ini disebut dengan era modern. Ketika era modern berlangsung, filsafat berkembang mengarah pada kekuatan rasio. Hampir seluruh filsuf barat mendewakan rasio sebagai dalil-dalil dalam filsafatnya. Nietzsche adalah tokoh pertama yang sudah menyatakan ketidakpuasannya terhadap dominasi atau pendewaan rasio pada tahun 1880-an. Melihat dari pernyataan ketidakpuasannya terhadap pendewaan rasio maka Nietzsche dikatakan sebagai tokoh pertama filsafat dekonstruksi dan karena Nietzsche mengkritik teori-teori filsafat modern, maka Nietzsche juga dikenal dengan tokoh atau filsuf Postmodern.

Kritik filsafat postmodern yang diungkapkan Nietzsche terhadap filsafat modern terungkap dalam istilah dekonstruksi. Dekonstruksi yang dilakukan oleh Nietzsche ialah merombak kegairahan orang akan rasionalisme ketika itu.

Mengapa filsafat Rasionalisme perlu didekonstruksi?

Karena ia merupakan filsafat yang keliru dan juga keliru cara menggunakannya. Kekeliruan ini muncul dari suatu warisan kultural renaissans yang mencerminkan kelemahan manusia modern. Kelemahan manusia modern nampak pada sikap mendewakan rasio secara berlebihan. Pendewaan ini mengakibatkan adanya kecenderungan untuk menyisihkan nilai dan norma dalam memandang kenyataan kehidupan. Manusia modern yang mewarisi sikap positivistik ini cenderung menolak keterkaitan antara substansi jasmani dan substansi rohani manusia. Mereka juga menolak adanya hari akhirat. Manusia terasing tanpa batas, kehilangan orientasi, sebagai konsekuensinya lahir trauma kejiwaan dan ketidakstabilan hidup. Akibat rasionalisme seperti inilah dan kekeliruan dalam menggunakan rasionalisme budaya Barat hancur (Tafsir, 2009).

Filsafat Nietzsche adalah filsafat cara memandang ‘kebenaran’ atau dikenal dengan istilah filsafat perspektivisme dari sisi lain. Nietzsche mendasarkan kehendak untuk berkuasa sebagai titik pusat etika. Karena pandangan etikanya Nietzsche menjadi terkenal sebagai ahli filsafat. Nietzsche juga dikenal sebagai “sang Pembunuh Tuhan” dalam Also Sprach Zarathustra. Ia memprovokasi dan mengkritik kebudayaan Barat di zamannya (dengan peninjauan ulang semua nilai dan tradisi) yang sebagian besar dipengaruhi oleh pemikiran Plato dan tradisi kekristenan. Keduanya mengacu kepada paradigma kehidupan setelah kematian, sehingga menurutnya paradigma tersebut ialah paradigma yang anti dan pesimis terhadap kehidupan (Aiken, 1960).

filsafat Nietzsche

Nietzsche juga sangat terkenal dengan Nihilismenya. Tuhan sudah mati (bahasa Jerman: “Der Gott ist tot”) adalah sebuah ungkapan yang sangat terkenal dari Nietzsche. Oleh karena hal ini Nietzsche disebut sebagai sang Pembunuh Tuhan dan dikenal sebagai orang yang ateis. Ungkapan ini pertama kali muncul dalam The Gay Science, juga ditemukan dalam The Madman dan menjadi salah satu tema mayor dalam buku Also Sprach Zarathustra. Dalam The Madman dinyatakan sebagai berikut:

“Tuhan sudah mati. Tuhan tetap mati. Dan kita telah membunuhnya. Bagaimanakah kita, pembunuh dari semua pembunuh, menghibur diri kita sendiri? Yang paling suci dan paling perkasa dari semua yang pernah dimiliki dunia telah berdarah hingga mati di ujung pisau kita sendiri. Siapakah yang akan menyapukan darahnya kita? Dengan air apakah kita dapat menyucikan diri kita? Pesta-pesta penebusan apakah, apa perlu permainan-permainan suci yang perlu kita ciptakan? Bukankah kebesaran dari perbuatan ini terlalu besar bagi kita? Tidakkah seharusnya kita sendiri menjadi tuhan-tuhan semata supaya layak akan hal itu [pembunuh Tuhan]”?

Dalam konteks ini, Tuhan sudah mati tidak boleh ditanggapi secara harfiah, bahwa Tuhan kini secara fisik sudah mati; atau sebaliknya, inilah cara Nietzsche mengatakan bahwa gagasan tentang Tuhan tidak lagi mampu untuk berperan sebagai sumber dari semua aturan moral atau teleologi. Nietzsche mengakui krisis yang diwakili oleh kematian Tuhan bagi pertimbangan-pertimbangan moral yang ada, karena ketika seseorang melepaskan iman Kristen, ia mencabut hak terhadap moralitas Kristen dari bawah "kaki"nya.

Moralitas ini sama sekali tidak terbukti dengan sendirinya. Dengan menghancurkan sebuah konsep utama dari kekristenan, iman kepada Tuhan, orang menghancurkan keseluruhannya, tak ada satupun yang tinggal di tangannya. Inilah sebabnya mengapa dalam buku Also Sprach Zarathustra diceritakan mengenai seorang nabi Zarathustra yang menyebarkan ajarannya. Karena masalahnya ialah bagaimana mempertahankan sistem nilai apa pun di tengah ketiadaan tatanan Ilahi.

Kematian Tuhan adalah sebuah cara untuk mengatakan bahwa manusia tidak lagi mampu memercayai tatanan kosmis apa pun yang seperti itu karena mereka sendiri tidak lagi mengakuinya. Kematian Tuhan, kata Nietzsche, akan membawa bukan hanya kepada penolakan terhadap keyakinan kosmis atau tatanan fisik, tetapi juga kepada penolakan terhadap nilai-nilai mutlak itu sendiri kepada penolakan terhadap keyakinan akan suatu hukum moral yang objektif dan universal, yang mengikat semua individu.

Tuhan yang dibunuh Nietzsche bukanlah Tuhan dalam pemahaman yang spiritualis, transedental, absolute, melainkan Tuhan yang menjerumuskan manusia pada dehumanitas seperti Tuhan- tuhan pagan yang dikerangkeng dalam kotak-kotak dikomotis, termasuk model keagamaan monoteisme-politeistik mayoritas kita. Dalam porsi ini Nietzsche jelas berbeda dengan ateisme Barat sebagaimana Sartre, Kant, Camus dan Armstrong yang membangun paradigm eksistensialis hanya dalam rangka eksplorasi kebebasan manusia, bukan indterminisme dari eksistensi Tuhan.

Nietzsche tidak pernah menampik Tuhan dalam pemahamannya yang inheren dan koheren dengan dimensi ini (Levine, 2002).

Cara pemahaman Nietzsche mengenai Tuhan ini membawa kita pada nihilisme, dan inilah yang diusahakan Nietzsche untuk menemukan suatu pemecahan dengan mengevaluasi kembali dasar-dasar dari nilai-nilai manusia. Bagi Nietzsche, hal ini berarti mencari dasar-dasar yang jauh lebih dalam daripada nilai-nilai Kristen. Kebanyakan orang menolak untuk mencari lebih jauh daripada nilai-nilai ini.Walaupun demikian, dengan kematian Tuhan berikut paradigma kehidupan setelah kematian tersebut, filosofi Nietzsche tidak menjadi sebuah filosofi nihilisme. Justru sebaliknya yaitu sebuah filosofi untuk menaklukan nihilisme (Überwindung der Nihilismus) dengan mencintai utuh kehidupan (Lebensbejahung) dan memosisikan manusia sebagai manusia purna Übermensch dengan kehendak untuk berkuasa (der Wille zur Macht) (Maksum, 2008).

filsafat Nietzsche

Pemahaman “Kehendak” pertama kali didapat Nietzsche ketika ia membaca buku karya Schopenhauer. Dalam buku karya Schopenhauer disebutkan kehendak untuk hidup (der Wille zum Leben). Dari sinilah Nietzsche menemukan bahwa unsur essensial dari diri manusia (Das Ding an Sich) yang hadir ketika berada di manapun adalah “Kehendak”.

Kemudian ia menyempurnakan “Kehendak” dari Schopenhauer yang semula hanya kehendak untuk hidup (der Wille zum Leben) menjadi kehendak untuk berkuasa (der Wille zur Macht) sehingga dalam pengertian ini orang-orang yang dapat menggunakan kehendaknya tidak hanya orang kuat atau orang yang berkuasa, tetapi orang lemah atau tidak memiliki kuasa dapat menggunakan kelemahannya untuk mengendalikan orang yang berkuasa (Tafsir, 2010).

Pengertian kehendak untuk berkuasa bermula dari penegasan Nietzsche mengenai wujud (Sein). Ia menegaskan hal ini dengan menggunakan pandangan eksistensialis bahwa tindakan manusia benar-benar nyata, dan dari setiap tindakan yang terjadi kita memasukkan sebuah diri fiksional sebagai penyebabnya, sehingga hal ini berarti bahwa sebuah kebaikan atau keburukan tidak akan terjadi pada manusia tersebut jika ia tidak melakukan suatu tindakan yang mengundang kebaikan atau membawa keburukan. Inti dari pandangan ini, segala yang terjadi dalam kehidupan ini bergantung pada pilihan yang kemudian dilakukan oleh manusia itu sendiri (Levine, 2002).

Paham-paham Nietzsche merupakan suatu produk dari pemikirannya. Pemikiran Nietzsche begitu erat dengan pengalaman hidupnya. Hampir tak ada filsuf yang riwayat hidupnya dikaitkan begitu erat dengan pemikirannya seperti halnya Nietzsche. Riwayat hidup Nietzshe begitu sarat dengan berbagai pengalaman dan kesepian yang akhirnya memberikan corak khas pada seluruh pemikirannya. Sesungguhnya Nietzsche ingin menjadi seperti ayahnya, menjadi pendeta. Tetapi keputusannya ini mendapat perlawanan keras dari hidupnya. Pada umur empat belas tahun, Nietzsche pindah ke sekolah sekaligus asrama yang bernama Pforta. Sekolah ini dikenal cukup keras dan ketat. Selama di Pforta Ia belajar bahasa Yunani dan Latin secara intensif. Di Pforta inilah Nietzsche mulai merasa kagum terhadap karya-karya klasik Yunani dan kejeniusan para pengarang Yunani. Pada tahun-tahun terakhir di Pforta, Nietzsche sudah menunjukkan sikap jalangnya. Dalam tulisannya, Ohne Heimat (Tanpa Kampung Halaman), ia mengungkapkan gejolak hatinya yang ingin bebas dan minta dipahami.

Pemikiran Nietzsche juga banyak dipengaruhi oleh pendidikan dari sekolahnya, Pforta. Pola pemikiran Nietzsche mengikuti suatu pola yang secara kasar dapat diringkas dalam lima tahap (Levine, 2002):

  1. Historisisme, atau pengakuan terhadap keragaman nilai-nilai dan ide-ide tentang waktu,

  2. Historisisme-Weltanschauung, atau kepercayaan bahwa kompleksitas organik dari ide-ide dan nilai-nilai menjadi dasar setiap kebudayaan, yang menentukan perjalanan kehidupan dan pemikiran manusia,

  3. Relativisme atau teori bahwa ide-ide hanya benar dan atau baik di dalam Weltanschauung khusus,

  4. Nihilisme atau kehilangan semua ide tentang kebaikan dan kejahatan, kebenaran dan kekeliruan; kemudian proposisi relativisme berubah melawan dirinya-bahkan relativisme semata-mata bersifat relatif,

  5. Filsafat Dionysian, atau perjalanan kreatif melampaui kebudayaan dan rasionalitas.

Pola pemikiran ini terbukti dalam awal sejarah ide-ide Nietzsche, kemudian tertuang pada buku-buku yang terpublikasikan. Ketika buku The Birth of Tragedy selesai ditulis oleh Nietzsche, pemikirannya telah sampai pada tahap yang terakhir, karena Nietzsche bergerak melampaui tahap relativisme di dalam karyanya. Walau tidak sepenuhnya benar menyebutnya seorang relativis, meskipun dia tentu menginginkan menggunakan alasan-alasan relativis untuk melawan dogma-dogma masa lalu. Tetapi juga tidak benar mengatakan bahwa dia mempertahankan sebuah keyakinan terhadap Weltanschauung, karena semua konsep metafisika semacam ini tidak sesuai dengan pandangan kritis yang diwakili oleh tahap nihilisme (Levine, 2002).

Teori bahwa masing-masing kebudayaan yang memiliki 'Pandangan Dunia’nya sendiri, ungkap Nietzsche, teori tersebut hanya produk arbitrer dari ‘Pandangan Dunia’ kebudayaannya. Namun demikian, Nietzsche tergantung kepada konsep Weltanschauung pada tahap awal perkembangannya; tanpa tahap ini, tidak akan berlanjut ke tahap-tahap berikutnya.

Dari sudut pandang filsafat Dionysian, langkah-langkah yang dimulai dari Historisisme, Historisisme-Weltanschauung hingga Relativisme yang telah menyebabkan Nietzsche melampaui akal, moral dan kebudayaan yang sekarang tampak tidak berdaya dan bersifat arbitrer, semata-mata produk kontingen dari kebudayaan Eropa abad kesembilan belas. Namun demikian, langkah-langkah ini adalah tahap menuju nihilisme aktif yang telah dicapai Nietzsche. Kemudian pemikiran Nietzsche mengarah pada kesimpulan yang tidak begitu saja membuat premis-premisnya sendiri. Nietzsche membuat klaim historis: dia menganggap bahwa penemuan Barat terhadap relativisme kultural adalah menentukan kepercayaan terhadap kebenaran objektif yang mengantarkan pada tempat pertamanya. Pola pemikiran inilah yang membuat Nietzsche menjadi seorang kritikus tangguh dan berpengaruh terhadap ilmu-ilmu humaniora modern (Levine, 2002).

Di sisi lain Nietzsche mengungkapkan sebuah pengakuan terhadap nihilisme. Yang dimaksud nihilisme olehnya yakni adalah suatu peristiwa membebaskan orang-orang yang mempunyai kekuatan untuk bertindak secara kreatif meskipun mereka mengetahui bahwa tidak ada kebenaran dan kekeliruan, kebaikan dan kejahatan. Nietzsche menyebut masyarakat semacam ini Übermensch. Seperti Manusia Terakhir, Übermensch melampaui kebudayaan, tetapi mereka mampu menggali kebudayaan sebagai suatu faedah. Misalnya, Nietzsche merasakan bahwa nihilisme telah membebaskannya dari penyempitan rasional konvensional dan memberikannya izin untuk menciptakan filsafat baru dan ahistoris yang dengan sendirinya tidak sesuai dengan temuan-temuan ahli filologi. Filsafat ini mewakili penegasan übermenschlichnya, sebuah perjuangan nihilistik secara aktif melawan nihilisme Manusia Terakhir yang pasif (Levine, 2002).

Pengalaman membaca buku karya Schopenhauer dan buku berjudul Geschichte des Materialismus und Kritik seiner Bedeutung in der Gegenwart karya Friedrich Albert Lange adalah salah satu peristiwa terpenting dalam kehidupan intelektualnya. Persahabatannya dengan Richard Wagner juga memberi warna terhadap pemikirannya. Wagner juga seorang pengagum Schopenhauer, sejak itu Nietzsche menggabungkan antara Wagner dengan Schopenhauer , menjadi agama barunya.

Tema dasar gagasan atau filsafat Nietzsche ditemukan dalam opus magnum yang direncanakannya, yaitu Der Wille zur Macht: Versuch einer Umwertung aller Werte (The Will to Power: Attempt at a Revolution of All Values; Kehendak untuk Berkuasa: Suatu Usaha Transvaluasi Semua Nilai).

filsafat Nietzsche

Dalam buku itu, ia dengan ambisius mau mengadakan penelitian dan kritik tentang nilai. Lebih dari separuh buku ini dipakai untuk membahas nilai-nilai yang diajukan oleh agama, moral, dan filsafat. Kritik ini berakhir dengan apa yang disebut dengan nihilisme. Kedudukan nihilisme dalam pemikiran Nietzsche begitu penting.

Apa itu nihilisme?

Secara singkat dan sederhana nihilisme dapat diartikan sebagai runtuhnya nilai-nilai tertinggi dan kegagalan manusia menjawab persoalan “untuk apa”?

Dengan runtuhnya nilai-nilai, orang dihadapkan pada persoalan bahwa segalanya menjadi tak bermakna dan tak ternilai. Setelah mengajukan persoalan nihilisme, Nietzsche mengajukan prinsip-prinsip untuk mengevaluasi seluruh nilai supaya dapat melihat nilai baru.
Sejak awal karya-karyanya memperlihatkan minatnya pada bidang seni sebagai pengganti bidang moral yang selama ini membelenggu manusia. Belenggu yang kedua datang dari kesadaran yang berlebihan akan sejarah. Nietzsche ingin membebaskan orang dari beban moral dan beban sejarah.