Bagaimana pemikiran Abu Manshur Al-Hallaj ?

Al-Hallaj

Pemikiran dari Abu Manshur Al-Hallaj, atau yang biasa dikenal dengan Al-Hallaj, banyak dikenal oleh masyarakat Islam, terutama dari kalangan sufi. Bagaimana pemikiran Abu Manshur Al-Hallaj ?

Ajaran tasawuf Al-Hallaj yang paling terkenal adalah ḫulûl dan waḫdaṯ asy-syuḫud yang kemudian melahirkan paham waḫdaṯ al-wujûd (panteisme) yang dikembangkan Ibnu Arabi. Secara etimologis, kata “ḫulûl” diambil dari kata ḫalla-yaḫullu-ḫulûl (bentuk: mashdar/infinitive), artinya: “bertempat di”. Dari pengertian kata ini kemudian ḫulûl diartikan dengan “Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan”.

Al-Hallaj memang pernah mengaku bersatu dengan Tuhan (ḫulûl). Kata ḫulûl, berdasarkan pengertian bahasa, berarti menempati suatu tempat. Adapun menurut istilah ilmu tasawuf, ḫulûl berarti paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat didalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.

Al-Hallaj berpendapat bahwa dalam diri manusia sebenarnya ada sifat-sifat ketuhanan. Ia menakwilkan ayat:

Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, “ sujudlah kamu kepada Adam!,” maka sujudlah mereka kecuali iblis. Ia menolak dan menyombongkan diri, dan ia termasuk golongan yang kafir. (QS. Al-Baqarah (2):34).

Allah memberi perintah kepada malaikat untuk sujud kepada Adam, karena yang berhak untuk diberi sujud hanya Allah. Al-Hallaj memahami bahwa dalam diri Adam sebenernya ada unsur ketuhanan. Ia berpendapat demikian, karena sebelum menjadikan makhluk, Tuhan melihat Dzat-Nya sendiri dan Dia pun cinta kepada Dzat-Nya sendiri, cinta yang tidak dapat disifatkan, dan cinta inilah yang menjadi sebab wujud dan sebab dari yang banyak ini. Ia mengeluarkan sesuatu dari tiada dalam bentuk diri-Nya yang mempunyai segala sifat dan nama. Bentuk diri-Nya ini adalah Adam. Menurut Al-Hallaj pada diri Adam-lah Allah muncul.

Teori di atas tampak dalam syairnya:

Mahasuci Dzat yang sifat kemanusiaan-Nya membuka rahasia Ketuhanan-Nya yang gemilang.

Kemudian kelihatan bagi makhluk-Nya dengan nyata dalam bentuk manusia yang makan dan minum.

Melalui syair di atas, tampaknya Al-Hallaj memperlihatkan bahwa Tuhan mempunyai dua sifat dasar, yaitu sifat ketuhanan-Nya sendiri (lahut) dan sifat kemanusiaan (nasut). Jika nasut Allah mengandung tabiat seperti manusia yang terdiri atas roh dan jasad, lahut tidak dapat bersatu dengan manusia, kecuali dengan cara menempati tubuh setelah sifat-sifat kemanusiaannya hilang, seperti yang terjadi pada diri Isa. Menurut Al-Hallaj bahwa Tuhan memiliki sifat nasut dan lahut, demikian juga manusia. Manusia dapat menghilangkan sifat *nasut-*nya (sifat kemanusiaan) apabila manusia sudah mencapai ke tingkat fana. Dan dengan menghilangkan sifat-sifat nasut mencapai sifat lahut (sifat ketuhanan) yang dapat mengontrol tingkah laku dan menjadi inti dari kehidupan.

Oleh karena itu, Al-Hallaj mengatakan dalam syairnya:

Jiwamu disatukan dengan jiwaku

Sebagaimana anggur disatukan dengan air suci

Dan jika ada sesuatu yang menyentuh Engkau, ia pun menyentuhku Dan ketika itu dalam tiap Hal Engkau adalah aku

Aku adalah Dia yang kucintai dan Dia yang kucintai adalah aku Kami dua jiwa yang bertempat dalam satu tubuh

Jika engkau lihat aku, engkau lihat Dia

Dan jika engkau lihat Dia engkau lihat kami.

Dari syair di atas dapat dipahami bahwa persatuan antara Tuhan dan manusia dapat terjadi dengan mengambil bentuk ḫulûl . Dengan demikian, agar dapat bersatu, manusia harus terlebih dahulu menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya. Setelah sifat-sifat kemanusiaannya hilang dan hanya tinggal sifat ketuhanan yang ada dalam dirinya, di situlah Tuhan mengambil tempat dalam dirinya, dan ketika itu roh Tuhan dan roh manusia bersatu dalam tubuh manusia.

Al-Hallaj berpendapat pada ḫulûl terkandung kefanaan total kehendak manusia dalam kehendak Ilahi, sehingga setiap kehendaknya adalah kehendak Tuhan, demikian jauga tindakannya. Namun, di lain waktu Al-Hallaj mengatakan:

“Barang siapa mengira bahwa ketuhanan berpadu jadi satu dengan kemanusiaan ataupun kemanusiaan berpadu dengan ketuhanan, maka kafirlah ia.

Sebab, Allah mandiri dalam Dzat maupun sifat-Nya dari dzat dan sifat makhluk.

Dan tidak sekali-kali menyerupai makhluk-Nya dan mereka pun tidak sekali-kali menyerupai-Nya.”

Dengan demikian, Al-Hallaj sebenarnya tidak mengakui dirinya Tuhan dan juga tidak sama dengan Tuhan, seperti terlihat dalam syairnya:

"Aku adalah rahasia yang Mahabenar dan bukanlah Yang Mahabenar itu. Aku, hanya satu dari yang benar, maka bedakanlah antara kami "

Dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa ḫulûl yang terjadi pada Al-Hallaj tidaklah nyata karena memberi pengertian secara jelas adanya perbedaan antara hamba dan Tuhan. Dengan demikian, ḫulûl yang terjadi sekadar kesadaran psikis yang berlangsung pada kondisi fana, atau menurut ungkapannya sekadar telembarnya nasut dalam lahut , atau dapat dikatakan antara keduanya tetap ada perbedaan seperti dalam syair:

Air tidak dapat menjadi anggur

Meskipun keduanya telah bercampur-aduk

Paham ḫulûl dari Al-Hallaj sangat berpengaruh bagi para sufi sesudahnya, walaupun paham kemenyatuan antara Tuhan dengan hamba dilarang oleh penguasa pada masa itu. Akan tetapi, paham tasawuf dari Al-Hallaj tetap memiliki pengaruh yang sangat besar bagi paham tasawuf Irfani pada masa sesudahnya.

image

Secara istilah ḫulûl berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat kemanuaiaannya melalui fana. Menurut keterangan Abu Nasr al-Tusi dalam al-Luma’ sebagai dikutip Harun Nasution, ḫulûl adalah paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan. Didalam teks Arab pernyataan tersebut berbunyi:

sesungguhnya Allah memilih jasad-jasad (tertentu) dan menempatinya dengan makna ketuhanan (setelah) menghilangkan sifat-sifat kemanusiaan”.

Paham bahwa Allah dapat mengambil tempat pada diri manusia ini, bertolak dari dasar pemikiran al-Hallaj yang mengatakan bahwa pada diri manusia terdapat dua sifat dasar yaitu lahut (ketuhanan) dan nasut (kemanusiaan). Ini dpat dilihat dari teorinya mengenai kejadian manusia dalam bukunya bernama al-thawasin.

Sebelum Tuhan menjadikan makhluk, ia hanya melihat diri-Nya sendiri. Dalam kesendirian-Nya itu terjadilah dialog antara Tuhan dengan diri-Nya sendiri, yaitu dialog yang di dalamnya tidak terdapat kata ataupun huruf. Yang dilihat Allah hanyalah kemuliaan dan ketinggian zat-Nya. Allah melihat kepada dzat-Nya dan Ia pun cinta pada zat-Nya sendiri, cinta yang tak dpat disifatkan, dan cinta inilah yang menjadi sebab wujud dan sebab dari yang banyak ini. Ia pun mengeluarkan dari yang tiada bentuk copy dari diri-Nya yang mempunyai sifat dan nama-Nya. Bentuk copy ini adalah Adam. Setelah menjadikan Adam dengan cara itu, ia memuliakan dan mengagungkan Adam. Ia cinta pada Adam, dan pada diri Adam Allah muncul dalam bentuknya. Demikian demikian, pada diri Adam terdapat sifat-sifat yang dipancarkan Tuhan yang berasal dari Tuhan sendiri.

Dengan cara demikian maka manusia mempunyai sifat ketuhanan dalam dirinya. Hal ini dipahami dari ayat yang berbunyi:

Dan ingatlah ketika Kami berkata kepada malaikat: “ Sujudlah kepada Adam”, semuanya sujud kecuali iblis, yang enggan dan merasa besar. Ia menjadi yang tidak percaya. (QS Al-Baqarah: 34).

Menurut Al-Hallaj, bahwa Allah memberi perintah kepada malaikat agar bersujud kepada nabi Adam, karena pada diri Adam Allah menjelma sebagaimana agama Nasrani. Ia menjelma dalam diri Isa as.

Paham bahwa Allah menjadikan Adam menurut bentuk-Nya, dapat pula dipahami dari isyarat yang terdapat dalam hadits yang berbunyi:

“Tuhan menciptakan Adam sesuai dengan bentuk-Nya.”

Dengan melihat ayat dan hadis tersebut, al-Hallaj berkesimpulan bahwa dalam diri manusia terdapat sifat ketuhanan (lahut) dan dalam diri Tuhan juga terdapat sifat kemanusiaan (nasut). Jika sifat ketuhanan yang ada dalam diri manusia bersatu dengan sifat kemanusiaan yang ada dalam diri Tuhan maka terjadilah ḫulûl . Untuk sampai ke tahap seperti ini manusia harus terlebih dahulu menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui proses al-Fanâ sebagaimana telah disebutkan di atas.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka al-Ḫulûl dapat dikatakan sebagai suatu tahap di mana manusia dan Tuhan bersatu secara rohaniah. Dalam hal ini ḫulûl pada hakikatnya istilah lain dari al-ittiḫâd sebagaimana telah disebutkan di atas. Tujuan dari ḫulûl adalah mencapai persatuan secara batin. Untuk itu Hamka mengatakan, bahwa al-Ḫulûl adalah ketuhanan (lahut) menjelma ke dalam diri insan (nasut), dan hal ini terjadi pada saat kebatinan seorang insan telah suci bersih dalam menempuh perjalanan hidup kebatinan.

Referensi :

  • Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, ( Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984)
  • Achlami HS, Tasawuf Abdullah Bin Alwi Haddad, (Fakultas Dakwah IAIN Bandar Lampung: Fakultas Dakwah, 2010).
  • Departemen Agama RI, Al-Quran Dan Terjemahnya , (Surabaya: Mekar Surabaya, 2002).
  • A. Rivay Siregar, Tasawuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme , (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000).
  • Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1983).
  • A. Qadir Mahmud, al-Falsafah al-Sufiyah fi al-Islam, ( Bairut: Dar al-Fikr, 1966)
  • Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, ( Jakarta: Rajawali Pers, 2014).