Bagaimana Paradigma Realisme dalam Hubungan Internasional?

Paradigma Realisme

Bagaimana Paradigma Realisme dalam Hubungan Internasional?

Seperti yang pernah dikatakan Francis Fukuyama (2003) bahwa politik dan hubungan internasional adalah masalah evolusi sejarah. Ke arah mana angin sejarah bergerak, di situ kita akan menemukan teka-teki sejarah yang kontradiktif dan dialektis. Mereka yang optimis tentang jalannya sejarah dunia tentu akan mengikuti pola-pola historis yang tergambar dalam tradisi filsafat idealisme Hegel dalam bingkai “Pertempuran Jena”, sementara bagi mereka yang pesimis, pola-pola historis yang tergambar cenderung mengikuti tradisi filsafat realisme politik Thucydides dalam bingkai “Perang Peloponnesia”. Dengan demikian, perjalanan sejarah dunia adalah perjalanan sejarah yang dialektis, sulit untuk mereka-reka ke arah mana angin sejarah akan bergerak: akankah mengarah pada kemajuan (endisme) atau pada kemunduran (deklinisme).

Teori mainstream dalam ilmu ekonomi dan sosiologi, selama berabad-abad yang lalu, telah dan terus berjuang dengan problem sejarah dan perubahan sejarah. Namun, para teoretisi hubungan internasional bertradisi filsafat realisme justru berbicara seolah-olah sejarah tidak eksis, misalnya, seolah-olah perang dan imperialisme adalah aspek permanen dari cakrawala manusia. Sementara seluruh aspek yang lain dari lingkungan sosial manusia seperti agama, keluarga, organisasi ekonomi, konsep-konsep mengenai legitimasi politik tunduk pada evolusi sejarah, hubungan internasional justru tidak demikian, sejarah selalu dianggap selamanya identik dengan dirinya sendiri: “Perang adalah Abadi” (Fukuyama, 2003: 374).

Pandangan pesimistis mengenai hubungan internasional ini telah memberi suatu formulasi sistematis yang berjalan dalam berbagai julukan tentang “realisme, real politik, atau politik kekuasaan”. Realisme, baik secara sadar disebut dengan nama itu atau tidak, adalah kerangka yang dominan dalam memahami hubungan internasional, dan secara virtual telah membentuk pemikiran mengenai setiap kebijakan luar negeri profesional saat ini di Amerika Serikat dan tempat-tempat lain di dunia (Fukuyama, 2003: 374), terutama sejak Thucydides, Machiavelli, Hobbes, Carr, Morgenthau, dan Waltz membahas masalah ini di dalam karya-karyanya.

Realisme politik ketika menganalisis hubungan internasional selalu mendasarkan pandangan mereka pada realitas, pada apa yang ada, dan bukan pada apa yang seharusnya, seperti yang diklaim oleh kaum idealisme politik. Di dunia nyata, menurut kaum realis, konflik sudah diambang pintu karena sifat kekerasan yang melekat di dalam diri manusia dan karena jalan yang dipilih oleh penduduk dunia lebih tertarik untuk mengorganisasikan bentuk negara yang berdaulat dan independen yang cenderung tidak menghormati otoritas di luar atau di atas negaranya. Pemikiran kaum realis dengan demikian berlandaskan pada pencarian kekuatan dan dominasi yang berasal dari sifat manusia sebagai alasan dasar bagi konflik (Sorensen, 2003: 205).

Mereka juga cenderung menjadi determinis dan yakin bahwa ada kekuatan-kekuatan kausal yang berada di luar kemampuan manusia—ada hukum-hukum obyektif yang menjadikan pola-pola tingkah laku tertentu pasti berlaku, tidak dapat dihindarkan, terutama sekali dalam hubungan internasional. Ini berarti bahwa kaum realis tidak begitu yakin pada kemampuan akal pikiran manusia untuk mencari pemecahan-pemecahan jitu terhadap masalah-masalah yang dihadapinya. Secara demikian realisme politik mengandung unsur-unsur oportunisme dan menekankan pada ekspediensi dalam arti sangat terpengaruh oleh lingkungan yang ada dan mengambil langkah-langkah yang paling pragmatis dalam memecahkan masalah, sungguhpun langkah-langkah itu tidak benar untuk jangka waktu yang panjang.

Realis juga beranggapan bahwa prinsip-prinsip moral tidak dapat diterapkan untuk memahami perilaku politik negara. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Morgenthau, bahwa “realisme politik tidak memerlukan pembenaran moral, akan tetapi ia memerlukan pembedaan yang tajam antara apa yang dikehendaki dan apa yang mungkin, antara apa yang diharapkan di mana pun kapan pun” (Morgenthau, 1985: 7). Kalangan realis juga menolak penerapan prinsip-prinsip moral dalam analisis politik internasional karena perbedaan mendasar antara politik internasional dan politik domestik. Di tingkat domestik terdapat otoritas-otoritas berkuasa yang dapat mengatur moralitas individu, sementara di dunia internasional tidak ada otoritas berkuasa yang dapat mengatur kehidupan negara karena hubungan antar negara berlangsung dalam lingkungan yang anarkis.

Karena itulah, seorang yang sangat liberalis pun, seperti Stanley Hoffman, bahkan mengatakan bahwa “dalam suatu masyarakat anarkis dari bangsa-bangsa yang hidup dalam keadaan ‘tidak damai’ atau ‘keadaan perang’, semua yang bergantung pada pandangan John Locke ataupun Thomas Hobbes akan melihat hal yang sama ketika dihadapkan pada masalah-masalah dunia. Akan selalu ada yang namanya perasaan ketidakamanan. Tidak semua negara atau pelaku dapat sama-sama aman selama belum tercapai dunia yang bebas dari ancaman dan permusuhan” (Hoffman, dalam Bertram, 1988: 130).

Pertanyaannya adalah, mengapa kaum realis begitu pesimis terhadap kondisi politik internasional? Mengapa kaum realis begitu meyakini ancaman keamanan, konflik, dan anarki menjadi hal yang mutlak dan akan terus berlangsung selama negara masih menjadi unit politik yang independen? Menurut Vioti dan Kauppi, setidaknya ada empat hal pokok yang bisa menjawabnya (Viotti & Kauppi, 1999: 6-7; dan Andre Pareira, 1999: 102-104).

Pertama, negara dipandang sebagai pelaku utama sekaligus pelaku terpenting (state are the principal or most important actors). Dalam asumsi ini, negara dipandang sebagai unit utama dalam analisis, baik ketika orang membahas masyarakat politik zaman Yunani Kuno (polis) maupun analisis masyarakat politik modern (nation state), dan studi HI adalah studi hubungan di antara unit-unit masyarakat politik. Seorang realis yang menggunakan konsep sistem, mendefinisikan terminologi sistem dalam pengertian sistem internasional yang melibatkan negara sebagai elemen-elemen dalam sistem tersebut. Elemen-elemen lain bukan negara di dalam sistem internasional, seperti organisasi internasional, multinational coorperation, transnational groups juga merupakan aktor, tetapi perannya kurang penting dibandingkan negara.

Kedua, negara dipandang sebagai kesatuan aktor (state is viewed as a unitary actor). Untuk tujuan analisis, seorang realis melihat negara ibaratnya sesuatu mahkluk yang terbungkus oleh sel-sel kehidupan yang keras (as being encapsulated by metaphorical hard sell). Sebuah negara berhadapan dengan dunia luar yang juga merupakan suatu unit yang terintegrasi. Dalam pengertian ini negara dilihat sebagai otoritas tertinggi, yang perwujudannya oleh pemerintah, dan pemerintah adalah representasi negara yang menyuarakan dengan satu suara yang sama untuk kepentingan negara secara keseluruhan. Sehingga apabila terjadi sesuatu di dalam sistem negara yang berhubungan dengan lingkungan di luar negara, negara (pemerintah) melakukan intervensi untuk mengambil suatu tindakan, peran aktor non-negara yang berbeda pandangan dengan negara (pemerintah) diarahkan untuk kepentingan kebijaksanaan yang terpusat dan dikontrol oleh negara.

Ketiga, negara secara esensial diasumsikan sebagai aktor yang rasional (state is essentially a rational actor). Asumsi ini berhubungan dengan proses pembuatan keputusan politik luar negeri, yang seharusnya mencakup perumusan tujuan, pertimbangan-pertimbangan alternatif dalam pengertian ketersediaan kapabilitas negara, pertimbangan kemungkinan berbagai macam alternatif yang bisa digunakan dengan disertai pertimbangan keuntungan dan kerugian untuk masing-masing alternatif yang digunakan. Asumsi ini juga memperhitungkan bahwa unsur kemanusiaan dari para pembuat keputusan yang mungkin saja menimbulkan persepsi yang salah tentang lingkungan yang dihadapi yang bisa mengarahkan politik luar negeri tidak sesuai dengan tujuan.

Keempat, keamanan nasional merupakan isu utama dan menempati tempat teratas di samping isu-isu lainnya (national security is on top of the list within the hierarchy of international issue) sehingga aspek militer dan isu-isu politik yang berhubungan dengan masalah keamanan nasional mendominasi perpolitikan dunia. Seorang realis juga biasanya memusatkan perhatiannya pada potensi konflik yang ada di antara aktor negara, dalam rangka memperhatikan atau menjaga stabilitas internasional, mengantisipasi kemungkinan kegagalan upaya penjagaan stabilitas, memperhitungkan manfaat dari tindakan paksaan sebagai salah satu cara pemecahan terhadap perselisihan, dan memberikan perlindungan terhadap tindakan pelanggaran wilayah perbatasan. Oleh karena itu, power adalah konsep kunci. Dalam kacamata realis, keamanan militer dan isu-isu strategis tergolong kepentingan utama dan mengacu pada kategori politik berbobot tinggi (high politics), sedangkan ekonomi dan isu-isu sosial dilihat oleh kaum realis sebagai hal yang biasa, kurang penting atau mempunyai bobot politik yang rendah (low politics).

Meskipun keempat pandangan di atas merupakan prinsip umum dari realisme, namun realisme bukanlah teori tunggal. Realisme dapat dikelompokkan lagi menjadi dua pendekatan, yaitu “realisme klasik” dan “neo-realisme.” Tak hanya itu, neo-realisme pun dibagi lagi menjadi dua varian: defensif dan ofensif. Penganut paham realisme klasik seperti Hans J. Morgenthau percaya bahwa negara, seperti halnya manusia, memiliki hasrat yang tak pernah terpuaskan untuk mendominasi yang lainnya dan pada akhirnya membawa mereka pada peperangan.

Sebaliknya, neo-realis defensif yang dimapankan oleh Kenneth Waltz, justru mengabaikan sifat alamiah manusia dan memfokuskan analisisnya pada dampak yang dihasilkan sistem internasional. Bagi Waltz (1979), sistem internasional terdiri dari sejumlah kekuatan besar, yang masing-masing berusaha untuk bertahan karena sistem berjalan secara anarkis (suatu kondisi yang dihasilkan karena tidak adanya otoritas sentral yang dapat mengaturnya). Di dalam kondisi yang anarkis seperti itu, setiap negara akan mempertahankan dirinya sendiri. Untuk itu, kata Waltz, kondisi ini telah memaksa negara-negara lemah menjadi berupaya untuk mengimbangi negara-negara yang kuat. Sejalan dengan Waltz, seorang neo-realis ofensif John J. Mearsheimer (2001), mengatakan bahwa struktur sistemlah yang menentukan bagaimana negara berperilaku, bagaimana cara mereka memandang satu sama lain dan ini bisa berakibat pada apa yang disebut dengan anarki internasional.

Akan tetapi Waltz dan Mearsheimer memiliki perbedaan pandangan dalam menjelaskan tujuan negara. Mearsheimer, misalnya, percaya bahwa setiap negara akan berupaya untuk menjadi kekuatan hegemon dan lebih agresif daripada yang dibayangkan oleh Waltz. Tujuan negara menurut Mearsheimer adalah untuk mendominasi seluruh sistem, dan menjadi pihak yang berkuasa di kawasan dunia (Kreisler, 2002). Jika anda adalah yang terbesar, tidak akan negara manapun yang berani menentang anda karena anda begitu berkuasa. Ambillah belahan bumi Barat sebagai contoh, di mana AS sejauh ini merupakan negara yang paling berkuasa di kawasan ini. Di kawasan itu, tidak akan ada negara seperti Kanada, Guetamala, Kuba, ataupun Meksiko yang akan berpikir untuk berani melawan atau berperang dengan AS karena kekuatan AS terlalu besar bagi mereka. Berbeda dengan Waltz. Menurutnya, pandangan Mearsheimer itu tidak tepat. Karena dengan menjadi begitu berkuasa, dan ketika suatu negara bergerak ke arah sana, negara lain pasti akan berupaya untuk mengimbangi dan melawannya.

Meski ada perbedaan pandangan dalam hal keutamaan unit analisis dan tujuan negara dari varian-varian realisme di atas, secara prinsip mereka menyepakati satu hal bahwa sistem politik internasional akan selalu berjalan secara anarkis dikarenakan memang tidak adanya otoritas tunggal (baca: PBB) yang bisa membuat dunia menjadi jauh lebih harmonis.