Bagaimana pandangan Soekarno dan Hatta mengenai demokrasi dan kedaulatan rakyat?

Sejak umur 20-an Bung Karno telah aktif menolak paham kapitalis-imperialisme karena keberadaannya telah menyengsarakan ibu pertiwinya. Ia bahkan menganjurkan kepada Sarekat Islam untuk meneruskan perjuangan melawan kapitalisme. “ apa gunanya kita mempunyai pemerintah sendiri jika ia masih dikuasai penganut-penganut kapitalisme-imperialisme” (Dahm 1987).

Bung Karno mencurahkan pemikirannya dalam sebuah artikel demokrasi politik dan demokrasi ekonomi yang di muat di koran pikiran rakyat tgl. 28 oktober-4 November 1932. dalam tulisannya tersebut ia memperingatkan kepada kaum marhaen untuk tidak meniru demokrasi Barat, hal ini disebabkan karena demokrasi Barat tidak menjamin kesejahteraan kaum marhaen melainkan mensejahterakan kaum marhaen dibidang politik, tetapi tidak dibidang ekonomi. Kaum marhaen yang nota benenya sebagai masyarakat kelas bawah akan selalu kekurangan.

Bung Karno mencontohkan pengalaman yang dilakukan oleh revolusi Perancis dimana kaum proletar hanya diberi hak-hak politik sedangkan kaum borjuis tetap memegang kekuatan ekonomi. Dengan demikian kaum proletar (rakyat jelata) bisa mengusir menteri dan membuat menteri itu terpelanting dan rakyat jelata menjadi “raja” tapi pada saat yang sama kaum proletar bisa pula diusir dari pabrik dari tempat dimana ia bekerja, dilemparkan ke atas jalan, menjadi orang pengangguran karena itu mereka tetap saja sengsara akibat pemberlakuan demokrasi parlementer yang telah menyuburkah kapitalisme. Bung Karno bertambah kuat setelah melihat negara-negara Barat semakin kejangkitan kapitalisme. Karena itu dalam artikel “ Demokrasi ekonomi dan demokrasi sosial” yang dimuat dalam majalah pemandangan pada tahun 1941, Bung Karno memandang bahwa kapitalisme itu mendapat perlindungan dari sebuah sistem demokrasi yang memungkinkan dominasinya yaitu demokrasi parlementer.

Demokrasi parlementer dianggap belum cukup menjamin kemakmuran rakyat selama belum ada pemerataan ekonomi, karena biasanya parlemen dikuasai oleh kaum borjuis. Mereka ini bisa menguasai saluran-saluran propaganda (media massa), rakyat jelata jika mendapat suara yang banyak tetapi tidak mendapatkan kesamarataan ekonomi, sejarah Parlementaire democratie telah membuktikannya . Azas demokrasi parlementer mengenai kesamaan politik saja, tidak untuk kesamarataan ekonomi. Menurut Bung Karno “Demokrasi Parlementer itu hanya memberikan keuntungan-keuntungan sementara pada kapitalisme, tapi juga menjamin kesinambungannya.”

Demokrasi Versi Indonesia Yakni menganut prinsip-prinsip musyawarah yang akhirnya menghasilkan mufakat. Menurut Bung Karno menegaskan bahwa jiwa Indonesia bertentangan dengan jiwa fasisme yaitu jiwa yang menyerahkan segala hal kepada kehendak satu orang saja, jiwa “perseorangan”, jiwa kezaliman dan jiwa diktator

Fasisme Jerman yang melahirkan fuhrer prinsip, artinya pemimpin harus diikuti saja bagian bawah hingga atas tanpa banyak mikir lagi, ibarat Samina wa Atha’na. Bung Karno menyatakan bahwa demokrasi-Indonesia yaitu sosio demokrasi dengan sebuah lembaga yang mewakili seluruh rakyat yang senantiasa manganut prinsip-prinsip gotong royong disamping tiu juga menggunakan prinsip demokrasi musyawarah untuk mencapai mufakat.

Bung Karno ternyata tidaklah menyukai demokrasi berdasarkan pemungutan suara (voting) karena suara di Barat itu bisa berdampak tirani terhadap minoritas. Selanjutnya Bung Karno mengungkapkan tentang kebudayaan masyarakat Indonesia yang menuruti sabda pandhito ratu merupakan suatu kultur terpimpin. Dimana demokrasi terpimpin layaknya demokrasi yang mengenal lembaga khalifah, dimana khalifah harus dipilih oleh umat Islam dan khalifah harus mampu melidungi seluruh umat Islam. Disuatu kesempatan lain dalam pidatonya Bung Karno mengibaratkan pemimpin merupakan pengenbala. Disini seorang kepala pemerintahan diartikan sebagai imam yang memiliki tanggung jawab atas keadaan rakyatnya.

Slogan mengenai demokrasi dari rakyat untuk rakyat menurut Bung Karno bahwa demokrasi haruslah benar-benar nyata memberi keuntungan pada rakyat. Oleh sebab itu demokrasi harus memiliki disiplin dan harus memiliki pemimpin.

Dalam ide guided democrazy haruslah sesuai dengan UUD’45, dimana dari sinilah merupakan cerminan kepribadian (identity) bangsa Indonesia. Bung Karno yakin/meyakini bahwa demokrasi yang cocok untuk kultur Indonesia adalah adalah demokrasi terpimpin yang berdasarkan UUD’45.

Sebagai hasil dari permusyawaratan perwakilan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dari Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) berupa GBHN yang kemudian diserahkan ke presiden yang dipilih oleh khidmat kebijaksanaan tidak dengan perdebatan. Bung Karno bukanlah diktator dimana berlainan dengan demokrasi sentralisme dan berbeda pula dengan demokrasi liberal.

Untuk menstabilkan demorasi terpimpin haruslah selalu menjamin kontinuitas, sehingga akan membuahkan hasil dimana kekuasaan presiden semakin kuat serta sesuai denga koridor konstitusi dan presiden diberhentikan MPR diawasi DPR.

Bung Karno menegaskan bahwa demokrasi berarti toleransi atau kesediaan memberikan kesempatan pada orang atau pihak lain terus mengenal oposisi merasa tidak berkewajiban untuk mengatakan pemerintah berbuat baik. Selanjutnya beliau mengatakan bahwa demokrai erpimpin haruslah senantiasa melahirkan pendapat sehat. Adapun fungsi oposisi menurut kacamata bung Karno itu juga ikut andil, ikut menentukan GBHN di MPR dan ikut membuat UU di DPR.

Bung Karno mengajarkan penertiban dan pengaturan menurut wajarnya kemudian diimplementasikan dalam UU kepartaian. Demokrasi terpimpin haruslah bisa mencapai masyarakat yang adil dan makmur sehingga tidak salah jika demokrasi terpimpin adalah demokrasi penyelenggara atau demokrasi yang perlu dihasilkan dengan bekerja dan bekerja bukan cuma berbicara.
Alat demokrasi terpimpin mengenal kebebasan berpikir dan berbicara dalam batas keselamatan negara. Demokrasi berarti kemerdekaan membuat orang bebas menggunakan pikirannya tanpa campur tangan pihak lain.

Pemikiran Bung Hatta
Demokrasi Indonesia yang dikenalkan oleh Bung Hatta artinya tidak berdasarkan kebudayaan Indonesia disini artinya kedaulatan rakyat dijunjungnya tidak sama dengan Volskouvereiniteit individualisme. Betul ada persamaan nama karena Bung Hatta mengambil dari Barat. Menurutnya adalah suatu keharusan untuk selalu menyetujui masyawarah tetapi menolak mufakat sebab musyawarah merupakan cara-cara menolak menang sendiri, sikap diktatoral/otoriter.

Sifat musyawarah perlu diterapkan dalam badan-badan perwakilan. Perbedaan pendapat adalah tepat untuk menggalakkan sistem mayoritas yang mengarah kepada sistem Voting (penghitungan suara). Masyarakat demokratis seperti di Indonesia, mentalitas orang berlainan dengan masyarakat individualistis sebab dalam segala tindakan dan persyaratan pendapatnya, ia teruatama dikemudikan oleh kepentingan umum. Dimana dalam perikatan masyarakat ia tetap punya cita-cita dan pemikiran untuk mencapai keselamatan umum (Noer 1990)

Sifat musyawarah perlu diterapkan dalam badan-badan perwakilan. Perbedaan pendapat adalah tepat untuk menggalakkan sistem mayoritas yang mengarah kepada sistem Voting (penghitungan suara). Masyarakat demokratis seperti di Indonesia, mentalitas orang berlainan dengan masyarakat individualistis sebab dalam segala tindakan dan persyaratan pendapatnya, ia teruatama dikemudikan oleh kepentingan umum. Dimana dalam perikatan masyarakat ia tetap punya cita-cita dan pemikiran untuk mencapai keselamatan umum (Noer 1990)

Dari ketiga sendi tersebut dapat disesuaikan dengan kemajuan jaman, sedangkan yang menjadi dasar kerakyatan yaitu kedaulatan rakyat. Jadi konsep kedaulatan rakyat yaitu kelanjutan dari demokrasi asli Indonesia pada tingkat yang lebih tinggi. Menurut Hatta demokrasi rakyat di Indonesia hanya ada pada demokrasi dalam pemerintahan desa seperti dicontohkan zaman raja-raja yang berlaku adalah otokrasi dan feodalisme. Pendek kata daulat tuanku harus diganti dengan daulat rakyat, agar nantinya rakyat berkuasa.

Berbagai bentuk protes haruslah didengar karena itulah bagian dari bentuk demokrasi, yang dalam demokrasi politik menjadi syarat dan dasar keadilan dan kebenaran. Dengan demikian sesuai dengan cita-cita rakyat berhak menetukan nasibnya sendiri. Bung Hatta berpendapat bahwa sannya dalam menjalankan konsep kedaulatan rakyat ini sangatlah dibutuhkan sosok pemimpin yang penuh cinta akan kebenaran serta berani mengakui kesalahan. Disertai dengan watak teguh serta berkemauan keras.

Demokrasi di Eropa yang lebih mengarah ke individualistis membuat bayak ditemukannya kepincangan sosial dan ekonomi, sebab golongan kuat dalam bidang ekonomi sangat menentukan kehidupan. Berbeda pendapat dengan Bung Karno membuat Bung Hatta lebih menegaskan bahwa demokrasi terpimpin yang dimaksud adalah kedaulatan rakyat berarti kemauan orang banyak yang menentukan, maka pemimpin tunduk pada suara rakyat. Dengan demikian kedaulatan ada ditangan rakyat.

Demokrasi Parlementer yang dilaksanakan pada tahun 1955 dalam pandangan Bung Hatta menggaris besarkan bahwa Demokrasi parlementer bukan hanya memiliki parlemen sebagai wakil rakyat dan pemerintahan yang bertangung jawab pada parlemen. Disamping itu parlemen dan peralatan parlementer merupakan suatu langkah kearah pembangunan demokrasi parlementer. (Hatta 1957).

Demokrasi parlementer menurut Bung Hatta mengutamakan aspek-aspek politik, karena cita-cita demokrasi politik di Barat telah maju. Definisi Parlementer di Barat merupakan hasil politik dari suatu evaluasi poltik karena lapisan demi lapisan dan masyarakat memeroleh kekuatan ekonomi, mereka maju ke medan perjuangan politik serta telah mencapai kemenangan/telah mendapat perwakilan parlementer. Disini dapat disimpulkan parlementer di Barat adalah ganjaran politik untuk kekuatan ekonomi yang telah dicapai karena mereka kuat ekonominya berusaha melindungi kekuatan itu dengan alat-alat politik.

Demokrasi di Indonesia mngandung unsur pembinaan dan pelaksanaan ekonoi yang besar. Sedangkan demokrasi di Barat dapat menerima banyak bentuk, selama dua hal yang pokok dipenuhi yaitu; (1) perwakilan rakyat secara jujur (2) pemerintahan yang bertanggung jawab pada parlemen.