Bagi positivisme, dunia ini memiliki unsur-unsur dan unsur tersebut bergerak dinamis mengikuti hukum-hukum tertentu (Bryant, 1985). Asumsi ini berangkat dari fakta alam bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini mempunyai unsur-unsur di dalamnya. Unsur inilah yang ter- kandung dalam setiap objek material maupun non material di alam semesta.
Bagi kaum positivis, unsur ini ada yang bersifat statis dan adapula yang bergerak secara dinamis. Unsur yang bergerak secara dinamis selalu mengikuti hukum-hukum tertentu. Itu artinya, pergerakan dari unsur tersebut berjalan menurut pola-pola yang tetap sehingga menghasilkan suatu hukum untuk bisa dipelajari. Pergerakan dari unsur yang menggambar- kan suatu hukum acapkali berlangsung secara berulang. Untuk itu, positivisme tidak menafikkan apabila hukum-hukum tersebut menyimpan pergerakan yang teratur (regularity).
Fakta mengenai asumsi ini dapat dibuktikan pada gejala gerhana matahari dan bulan. Fenomena berlangsungnya kedua gerhana itu mempunyai hukum keteraturan. Kondisi demikian dapat terjadi karena terdapat berbagai unsur yang menyusunnya. Beberapa unsur yang membentuk gejala alam itu antara lain bumi, bulan dan matahari. Ketiganya melintas dalam jalurnya masing-masing. Perhitungan dapat dilakukan terhadap fenomena gerhana matahari dan bulan sehingga terciptalah suatu hukum yang mampu dipakai guna memprediksi kejadiannya. Di samping itu, pergerakan dari setiap unsur di dalamnya saling berkaitan. Untuk itu, apabila terjadi perubahan gerak pada salah satu unsur yang menciptakan gerhana, maka prediksi mengenai kejadian gerhana turut serta mengalami perubahan.
Senada dengan kasus di atas, suatu kebudayaan mengandung berbagai unsur yang menyusunnya. Hal ini dipertegas oleh Koentjaraningrat (2013) yang menyatakan suatu masyarakat mempunyai berbagai unsur kebudayaan antara lain bahasa, kesenian, organisasi sosial, sistem pengetahuan, sistem kepercayaan, sistem mata pencaharian,serta sistem peralatan hidup dan teknologi. Pergerakan dari setiap unsur tentunya berdasarkan hukum-hukum yang dapat dipelajari.
Misalnya saja, kosa-kata dalam bahasa indonesia akan semakin bertambah seiring dengan kemajuan teknologi. Kosa kata “surat elektronik” tidak akan muncul dalam bahasa indonesia apabila teknologi dalam peradaban manusia tidak menciptakan jaringan internet.
Di sisi lain, positivisme memandang bahwa dalam kebudayaan terdapat hukum-hukum perkembangan sejarah yang memungkinkan untuk menjelaskan masa lampau, memahami masa kini dan memprediksi masa depan (Bryant, 1985). Gejala sosial maupun gejala alam di dunia ini memiliki hukum tertentu di dalam pergerakan serta perubahannya. Secara lebih spesifik asumsi ini meyakini bahwa hukum atas fakta yang berlangsung di dunia ini bersifat diakronis.
Dengan kata lain, terdapat hukum-hukum perkembangan sejarah yang tergambar secara horizontal.
Asumsi ini senada dengan argumennya Saint-Simon. Dunia ini mengandung serangkaian peristiwa alam dan sosial. Ketika salah satu bagian dari peristiwa itu berhasil dikaji secara benar, maka tindakan merumuskan peristiwa selanjutnya dapat dilakukan dengan mudah (Bryant, 1985).
Hal inilah yang selanjutnya membuat hukum-hukum perkembangan sejarah mampu dipakai untuk memahami masa kini dan memprediksi masa depan.
Penerapan asumsi ini tergambarkan dalam kajiannya Leslie White mengenai evolusi kebudayaan manusia. Penelitian-nya itu menyimpulkan bahwa perkembangan kebudayaan manusia yang pada awalnya berlangsung lambat, tetapi kemudian maju dengan pesat disebabkan karena manusia selalu dapat menguasai berbagai macam sumber energi yang makin lama makin banyak dan intensif (Koentjaraningrat, 2015).
Tahapan perkembangan kebudayaan manusia digambarkannya melalui beberapa fase. Awalnya manusia hidup dalam kondisi masyarakat yang sangat sederhana. Mereka hanya menggunakan tenaga yang dimiliki oleh tubuhnya untuk bertahan hidup. Fase inilah yang kemudian dikenal sebagai “berburu dan meramu”. Lambat laun manusia mampu menggunakan tenaga hewan guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Hingga pada akhirnya manusia mengenal cara bercocok tanam yang sekaligus memanfaatkan energi matahari untuk memproduksi makanannya. Dalam hal ini perkembangan kebudayaan dimotori oleh tingkat penguasaan teknologi untuk mengolah segala sumberdaya di sekitarnya.
Kajian mengenai perkembangan sejarah masyarakat pernah dikaji pula oleh Emile Durkheim. Pemikiran Durkheim ini acapkali terkenal sebagai “The Division of Labour”. Menurut pemikirannya, dalam suatu masyarakat terdapat perkembangan sejarah atau evolusi dari tingkatan spesiali- sasi terendah hingga tertinggi (Inkeles, 1965). Durkheim membagi masyarakat kedalam dua tahapan.
-
Tahapan pertama disebut sebagai “mechanical solidarity”. Masyarakat pada tahapan tersebut bercirikan komunitasnya kecil dimana tingkat spesialisasinya sangat terbatas. Mereka bekerja bersama dalam satu ikatan sebuah institusi kekerabatan maupun agama.
-
Tahapan kedua disebut sebagai “organical solidarity”. Dalam tahapan ini, hubungan yang terjalin antar indvidu kurang akrab. Hal ini dikarenakan individu terikat dengan individu lainnya berdasarkan ke- pentingan bersama, kontrak atau hal lain- nya. Pada tahapan ini keterikatan antar individu bukan lagi berdasarkan kekerabatan. Tingkat spesialisasinya cen- derung lebih tinggi daripada tipe masyarakat yang pertama. Durkheim juga meyakini bahwa masyarakat pada tipe kedua merupakan bentuk evolusi dari masyarakat tipe pertama.
Berdasarkan kajian Leslie White dan Emile Durkheim, maka asumsi mengenai hukum-hukum perkembangan sejarah terlihat jelas pada proses evolusi kebudayaan dan evolusi pembagian kerja.
Sumber : Galeh Prabowo, Positivisme dan Strukturalisme: Sebuah Perbandingan Epistemologi dalam Ilmu Sosial, Universitas Gadjah Mada