Bagaimana pandangan Positivisme dalam melihat Kebudayaan ?

pandangan Positivisme dalam  melihat Kebudayaan

Positivisme berasal dari kata “positif”. Istilah “filsafat positif” mulai digunakan Comte pada karyanya “Cours de Philosophie Positive” dan terus mengunakan istilah itu di seluruh karyanya. Filsafat digunakan sebagai “sistem umum tentang konsep-konsep umum mengenai manusia” dan positif digunakan sebagai “teori yang bertujuan untuk menyusun fakta-fakta yang teramati”.

Bagaimana pandangan Positivisme dalam melihat Kebudayaan ?

Bagi positivisme, dunia ini memiliki unsur-unsur dan unsur tersebut bergerak dinamis mengikuti hukum-hukum tertentu (Bryant, 1985). Asumsi ini berangkat dari fakta alam bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini mempunyai unsur-unsur di dalamnya. Unsur inilah yang ter- kandung dalam setiap objek material maupun non material di alam semesta.

Bagi kaum positivis, unsur ini ada yang bersifat statis dan adapula yang bergerak secara dinamis. Unsur yang bergerak secara dinamis selalu mengikuti hukum-hukum tertentu. Itu artinya, pergerakan dari unsur tersebut berjalan menurut pola-pola yang tetap sehingga menghasilkan suatu hukum untuk bisa dipelajari. Pergerakan dari unsur yang menggambar- kan suatu hukum acapkali berlangsung secara berulang. Untuk itu, positivisme tidak menafikkan apabila hukum-hukum tersebut menyimpan pergerakan yang teratur (regularity).

Fakta mengenai asumsi ini dapat dibuktikan pada gejala gerhana matahari dan bulan. Fenomena berlangsungnya kedua gerhana itu mempunyai hukum keteraturan. Kondisi demikian dapat terjadi karena terdapat berbagai unsur yang menyusunnya. Beberapa unsur yang membentuk gejala alam itu antara lain bumi, bulan dan matahari. Ketiganya melintas dalam jalurnya masing-masing. Perhitungan dapat dilakukan terhadap fenomena gerhana matahari dan bulan sehingga terciptalah suatu hukum yang mampu dipakai guna memprediksi kejadiannya. Di samping itu, pergerakan dari setiap unsur di dalamnya saling berkaitan. Untuk itu, apabila terjadi perubahan gerak pada salah satu unsur yang menciptakan gerhana, maka prediksi mengenai kejadian gerhana turut serta mengalami perubahan.

Senada dengan kasus di atas, suatu kebudayaan mengandung berbagai unsur yang menyusunnya. Hal ini dipertegas oleh Koentjaraningrat (2013) yang menyatakan suatu masyarakat mempunyai berbagai unsur kebudayaan antara lain bahasa, kesenian, organisasi sosial, sistem pengetahuan, sistem kepercayaan, sistem mata pencaharian,serta sistem peralatan hidup dan teknologi. Pergerakan dari setiap unsur tentunya berdasarkan hukum-hukum yang dapat dipelajari.

Misalnya saja, kosa-kata dalam bahasa indonesia akan semakin bertambah seiring dengan kemajuan teknologi. Kosa kata “surat elektronik” tidak akan muncul dalam bahasa indonesia apabila teknologi dalam peradaban manusia tidak menciptakan jaringan internet.

Di sisi lain, positivisme memandang bahwa dalam kebudayaan terdapat hukum-hukum perkembangan sejarah yang memungkinkan untuk menjelaskan masa lampau, memahami masa kini dan memprediksi masa depan (Bryant, 1985). Gejala sosial maupun gejala alam di dunia ini memiliki hukum tertentu di dalam pergerakan serta perubahannya. Secara lebih spesifik asumsi ini meyakini bahwa hukum atas fakta yang berlangsung di dunia ini bersifat diakronis.

Dengan kata lain, terdapat hukum-hukum perkembangan sejarah yang tergambar secara horizontal.

Asumsi ini senada dengan argumennya Saint-Simon. Dunia ini mengandung serangkaian peristiwa alam dan sosial. Ketika salah satu bagian dari peristiwa itu berhasil dikaji secara benar, maka tindakan merumuskan peristiwa selanjutnya dapat dilakukan dengan mudah (Bryant, 1985).

Hal inilah yang selanjutnya membuat hukum-hukum perkembangan sejarah mampu dipakai untuk memahami masa kini dan memprediksi masa depan.

Penerapan asumsi ini tergambarkan dalam kajiannya Leslie White mengenai evolusi kebudayaan manusia. Penelitian-nya itu menyimpulkan bahwa perkembangan kebudayaan manusia yang pada awalnya berlangsung lambat, tetapi kemudian maju dengan pesat disebabkan karena manusia selalu dapat menguasai berbagai macam sumber energi yang makin lama makin banyak dan intensif (Koentjaraningrat, 2015).

Tahapan perkembangan kebudayaan manusia digambarkannya melalui beberapa fase. Awalnya manusia hidup dalam kondisi masyarakat yang sangat sederhana. Mereka hanya menggunakan tenaga yang dimiliki oleh tubuhnya untuk bertahan hidup. Fase inilah yang kemudian dikenal sebagai “berburu dan meramu”. Lambat laun manusia mampu menggunakan tenaga hewan guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Hingga pada akhirnya manusia mengenal cara bercocok tanam yang sekaligus memanfaatkan energi matahari untuk memproduksi makanannya. Dalam hal ini perkembangan kebudayaan dimotori oleh tingkat penguasaan teknologi untuk mengolah segala sumberdaya di sekitarnya.

Kajian mengenai perkembangan sejarah masyarakat pernah dikaji pula oleh Emile Durkheim. Pemikiran Durkheim ini acapkali terkenal sebagai “The Division of Labour”. Menurut pemikirannya, dalam suatu masyarakat terdapat perkembangan sejarah atau evolusi dari tingkatan spesiali- sasi terendah hingga tertinggi (Inkeles, 1965). Durkheim membagi masyarakat kedalam dua tahapan.

  • Tahapan pertama disebut sebagai “mechanical solidarity”. Masyarakat pada tahapan tersebut bercirikan komunitasnya kecil dimana tingkat spesialisasinya sangat terbatas. Mereka bekerja bersama dalam satu ikatan sebuah institusi kekerabatan maupun agama.

  • Tahapan kedua disebut sebagai “organical solidarity”. Dalam tahapan ini, hubungan yang terjalin antar indvidu kurang akrab. Hal ini dikarenakan individu terikat dengan individu lainnya berdasarkan ke- pentingan bersama, kontrak atau hal lain- nya. Pada tahapan ini keterikatan antar individu bukan lagi berdasarkan kekerabatan. Tingkat spesialisasinya cen- derung lebih tinggi daripada tipe masyarakat yang pertama. Durkheim juga meyakini bahwa masyarakat pada tipe kedua merupakan bentuk evolusi dari masyarakat tipe pertama.

Berdasarkan kajian Leslie White dan Emile Durkheim, maka asumsi mengenai hukum-hukum perkembangan sejarah terlihat jelas pada proses evolusi kebudayaan dan evolusi pembagian kerja.

Sumber : Galeh Prabowo, Positivisme dan Strukturalisme: Sebuah Perbandingan Epistemologi dalam Ilmu Sosial, Universitas Gadjah Mada

Paradigma Positivistik dalam Penelitian Sosial-Budaya

Pertanyaan yang sering muncul pada kalangan aktivis yang mempelajari sosiologi adalah mengenai paradigma postivistik tentunya dalam kajian sosiologi. Apakah bisa sosiologi menggunakan paradigma postivistik untuk melihat masyarakat? Untuk menganalisis pertanyaan tersebut kita akan melihat terlebih dahulu mengenai paradigma positivistik.

Paradigma positivistik merupakan paradigma yang telah muncul sejak mulany sosiologi diberi nama oleh Auguste Comte. Paradigma positivistik bisa dikatakan sebagai paradigma tardisi lama bersifat tradisional. Untuk memahami paradigma positivistik tidak hanya berada pada displin analitis melainkan pada aliran sintesis yang bertujuan untuk menghubungan fenomena-fenomena sosial yang terjadi. Secara historis bahwa paradigma positivistik muncul sejak abad ke 19 yang dibawa oleh Auguste Comte pada teori hukum tiga tahap yaitu teologis, metafisik dan positivistik. Pada pola pemikiran positivistik mengalami kemanjuan dibawa dan dikembangkan oleh Emile Durkehim pada kajianya yaitu fakta sosial (Durkheim, 1982).

Pengembangan paradigma positivistik Durkehim juga menjelaskan bahwa suatu ilmu yang mandiri harus mampu menganalisis dan mendefinisikan lahan pengamatan serta mampu untuk menyusun teori sosiologi itu sendiri. Pemahaman tersebut bagi Durkehim berada pada konsep fakta sosial. Fakta sosial yang dimaksud oleh Durkehim bahwa menggunakan pada konsep status perkawinan, usia, pendapatan ekonomi, agama dan sebagainya. Kajian sosiologi fakta sosial yang dimaksud untuk melihat variabel- varibel atau konsep-konsep yang memiliki ciri-ciri tentunya bisa diukur oleh sipeneliti. Bagi Durhkeim bahwa data yang telah diobservasi mampu untuk menjadi kriteria objek dan mampu untuk diukur secara ilmiah.

Selain itu, Durkehim dalam melihat paradigma positivistik bahwa terlihat pada teorinya yaitu bunuh diri. Konsep bunuh diri yang dikemukakan oleh Durkehim bahwa bagaimana caranya kasus bunuh diri dihubungkan dengan kasus yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Sehingga Durkehim melihat kasus bunuh diri dari pada faktor kondisi sosial secara kolektif yang menyebabkan seseorang melakukan bunuh diri dan menganalisis ada 4 jenis bunuh diri yang dikemukakan oleh Durkehim. Keempat faktor tersebut menurut Durkehim ada dua fakta sosial yang menyebabkan bunuh diri yaitu sistem integerasi dan regulasi. Untuk pemahaman tersebut Durkehim mengatakan integrasi merujuk kepada kuat atau lemahnya hubungan antar individu dalam kehidupan masyarakat dan Durkehim menjelaskan semakin tinggi tingkat integrasi maka semakin rendah tingkat bunuh diri.

Paradigma positivistik mengambarkan fenoemena yang terjadi dalam kehidupan tidak terbatas dan untuk menyederhankan gejala sosial yang terjadi maka diperlukan statistik sebagai landasan dalam menyimpulkan data yang diperoleh di lapangan ketika penelitian berlangsung. Paradigma postivistik menyatakan kriteria kebenaran dalam penelitian terdapat diaspek validitas, reabilitas, dan objektivitas. Pada aspek validitas internal sangat terkait dengan alat atau insrumen yang digunakan oleh peneliti untuk melakukan pengumpulan data dan mengkaji gejala sosial. Alat sebagai landasan dalam menentukan kegiatan penelitian dari hasil yang bersifat keseluruhan atau generalisasikan dari aspek eksternal ketika penelitian

konsistensi dari instrumen penelitian yang dilakukan selama proses penelitian. Untuk itu, tingkat selanjutnya pada paradigma positivistik bahwa objektif mengambarkan dengan menjaga jarak dan objek penelitian sehingga data yang didapatkan benar-benar valid dan dapat dipertanggungjawabkan secara pemikiran sehat. Paradigma positivistik terus mengalami peningkatan dan keterbukaan terhadap data yang telah dapat dilapangan. Pokok utama dalam memahami paradigma positivistik yaitu menggunakan pendekatan kuantitatif untuk menjelaskan fenoemna yang terjadi. Tentunya berlandasan kepada keteraturan dan perubahan dalam masyarakat untuk menghasilkan suatu ilmu pengetahuan ilmiah yang baru dari kecamata kajian sosiologi. Penyusunan paradigma tersebut berlandasan pokok permasalhan yang akan dikemukakan. Fenomena yang diasumsikan dapat menjawab persolan dalam perspektif kajian sosiologi tentunya berada pada paradigma positivistik.

Asumsi Paradigma Positivistik

Menelusuri pemikiran dalam melihat praktik sosial, tentunya pada displin ilmu sosiologi bahwa paradigma positivistik membawa pengaruh besar untuk menjawab persoalan atau masalah sosial. Kajian sosiologi mengasumsikan bahwa paradigma positivistik pertama kali muncul dalam dunia ilmu pengetahuan. Keyakinan utama dalam pemahaman tersebut berdasarkan dari ontologi realisme yaitu realitas dalam praktik sosial berjalan dengan hukum alam. Paradigma positivistik muncul untuk menyatakan sikap penolakan terhadap pola pikir dari pada metafisik. Menurut paradigma positivistik praktik sosial yang terjadi dalam kehidupan berdasarkan dari pada data bersifat empiris. Penolakan yang dilakukan oleh paradigma positivistik sebagai spekulasi teoritis dalam memperoleh ilmu pengetahuan baru.

Paradigma positivistik mengambarkan tesisnya kepada asumsi bahwa ilmu adalah satu-satunya pengetahuan yang valid dan bersifat empiris. Fakta sosial yang terjadi dalam praktis sosial tentunya pada tindakan manusia akan menjadi sejalan dengan objek pengetahuan. Displin dalam ilmu sosiologi menjabarkan bahwa paradigma positivistik berada pada analisis teori Auguste Comte dan Johan Stuart Mill (ilmu filsafat). Walapun asumsi tersebut paradigma positivistik berada pada penemuan pertama yaitu Saint Simon dan para tokok sosialistik yang sangat dekat dengan tokoh-tokoh ilmu ekonomi.

Asumsi Auguste Comte yang merupakan tokoh sosiologi mewarnai bahwa ada istilah yang diberikan yaitu phisique sociale. Pemikiran ini Auguste Comte ingin membedakan antara social statics dan social dynamic (Salim, 2006). Pada pola asumi tersebut perbedaan terletak kepada jenjang-jenjang peradaban dan menelaah perubahan sosial. Dengan demikian, asumsi yang dirumsukan yaitu :

  • Asumsi ontologi, yang mempertanyakan kepada ilmuan mengenai; apa yang sebenarnya hakikat sesuatu yang diketahui oleh kita? apa sebenarnya praktis sosial yang terjadi? Sehingga pertanyaan yang dikemukakan adalah what is nature of reality? Pertanyaan yang diajukan sebagai pertanyaan awal seseorang peneliti untuk memahami realitas sosial. Auguste Comte mengasumsikan kepada pola pemikiran masyarakat yang mengalami namanya perubahan.

  • Asumsi epistemologis, ini adalah asumsi yang sangat mendasar mengenai jawaban sebagai ilmuan terkait dengan praktik sosial yang terjadi. Peran pertanyaan yang muncul adalah apa sebenarnya hakikat antara pencari ilmu dan objek sebagai hasil lapangan? Ini mengambarkan bahwa pertanyaa apa yang akan dikemukaan seorang peneliti untuk menelaah masalah sosial. Auguste Comte mengasmsikan bahwa gejala sosial yang terjadi tentunya ada hubungan dengan permasalahan yang lain. Apakah terkait dengan status sosial dalam masyarakat itu sendiri.

  • Asumsi metodologi, para ilmuan menjadikan alat untuk menjawab persoalan yang terjadi. Artinya metodologi terkait dengan alat apa yang digunakan untuk menjawab perosalan dalam masyakat. Jika kita telusuri alat yang Comte melihat masyarakat yaitu observasi. Observasi yang dilakukan oleh Comte dengan kreasi simultan observasi dengan hukum. Pemahaman ini menekankan kepada proses fenomena sosial dihubungkan dengan variabel yang lain. Komperasi tersebut mampu dihubungkan dengan displin ilmu sosial lainnya.

  • Asumsi aksiologi, terkait dengan nilai apa yang dapat diharapkan dalam sebuah kajian. Sehingga membawa efek terhadap perubahan masyarakat yang akan datang. Ilmu pengetahuan tersebut akan memberi efek terhadap perubahan dan dampak menjadi masyarakat yang sejehtera.

  • Asumsi retorik, peran aktif dalam mengkaji perosalan adalah bahasa yang tentunya sangat berpengaruh dalam realitas kehidupan. Pemilihan bahasa terkait juga dengan bidang kajian yang ditekuni sebagai ilmuan. Misalnya peneliti sangat komitmen untuk mengkaji fenoemna sosial dalam kajian sosiologi ekonomi, sosiologi politik, sosiologi perubahan sosial dan sebagainya.

Paradigma positivistik pada semboyan Comte mengambarkan bahwa gagasan yang dikemukaan adalah bersifat ilmiah. Semboyan yang terkenal Comte adalah “love is our principle order our basis and progress our end”. Menurut Comte bahwa masyarakat perlu adanya pemikiran yang ilmiah dan membentuk masyarakat ilmiah untuk menuju sebuah kemajuan. Asumsi tersebut berperan aktif dalam ilmu pengetahuan dan nilai-nilai humanis dalam bermasyarakat dan berbudaya. Pemikiran positivis adalah fakta sosial dan sesuatu yang perlu untuk melakukan pembuktian. Untuk mempelajari paradigma positivistik Comte menyatakan ada beberapa asumsi yaitu (Lubis, 2009) :

  • Hukum alam yang terjadi dalam kehidupan masyarakat dapat diketahui.

  • Adanya fenomena sosial yang tidak bisa diketahui dan perlu dijawab persolan tersebut.

  • Hubungan sosial yang terjadi dalam fenomena sosial dapat diketahui.

  • Perkembangan intelektual merupakan sebab utama perubahan sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.

Paradigma positivistik memberikan asumsi bahwa apa yang terjadi pada diri manusia terkait dengan akal budi dan pengelihatan tentunya yang berperan aktif adalah hukum alam yang bersifat universal pada tahapan yang sama. Paradigma tersebut gagasan sosiologi telah dikemukaan oleh Auguste Comte sebagai pencentus awal dari segi pemahamanya, adalah:

  • Tahapan telologis, yaitu tahapan manusia terkait dengan mencari sebuah kebenaran dikaitkan dewa atau supritural. Artinya gejala sosial yang terjadi dilimpahkan kepada kekuatan supernatural yang mengatur manusia untuk menjawab segala tatangan yang terjadi. Tahapan ini, manusia cenderung berada pada posisi untuk meletakan dirinya pada nilai-nilai agama. Agama sangat berpengaruh dalam pola pemikiran manusia. Agama sebagai tempat untuk menjawab persoalan yang dialami oleh manusia.

  • Tahapan metafisik, tahapan ini sangat tergantung kepada gejala sosial yang dijawab dengan gejala sosial lainnya. Fenomena yang terjadi sangat tergantung kepada alam dan alam sebagai sumber jawaban terhadap parktis sosial. Tahapan ini manusia mengalami perkembangan terhadap pola pemikiran dalam melihat fenomena. Pemikiran rasional sebagai metode untuk menjawab dan menemukan hakekat segala sesuatu yang terjadi.

  • Tahapan positif, mengenai kehidupan manusia telah berfikir faktual dan nyata dalam ilmu pengetahuan. Comte mengambarkan bahwa manusia telah berada pada posisi untuk lebih maju dalam dunia kehidupan.