Bagaimana pandangan Positivisme dalam melihat Ilmu Sosial?

image

Positivisme memandang ilmu pengetahuan harus berdasarkan nalar (reason) dan pengamatan (observation). Nalar dan pengamatan pada positivisme berperan sangat penting ketika hendak mengkaji suatu fenomena. Asumsi ini sekaligus menggambarkan tentang positivisme yang selalu menjunjung tinggi fakta-fakta yang bersifat empiris.

Bagaimana pandangan Positivisme dalam ranah kajian ilmu sosial ?

Sejarah perkembangan ilmu alam dan ilmu sosial di dunia ini hadir secara berurutan. Ilmu pengetahuan alam terlebih dahulu berkembang daripada ilmu pengetahuan sosial. Awal mulanya ilmu sosial masih diragukan sifat keilmiahannya di mata para ahli ilmuwan alam. Atas keraguan mengenai sifatnya yang ilmiah, para ilmuwan sosial selanjutnya mengarahkan pandangan filosofisnya ke arah pandangan para ilmuwan alam ketika mencari kebenaran.

Upaya ini bertujuan supaya ilmu sosial mampu dipandang setara denga ilmu alam dalam bingkai suatu ilmu pengetahuan. Segala cara yang dipakai oleh ilmu alam saat melakukan kajian pada objek penelitiannya diadopsi oleh para ilmuwan sosial. Maka timbulah positivisme dalam tubuh ilmu sosial dan budaya.

Positivisme pada ilmu sosial budaya terlihat jelas lewat tujuan dan metode yang dilakukan para ilmuwan sosial dalam memahami gejala sosial. Dalam konteks ini, positivisme memandang bahwa tujuan dari ilmu sosial adalah mencari per- bandingan antara fenomena sosial yang satu dengan lainnya. Hal tersebut kemudian berujung pada perolehan generalisasi atas fenomena tertentu. Oleh karena itu, penekanan untuk melakukan perbandingan sangatlah penting bagi positivisme guna mendapatkan generalisasi yang mengarahkan terciptanya perumusan hukum- hukum atas berlangsungya suatu fenomena sosial budaya.

Seperti halnya ilmu alam, positivisme dalam ilmu sosial mempertimbangkan pula eksistensi relativitas ilmu pengetahuan (Bryant, 1985). Ilmu pengetahuan sebagai produk dari manusia sulit dilepaskan dari kenyataan tentang eksistensi relativitas di dalamnya. Artinya, kebenaran yang diketahui oleh manusia tidak pernah absolut. Hal ini diberdasarkan fakta bahwa setiap orang memiliki keterbatasan nalar dan pengamatannya masing-masing. Bukanlah hal yang mengherankan apabila terjadi perbedaan hasil penelitian antara ilmuwan yang satu dengan ilmuwan yang lainnya.

Untuk mengatasi adanya keterbatasan nalar dan pengamatan, para ilmuwan senantiasa mengembangkan berbagai metode dan teknologi. Misalnya saja, teknologi mikroskop diciptakan guna mendukung pengamatan manusia terhadap objek penelitian yang sangat kecil. Hal ini dikarenakan daya penglihatan manusia terbatas sehingga membutuhkan bantuan teknologi dalam melihat objek yang sangat kecil. Tujuannya jelas, yaitu demi menghasilkan pengetahuan baru mengenai objek penelitiannya.

Asumsi ini terlihat semakin nyata ketika dunia kesehatan belum menemukan jenis virus flu burung. Sekitar tahun 1990an, kemungkinan besar gejala-gejala yang dihasilkan oleh virus flu burung sudah muncul di Indonesia. Namun, para ahli kesehatan di negeri ini belum mampu mengidentifikasi jenis virus tersebut sekitar tahun 2000-an. Hal ini dikarenakan teknologi yang dipakai untuk mengidentifikasi virus belum mampu untuk mengkaji karakteristik virus flu burung. Dengan demikian, keterbatasan nalar dan pengamatan menjadikannya ilmu pengetahuan bersifat relatif.

positifsosial
Contoh lainnya dalam ilmu sosial nampak pada kasus pemilihan umum tiga tahun yang lalu. Tepatnya ketika pemilihan umum presiden ketujuh Indonesia diselenggarakan. Saat itu, berbagai lembaga survei berlomba melakukan prediksi mengenai hasil akhir pemilihan umum. Mereka mengambil sampel dari seluruh wilayah provinsi yang ada di Indonesia. Namun apa yang terjadi? Berbagai lembaga survei menampilkan hasil yang berbeda dan bahkan cenderung bertolak belakang. Alasannya adalah terdapat perbedaan lokasi pengambilan sampel di antara lembaga survei yang satu dengan lembaga survei yang lainnya. Kemungkinan juga sampel yang diambil porsinya berbeda. Selain itu bisa jadi terdapat perbedaan alat serta metode yang diguna- kan. Kondisi itulah yang disebut sebagai relativitas ilmu pengetahuan.

Selain itu, positivisme meyakini bahwa pengetahuan positivis melampaui pengetahuan yang negatif (kritis) (Bryant, 1985). Asumsi ini menegaskan bahwa pegetahuan positivisme lebih baik daripada pengetahuan yang sifatnya kritis. Bagi kalangan pemikir positivis, pengetahuan yang mereka miliki cenderung bersifat konstruktif. Artinya, pengetahuan mereka bertujuan untuk membangun, bukannya mengkritisi seperti halnya aliran materialisme. Akibatnya, karya para pemikir positivisme seringkali bersifat kurang kritis apabila dibandingkan dengan kajian- kajian kaum kritis. Walaupun demikian, pemikiran kritis memang bukanlah tujuan awal dari para kaum positivisme. Hal ini dikarenakan pemikiran positivisme lebih kepada upaya menjelaskan sebab akibat terjadinya suatu fenomena sosial.

Penerapan asumsi itu nampak pada tulisannya Selo Soemardjan yang berjudul Perubahan Sosial di Yogyakarta. Baginya, suatu perubahan ideologi dasar suatu masyarakat (misalnya, dalam agama atau konsep tentang negara) atau perubahan orientasi dari masa lampau ke masa depan mudah menimbulkan kekuatan-kekuatan yang menyebabkan timbulnya perubahan sosial (Soemardjan, 1991).

Lebih lanjut lagi, ia memaparkan perubahan-perubahan politik dan pemerintahan Yogyakarta yang diprakarsai oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX melalui perubahan bentuk pemerintahan feodal ke pemerintahan demokrasi. Pemaparan Soemardjan tersebut nampak jelas bahwa kajiannya bersifat konstruktif (membangun) dengan cara memaparkan proses maupun elemen-elemen yang mendorong berlangsungnya perubahan sosial. Kajian itu berhasil menampilkan faktor-faktor apa sajakah yang menimbulkan perubahan di Yogyakarta. Maka dari itu, kajian Soemardjan ini sangat cocok sebagai bahan pertimbangan para pengambil kebijakan karena hasilnya bersifat konstruktif.

Sumber : Galeh Prabowo, Positivisme dan Strukturalisme: Sebuah Perbandingan Epistemologi dalam Ilmu Sosial, Universitas Gadjah Mada

Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris.

Menurut Amsal Bakhtiar dalam bukunya filsafat agama bahwa positivisme adalah kelanjutan dari empirisme. Kalau empirisme menekankan pada pengalaman saja dan merendahkan fungsi akal, adapun positivise menggabungkan keduanya.

Positivisme, kata asalnya adalah “positif”, berarti yang diketahui, yang factual, dan yang positif. Segala uraian yang diluar fakta atau kenyataan dikesampingkan. Oleh karena itu, metafisika ditolak. Apa yang diketahui secara positif adalah segala yang tampak dan yang dapat diukur. Dengan demikian positivisme membatasi filsafat dan ilmu pada bidang gejala-gejala saja.

Dalam paradigma ilmu, ilmuwan telah mengembangkan sejumlah perangkat keyakinan dasar yang mereka gunakan dalam mengungkapkan hakikat ilmu yang sebenarnya dan bagaimana cara untuk mendapatkannya. Tradisi pengungkapan ilmu ini telah ada sejak adanya manusia, namun secara sistematis dimulai sejak abad ke-17, ketika Descartes (1956-1650) dan para penerusnya mengembangkan cara pandang positivisme, yang memperoleh sukses besar sebagiamana terlihat pengaruhnya dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini. Paradigma ilmu pada dasarnya berisi jawaban atas pertanyaan fundamental proses keilmuan manusia, yakni bagaimana, apa, dan untuk apa.
Tiga pertanyaan dasar itu kemudian dirumuskan menjadi beberapa dimensi.

  1. Dimensi ontologis, pertanyaan yang harus dijawab oleh seorang ilmuwan
    adalah: Apa sebenarnya hakikat dari sesuatu yang dapat diketahui ( knowable), atau apa sebenarnya hakikat dari suatu realitas (reality). Dengan demikian dimensi yang dipertanyakan adalah hal yang nyata (what is nature of reality?).

  2. Dimensi epistemologis, pertanyaan yang harus dijawab oleh seorang ilmuwan adalah: Apa sebenarnya hakikat hubungan antara pencari ilmu (inquirer) dan objek yang ditemukan (know atau knowable)?

  3. Dimensi axiologis, yang dipermasalahkan adalah peran nilai-nilai dalam suatu kegiatan penelitian.

  4. Dimensi retorik yang dipermasalahkan adalah bahasa yang digunakan dalam penelitian.

  5. Dimensi metodologis, seorang ilmuwan harus menjawab pertanyaan:
    bagaimana cara atau metodologi yang dipakai seseorang dalam menemukan
    kebenaran suatu ilmu pengetahuan? Jawaban terhadap kelima dimensi pertanyaan ini, akan menemukan posisi paradigma ilmu untuk menentukan paradigma apa yang akan dikembangkan seseorang dalam kegiatan keilmuan.

Positivisme merupakan paradigma ilmu pengetahuan yang paling awal muncul dalam dunia ilmu pengetahuan. Keyakinan dasar aliran ini berakar dari paham ontologi realisme yang menyatakan bahwa realitas ada (exist) dalam kenyataan yang berjalan sesuai dengan hukum alam (natural laws). Dengan kata lain, Positivisme merupakan suatu aliran filsafat yang menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris.

Sesungguhnya aliran ini menolak adanya spekulasi teoritis sebagai suatu sarana untuk memperoleh pengetahuan (seperti yang diusung oleh kaum idealisme khususnya idealisme Jerman Klasik). Positivisme merupakan empirisme, yang dalam segi-segi tertentu sampai kepada kesimpulan logis ekstrim karena pengetahuan apa saja merupakan pengetahuan empiris dalam satu atau lain bentuk, maka tidak ada spekulasi dapat menjadi pengetahuan.

Filsafat positivisme lahir pada abad ke-19. Titik tolak pemikirannya, segala yang diketahui adalah yang faktual dan yang positif, sehingga metafisika ditolaknya. Positif adalah segala gejala dan segala yang tampak seperti apa adanya, sebatas pengalaman-pengalaman obyektif. Jadi, setelah fakta diperoleh, maka fakta-fakta tersebut kita atur untuk dapat memberikan asumsi (proyeksi ke masa depan). Beberapa tokoh diantaranya, August Comte (1798-1857), Jonh S. Mill (1806-1873), Herbert Spencer (1820-1903).

Positivisme muncul pada abad ke-19 dimotori oleh sosiolog Auguste Comte, dengan buah karyanya yang terdiri dari enam jilid dengan judul The Course of Positive Philosophy (1830-1842). Ia lahir di Montpellier, Prancis. Sebuah karya penting, Cours de Philosofia Positif (kursus tentang filsafat positif), dan berjasa dalam mencipta ilmu sosiologi.

Sejarah perkembangan ilmu alam dan ilmu sosial di dunia ini hadir secara berurutan. Ilmu pengetahuan alam terlebih dahulu berkembang daripada ilmu pengetahuan sosial. Awal mulanya ilmu sosial masih diragukan sifat keilmiahannya di mata para ahli ilmuwan alam. Atas keraguan mengenai sifatnya yang ilmiah, para ilmuwan sosial selanjutnya mengarahkan pandangan filosofisnya ke arah pandangan para ilmuwan alam ketika mencari kebenaran. Upaya ini bertujuan supaya ilmu sosial mampu dipandang setara denga ilmu alam dalam bingkai suatu ilmu pengetahuan. Segala cara yang dipakai oleh ilmu alam saat melakukan kajian pada objek penelitiannya diadopsi oleh para ilmuwan sosial. Maka timbulah positivisme dalam tubuh ilmu sosial dan budaya.

Positivisme pada ilmu sosial budaya terlihat jelas lewat tujuan dan metode yang dilakukan para ilmuwan sosial dalam memahami gejala sosial. Dalam konteks ini, positivisme memandang bahwa tujuan dari ilmu sosial adalah mencari perbandingan antara fenomena sosial yang satu dengan lainnya. Hal tersebut kemudian berujung pada perolehan generalisasi atas fenomena tertentu. Oleh karena itu, penekanan untuk melakukan perbandingan sangatlah penting bagi positivisme guna mendapatkan generalisasi yang mengarahkan terciptanya perumusan hukum-hukum atas berlangsungya suatu fenomena sosial budaya.

Seperti halnya ilmu alam, positivisme dalam ilmu sosial mempertimbangkan pula eksistensi relativitas ilmu pengetahuan (Bryant, 1985). Ilmu pengetahuan sebagai produk dari manusia sulit dilepaskan dari kenyataan tentang eksistensi relativitas di dalamnya. Artinya, kebenaran yang diketahui oleh manusia tidak pernah absolut. Hal ini diberdasarkan fakta bahwa setiap orang memiliki keterbatasan nalar dan pengamatannya masing-masing. Bukanlah hal yang mengherankan apabila terjadi perbedaan hasil penelitian antara ilmuwan yang satu dengan ilmuwan yang lainnya. Untuk mengatasi adanya keterbatasan nalar dan pengamatan, para ilmuwan senantiasa mengembangkan berbagai metode dan teknologi. Misalnya saja, teknologi mikroskop diciptakan guna mendukung pengamatan manusia terhadap objek penelitian yang sangat kecil. Hal ini dikarenakan daya penglihatan manusia terbatas sehingga membutuhkan bantuan teknologi dalam melihat objek yang sangat kecil. Tujuannya jelas, yaitu demi menghasilkan pengetahuan baru mengenai objek penelitiannya.

Asumsi ini terlihat semakin nyata ketika dunia kesehatan belum menemukan jenis virus flu burung. Sekitar tahun 1990an, kemungkinan besar gejala-gejala yang dihasilkan oleh virus flu burung sudah muncul di Indonesia. Namun, para ahli kesehatan di negeri ini belum mampu mengidentifikasi jenis virus tersebut sekitar tahun 2000-an. Hal ini dikarenakan teknologi yang dipakai untuk mengidentifikasi virus belum mampu untuk mengkaji karakteristik virus flu burung. Dengan demikian, keterbatasan nalar dan pengamatan menjadikannya ilmu pengetahuan bersifat relatif.

Contoh lainnya dalam ilmu sosial nampak pada kasus pemilihan umum presiden ketujuh Indonesia diselenggarakan. Saat itu, berbagai lembaga survei berlomba melakukan prediksi mengenai hasil akhir pemilihan umum. Mereka mengambil sampel dari seluruh wilayah provinsi yang ada di Indonesia. Namun apa yang terjadi? Berbagai lembaga survei menampilkan hasil yang berbeda dan bahkan cenderung bertolak belakang. Alasannya adalah terdapat perbedaan lokasi pengambilan sampel di antara lembaga survei yang satu dengan lembaga survei yang lainnya. Kemungkinan juga sampel yang diambil porsinya berbeda. Selain itu bisa jadi terdapat perbedaan alat serta metode yang digunakan. Kondisi itulah yang disebut sebagai relativitas ilmu pengetahuan.

Selain itu, positivisme meyakini bahwa pengetahuan positivis melampaui pengetahuan yang negatif (kritis) (Bryant, 1985). Asumsi ini menegaskan bahwa pegetahuan positivisme lebih baik daripada pengetahuan yang sifatnya kritis. Bagi kalangan pemikir positivis, pengetahuan yang mereka miliki cenderung bersifat konstruktif. Artinya, pengetahuan mereka bertujuan untuk membangun, bukannya mengkritisi seperti halnya aliran materialisme. Akibatnya, karya para pemikir positivisme seringkali bersifat kurang kritis apabila dibandingkan dengan kajian-kajian kaum kritis. Walaupun demikian, pemikiran kritis memang bukanlah tujuan awal dari para kaum positivisme. Hal ini dikarenakan pemikiran positivisme lebih kepada upaya menjelaskan sebab akibat terjadinya suatu fenomena sosial.

Penerapan asumsi itu nampak pada tulisannya Selo Soemardjan yang berjudul Perubahan Sosial di Yogyakarta. Baginya, suatu perubahan ideologi dasar suatu masyarakat (misalnya, dalam agama atau konsep tentang negara) atau perubahan orientasi dari masa lampau ke masa depan mudah menimbulkan kekuatan-kekuatan yang menyebabkan timbulnya perubahan sosial (Soemardjan, 1991: 303). Lebih lanjut lagi, ia memaparkan perubahan-perubahan politik dan pemerintahan Yogyakarta yang diprakarsai oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX melalui perubahan bentuk pemerintahan feodal ke pemerintahan demokrasi. Pemaparan Soemardjan tersebut nampak jelas bahwa kajiannya bersifat konstruktif (membangun) dengan cara memaparkan proses maupun elemen-elemen yang mendorong berlangsungnya perubahan sosial. Kajian itu berhasil menampilkan faktor-faktor apa sajakah yang menimbulkan perubahan di Yogyakarta. Maka dari itu, kajian Soemardjan ini sangat cocok sebagai bahan pertimbangan para pengambil kebijakan karena hasilnya bersifat konstruktif.