Sejarah perkembangan ilmu alam dan ilmu sosial di dunia ini hadir secara berurutan. Ilmu pengetahuan alam terlebih dahulu berkembang daripada ilmu pengetahuan sosial. Awal mulanya ilmu sosial masih diragukan sifat keilmiahannya di mata para ahli ilmuwan alam. Atas keraguan mengenai sifatnya yang ilmiah, para ilmuwan sosial selanjutnya mengarahkan pandangan filosofisnya ke arah pandangan para ilmuwan alam ketika mencari kebenaran.
Upaya ini bertujuan supaya ilmu sosial mampu dipandang setara denga ilmu alam dalam bingkai suatu ilmu pengetahuan. Segala cara yang dipakai oleh ilmu alam saat melakukan kajian pada objek penelitiannya diadopsi oleh para ilmuwan sosial. Maka timbulah positivisme dalam tubuh ilmu sosial dan budaya.
Positivisme pada ilmu sosial budaya terlihat jelas lewat tujuan dan metode yang dilakukan para ilmuwan sosial dalam memahami gejala sosial. Dalam konteks ini, positivisme memandang bahwa tujuan dari ilmu sosial adalah mencari per- bandingan antara fenomena sosial yang satu dengan lainnya. Hal tersebut kemudian berujung pada perolehan generalisasi atas fenomena tertentu. Oleh karena itu, penekanan untuk melakukan perbandingan sangatlah penting bagi positivisme guna mendapatkan generalisasi yang mengarahkan terciptanya perumusan hukum- hukum atas berlangsungya suatu fenomena sosial budaya.
Seperti halnya ilmu alam, positivisme dalam ilmu sosial mempertimbangkan pula eksistensi relativitas ilmu pengetahuan (Bryant, 1985). Ilmu pengetahuan sebagai produk dari manusia sulit dilepaskan dari kenyataan tentang eksistensi relativitas di dalamnya. Artinya, kebenaran yang diketahui oleh manusia tidak pernah absolut. Hal ini diberdasarkan fakta bahwa setiap orang memiliki keterbatasan nalar dan pengamatannya masing-masing. Bukanlah hal yang mengherankan apabila terjadi perbedaan hasil penelitian antara ilmuwan yang satu dengan ilmuwan yang lainnya.
Untuk mengatasi adanya keterbatasan nalar dan pengamatan, para ilmuwan senantiasa mengembangkan berbagai metode dan teknologi. Misalnya saja, teknologi mikroskop diciptakan guna mendukung pengamatan manusia terhadap objek penelitian yang sangat kecil. Hal ini dikarenakan daya penglihatan manusia terbatas sehingga membutuhkan bantuan teknologi dalam melihat objek yang sangat kecil. Tujuannya jelas, yaitu demi menghasilkan pengetahuan baru mengenai objek penelitiannya.
Asumsi ini terlihat semakin nyata ketika dunia kesehatan belum menemukan jenis virus flu burung. Sekitar tahun 1990an, kemungkinan besar gejala-gejala yang dihasilkan oleh virus flu burung sudah muncul di Indonesia. Namun, para ahli kesehatan di negeri ini belum mampu mengidentifikasi jenis virus tersebut sekitar tahun 2000-an. Hal ini dikarenakan teknologi yang dipakai untuk mengidentifikasi virus belum mampu untuk mengkaji karakteristik virus flu burung. Dengan demikian, keterbatasan nalar dan pengamatan menjadikannya ilmu pengetahuan bersifat relatif.
Contoh lainnya dalam ilmu sosial nampak pada kasus pemilihan umum tiga tahun yang lalu. Tepatnya ketika pemilihan umum presiden ketujuh Indonesia diselenggarakan. Saat itu, berbagai lembaga survei berlomba melakukan prediksi mengenai hasil akhir pemilihan umum. Mereka mengambil sampel dari seluruh wilayah provinsi yang ada di Indonesia. Namun apa yang terjadi? Berbagai lembaga survei menampilkan hasil yang berbeda dan bahkan cenderung bertolak belakang. Alasannya adalah terdapat perbedaan lokasi pengambilan sampel di antara lembaga survei yang satu dengan lembaga survei yang lainnya. Kemungkinan juga sampel yang diambil porsinya berbeda. Selain itu bisa jadi terdapat perbedaan alat serta metode yang diguna- kan. Kondisi itulah yang disebut sebagai relativitas ilmu pengetahuan.
Selain itu, positivisme meyakini bahwa pengetahuan positivis melampaui pengetahuan yang negatif (kritis) (Bryant, 1985). Asumsi ini menegaskan bahwa pegetahuan positivisme lebih baik daripada pengetahuan yang sifatnya kritis. Bagi kalangan pemikir positivis, pengetahuan yang mereka miliki cenderung bersifat konstruktif. Artinya, pengetahuan mereka bertujuan untuk membangun, bukannya mengkritisi seperti halnya aliran materialisme. Akibatnya, karya para pemikir positivisme seringkali bersifat kurang kritis apabila dibandingkan dengan kajian- kajian kaum kritis. Walaupun demikian, pemikiran kritis memang bukanlah tujuan awal dari para kaum positivisme. Hal ini dikarenakan pemikiran positivisme lebih kepada upaya menjelaskan sebab akibat terjadinya suatu fenomena sosial.
Penerapan asumsi itu nampak pada tulisannya Selo Soemardjan yang berjudul Perubahan Sosial di Yogyakarta. Baginya, suatu perubahan ideologi dasar suatu masyarakat (misalnya, dalam agama atau konsep tentang negara) atau perubahan orientasi dari masa lampau ke masa depan mudah menimbulkan kekuatan-kekuatan yang menyebabkan timbulnya perubahan sosial (Soemardjan, 1991).
Lebih lanjut lagi, ia memaparkan perubahan-perubahan politik dan pemerintahan Yogyakarta yang diprakarsai oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX melalui perubahan bentuk pemerintahan feodal ke pemerintahan demokrasi. Pemaparan Soemardjan tersebut nampak jelas bahwa kajiannya bersifat konstruktif (membangun) dengan cara memaparkan proses maupun elemen-elemen yang mendorong berlangsungnya perubahan sosial. Kajian itu berhasil menampilkan faktor-faktor apa sajakah yang menimbulkan perubahan di Yogyakarta. Maka dari itu, kajian Soemardjan ini sangat cocok sebagai bahan pertimbangan para pengambil kebijakan karena hasilnya bersifat konstruktif.
Sumber : Galeh Prabowo, Positivisme dan Strukturalisme: Sebuah Perbandingan Epistemologi dalam Ilmu Sosial, Universitas Gadjah Mada