Bagaimana pandangan Positivisime dalam melihat Masyarakat?

pandangan Positivisime dalam melihat Masyarakat

Positivisme mendasarkan pembuktian kebenaran menurut metodologi ilmiah yang dapat diamati dan diukur selanjutnya menjadi hukum-hukum yang menjadi acuan pokok dalam mencari kebenaran yang dirangkum menjadi hukum alam.

Bagaimana pandangan Positivisime dalam melihat Masyarakat ?

Dalam pandangan positivisme, masyarakat adalah realitas tersendiri, maka dari itu mereka bisa dipelajari secara ilmiah (Bryant, 1985). Asumsi ini erat kaitannya dengan pemikiran Durkheim yang menyarankan untuk melihat masyarakat tidak hanya sebatas sekumpulan individu semata, tetapi sebagai sebuah masyarakat yang di dalamnnya memiliki suatu sistem. Sistem itulah yang merepresentasikan realitas dan mempunyai karakteristik ter- sendiri. Alhasil, masyarakat dapat dipelajari sebagai sebuah benda atau gejala alam yang mempunyai karakteristik dan sistem tertentu. Implikasinya yaitu studi tentang masyarakat dilakukan menggunakan metode penelitian seperti halnya yang dipraktekkan dalam mempelajari objek alam.

Bukti bahwa masyarakat memiliki sistem dan karakteristik masing-masing terlihat pada organisasi sosialnya. Bentuk dan pembagian kerja pada masyarakat yang masih berada di fase berburu dan meramu tentu berbeda dengan masyarakat yang mata pencahariannya bercocok tanam. Pada kasus itulah organisasi sosial yang merupakan produk dari manusia dapat dipelajari melalui penelitian dengan memperhatikan sistem serta karakteristik seperti halnya melakukan kajian pada objek alam.

Selain itu, positivisme memandang manusia memiliki berbagai fungsi dalam kehidupan sehari-hari. Kondisi ini terlihat ketika manusia diletakkan pada suatu komunitas atau masyarakat. Hal ini kemudian memperlihatkan bahwa manusia selalu memiliki fungsi ketika dikaitkan dengan relasi-relasi sosial antar individu lainnya. Misalnya saja, terdapat hubungan patron-klien dalam suatu masyarakat. Setiap inidividu ada yang berperan sebagai patron, sementara individu lainnya berperan sebagai klien.

Positivisme memandang manusia maupun masyarakat acapkali mempunyai ketentraman atau tata tertib sosial (social order). Bagi positivisme, tata tertib sosial merupakan hal yang bersifat alami dalam suatu masyarakat (Bryant, 1985). Atas asumsi itu, maka segala tindakan manusia memiliki sisi yang natural. Dengan demikian, ilmuwan sosial mampu melakukan penelitian terhadap manusia seperti hal-nya ilmuwan alam ketika meneliti objek penelitiannya.

Fakta yang senada terjadi pula dalam kajian Cliffords Geertz mengenai agama. Ia menggambarkan bahwa agama itu tidak hanya menciptakan keharmonisan semata. Akan tetapi agama mampu menciptakan perpecahan. Dengan kata lain, agama memiliki dua fungsi yakni sebagai penyatu maupun pemecah suatu kelompok masyarakat. Kondisi ini ditampilkannya ke dalam hubungan diantara kaum abangan, santri dan priyayi yang notabene berada dalam satu agama yakni agama islam. Hal tersebut disampaikannya pada salah satu bab di dalam bukunya.

“Antagonism among the several religious group is easily enough documented. The strain is clearly greatest between santris, and other two groups, but significant tension between prijaji and abangan also exist. This general antagonism has almost certainly increased markedly in this cen- tury, has sharply intensified since the Revolution, and is probably still increase- ing” (Geertz, 1960).

Pelukisan Geertz mengenai agama di Jawa berdasarkan fenomena-fenomena sosial yang menggambarkan perpecahan akibat adanya agama. Pengamatan mengenai gejala perpecahan ini mengambil peranan yang sangat penting. Tujuannya adalah demi membuktikan dan mendukung argumen si peneliti. Alasan yang bisa dijangkau oleh nalar manusia harus ditampilkan. Oleh karena itu, Geertz mencari penyebab timbulnya perpecahan berdasarkan pengamatan dan nalar. Nalar inilah yang selanjutnya membimbing proses pengamatan.

Selain itu, positivisme sebagai sebuah epistemologi memiliki pandangan terhadap dunia beserta keobjektifannya. Bagi aliran positivisme, dunia ini hanya satu serta mempunyai eksistensi objektivitas (Bryant, 1985). Itu artinya,segala hal yang ada di dunia ini bisa dipelajari dan terlepas dari eksistensi subjektif. Kebudayaan sebagai produk manusia adalah bagian dari dunia karena hanya ada satu dunia. Di sinilah kebudayaan ditempatkan sebagai objek itu sendiri sehingga kebudayaan seperti halnya alam semesta yang memiliki keobjektifan.

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada contoh kasus berikut ini. Seorang ahli biologi melakukan penelitian mengenai kandungan darah yang ada pada seekor sapi. Ia kemudian mengambil sampel darah objek penelitiannya untuk diamati di laboratorium. Tindakan ahli biologi dalam mengambil sampel darah serta menelitinya pada sebuah laboratorium tidak akan berpengaruh terhadap metabolisme tubuh objek penelitiannya. Inilah yang dinamakan sebagai eksistensi objektif.

Sumber : Galeh Prabowo, Positivisme dan Strukturalisme: Sebuah Perbandingan Epistemologi dalam Ilmu Sosial, Universitas Gadjah Mada