Bagaimana pandangan Politik menurut Hans Morgenthau?

Hans Joachim Morgenthau (17 Februari 1904 – 19 Juli 1980) adalah salah satu tokoh politik internasional ternama pada abad ke-20. Ia memberi sumbangan besar bagi teori hubungan internasional dan studi hukum internasional. Bukunya, Politics Among Nations, pertama diterbitkan tahun 1948, dicetak dalam lima edisi semasa ia masih hidup.(Wikipedia)

Pandangan Politik Hans Morgenthau


Realisme politik sebagai sebuah pemikiran telah hidup jauh sebelum politik itu sendiri terbentuk sebagai suatu disiplin. Kepustakaan politik mencatat dasar-dasar pemikiran realisme telah ada dalam karya-karya penulis besar sejak dari Thucydides (sejarawan), Niccolo Machiavelli (filsuf), hingga Thomas Hobbes (filsuf).

Dalam tampilannya yang lebih modern, realisme politik berkembang di tangan para sarjana seperti: Reinhold Niebuhr, Nicholas J. Spykman, E.H. Carr, Frederick Schuman, Arnold Wolfers, Raymond Aron, Stanley Hoffman, dan Kenneth W. Thompson. Dari kalangan negarawan, kita mengenal nama-nama seperti George Kennan dan Henry Kissinger yang mengadopsi pemikiran realis dan turut mengembangkannya melalui kehidupan praktis.

Dari sekian banyak nama di atas, nama yang paling dikenal atau sering diidentikkan dengan realisme politik adalah Hans Joachim Morgenthau (17 Februari 1904-19 Juli 1980). Sepanjang karirnya Morgenthau seorang penulis produktif. Karya-karya yang pernah ditulisnya adalah: “Politics among Nations: the Struggle for Power and Peace” (1948) ; “Scientific Man vs Power Politics” (1946) ; “In Defense of the National Interest” (1951) ; “Dilemmas of Politics” (1958) ; “The Purpose of American Politics” (1960) ; “Politics in the Twentieth Century” -3 volume (1962) ; “Vietnam and the United States” (1965); “Truth and Power” (1970) ; “Science: Master or Servant” (1972) .

Nama Morgenthau menonjol karena kemampuannya membentuk realisme politik dari semula hanya pemikiran yang tersebar menjadi sebuah teori yang selain kompak juga praktis. Morgenthau juga dipandang berjasa luar biasa dalam menghimpun, mensistematisasi, dan merumuskan ajaran ( tenets ) realisme politik. Jerih payahnya tersebut ia tuangkan dalam karyanya “Politics among Nations: the Struggle for Power and Peace” . Sebuah karya yang tergolong masterpiece dan menjadi kitab suci tidak hanya bagi penstudi Hubungan Internasional juga pelajar dan peminat Ilmu Politik.

Pokok-pokok Realisme Politik Morgenthau


Mengawali uraiannya tentang realisme politik, Morgenthau mengemukakan “sejarah pemikiran politik modern adalah sejarah tentang dua aliran pemikiran yang saling bersaing, yang memiliki perbedaan mendasar menyangkut konsepsi tentang hakikat manusia, masyarakat, dan politik .” Aliran yang satu, dikenal sebagai aliran idealisme, meyakini bahwa:

  • Tertib politik yang bermoral dan rasional, yang berasal dari prinsip-prinsip abstrak yang universal, dapat diwujudkan saat ini;
  • manusia pada hakikatnya memiliki kebaikan esensial dan dapat dididik;
  • kurangnya pengetahuan dan pemahaman, adanya lembaga-lembaga yang telah usang, kejahatan individu atau kelompok tertentu yang terisolir, merupakan sebab dari kegagalan tertib soal;
  • pendidikan, pembaharuan, dan penggunaan kekuatan secara sporadik diyakini dapat memperbaiki kerusakan tadi (Morgenthau, 1973).

Sementara aliran yang lain meyakini bahwa dunia dari sudut pandang rasional tidaklah sempurna. Ia merupakan hasil dari kekuatan- kekuatan yang melekat dalam sifat manusia. Untuk membangun dunia seseorang harus bekerja dengan kekuatan-kekuatan tersebut, bukan melawannya. Dalam dunia yang penuh dengan kepentingan yang berlawanan dan konflik yang terjadi di antaranya, prinsip-prinsip moral pada akhirnya tidak akan pernah dapat menyelesaikan persoalan. Prinsip- prinsip tersebut sedapat mungkin harus didekatkan ke persoalan melalui perimbangan kepentingan yang sifatnya sementara, serta melalui penyelesaian konflik yang bersifat tidak pasti.

Aliran yang kedua ini dikenal dengan realisme politik. Realisme politik tertarik kepada preseden-preseden sejarah, bukan kepada prinsip- prinsip abstrak sebagaimana diyakini penganut idealisme. Maksud utamanya untuk sejauh mungkin memperkecil kejahatan, bukan untuk menciptakan kebaikan yang bersifat mutlak. Dengan latar belakang filosofi demikian, Morgenthau menyusun dan mengajukan teori realisme politik yang menurutnya adalah “suatu teori yang memiliki keterkaitan dengan sifat manusia sebagaimana adanya dan dengan proses sejarah sebagaimana sesungguhnya terjadi Secara ringkas, tanpa bertele-tele, serta dengan paparan yang sistematis, Morgenthau mengajukan teori realisme politiknya yang dibangun berdasarkan enam prinsip, yang menurutnya lebih sering disalahpahami orang ketimbang dimengerti dengan baik.

Prinsip Pertama


Prinsip pertama berbicara tentang pendekatan atau cara pandang realisme terhadap politik dan metode yang digunakan. Realisme meyakini politik diatur oleh hukum-hukum objektif yang berakar pada sifat manusia. Sifat manusia yang menjadi akar hukum objektif dari politik dipercaya tetap sama dan tidak berubah sejak masa keemasan para filsuf hingga hukum tersebut ditemukan. Terdapat keajegan- keajegan ( regularities ) dalam kehidupan manusia yang dapat dipahami sebagai fakta. Keajegan-keajegan atau fakta-fakta tersebut dipengaruhi oleh hukum-hukum objektif yang berlaku dalam masyarakat itu sendiri dan dapat diuji kebenarannya dengan menggunakan nalar ( reason ) dan pengalaman ( experience ). Agar dapat memahami fakta-fakta tersebut, menurutnya, kita perlu memahami hukum-hukum objektif yang berlaku di tempat di mana fakta-fakta tersebut terjadi.5

Bagi realisme, teori menetapkan fakta-fakta dan kemudian memberinya arti melalui penalaran. Realisme mengenal tiga langkah pokok dalam berteori.

  • menetapkan terlebih dahulu mana yang fakta dan bukan fakta dengan mengamati keajegan-keajegan dalam sejarah.
  • melakukan pengujian atas fakta-fakta melalui dua cara, yaitu: menggunakan penalaran dan menggunakan pengalaman.
  • memberi arti kepada fakta-fakta tadi melalui penalaran yang disebut dengan rational outline . Yaitu menempatkan diri kita untuk berpikir rasional seperti rasionalitas yang ada di benak objek.

Prinsip Kedua


Prinsip kedua dan ketiga sama-sama mengungkap soal konseptualisasi . Bedanya, prinsip kedua berbicara tentang pengajuan konsep kunci untuk memahami politik, sementara prinsip ketiga tentang klaim objektivitas dan universalitas konsep tersebut.

Realisme berpendapat konsep kunci untuk memahami politik (internasional) adalah konsep kepentingan ( interest ) yang didefinisikan dalam ukuran/peristilahan kekuasaan ( power ). Menurut Morgenthau, konsep ini menghubungkan penalaran yang mencoba memahami politik (internasional) dengan fakta-fakta yang hendak dipahami. Konsep ini pulalah yang diyakini Morgenthau memberi batas-batas otonomi politik sebagai sebuah lingkup tindakan dan pemahaman, sekaligus membedakannya dengan lingkup lain, seperti: ekonomi, etika, estetika, dan agama.

Sejarah membuktikan bahwa negarawan berpikir dan bertindak menurut kepentingan yang didefinisikan dalam ukuran/peristilahan kekuasaan. Melalui konsep ini, seorang pengamat dapat menjejaki dan mengantisipasi langkah-langkah negarawan di masa lampau, sekarang, dan di masa depan. Dengan menggunakannya, kita berpikir sebagaimana negarawan berpikir. Dan sebagai pengamat yang tidak memiliki kepentingan langsung, kita bahkan dapat memahami pemikiran dan tindakan mereka lebih baik dari apa yang mereka lakukan sebenarnya.

Prinsip Ketiga


Prinsip ketiga realisme adalah asumsi bahwa konsep kepentingan yang didefinisikan dalam ukuran/peristilahan kekuasaan merupakan konsep yang objektif dan absah (valid) secara universal. Sifat universal ini jangan dipahami secara keliru dengan menganggap sekali ditetapkan akan berlaku selamanya. Yang abadi adalah kepentingan, tetapi isi kepentingan itu bervariasi sesuai konteks budaya dan politik dari waktu ke waktu.

Prinsip Keempat


Prinsip keempat dan kelima merupakan pandangan realisme tentang moral. Kedua prinsip ini juga bisa dimaknai sebagai penegasan posisi realisme atas aliran pemikiran idealis yang mengagungkan moral.

Dalam prinsip keempat disebutkan bahwa realisme politik menyadari signifikansi moral dari tindakan politik. Realisme juga menyadari adanya ketegangan antara perintah-perintah moral dengan tuntutan akan tindakan politik yang berhasil.10

Baik individu maupun negara harus menilai tindakan-tindakan politiknya dengan prinsip-prinsip moral internasional seperti kemerdekaan. Namun ada bedanya. Seorang individu mungkin saja memiliki hak moral untuk mengorbankan dirinya demi mempertahankan prinsip-prinsip moral. Negara tidak demikian halnya. Negara tidak memiliki hak untuk membiarkan ketidaksetujuan moralnya atas pelanggaran kemerdekaan merintangi keberhasilan tindakan politiknya, karena negara sendiri diilhami prinsip moral yaitu mempertahankan kelangsungan hidupnya dalam hal apapun. Realisme politik berpendapat tidak ada moralitas politik tanpa kebajikan (prudence) atau tanpa memperhitungkan konsekuensi politik dari tindakan-tindakan yang tampaknya bermoral.

Prinsip Kelima


Realisme politik menolak mengidentikkan aspirasi moral negara tertentu dengan hukum-hukum moral yang memerintah semesta. Dalam kenyataan sehari-hari sangat sedikit negara yang bertahan dari godaan untuk tidak menggunakan aspirasi dan tindakannya sendiri atas nama tujuan-tujuan moral semesta. Bagi realisme, bahwa negara terikat dengan hukum-hukum moral tertentu, merupakan suatu hal. Akan tetapi hal ini tidak bisa dicampuradukkan dengan kepura-puraan mengetahui secara pasti apa yang baik dan buruk dalam hubungan antarnegara. Morgenthau berpandangan, konsep kepentingan yang didefinisikan dalam ukuran/peristilahan kekuasaan menyelamatkan kita semua dari ekses-ekses moral dan kebodohan politik.

Prinsip Keenam

Prinsip keenam ini berbicara tentang ruang lingkup dan status Politik sebagai sebuah field of study . Seperti rekan-rekannya yang lain di Chicago, Morgenthau juga berambisi membentuk Politik sebagai suatu bidang studi yang otonom dari studi-studi sosial yang lain. Menurut Morgenthau perbedaan antara realisme politik dengan aliran-aliran pemikiran lain adalah nyata, dan itu telah diungkapkan lewat prinsip-prinsip sebelumnya. Yang belum terungkap adalah sikap intelektual dan sikap moral realisme terhadap Politik sebagai sebuah studi.

Secara intelektual, realisme menetapkan lingkup otonomi Politik sebagaimana pakar di bidang lain juga melakukannya untuk studi mereka. Menurut realisme, seorang ahli Politik berpikir menurut kepentingan yang didefinisikan dalam ukuran/peristilahan kekuasaan. Berbeda dengan ekonom yang berpikir menurut konsep kepentingan yang didefinisikan dalam ukuran/peristilahan kekayaan (wealth), atau ahli hukum yang mendasarkan pertimbangannya atas keselarasan tindakan dengan aturan- aturan legal.

Realisme menyadari keberadaan dan relevansi pikiran-pikiran baku lainnya di luar Politik. Akan tetapi, sebagai penganut realisme, seseorang hanya dapat menggunakannya apabila meletakkannya di bawah kendali Politik. Penegasan realisme ini bukan berarti tidak menghargai bidang studi lain. Dipandang dari kaca mata perkembangan ilmu, prinsip ini sangat terkait erat dengan kondisi Politik yang kala itu baru tumbuh sebagai sebuah bidang studi. Di samping enam prinsip di atas, masih terdapat beberapa pemikiran Morgenthau yang dianggap penting karena menjadi fondasi perkembangan realisme selanjutnya.

  • Morgenthau menolak pemikiran rasionalisme. Menurutnya teori harus dinilai dari sifat empiris dan pragmatisnya, bukan menurut penilaian abstrak yang a priori.

  • Teori politik (internasional) ibarat sebuah peta yang digunakan oleh para pelancong untuk menemukan jalan di daerah yang tidak mereka kenal. Peta biasanya hanya menyajikan gambaran-gambaran kasar dari suatu daerah, tidak menyajikannya secara rinci, akan tetapi ciri- ciri utama daerah itu tercantum di dalamnya. Teori politik (internasional) juga demikian halnya. Tidak harus mencerminkan kenyataan-kenyataan yang ada secara rinci agar efektif mengorientasikan para penstudi dalam bidang ini.

  • Hubungan antara fakta-fakta dengan teori dapat diibaratkan dengan hubungan antara sebuah foto ( photo ) dengan potret ( portrait ). Foto menunjukkan segala sesuatu sebagaimana objek itu ada. Teori yang baik cukup seperti potret yang kasar dan kurang mendetail tetapi menggambarkan objek dengan baik dan memberi pemahaman bagi kita.