Bagaimana pandangan Plato terkait dengan Konsep Manusia?

Plato

Plato merupakan seorang filusuf besar yang membahas banyak sekali keilmuan,mulai dari seni, politik hingga kemanusiaan. Bagaimana pandangan Plato terkait dengan Konsep Manusia ?

Sebelum berbicara tentang pemikiran Plato terkait dengan manusia, sebaiknya diketahui terlebih dahulu terkait dengan background pemikirannya. Dalam kehidupannya, Plato lebih memaksimalkan bukti inderawi dan akal dalam pemikirannya. Gaya berfikir Plato ini ia peroleh dari guru-guru filsafatnya, khususnya Sokrates, guru yang sangat dikagumi oleh Plato, di mana Sokrates mengajar kepada Plato tentang nilai-nilai kesusilaan yang menjadi norma-norma dalam diri dan kehidupan manusia.

Sebelum Plato mempelajari filsafat Sokrates, ia belajar filsafat dari Kartylos, Kartylos murid dari Heraklitos, Heraklitos mengajarkan bahwa tidak ada sesuatu yang tetap dan tidak berubah. Karena segala sesuatu senantiasa bergerak dan berubah maka pada dasarnya seluruh realitas senantiasa dalam proses menjadi yang terus-menerus. Bagaikan api yang selalu bergerak, demikian pula segala sesuatu itu terus-menerus bergerak dan berubah-ubah dengan tiada putus-putusnya. Maka tidak mungkin ada pengetahuan yang pasti dan benar.

Pengaruh pemikiran berikutnya adalah Parmanides yang bertolak pikiran dari Heraklitos. Bagi Parmanides

“yang ada itu ada. Dan yang tidak ada itu tidak ada. Parmanides mengatakan tidak ada yang berubah, tidak ada yang mengalir dan berlalu serta menjadi. Yang ada itu ada dan adanya menjadi”

Selanjutnya adalah Orphisme atau sering disebut sebagai mystri orphic, yakni suatu gerakan agamis dan filsafat yang terbesar di Yunani pada abad ke-6 SM. Orphisme mengajarkan dualisme tubuh dan jiwa manusia. Jiwa terpenjara dari tubuh dan tugas manusia untuk membebaskan jiwa, semua itu hanya mungkin tercapai lewat upacara kudus dan pertarakan yang ketat, bahkan hubungan seksual pun dilarang. Penganut Orphisme meyakini akan adanya kehidupan sesudah kematian. Elemen utama ajaran Orphisme itu tampak juga dalam konsep Plato tentang manusia. Dualisme antropologik Plato, sedikit banyaknya menunjukkan pengaruh ajaran Orphisme itu dalam pemikiran- pemikiran Plato. Menurut Plato, manusia memang terdiri dari tubuh dan jiwa. Tubuh dan jiwa itu senantiasa berada dalam ketegangan dan saling tarik-menarik. Tubuh adalah musuh jiwa karena tubuh penuh dengan berbagai kejahatan, oleh sebab itu tubuh merupakan penjara jiwa.

Pengaruh pemikiran yang lain adalah Phytagoreanisme tentang tubuh dan jiwa sebagai soma-sema yang artinya tubuh (soma) adalah kubur (sema) jiwa. Pemikiran Plato tidak hanya bersumber pada pemikiran para-Soktarik, tetapi juga pada ajaran para sofis, walaupun lebih banyak secara negatif, yakni merupakan kecaman terhadap para sofis itu. Plato sangat menentang skeptisisme dan relativisme moral yang disebar luaskan oleh para sofis. Dengan latar belakang pemikiran tersebut Plato lebih mengedepankan gaya fikir inderawi dan akali. Namun tidak dipungkiri Plato juga mengenal keilahian.

Parmanides adalah anak dari Pyres dan lahir di Elea, selatan Napoli, Italia. Dia satu generasi setelah Heraklitos dan juga bertolak belakang pikiran dengannya. Dia dikabarkan sempat berjumpa dengan Xenophanes dan kaum Pythagorean. Dia dikenal juga sebagai dokter.

Kata-kata Bijak Plato

Dasar Manusia


Dasar manusia menurut Plato adalah jiwa dan raga, Menurut Plato, manusia adalah makhluk ganda. Manusia memiliki tubuh yang “berubah”, yang tidak terpisahkan dengan dunia indera, dan tunduk pada takdir yang sama seperti segala sesuatu yang lain di dunia ini. Semua yang manusia indrawi didasarkan pada tubuh, dan karenanya tidak dapat dipercaya. Namun manusia memiliki jiwa yang abadi, dan jiwa inilah dunianya akal, dan karena tidak bersifat fisik, jiwa dapat menyelidiki dunia ide. Menurut Plato, martabat manusia sebagai pribadi tidak terbatas pada mulainya jiwa bersatu dengan raga. Jiwa telah berada lebih dulu sebelum jatuh ke dunia dan disatukan dengan badan. Maka bagi Plato, yang disebut manusia atau pribadi adalah jiwa sendiri. Sedangkan badan oleh Plato dianggap sebagai alat yang berguna sewaktu masih hidup di dunia ini. Tetapi badan itu, di samping berguna, sekaligus juga memberati usaha jiwa untuk mencapai kesempurnaan, yaitu kembali kepada dunia ide. Jiwa menurut Plato sudah berada sebelum bersatu dengan badan. Persatuan jiwa dengan badan merupakan hukuman karena kegagalan jiwa untuk memusatkan perhatiannya kepada dunia ide. Jadi manusia mempunyai “pra eksistensi”, yaitu sudah berada sebelum dipersatukan dengan badan dan jatuh ke dunia ini.

Dalam karangannya Phaedo dan beberapa dialog besarnya yang lain dikatakan oleh Plato secara meyakinkan, bahwa jiwa memang merupakan aspek yang pertama, bahwa dia lebih unggul dari pada badan secara total (terutama dalam hal jiwa manusia), bahwa dia tidak hanya menjadi prinsip hidup tumbuh-tumbuhan dan hewan, tetapi juga prinsip kesadaran, interioritas, pemikiran dan kebebasan. Dia sungguh-sungguh mengerti bahwa jiwa tak bisa disamakan dengan organisme, baik dengan bagian tertentu maupun dengan segi mana pun yang bersifat organik dan badaniah dalam makhluk hidup.

Jalan ke pengetahuan sejati itu berliku-liku dan sulit. Hanya beberapa orang yang selektif, yakni mereka yang telah belajar berkontemplasi, yang bisa menguasainya. Plato mengingatkan bahwa fasilitas untuk berkontemplasi adalah terbatas untuk mereka yang wataknya memiliki kapasitas bawaan untuk menjalankan tugas ini; dan bahkan untuk ini semua, kemampuan tidaklah diperoleh secara otomatis melainkan hanya dengan upaya pelatihan. Dia menegaskan bahwa jika salah seorang tahanan di goa dibebaskan dan dibawa ke sinar dunia yang lebih tinggi, maka cahaya yang sejuk itu akan menyusahkannya sehingga dia tidak akan bisa melihat “satu-satunya hal yang dia diberitahu sebagai hal riil.” Hanya dengan proses penguatan diri secara perlahan dan menyakitkan, maka kita akan sampai ke cahaya itu, dan secara perlahan akan bisa melihat dan memahami.

Jiwa yang mencapai tahap ini akan secara penuh naik ke bidang intelektual, jauh dari dunia bayangan dan obyek-obyek buatan yang berubah, ia akan mencapai visi kebaikan yang menyenangkan.

Menurut Socrates,

“Kebajikan adalah pengetahuan. Orang yang bijak adalah orang yang mengetahui, sementara orang yang berdosa adalah orang yang bodoh. Pengetahuan yang benar akan membimbing pada tindakan yang benar; tindakan jahat adalah akibat dan wawasan yang kurang baik”.

Tidak terbayangkan oleh Socrates bahwa seseorang yang mengetahui dasar kebaikan dan kebenaran akan berbuat jahat. Karena tidak ada manusia yang berbuat dosa secara sengaja, pengetahuan diperlukan untuk membuatnya benar-benar bijak. Oleh sebab itu, adalah wajib untuk mengajar manusia agar mengerti dan memahami agungnya kebenaran hidup sehingga, dengan mengetahui kebenaran itu, manusia akan berbuat secara bijak dan, dengan cara demikian, akan memperbaiki kerusakan masyarakat. Melatih pikiran seksama dan disiplin sangat perlu jika tujuan ini ingin dicapai.

Dalam ajaran interaksionisme Platonisme dan Descartes, badan dan jiwa berbentuk dua substansi lengkap yang saling mempengaruhi. Doktrin ini sering disebut Dualisme, atau teori “roh di dalam mesin”. Kebanyakan orang sebenarnya membayangkan realitas badan dan jiwa menurut model ini, biarpun ada reaksi kuat dari pikiran masa kita yang menentang cara memandang hal itu sebagai pikiran yang tidak memuaskan.

Akal umum melihat bahwa jiwa dapat menggerakkan badan. Aku mau menggerakkan tanganku, dan tangan bergerak dengan seketika. Jika aku takut, jantungku berdebar lebih cepat. Jika aku diancam, mukaku menjadi marah. Jika aku takut sekali, maka hal tersebut akan dapat menimbulkan bisul pada lambungku. Begitu juga dapat dilihat bahwa badan mempengaruhi jiwa. Jika aku lelah secara fisik, maka semangatku terasa lesu. Jika aku menerima suatu pukulan terlalu keras, maka aku jatuh pingsan. Itulah fakta-fakta, dan setiap teori mengenai jiwa dan badan itu harus menghormatinya.

Thomas Aquino, mengatakan bahwa jiwa mempunyai hubungan transendental dengan materi. Ini berarti bahwa bagi jiwa, keadaan terikat pada materi bukanlah suatu hal yang sekunder atau sementara saja, keadaan itu merupakan suatu unsur konstitutif dari jiwa, ia termasuk kodratnya sendiri. Jiwa dapat kehilangan hubungan ini hanya dengan kehilangan eksistensinya sendiri.

Setiap penganut Plato dan Neo Platonisme suka melukiskan bagaimana, mulai dari pengalaman, putusan, intelegensi, akan berhasil menemukan pusat dirinya sendiri bagaikan sebuah tempat yang keramat, berisi norma-norma kekal yang yang mengizinkannya untuk mengucapkan putusan-putusan tentang segala sesuatu. Descartes mengatakan sesuatu yang dalam,

“Bahwa kebebasannya tidak saja membuatnya mirip dengan Allah, tetapi juga merupakan cara yang istimewa untuk mengenal Allah”.

Bagi sejarah, teranglah, bahwa Plato adalah pelopor Idealisme. Tentu saja pendapatnya tantang manusia ada hubungannya dengan pandangannya mengenai alam dan dunia. Ternyata kepada Plato, bahwa manusia itu mempunyai pengetahuan yang sifatnya harus dibedakan, yaitu pengetahuan yang berlaku khusus dan yang berlaku umum. Manusia mengenal yang khusus (satu per satu dan tidak tetap) pada dunia ini. Yang khusus itu dikenal manusia melalui pengamatan. Oleh karena manusia itu mempunyai pengetahuan mengenai yang umum, maka haruslah ada dunia tersendiri bagi yang umum itu. Yang umum itu tidak ada di dunia pengamatan ini. Yang umum itu disebut oleh Plato eidos yang kemudian terkenal sebagai idea. Dunia tempat idea-idea itu disebutnya dunia idea, dunia itu sempurna dengan idea-ideanya yang sempurna pula. Dalam dunia ide misalnya segi tiga yang sempurna dengan segala sifat-sifat kesegi tigaan seluruhnya, idea itu satu saja karena sempurna itu. Dalam dunia ide ada juga idea-idea lain seperti kemuliaan, kerajinan, keindahan, dan kebaikan, semuanya sempurna. Adapun dunia kedua ialah dunia pengamatan ini. Seperti semua badan, juga yang tidak berjiwa, badan manusia menduduki sebuah tempat di dunia, mempunyai bentuk material yang tertentu, dapat diukur dan dihitung, dan terikat pada perubahan dan waktu.

Di dunia ini, hal-hal hanya merupakan bayangan-bayangan dari yang sempurna saja, maka dari pada itu sifat-sifatnya tidaklah sempurna, serba terbatas. Itulah sebabnya hal-hal di dunia pengamatan ini bermacam-macam pula, karena ketidak sempurnaannya menjadi bayang-bayang idea itu.

Manusia mempunyai pengetahuan dua macam, tentang dunia pengamatan dan sedikit mengenai dunia idea, itu semuanya membuktikan bahwa manusia termasuk dalam dunia dua itu. Ia merupakan penghuni dunia pengamatan dan sekaligus penghuni dunia idea. Menurut Plato manusia terdiri dari badan yang material dan jiwa yang tidak material. Jiwa itu dahulu tinggal di dunia idea, dan bahagialah ia dengan segala kepuasan memandangi dan mengerti idea-idea yang sempurna itu. Jiwa itu pada suatu ketika terkumpulkan dengan materi, dan adalah ia dengan badannya di dunia pengamatan. Dengan demikian manusia itu terdiri dari dua hal, yang material dan non material. Yang disebut jiwa inilah yang memanusiakan manusia. Jiwa yang asalnya dari dunia idea dan akan kembali ke dunianya semula itu, jika tugasnya telah selesai di dunia pengamatan ini. Jiwa dan badan tidak merupakan kesatuan, memang bersatu tetapi merupakan keduaan (dualisme), bahkan dualisme yang paralel. Jiwa adanya lebih dulu dari manusia, ini disebut bahawa jiwa itu mempunyai pra-Eksistensi.

Bagi Plato, tujuan hidup manusia ialah kehidupan yang senang dan bahagia. Manusia harus mengupayakan kesenangan dan kebahagiaan hidup itu. Tetapi apakah kesenangan dan kebahagiaan itu? Menurut Plato, kesenangan dan kebahagiaan hidup itu bukanlah pemuasan hawa nafsu selama hidup di dunia inderawi. Plato konsekuen dengan ajarannya tentang dua dunia, Yaitu dunia ide dan inderawi. Karena itu, kesenangan dan kebahagiaan hidup harus dilihat dalam hubungan ke-dua dunia itu. Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, dunia yang sesungguhnya bagi Plato ialah dunia ide. Semua ide dengan ide yang baik atau ide kebaikan dan ide kebajikan sebagai ide yang yeng tertinggi yang ada di dunia ide adalah realitas yang sebenarnya. Sedangkan segala sesuatu yang ada di dunia inderawi hanyalah merupakan realitas bayangan.

Tidak dapat disangkal, bahwa di dalam dunia ini manusia hanya mengamati hal-hal yang berubah dan dapat binasa saja. Akan tetapi Plato yakin, bahwa di samping hal-hal yang beraneka ragam dan yang dikuasai oleh gerak serta perubahan-perubahan itu tentu ada yang tepat, yang tidak berubah. Di samping banyak hal yang baik (sepatu baik, rumah baik, kelakuan baik, dan lain sebagainya) tentu ada “yang berlaku umum”, yang berlaku bagi semuanya. Demikian juga halnya dengan keindahan. Apa yang sungguh-sungguh baik, benar dan indah, tentu baik, benar dan indah bagi siapa pun juga, kapanpun juga, dan di manapun juga. Memang harus diakui ada hal-hal yang berubah (seperti yang dilihat oleh Herakleitos) dan ada hal- hal yang tidak berubah (seperti yang dilihat oleh Parmanides). Keduanya tidak dapat disangkal. Akan tetapi apakah keduanya benar? Di mana letak kenyataan yang sebenarnya? Di dalam “yang ada”, yang tidak berubah itukah, atau di dalam gejala-gejala yang terus menerus berubah itu? Pikiran Parmanides bersifat monistik karena ia beranggapan bahwa realitas itu hanya satu adanya, yaitu sebagai being atau hal ada, serta bahwa perubahan itu tidaklah ada. Hal ada itu bersifat abadi, tidak berubah, dan lengkap.

Menurut Plato, tidak mungkin seandainya yang satu mengucapkan yang lain, artinya: bahwa mengakui yang satu, harus menolak yang lain, juga tidak mungkin, bahwa kedua-duanya berdiri sendiri, yang satu lepas dari yang lain. Plato ingin memperhatikan keduanya, memberi hak berada bagi keduanya.

Pemecahan Plato terletak di sini, bahwa yang serba berubah itu dikenal oleh pengamat, akan tetapi yang tidak berubah dikenal oleh akal. Misalnya di dalam pengamatan manusia mengenai segi tiga yang bermacam- macam, ada yang sama sisi ada yang siku-siku, ada yang besar, ada yang kecil dan lain-lainnya. Segala macam segi tiga itu dikenal dengan melalui pengamatan. Akan tetapi dengan akal kita sampai kepada segi tiga seperti keadaannya yang sebenarnya, yang tetap, yang tidak berubah, yang kekal, yang tidak tergantung kepada segi tiga yang kita amati. Demikian juga halnya dengan “yang baik”, “yang benar”, dan “yang indah”. Dengan melalui akal kita mengenai yang baik (kebaikan), yang benar (kebenaran) dan yang indah (keindahan). Demikianlah Plato berhasil menjembatani pertentangan yang ada antara Herakleitos, yang menyangkal tiap perhentian, dan Parmanides, yang menyangkal tiap gerak dan perubahan. Yang tiap, yang tidak berubah, yang kekal itu oleh Plato disebut “ide”.

Di dalam sebagian besar karya Plato menjelaskan tentang takdir jiwa manusia, Plato menjelaskan, bahwa takdir ini berlaku bagi “semua hal yang berjiwa”, dan sementara mereka mengalami perubahan, mereka diatur oleh tatanan dan hukum takdir. Semakin sedikit perubahan dalam karakter mereka, awal kemunduran dalam tingkatan mereka semakin kurang signifikan. Tetapi ketika perubahan meningkat, dan keburukan muncul bersamaan dengannya, mereka akan jatu ke dalam ngarai yang dalam yang dikenal sebagai neraka. sebagai kelanjutan bagian karyanya itu, Plato menyebutkan kemungkinan bahwa satu jiwa yang dianugrahi peran yang luar biasa besar tentang kebaikan, dengan kekuatan kemauannya sendiri ia dapat, jika jiwa ini berhubungan erat dengan kebaikan transendental, ia dapat menjadi kebaikan yang tertinggi dan dapat berpindah menuju tempat yang agung.

Neoplatonisme. Yang amat mashur pandangannya yang bersifat pantheisme itu ialah Plotinos (204-270), seorang yunani. Ia kena pengaruh Plato dengan idealismenya, sehingga pendapat Plotinos kerap kali disebut neo-platonisme. Ia mengambil oper dari ajaran Plato pendapat-pandapatnya tentang idea. Idea itu sempurna, idea itu sungguh-sungguh ada, merupakan realitas tertinggi, malah sebetulnya satu-satunya realitas demi kesempurnaannya itu. Plotinos menyebut idea yang sempurna itu dalam bahasa Yunani to hen (Yang Esa).

To hen, Yang Esa ini bagi Plotinos merupakan pusat segala pikir dan pemikirannya. Yang Esa ini satu-satunya realitas. Merupakan realitas yang sebenarnya, dari pada itu sempurna, kalu terdapat ada yang lain, itu hanya ikut serta deangan yang Esa itu. Manusia tidak bisa membayangkan kesatuan Yang Esa ini, tidak dapat mengerti dan tak dapat mengatakan. Kita tak dapat menjadikan Yang Esa itu menjadi objek pengetahuan kita, semua usaha kita mendekatinya takkan berhasil. Manusia mungkin memakai kata-kata yang tak sempurna, tetapi takkan kita dapat menyelami Keesaan Yang Esa itu. Pada Yang Esa itu demikian Keesaannya, sehingga tak ada padanya berpikir dan kehendak, karena tiap tindakan berpikir dan berkehendak selalu akan memerlukan objek di luar yang yang bertindak itu, dan apakah yang terdapat di luar Ada. Bukankah itu hanya ketiadaan saja? Dari Yang Esa itu memang timbul yang disebutnya nous (roh), bukan roh yang menghidupi yang hidup, melainkan yang meliputi alam dan dunia. Roh ini tidak lagi Esa, melainkan sudah ada ke-dua-an di dalamnya, sebab roh itu berpikir dan dalam pikirnya itu ia mencoba kembali kepada Yang Esa. Dalam berpikirnya roh itu telah membedakan obyek yang dipikirkan dan subyek yang berpikir. Dari roh dunia ini timbullah jiwa (psyche). Psyche ini mencoba kembali kepada roh dunia dengan hendak memandangi idea-idea yang terdapat pada roh itu, akan tetapi sekaligus ia mengakibatkan adanya hal yang bermacam-macam yang merupakan bayang-bayang atau gambar dari idea-idea itu. Psyche ini menjiwai seluruh dunia, tetapi dunia itu hanya merupakan kesatuan dalam permacaman. Betul yang ada pada dunia ini, yaitu materi, terjiwai semuanya oleh psyche dan ikut serta melalui nous dengan ada Yang Esa, tetapi ada dunia ini bukan ada yang sebenarnya, pun manusia yang bermateri ini. Semua yang ada di dunia ini ikut serta dengan ada Yang Esa. Maka manusia yang berasal dari Yang Esa haruslah kembali kepada asal mulanya.

Jiwa secara intrinsik adalah bebas dari materi dalam hakikatnya. Hal itu adalah akibat dari kenyataan bahwa kelakuan-kelakuan itu hanya dapat berakar pada suatu prinsip yang dalam dirinya sendiri tidak tunduk secara intrinsik pada hukum-hukum materi. Manusia dengan pikiran dan kehendak megungguli kondisi-kondisi material ruang dan waktu. Ia mencapai universalitas, mencapai yang mutlak, ia bahkan mampu untuk sampai pada pengakuan atas Yang Ada.

Oleh karena manusia itu terdiri dari dua hal, yaitu jiwa dan badan, maka jiwanya memang mengarah kepada roh, akan tetapi badannya tertarik kepada materi. Ada kemungkinan manusia menceburkan diri pada yang materi belaka, sehingga ia lupa akan asalnya dan mengingkari dirinya yang sebenarnya, lalu ia kehilangan kemanusiaannya serta akan kehilangan arah tujuannya pula. Tetapi manusia mungkin juga melalui yang jasmani itu memandangi keindahan Yang Esa dengan mengawasi serta menyelami idea- idea, sehingga ia akan sampai juga kepada tujuannya terakhir, yaitu Yang Esa, juga yang indah, yang meliputi segala keindahan sebagai sifat kesempurnaannya. Inilah tugas manusia: berpaling dari materi untuk kembali kepada asal mulanya, Yang Esa. Tidak lagi ia hanya ikut serta dalam materi lain, melainkan ia akan mengalami kesatuan yang sempurna dengan yang satu itu. Ini disebut oleh plotinos extasis.

Manusia tidak puas hanya dengan bersama-sama ambil bagian dalam hal yang baik yang tersedia, dia sudah semestinya dengan matanya sendiri, berusaha untuk ambil bagian dalam kebaikan, dan secara lebih memadai berbuat untuk meningkatkan kebahagiaannya.

Plato membagi watak manusia ke dalam tiga bagian. Pertama, bagian rasional, tempatnya adalah dalam otak. Unsur rasional manusia adalah esensi suci, atau substansi, dan harus dibedakan dari badan di mana akal itu terpenjara. kedua adalah bagian yang merasa, tempatnya di dada. Ketiga , unsur yang ingin atau selera, tempatnya di perut. Unsur keinginan tidak mempunyai prinsip untuk mengatur diri sendiri, karena itu harus berada di bawah kontrol akal. Akal dan badan mempunyai hubungan yang erat satu dengan lainnya, akan tetapi, menurut Plato perbedaan antara dua hal tersebut adalah nyata. Jiwa yang tak dapat dibagi-bagi berasal dari alam misal atau form yang tinggi dan abadi, jauh di atas dunia pengalaman yang selalu berubah dan lewat. Jiwa tercemar karena berhubungan dengan benda, pada suatu waktu jiwa akan meninggalkan badan dan kembali kepada tempatnya yang abadi.

Sebagaimana dipahami Plato, manusia sempurna lebih mencintai kebijaksanaan dari pada yang lain, Pengetahuan dan kebijaksanaan adalah milik kebenaran dan ide, bukan miliki sesuatu yang dapat diindra, fenomena formal, dan semuanya itu berada dalam naungannya. Melalui pengetahuan ini, kebenaran yang sesungguhnya itu terbebas dari segala sesuatu yang dapat mempengaruhinya dengan bergantinya berbagai generasi dan perusakan. Manusia sempurna, menurut pendapat ini, dapat meliputi esensi jiwanya dan pada akhirnya akan mencapai kedekatan dan menempati Eksistensi yang sebenarnya. Jadi, dia percaya bahwa dengan mengetahui ide dan kebenaran akan membawa manusia memiliki pendekatan yang naik untuk mencapai esensi manusia itu sendiri.

Dalam proses jiwa untuk menikmati persatuan dengan Allah, harus dijalani langkah-langkah tertentu. Langkah pertama didorong oleh kekuatan Eros jiwa yang melakukan katarsis, yaitu membersihkan diri dari kekuasaan badan dan indera. Kemudian, jiwa harus mengatasi persepsi inderawi dan mengarahkan diri kepada Nous dan menyibukkan diri dengan filsafat dan sains. Pada tingkat yang lebih tinggi lagi, jiwa dibawa masuk dalam persatuan dengan Nous, tetapi kegiatan berpikir secara diskursif sudah dilepaskan. Pada tingkat ini jiwa masih memiliki kesadarannya. Tetapi semua langkah ini merupakan persiapan bagi tingkat terakhir, di mana terjadi persatuan secara mistik dengan Allah atau yang satu dalam suatu ekstase di mana segala sifat mendua disingkirkan. Di sana tidak terasakan lagi perbedaan antara subjek dengan objek. Pendapat-pendapat Parmanides dan Plato, akan ditmukan teori yang menyatakan bahwa dunia tempat manusia hidup yang tengah berubah hanyalah sebuah ilusi dan sebenarnya ada dunia yang lebih riil yang tidak mengalami perubahan.

Kata-kata Bijak Plato

Metode Eros


Manusia memiliki suatu daya yang kuat dan gemilang yang dapat mendorong dia ke atas, yaitu cinta ( eros ). Tentang eros itu Plato telah menulis halaman-halaman yang tak terlupakan dalam dialognya symposion. Eros adalah daya kreatif dalam diri manusia, pencetus kehidupan, inspirator para penemu, seniman dan genius. Eros memenuhi manusia dengan semangat kebersamaan, membebaskan kita dari kesendirian dan mengajak manusia ke pesta, musik, tarian dan permainan. Eros itu luwes, murah hati, dikagumi oleh para cerdik pandai dan disayangi oleh para dewa. Plato menyebutnya “bapak segala kehalusan, segala kepuasan dan kelimpahan, segala daya tarik, keinginan dan asmara”. Dalam penderitaan dan ketakutan, dalam keinginan dan pemikiran dialah pemimpin manusia yang terbaik.

Eros adalah hasrat manusia yang tak pernah padam untuk yang benar, yang baik dan yang indah. Eros mendorong manusia semakin tinggi: dari cinta untuk yang kelihatan kepada cinta untuk yang tak kelihatan, ideal, ilahi.

“Memang inilah jalan jalan cinta yang tepat: mulai dengan keindahan yang dapat dilihat dan dengan mata tertuju pada keindahan duniawi menanjak semakin tinggi seperti menaiki anak tangga, dari tubuh-tubuh yang indah menuju sikap-sikap hidup menuju ilmu-ilmu yang indah, dan dari situ akhirnya ke ilmu yang tidak lain dari pada ilmu mengenai keindahan adiduniawi itu sendiri; dengan demikian akhirnya orang mengenal apa yang sungguh-sungguh indah, yaitu yang indah pada umumnya”.

Jadi, inilah sesungguhnya peruntukan dan makna keberadaan manusia: memanjat terus ke arah “keindahan Ilahi itu sendiri”, menempuh kehidupan yang berkenan di hati para dewa. Tetapi waktu hidup di dunia ini kita senantiasa dalam perjalanan dan baru sesudah mati dapat kita wujudkan kemungkinan ultim kita barangkali setelah beberapa kali pindah ke makhluk- makhluk lain, yaitu sebagai jiwa murni hidup terus dalam alam ideal atau adiduniawi, sangat mirip dengan Allah ( homoisois toi theoi ). Dalam keadaan itu kehidupan manusia akan mengarah yang semata-mata menuju spiritual, tanpa penjelmaan dalam materi apapun, jadi manusia akan hidup sebagai sejenis malaikat.

Referensi :
  • Palto, Jalan Menuju Pengetahuan Yang Benar , Yogyakarta: Kanisius, cet. 7, 2002
  • K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta: Kanisius, 1976
  • J.H Rapar, Filsafat Politik Plato, Jakarta: Rajawali, 1988
  • Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, Jakarta: Tinta Mas, cet. 3, 1986
  • David Melling, Jejak Langkah Pemikiran Plato, Jogjakarta: Bentang Budaya, 2002
  • T.Z. Lavine, Dari Socrates Ke Sartre, Yogyakarta: Jendela, 2002
  • Budiono Kusumohamidjojo, FIlsafat Yunani Klasik Relevansi Untuk Abad XXI, Yogyakarta: Jalasutra, 2013, hlm. 184-185
  • Muhammad Subkhan, Konsep Persahabatan Menurut Pandangan al-Ghazali dan Plato, Semarang: Skripsi Fak Ushuluddin, 2011
  • Hardono Hadi, Jati Diri Manusia Berdasar Filsafat Organisme A.N. Whitehead, Yogyakarta: Kanisius, 1996
  • Louis Leahy, Manusia, Sebuah Misteri, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, cet. II, 1985
  • Henry J. Schmandt, Filsafat Politik Kajian Historis Dari Zaman Yunani Kuno Sampai Zaman Modern, Yogyakarta: Pustaka pelajar, cet. I, 2002
  • I. R. Poejawijatna, Manusia Dengan Alamnya, Jakarta: Bina Aksara, cet. I. 1970
  • Sudarsono, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Jakarta: Rineka Cipta, cet. I, 1993

Menurut Plato, berdasarkan teori emanasi, pada hakikatnya tidak ada ada penciptaan, Tuhan menciptakan alam. Yang ada hanya pancaran Tuhan itu, seperti halnya matahari memancarkan sinarnya. Pancaran pertama dinamakan the nous (logos). Dari logos memancarlah jiwa (soul), dan soul ini merupakan dunia ide, seperti yang diuraikan Plato.

Bagaimanakah hakikat jiwa menurut Plato?

Dalam karya dialogisnya, Laws, Plato mendefenisikan jiwa sebagai: "self initiating motion" atau "source of motion" (F. Copleston, 1945), dimana jiwa merupakan suatu yang Adikodrati, yang berasal dari dunia idea, dan oleh karenanya, jiwa itu bersifat kekal (H. Hadiwijono, 1991). Menurut Plato, tubuh dan jiwa merupakan sesuatu yang terpisah. Jiwa menggerakkan dirinya sendiri dan menggerakkan badan. Jiwalah yang berhubungan dengan dunia idea, bukan badan.

Karena objeknya abadi maka jiwa harus memiliki sifat yang sama dengan objeknya yakni sama-sama kekal (K. Bertens, 1988). Pendapat Plato tentang jiwa ini banyak dipengaruhi oleh Socrates, Orfisme dan mazhab Pytiragorean.

Kata-kata Bijak Plato

Bila Plato yakin dengan keabadian jiwa, sementara gurunya sendiri (Socrates) masih meragukannya. Bila aliran Pythagorean meyakini bahwa tubuh sebagai kubur jiwa, maka Plato berpendapat tubuh bukanlah kubur jiwa, melainkan hanya penjara jiwa, karena bagi Plato, tubuh tidak bisa mematikan jiwa, dimana tubuh hanya dapat menahan jiwa sementara waktu (JH. Rapar, 1991).

Jiwa terdiri dari tiga tungsi (elemen), yaitu :

  • Bagian yang rasional yang berkaitan dengan kebijaksanaan;
  • Bagian kehendak atau keberanian yang dihubungkan dengan kegagahan
  • Bagian keinginan atau nafsu yang dihubungkan dengan pengendalian diri (F. Copleston, 1945)

Jiwa berfungsi memberi daya hidup totalitas pribadi manusia. Unsur intelektual, emosi dan motorik termasuk dalam kategori aktivitas jiwa. Manusia dapat memperoleh pengetahuan karena jiwa muncul sebagai penghubung antara dunia idea dan dunia yang bertubuh. Dalam masa waktu, jiwa belum terikat kepada badan manusia, ia sanggup melihat idea itu dari dekat, dimana pada masa itu, jiwa bertempat dalam dunia yang tidak bertubuh, dunia idea.

Setelah jiwa jatuh ke dunia dan terikat kepada tubuh, idea itu setiap kali timbul dalam ingatannya. Kalau terpandang barang-barang dalam dunia yang lahir ini, teriangat olehnya idea sebagai bentuk yang asal daripada barang itu. Secara epistemologis. Plato berkeyakinan bahwa

“segala pengetahuan adalah bentuk daripada ingatan”.

Ini merupakan intisari teori pengetahuan Plato (Hatta, 1980).

Daya jiwa inilah yang juga disebut dengan “Eros”, yakni daya yang ada dalam diri manusia untuk mencapai ruhani (keindahan) (Dick Hartoko. 1986)

Referensi :

  • Copleston, Frederick, (1945), A History of Philosophy, Vol-l: Greece and Rome, Search press, London
  • Bertens, K., (1988), Sejarah Filsafat Yunani, Kanisius, Yogayakarta.
  • Rapar, JH (1991), Filsafat Politik Plato, Rajawali, Jakarta.
  • Hatta, Mohammad (1980), Alan Pikiran Yunani, Tintamas, Jakarta
  • Hartoko, Dick (1986), Kamus Populer Filsafat, Rajawali Press, Jakarta