Bagaimana pandangan paradigma endisme pada hubungan internasional?

paradigma endisme

Bagaimana pandangan paradigma endisme pada hubungan internasional?

Dalam artikel yang berjudul “No Exit: The Errors of Endism,” Samuel Huntington (The National Interest, 1989) mengatakan, di era akhir Perang Dingin (1989) disiplin HI telah mengalami pergeseran paradigma yang sangat signifikan. Jika di masa Perang Dingin paradigma deklinisme begitu mendominasi, di masa setelahnya, paradigma endisme justru lebih mengambil peran.

Di era ini, menurut pemahaman paradigma endisme, hal yang menjadi masalah-masalah internasional telah berakhir, bahwa realisme tidak lagi dipandang sebagai paradigma yang paling presisi. Paradigma endisme itu sendiri menurut Huntington berkembang dalam tiga tingkatan. Pertama, pada tingkatan yang paling spesifik, endisme mengelu-elukan berakhirnya Perang Dingin. Pada musim semi 1989 New York Times dan International Institute for Strategic Studies, George Kennan dan George Bush, menyatakan proposisi ini dalam satu dan lain bentuk. Akhir Perang Dingin menjadi Kebenaran Mapan dari Kemapanan Kebijakan Luar Negeri (the Foreign Policy Establishment’s Established Truth).

Kedua, endisme menyatakan dirinya dalam proposisi yang lebih akademik dan umum bahwa perang di antara negara-negara bangsa, atau setidaknya di antara negaranegara bangsa jenis tertentu, telah berakhir. Banyak ilmuwan HI yang merujuk pada gagasan mengenai tidak adanya perang di antara negara-negara demokratis (Lihat ulasan Asrudin, 2009: 65-102; Lihat juga Asrudin, 2010: 90-102) dalam sejarah dan makin meningkatnya rezim demokratis sejak 1974 sebagai bukti bahwa kemungkinan terjadinya perang sangat kecil. Dalam pernyataan yang berhubungan namun merupakan versi lain dari proposisi ini, Michael Doyle mengatakan bahwa perang mustahil terjadi di antara negara-negara liberal (Doyle, 1983: 213).

Terakhir, adalah tingkatan paradigma endisme yang paling ekstrem. Paradigma ini diajukan oleh Francis Fukuyama dalam sebuah esai yang sangat populer dan kontroversial berjudul “The End of History?” dalam edisi Musim Panas jurnal The National Interest (1989). Dalam esainya itu, Fukuyama bukan saja merayakan akhir Perang Dingin, melainkan juga “akhir sejarah.” Era ini, kata Fukuyama, merupakan “kemenangan mutlak tak terbantahkan liberalisme ekonomi dan politik” dan pudarnya pesona sistem-sistem lainnya yang menjadi musuh liberalisme. Fukuyama menegaskan meski di era “akhir sejarah” perang masih mungkin terjadi di antara negara-negara dunia ketiga yang masih terjebak dalam proses sejarah. Namun bagi negara-negara maju, Uni Soviet, dan Cina, sejarah telah berakhir.

Yang menarik adalah pendekatan endisme ini rupanya hingga kini masih dianggap sebagai paradigma yang sangat seksi bagi sebagian ilmuwan HI. Saking seksinya, paradigma endisme ini kembali dimunculkan oleh Peter Van Ness. Pada tahun 2014, melalui konsep “kerjasama keamanan” untuk mengkritik paradigma realisme. Dengan merujuk pada karya Thomas Kuhn tentang pergeseran paradigma, Van Ness berargumen bahwa realisme, yang disebut oleh Kuhn sebagai “normal science” dalam teori Hubungan Internasional, berada dalam krisis karena ketidakmampuannya menjelaskan sejumlah anomali.